Versi
Alsi Chapter 20 - 22
By
Viona Fitri
Malam itu
badai turun sangat dahsyat dan besar. Tirai-tirai kelambu kamar Jodha tampak
berliuk-liukan di terpa angin besar. Di kursi meja riasnya, dua orang pelayang
sedang meriasnya dengan mengoleskan beberapa lapis bedan yang tampak menyatu
dengan warna kulitnya. Jodha terduduk dengan manis, sambil menatap refleksi
bayangannya di cermin rias. Ia tampak tenang sekali malam ini. Perasaannya
menjadi tak karuan entah mengapa. Sudah berulang kali Jodha menarik nafas dan
membuangnya perlahan, namun tak juga ketenangan itu menghampiri hatinya yang
gundal gulana. Reva dan Moti hanya bertukar pandang menatap sendu ke arah
Jodha. Mereka mengerti apa yang di rasakan Jodha saat ini. Menikah hanya demi
urusan politik dua kerajaan tanpa di landasi rasa cinta dalam rumah tangga.
Suaminya mempunyai banyak istri dan selir, yang selalu siap kapanpun suaminya
akan bermalam dengan mereka. Tapi, kenapa ia tidak bisa menjadi seperti para
istri yang lainnya? Dosa apa yang membuat rumah tangganya hancur seperti itu?
Berjanji untuk menikah hanya sekali dalam hidupnya, adalah sumpah yang
membuatnya harus merasakan karma di balik ucapannya sendiri. Bukan menikah,
jika hanya merasa dalam neraka yang membakar jiwanya.
“Jodha...”
kata Moti membuyarkan lamunan Jodha. Reva menatap pilu ke arah Jodha, yang
seperti kehilangan raganya. Jodha menangguk dan bangkit . Ia menatap bayangannya
di cermin rias besar di hadapannya. “Terimakasih telah membantuku merias. Aku
pergi dulu...” Jodha tersenyum tipis pada kedua pelayannya dan kemudian
berjalan keluar menuju pintu kamar.
* * *
* *
Hanya satu
langkah lagi menuju kamar Jalal. Langkahnya terasa semakin berat menentukan
langkah yang akan segera di ambilnya. Pakaian Mughal itu, tampak begitu
bersinar melekat pada tubuh indahnya. Kakinya bergemetar hebat untuk melangkah
satu langkah lagi memasuki kamar Jalal. Dua orang pelayan datang menghampiri
Jodha dan menuntun Jodha untuk segera memasuki kamar Jalal.
“Selamat
datang ratu Jodha di kamarku.” sambut Jalal begitu melihat Jodha yang telah
berada di kamarnya di dampingi oleh dua pelayannya. Kedua pelayan itu memberi
salam pada Jalal dan bergegas pergi meninggalkan mereka.
“Terimakasih.
Sekarang aku harus harus melakukan apa?” tanya Jodha yang masih berada jauh di
ambang pintu. Jalal menghampiri Jodha dan membawanya untuk duduk di tepi
ranjang. Benar-benar luar biasa. Jodha tampak begitu cantik dan sangat memikat
di matanya. Entah apa yang membuat Jodha tampak berbeda dari ratunya yang lain.
Dengan jarak dekat seperti itu, Jalal bisa melihat dengan jelas setiap inci
wajah bersinar Jodha dalam balutan pakaian Mughal dan polesan make up yang melekat
sempurna di wajah cantiknya.
“Aku ingin
bercerita sesuatu padamu. Kau ingin mendengarnya?” tanya Jalal yang hanya di
balas anggukan oleh Jodha.
Jalal
menarik nafasnya sejenak sambil tatapannya tak pernah lepas dari wajah bidadari
di sampingnya itu. “Aku sangat beruntung bisa menikah denganmu. Kau sangat
cantik dan menarik bagi setiap pria yang melihat dirimu. Ratu Jodha... Aku
ingin bercerita tentang keberuntungan seorang raja. Aku pernah mendengar cerita
ini dari ibu. Dahulu kala... Seorang raja yang besar mempunyai seorang istri
cantik seperti dirimu. Raja itu selalu menang dalam setiap kali pertempuran,
karena doa istrinya. Ratu Jodha....” Jalal memegang wajah Jodha untuk
menatapnya. “Aku juga merasa beruntung memiliki mu. Kau benar-benar sangat cantik
sekali. Aku bahkan sulit untuk bisa melukiskan wajahnya di atas selembar
kanvas.” rayu Jalal yang kian mendekatkan wajahnya pada Jodha.
