“Hah,
kalau begitu kau tunggulah disini dulu, aku akan membuatkan pasta salep lagi
untukmu.” Jalal akan segera beranjak, tapi Jodha mencekal tangannya. “Kau
sebenarnya adalah pria yang lembut. Aku tau hati mu pasti terluka ketika
melihat seseorang terluka. Tapi kenapa ego membuatmu mengabaikan hati mu?”
tanya Jodha dengan lembut.
“Kau tau
itu. Kalau begitu pasti kau juga tau jawaban dari pertanyaan mu. Aku ingin
membuat salep untuk mu, tolong kau jangan membantah dan tetaplah berada disini.”
Jalal kemudian keluar meninggalkan Jodha yang masih terdiam di tempatnya.
* * *
* *
Jodha
terduduk dilantai ruang itu sambil meringkuk. Semua sekarang sudah musnah
lenyap di telan bumi. Ibunya sudah meninggal sejak dulu. Ayah yang menjadi
kebanggaannya telah meninggal di medan tempur. Tinggal ada Sujamal Bhaisa dan
Maansing Bhaisa yang lolos dalam pertempuran itu. Keadaan mereka sangat tak
berdaya sekali dan membutuhkan segera pengobatan. Pria itu jahat sekali,
mungkin itu juga siasat dari raja Mughal untuk mendapatkan Amer. Dia
berpura-pura baik pada Jodha dan merawat lukanya. Tapi, siapa yang tau hati kejamnya
masih bersemayam di hatinya. Cara apapun pasti akan dia lakukan demi memperluas
daerah kekuasaannya.
Jalal
datang dengan membawa mangkuk kecil yang berisi salep. Jodha masih meringkuk
dan terdengar isakannya. Jalal datang mendekat dan berjongkok di hadapannya. “Kau
menangis lagi? Katanya kau adalah seorang pendekar, lalu kenapa kau menangis
terisak seperti itu. Apa ada pendekar cengeng seperti mu?” tanya Jalal sambil
meletakkan obatnya di samping.
Jodha
mendongak dan menatap Jalal dengan marah. Wajah pria itu, pasti akan selalu
mengingatkan nya dengan kematian sang ayah. “Kalau kau hanya berpura-pura baik
dan perduli kepada ku, lebih baik kau tidak usah mengobati luka ku lagi.
Sekarang aku ingin pergi dari sini dan membawa kedua Bhaisa ku. Terserah padamu,
kau akan membunuhku atau tidak.” kata Jodha sambil menghapus air matanya. Ia
berdiri tegak, meskipun berjuta sakit menderanya. Untuk apa mendapatkan
perawatan kalau ia tau, ia akan berakhir dengan merenggang nyawanya juga. Lebih
baik mati tanpa pengobatan dari pada mendapatkan pengobatan tapi tidak berguna
apa-apa baginya. Jalal tidak mungkin mau dengan mudah membebaskan mereka begitu
saja tanpa keuntungan yang memihak padanya.
“Kau ini
mengapa suka sekali mencari masalah dengan ku, hah? Sekarang terserah padamu
kau mati juga aku tdk akan perduli.” Jalal membuang salep itu &
meninggalkan Jodha lagi.
“Aku juga
tdk butuh simpati dari mu.” kata Jodha membalas. Tiba-tiba saja memori
ingatannya kembali memutar saat dimana Jodha ingin bunuh diri dgn menancapkan
pedangnya ke bagian perutnya. Telapak tangan Jalal terluka karna pedang itu.
Meskipun ia membencinya, tetapi ia masih punya moral juga. Ia harus mengobati
luka Jalal meski dgn terpaksa. Seseorag yg membuat orang lain terluka, maka ia
juga yg harus menyembuhkannya.
Jodha
berlari mengejar Jalal yang berjalan dengan langkah cepatnya menahan kesal. “Jalal...
Tunggu dulu.” teriak Jodha yang berlari dengan membawa salep nya di buang oleh
Jalal tadi.
Jalal
memasuki ruangan besar, mungkin saja itu kamarnya selama ia berada di tenda.
Jodha juga ikut masuk dan mencekal lengannya. “Aku tau kau marah padaku, aku
juga marah padamu. Tapi, aku juga masih mempunyai moral dan etika. Kau sudah menyelamatkan
nyawa ku, jadi aku harus mengobati luka ditelapak tanganmu. Aku tidak perduli,
kau akan marah atau tidak.” Jodha mengambil tangan Jalal yang terluka, dan mula
mengoleskan salep ditelapak tangannya dengan berhati-hati.
“Ternyata
kau tau juga membalas budi orang lain. Ku kira, kau hanya tau memarahi dan
menyalahkan orang saja.” ledek Jalal yang diiringi dengan senyum tulusnya.
