NYES...
Rasanya
kata-kata dasi itu menambahkan luka baru di hati Jodha. Sudah bertumpuk ribuan
luka yang belum sembuh dalam hatinya, kini luka itu bertambah lagi dan lagi.
Kalaupun Jalal memang hanya menganggapnya seorang dasi, tapi tak bisakah ia
tidak menceritakan hal itu pada orang lain, dan cukup menjadi rahasia untuk
mereka berdua?
Ruqayah
tampak tersenyum menang menatap Jodha. Tidak ada reaksi apapun dari Jodha. Ia
tampak berusaha menyembunyikan wajahnya dari dupattanya yang transparan. Air
matanya terlihat sangat jelas, meskipun hanya cahaya temaram dari lilin yang
menerangi ruangan itu.
“Aku tidak
akan mengatakannya pada ammijan. Kalian tidurlah, aku tidak akan menggangu.”
sahut Jodha pelan.
Ruqayah
dan Jalal segera naik ke atas ranjang dan tertidur dengan saling memeluk. Jodha
terduduk di sisi kursi sambil menutup mulutnya yang terisak hebat. Jalal masih
terjaga dalam tidurnya. Ia melirik sejenak ke arah Jodha yang terduduk di sisi
kursi.
“Kenapa
hidupku menjadi hancur seperti ini? Aku harus menikah dengan orang sepertinya.
Ya dewa... Berikan petunjukmu, agar aku bisa percaya bahwa jalan yang ku pilih
ini benar.” Jodha memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Kegelapan yang
terhalangi oleh kabut tebal, tengah menyelimuti rumah tangga mereka. Ia
mengusap darah yang sejak tadi sudah merembes keluar dupattanya.
“Apakah
aku terlalu kasar padanya? Dia menangis karna ku. Dia terluka karna ku. Aku
tidak pernah sekasar ini pada seorang wanita sebelumnya. Dia seperti menguasai
setengah jiwaku.” Gumam Jalal dalam hati.
Jodha
berdiri beringsut menuju jendela kamar Jalal yang terbuka. Dia termenung
menatap bulan dan bintang yang tidak hadir saat badai seperti ini. Siluet
wajahnya tampak indah hanya di temani cahaya temaram lilin di ruangan itu.
Jodha melihat cincin pernikahan mereka, yang melekat di jari manisnya.
“Ini bukanlah
ikatan suci untuk membangun rumah tangga yang indah seperti impianku. Cincin
ini sebagai bukti, neraka yang selalu melingkariku. Kekejaman selalu
menyiksaku. Dan karena cincin ini juga... Kebahagiaanku telah hilang entah
kemana lagi. Untuk apa aku hidup lebih lama seperti ini? Aku akan meminta Jalal
menceraikanku...” ujar Jodha lemah. Tapi suaranya yang lemah itu mampu
terdengar sampai di telinga Jalal.
Jalal
bangun dgn sangat berhati-hati dan menurunkan tangan Ruqayah dari dada
atletisnya. Ia beranjak menghampiri Jodha dan memeluknya dari belakang. Anehnya
Jodha hanya diam tanpa ada perlawanan sama sekali.
“Maafkan
aku. Bukan maksudku ingin melukaimu. Tolong jangan katakan tentang perceraian
itu.” bisik Jalal dgn lembut.
“Mudah
untuk mengucapkan maaf Jalal. Tapi kau tdk tau sulitnya memaafkan. Maaf aku msh
tetap berada di kamar ini. Aku hanya tdk ingin, ada pelayan yang melapor bahwa
aku tdk jd bermlm di kamarmu. Ammijana, pasti akan kecewa padaku.” kata Jodha
lemah.
Jalal
semakin mempererat pelukannya pd Jodha. Diluar badai masih sangat dahsyat,
tubuh Jodha serasa menggigil tk karuan lg. “Aku akan segera tidur.” Jodha
melepas pelukan Jalal yang melingkar di pingganggnya. “Kau sudah memaafkanku?”
tanya Jalal penuh harap. Jodha hanya menatapnya sesaat, kemudian beringsut
menuju kursi panjang di sana. Ia membaringkan tubuhnya perlahan. Udara dingin
itu sangat memabukkan sekali. Seluruh bulu kuduknya berdiri tegak karna
menggil. Sesaat kemudian, ruangan hening tanpa ada yang bersuara lagi. Jodha
sudah tertidur di kursi panjang itu. Sementara Jalal masih aring-aringan kesana
kemari mencuri pandang pada Jodha, yang tampak pucat sekali. Bagaimana ia bisa
tidur dengan tenang memakai selimut tebal, sementara Jodha hanya merapatkan
tubuhnya dengan balutan dupattanya.