“Aku kagum
dengan rayuanmu. Bahkan setiap wanita yang kau rayu, pasti langsung bertekuk
lutut padamu. Dan setelah itu.... Kau akan mencampakkan wanita yang telah
berhasil kau dapatkan itu.” kata Jodha tenang. Kemudian Jodha melepaskan tangan
Jalal yang memegang pipinya. Jodha sudah mengetahui bahwa saat ini, Jalal
tengah mencapai puncak emosinya. Ego Jalal pasti terluka mendengar kata-kata
pedas yang ia lontarkan tadi.
“Luar
biasa ratu Jodha. Kau benar-benar sangat pintar sekali. Baru beberapa hari kau
tinggal disini, kau sudah mengerti semua sikapku.” balas Jalal tenang tanpa
emosi. Lalu tiba-tiba Jalal melanjutkan perkataannya dengan berteriak keras. “Hebat.
Dengan begitu kau sudah menghina suamimu sendiri, hah? Tak bisakah kau menjaga
kata-kamu yang pedas seperti itu.”
Jodha
tertegun dan nampak takut oleh amarah Jalal yang membuat tubuhnya merasa
bergetar. Ia meremas ujung dupattanya dan menatap Jalal dgn tatapan sayunya. “A...
Aku tdk bermaksud mem... Membuatmu marah seperti ini.” ucap Jodha terbata.
Suaranya gemetaran. Jalal berdiri menarik tangan Jodha dan mendorong ke arah
kursi kayu di kamarnya. Malangnya, Jodha memebentur tepian kursi dan
menyebabkan keningnya mengalir cairan merah segar dan membuat bekas memerah di
sekitar lukanya. Jodha meringis kesakitan memegang keningnya.
“Sakit...
Dia benar-benar kejam dan tdk berperasaan.” bathin Jodha. Jalal masih dgn
emosinya yang memuncak menarik lengan Jodha dgn kasar. Jodha menarik dupattanya
dan menutupi sebagian wajahnya dgn takut. “Kau berani sekali berkata seperti
itu padaku ratu Jodha. Aku adalah seorang raja dan suamimu. Apa kau telah
melupakan hal itu?” tanya Jalal menggema.
Jodha
memalingkan wajahnya sedari tadi dari Jalal. Ia tdk ingin merasa lemah di mata
Jalal, meskipun ia memang sudah tdk berdaya dan terluka. “Kenapa kau tdk
menatap ku ratu Jodha? Aku sedang berbicara padamu?” jalal semakin dilanda oleh
gemuruh emosi yang telah berhasil menjiwainya. Ia memegang wajah Jodha dan
memalingkan ke arahnya. Rembesan darah segar dan air mata mengalir membasahi
dupattanya. Jodha terisak namun berusaha menghalau tangisnya yang telah
meledak.
“Inilah
akibat dari lidah silet mu itu ratu Jodha. Kau sudah membuatku marah.” kata
Jalal sambil mencekram kuat rahang Jodha. “Tidak apa Jalal. Aku tdk pernah
menyesal mengatakan hal itu padamu. Kau memang harus tau kebenaran dirimu
seperti apa. Kalau saat ini kau ingin melampiaskan segala amarahmu padaku,
maka... Lakukan saja!”
“Sudah
terluka, masih saja menyombong. Aku bisa membuatmu merasakan hal yang lebih
kejam dari pd ini.”
“Aku tdk
perduli. Lakukan saja saat ini!”
“Baik. Aku
akan segera melakukan itu padamu...” Teriak Jalal tepat di telinga Jodha.
“Jalal...”
seseorang masuk ke kamar Jalal tanpa izin. Cepat-cepat Jalal melepaskan
tangannya yang mencekram rahang Jodha. “Kau apakan dia? Kenapa dia bisa terluka
seperti itu?” tanya Ruqayah heran. Ia terus saja menatap ke arah kening Jodha yang
mengalir darah segar. “Tidak. Sudah kau tdk perlu tau apa yang terjadi. Katakan
padaku, untuk apa kau datang kemari?” Jalal mengajak Ruqayah duduk di tepi
ranjang, sementara Jodha masih membeku di tempatnya berdiri tadi.
“Aku ingin
tidur bersamamu Jalal. Bisakah aku tidur di kamarmu?” rengek Ruqayah manja.
Jalal tersenyum dan menjawab dengan senang. “Kenapa tidak? Kau boleh kapan saja
datang ke kamarku. Kita akan menghabiskan malam kita bersama.”
“Tapi
bagaimana dengan ammijaan? Kalau dia tau pasti aku akan di marahinya nanti.”
“Tidak
mungkin ammijan tau sayang. Kecuali dasi itu mengatakannya pada ammijan.” kata
Jalal dengan nada tebal sambil menatap Jodha.
NYES...
Rasanya
kata-kata dasi itu menambahkan luka baru di hati Jodha. Sudah bertumpuk ribuan
luka yang belum sembuh dalam hatinya, kini luka itu bertambah lagi dan lagi.