Senyuman itu tidak lagi menyeringai seperti dendam terpendam ataupun iblis yang
membuatnya akan menjadi manusia kejam. Senyumnya terlihat begitu tulus tanpa
rekayasa. Matanya juga berkata, lelaki itu adalah lelaki yang lembut serta
penyanyang. Namun keinginan dan egonya, membuat ia melupakan kelembutan hati
nuraninya yang selalu beradu argumen menentang kehendak satu sama lain.
“Kau kira
aku tidak tau diri? Itu adalah pemikiran yang sangat salah sekali. Sekarang kau
sudah ku obati, tugasku sudah selesai. Aku pergi dulu.” Jodha beranjak sambil
membawa salepnya kembali.
Jalal
hanya memperhatikan Jodha yang semakin lama, semakin menghilang di balik pintu.
“Bhaisa pasti akan sangat membutuhkan salep ini. Aku juga harus mengobati luka
mereka.” Jodha berlari ke arah Bhaisanya yang masih terikat di sebuah pohon
besar yang rindang.
“Bhaisa...
Aku membawakan salep untuk kalian. Sekarang, aku akan mengobati luka kalian.”
Jodha tersenyum sambil mulai mengolesi salep itu pada luka mereka satu persatu.
“Jodha... Kami baik-baik saja. Apakah kau sudah makan?” tanya Maansing. “Makan?
Aku... Aku belum makan Bhaisa. Tapi jangan khawatir, aku masih akan bertahan.
Ayah telah mengajarkan ku bagaimana caranya menjadi seorang wanita yang
tangguh. Bhaisa... Nanti aku akan pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan
segar untuk makanan kita.” Kata Jodha lembut.
“Tidak
Jodha... Kau tidak boleh pergi ke hutan seorang diri. Di hutan banyak sekali
binatang buas yang akan melukai mu. Lebih baik, kita tidak usah makan dari pada
membiarkanmu pergi ke hutan seorang diri.” cegah Sujamal.
“Bhaisa
kau tau bagaimana sifat adik mu inikan? Jadi Bhaisa pasti tau apa yang akan aku
lakukan. Sekarang, luka kalian sudah aku obati, aku akan pergi ke hutan dulu.”
Jodha bangkit dan meninggalkan salep itu di samping pohon besar yang mengikat
Bhaisanya.
“Jodha
tidak... Jangan pergi ke hutan seorang diri. Kau bisa saja mendapat masalah
jika ada binatang buas disana. Kami tidak bisa membantu Jodha...” teriak
Maansing bersikeras menghentikan langkah Jodha yang semakin menjauh dari
pandangan mereka.
“Tidak
Bhaisa, aku akan tetap pergi ke hutan. Jangan khawatir tentang keselamatanku.
Akukan seorang pendekar, tidak ada yang akan bisa melukaiku.” sahut Jodha
dengan berteriak sangat keras agar Maansing dapat mendengarnya.
Lagi-lagi
Maansing dan Sujamal hanya geleng kepala tidak mampu menghentikan keputusan
Jodha yang bersih keras ini mencari buah-buahan di hutan. Kepalanya benar-benar
seperti batu.
Jalal
datang dan melihat Sujamal dan Maansing yang berusaha melepaskan ikatan tali
yang mengikat mereka dengan sangat kuat. Jalal hanya tersenyum remeh pada
mereka berdua. “Teruslah berusaha melepaskan ikatan tali itu semampu kalian.
Tidak akan pernah berhasil usaha kalian itu. Kalian atan menambahkan luka pada
pergelangat tangan kalian, jika kalian tetap berusah melepaskan tali itu.” ujar
Jalal dengan senyum bangganya. Tali itu bukanlah tali biasa yang di beli di
pasaran, tapi ia membeli tali itu khusus dari negeri luar untuk mengikat
tawanan agar tidak bisa membebaskan diri mereka dari tali keras itu.
“Jalal
lepaskan kami. Kami harus segera mencari Jodha yang pergi ke hutan seorang
diri. Kalau di hutan sampai ada binatang buas, pasti Jodha akan jadi santapan
lezat mereka.” pinta Sujamal yang mengiba. Sementara Maansing juga ikut
menimpali ucapan Sujamal barusan. “Jalal, kami hanya tinggal bertiga setelah
kematian ayah. Kami tidak ingin kehilangan satu saudara kami, aku mohon
bebaskan kami dari sini.”
“Jodha
pergi ke hutan? Katakan, ke arah mana dia pergi!” tanya Jalal dengan tenang.
Namun lain hal dgn hatinya yang mulai risau dengan tindakan Jodha ini. Kenapa
lagi-lagi, wanita itu membuatnya selalu merasa khawatir dan cemas karena ulah
konyolnya.
“Dia
berlari ke arah utara hutan ini.” jawab Sujamal singkat. Jalal mengangguk lalu
pergi menunggangi kudanya menuju hutan bagian utara. Di dalam hutan itu sangat
rimbun sekali dgn pepohonan. Jarak antar pohon ke pohon begitu dekat, sehingga
sulit untuk menemukan keberadaan Jodha. Tapi tiba-tiba...
~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~