Jalal
menghampiri Jodha dan berjongkok di hadapannya. Di tangannya, ada sebuah
selimut tebal yang baru saja di ambilnya dari dalam lemari. Bibir Jodha tampak
bergetar hebat menahan daya tahan tubuhnya yang mulai menurun. Secepatnya,
Jalal menyelimuti Jodha dengan selimut yang di bawanya tadi. “Aku tidak tau
mengapa aku bersikap begitu kasar padamu. Terkadang, aku merasa lelah harus
bersikap layaknya seorang raja. Aku adalah seorang suami yang harus berlaku
adil pada semua istriku. Ratu Jodha... Kau tidak mengerti kenapa aku bisa
sekasar itu padamu. Sekarang... Kau tidurlah yang nyenyak. Bermimpilah yang
indah di dunia mimpimu. Jangan pernah bicarakan tentang soal perceraian lagi.
Aku tidak akan pernah menceraikanmu.” ucap Jalal lirih, kemudian mencium kening
Jodha dan menyentuh luka benturan kursi tadi. Luka itu masih memerah dan
darahnya pun sudah tampak kering. Jalal keluar dan memerintahkan pelayan untuk
segera membawakan salep luka. Mereka mengangguk dan melaksanakan tugas dengan
patuh.
* * *
* *
Jalal
mengobati luka Jodha hati-hati. Sesekaki terdengar suara rintihan kecil dari
bibir mungil Jodha yang terkatup rapat dalam tidurnya. “Aku menyesal melakukan
ini. Kau sangat kesakitan hanya karna aku. Kenapa kau tidak melawan ku sama
sekali? Biasanya kau selalu menentangku dan berbalik melawanku.” Jalal
tersenyum pada sosok gadis yang terbaring di kursi panjang itu. Ia mengecup
bibir Jodha yang bergetar itu cepat. Ruqayah tanpa sengaja terbangun dan
melihat hal itu. Ia meruntuk dalam hati. “Kau sudah membohongiku Jalal. Kau
bilang tidak mencintainya, tapi kenapa kau menciumnya, hah? Sekarang aku tau,
ratu Jodha pasti sudah mulai masuk ke dalam daftar wanita di hatimu. Kau bahkan
tidak pernah seperduli itu, saat aku sakit. Ratu Jodha.... Jangan salahkan aku jika
suatu saat akan membuat mu hidup dengan sengsara dalam istana ini. Kau lihatlah
pembalasanku yang akan datang....” Ruqayah kembali memejamkan matanya untuk
kembali ke dlm dunia mimpinya.
Jalal
bangkit dan naik ke atas ranjang sambil kembali mendekap Ruqayah dlm dadanya.
Rasa itu tiba-tiba hilang begitu saja. Kenapa ia lebih nyaman memeluk Jodha
dari pd Ruqayah? Kemana rasa kebahagiaannya dulu, begitu memeluk Ruqayah dlm
dekapannya? Jalal berusaha berpikiran positif dan kembali melanjutkan tidurnya.
* * *
* *
Pagi itu,
Jodha sudah terbangun dari tidur panjangnya. Ia membuka mata dan mencoba
membiasakan pandangannya yang tampak mulai jelas dari sebelumnya. Ruqayah dan
Jalal masih terlelap di atas ranjang mereka dgn damai.
Ketika
hendak bangkit, Jodha merasa sangat pusing akibat benturan semlm. Selimut yang
membalutnya, tampak mulai menggeser turun sampai ke kakinya, yang telah
menjuntai ke lantai. Ia memang dahinya, dan mendapati salep luka di keningnya.
“Siapa yang
telah memberikanku selimut dan juga salep ini? Apakah Moti dan Reva semlm
datang dan mengobatiku? Ataukah.... Jalal?” Jodha buru-buru sadar dari
ucapannya yang mulai asal. “Ah tdk mungkin pria kejam itu yang mengobatiku. Dia
tdk punya hati, bahkan tdk bsa mengobati siapapun orang yang telah di
sakitinya. Dia adlh orang yang hanya tau memberi luka, tapi tdk bsa
mengobatinya.” bathin Jodha.
Jalal
terbangun, ketika kilauan cahaya mentari pagi itu jatuh tepat di matanya. Ia
mulai mengerjapkan matanya. Ruangan itu masih hening tanpa ada seorangpun yang
bersuara. Tampak Ruqayah masih tidur dgn lelap, dgn tangannya bergelayut manja
di leher Jalal.
Jodha
menghampiri Jalal untuk segera mohon undur diri dari sana. “Jalal... Aku akan
segera kembali ke kamarku.” pamit Jodha sambil melangkah meninggalkan Jalal yang
hanya mengangguk membalas ucapannya.
Terasa ada
sesuatu yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Ingin sekali rasanya membuat
tembok tebal untuk menutup hatinya bagi Jalal. Tapi, entah knpa tembok itu
seperti selalu roboh ketika hendak selesai membentuknya.
~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~