Kalaupun Jalal memang hanya menganggapnya seorang dasi, tapi tak bisakah ia
tidak menceritakan hal itu pada orang lain, dan cukup menjadi rahasia untuk
mereka berdua?
Ruqayah
tampak tersenyum menang menatap Jodha. Tidak ada reaksi apapun dari Jodha. Ia
tampak berusaha menyembunyikan wajahnya dari dupattanya yang transparan. Air
matanya terlihat sangat jelas, meskipun hanya cahaya temaram dari lilin yang
menerangi ruangan itu.
“Aku tidak
akan mengatakannya pada ammijan. Kalian tidurlah, aku tidak akan menggangu.”
sahut Jodha pelan.
Ruqayah
dan Jalal segera naik ke atas ranjang dan tertidur dengan saling memeluk. Jodha
terduduk di sisi kursi sambil menutup mulutnya yang terisak hebat. Jalal masih
terjaga dalam tidurnya. Ia melirik sejenak ke arah Jodha yang terduduk di sisi
kursi.
“Kenapa
hidupku menjadi hancur seperti ini? Aku harus menikah dengan orang sepertinya.
Ya dewa... Berikan petunjukmu, agar aku bisa percaya bahwa jalan yang ku pilih
ini benar.” Jodha memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Kegelapan yang
terhalangi oleh kabut tebal, tengah menyelimuti rumah tangga mereka. Ia
mengusap darah yang sejak tadi sudah merembes keluar dupattanya.
“Apakah
aku terlalu kasar padanya? Dia menangis karna ku. Dia terluka karna ku. Aku
tidak pernah sekasar ini pada seorang wanita sebelumnya. Dia seperti menguasai
setengah jiwaku.” Gumam Jalal dalam hati.
Jodha
berdiri beringsut menuju jendela kamar Jalal yang terbuka. Dia termenung
menatap bulan dan bintang yang tidak hadir saat badai seperti ini. Siluet
wajahnya tampak indah hanya di temani cahaya temaram lilin di ruangan itu.
Jodha melihat cincin pernikahan mereka, yang melekat di jari manisnya.
“Ini bukanlah
ikatan suci untuk membangun rumah tangga yang indah seperti impianku. Cincin
ini sebagai bukti, neraka yang selalu melingkariku. Kekejaman selalu
menyiksaku. Dan karena cincin ini juga... Kebahagiaanku telah hilang entah
kemana lagi. Untuk apa aku hidup lebih lama seperti ini? Aku akan meminta Jalal
menceraikanku...” ujar Jodha lemah. Tapi suaranya yang lemah itu mampu
terdengar sampai di telinga Jalal.
Jalal
bangun dgn sangat berhati-hati dan menurunkan tangan Ruqayah dari dada
atletisnya. Ia beranjak menghampiri Jodha dan memeluknya dari belakang. Anehnya
Jodha hanya diam tanpa ada perlawanan sama sekali.
“Maafkan
aku. Bukan maksudku ingin melukaimu. Tolong jangan katakan tentang perceraian
itu.” bisik Jalal dgn lembut.
“Mudah
untuk mengucapkan maaf Jalal. Tapi kau tdk tau sulitnya memaafkan. Maaf aku msh
tetap berada di kamar ini. Aku hanya tdk ingin, ada pelayan yang melapor bahwa
aku tdk jd bermlm di kamarmu. Ammijana, pasti akan kecewa padaku.” kata Jodha
lemah.
Jalal
semakin mempererat pelukannya pd Jodha. Diluar badai masih sangat dahsyat,
tubuh Jodha serasa menggigil tk karuan lg. “Aku akan segera tidur.” Jodha
melepas pelukan Jalal yang melingkar di pingganggnya. “Kau sudah memaafkanku?”
tanya Jalal penuh harap. Jodha hanya menatapnya sesaat, kemudian beringsut
menuju kursi panjang di sana. Ia membaringkan tubuhnya perlahan. Udara dingin
itu sangat memabukkan sekali. Seluruh bulu kuduknya berdiri tegak karna
menggil. Sesaat kemudian, ruangan hening tanpa ada yang bersuara lagi. Jodha
sudah tertidur di kursi panjang itu. Sementara Jalal masih aring-aringan kesana
kemari mencuri pandang pada Jodha, yang tampak pucat sekali. Bagaimana ia bisa
tidur dengan tenang memakai selimut tebal, sementara Jodha hanya merapatkan
tubuhnya dengan balutan dupattanya.
Jalal
menghampiri Jodha dan berjongkok di hadapannya. Di tangannya, ada sebuah
selimut tebal yang baru saja di ambilnya dari dalam lemari. Bibir Jodha tampak
bergetar hebat menahan daya tahan tubuhnya yang mulai menurun. Secepatnya,
Jalal menyelimuti Jodha dengan selimut yang di bawanya tadi. “Aku tidak tau
mengapa aku bersikap begitu kasar padamu. Terkadang, aku merasa lelah harus
bersikap layaknya seorang raja. Aku adalah seorang suami yang harus berlaku
adil pada semua istriku. Ratu Jodha... Kau tidak mengerti kenapa aku bisa
sekasar itu padamu. Sekarang... Kau tidurlah yang nyenyak. Bermimpilah yang
indah di dunia mimpimu. Jangan pernah bicarakan tentang soal perceraian lagi.
Aku tidak akan pernah menceraikanmu.” ucap Jalal lirih, kemudian mencium kening
Jodha dan menyentuh luka benturan kursi tadi. Luka itu masih memerah dan
darahnya pun sudah tampak kering. Jalal keluar dan memerintahkan pelayan untuk
segera membawakan salep luka. Mereka mengangguk dan melaksanakan tugas dengan
patuh.
* * *
* *
Jalal
mengobati luka Jodha hati-hati. Sesekaki terdengar suara rintihan kecil dari
bibir mungil Jodha yang terkatup rapat dalam tidurnya. “Aku menyesal melakukan
ini. Kau sangat kesakitan hanya karna aku. Kenapa kau tidak melawan ku sama
sekali? Biasanya kau selalu menentangku dan berbalik melawanku.” Jalal
tersenyum pada sosok gadis yang terbaring di kursi panjang itu. Ia mengecup
bibir Jodha yang bergetar itu cepat. Ruqayah tanpa sengaja terbangun dan
melihat hal itu. Ia meruntuk dalam hati. “Kau sudah membohongiku Jalal. Kau
bilang tidak mencintainya, tapi kenapa kau menciumnya, hah? Sekarang aku tau,
ratu Jodha pasti sudah mulai masuk ke dalam daftar wanita di hatimu. Kau bahkan
tidak pernah seperduli itu, saat aku sakit. Ratu Jodha.... Jangan salahkan aku jika
suatu saat akan membuat mu hidup dengan sengsara dalam istana ini. Kau lihatlah
pembalasanku yang akan datang....” Ruqayah kembali memejamkan matanya untuk
kembali ke dlm dunia mimpinya.
Jalal
bangkit dan naik ke atas ranjang sambil kembali mendekap Ruqayah dlm dadanya.
Rasa itu tiba-tiba hilang begitu saja. Kenapa ia lebih nyaman memeluk Jodha
dari pd Ruqayah? Kemana rasa kebahagiaannya dulu, begitu memeluk Ruqayah dlm
dekapannya? Jalal berusaha berpikiran positif dan kembali melanjutkan tidurnya.
* * *
* *
Pagi itu,
Jodha sudah terbangun dari tidur panjangnya. Ia membuka mata dan mencoba
membiasakan pandangannya yang tampak mulai jelas dari sebelumnya. Ruqayah dan
Jalal masih terlelap di atas ranjang mereka dgn damai.
Ketika
hendak bangkit, Jodha merasa sangat pusing akibat benturan semlm. Selimut yang
membalutnya, tampak mulai menggeser turun sampai ke kakinya, yang telah
menjuntai ke lantai. Ia memang dahinya, dan mendapati salep luka di keningnya.
“Siapa yang
telah memberikanku selimut dan juga salep ini? Apakah Moti dan Reva semlm
datang dan mengobatiku? Ataukah.... Jalal?” Jodha buru-buru sadar dari
ucapannya yang mulai asal. “Ah tdk mungkin pria kejam itu yang mengobatiku. Dia
tdk punya hati, bahkan tdk bsa mengobati siapapun orang yang telah di
sakitinya. Dia adlh orang yang hanya tau memberi luka, tapi tdk bsa
mengobatinya.” bathin Jodha.
Jalal
terbangun, ketika kilauan cahaya mentari pagi itu jatuh tepat di matanya. Ia
mulai mengerjapkan matanya. Ruangan itu masih hening tanpa ada seorangpun yang
bersuara. Tampak Ruqayah masih tidur dgn lelap, dgn tangannya bergelayut manja
di leher Jalal.
Jodha
menghampiri Jalal untuk segera mohon undur diri dari sana. “Jalal... Aku akan
segera kembali ke kamarku.” pamit Jodha sambil melangkah meninggalkan Jalal yang
hanya mengangguk membalas ucapannya.
Terasa ada
sesuatu yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Ingin sekali rasanya membuat
tembok tebal untuk menutup hatinya bagi Jalal. Tapi, entah knpa tembok itu
seperti selalu roboh ketika hendak selesai membentuknya.
~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~