Versi
Alsi Chapter 6 - 8
By
Viona Fitri
“Salep ini
tidak bisa mengobati hati mu yang terluka. Kau bisa mengobati lukamu sendiri,
jika kau bisa melupakan kejadian di medan tempur itu.” kata Jalal memberi
solusi. Jodha terdiam sejenak. “Bisakah kau mengembalikan ayahku? Apakah nyawa
itu tidak penting bagimu? Kau bebas membunuh siapa saja yang kau mau, hanya
demi keserakahanmu untuk menguasai India.” tanya Jodha.
Air
matanya menetes lagi karena itu. Ayahnya adalah pahlawan bagi kehidupannya yang
penuh dengan liku. Banyak rintangan yang menghadangnya dengan ketakutan. Tapi,
ayah berdiri tegak di belakangnya untuk membantunya bangkit ketika ia terjatuh.
Mengajarkan cara bagaimana menjadi seorang wanita yang tangguh dalam menjalani
hidup. Mengusap air mata yang membuatnya merasakan rintangan dalam hidup yang
sebenarnya. Mendidiknya dengan penuh kasih sayang yang luar biasa dalam setiap
langkahnya.
“Sudah.
Aku tidak ingin kau mengobati ku lagi. Sekarang katakan pada ku, dimana kalian
menyembunyikan Bhaisa ku?” Jodha mengambil tangannya dari genggaman Jalal dan
bangkit dengan jalannya yang tersendak.
“Kau mau
pergi kemana?” tanya Jalal yang berusaha menghentikan langkah Jodha.
“Aku akan
mencari Bhaisa ku.” jawab Jodha singkat. Ia terlihat sangat lemah sekali dalam
kondisi pasca perang itu. Jodha melihat salep yang masih berada di pegangan
tangan Jalal. “Salep itu pasti akan berguna untuk mengobati luka Bhaisa.”
Bathin Jodha. Direbutnya salep yang ada di tangan Jalal kemudian keluar dengan
langkahnya yang masih tertatih.
Kepala
Jodha terasa sempoyongan tidak karuan. Serasa dunianya berputar dan diatasnya
banyak bintang bertaburan. Pandangannya yang semula awas, menjadi buram dan
lama kelamaan berubah menjadi gelap. Hampir saja tubuh Jodha ambruk, tapi
dengan sigap Jalal menangkap tubuh ringkih itu kedalam dekapannya. Jalal
membaringkan tubuh Jodha di atas tempat tidur kecil tempatnya tadi mengobati
luka Jodha.
“Dia benar-benar
gadis yang keras kepala. Aku kira hanya ratu Ruqayah saja yang sangat begitu
keras kepala. Tapi, gadis ini malah melebihinya.” kata Jalal sambil mengusap
pucuk kepala Jodha.
“Untung
saja dia tidak sadarkan diri lagi. Kalau tidak, dia pasti sudah sangat
membuatku repot sekali.” katanya lagi.
* * *
* *
Satu jam
kemudian, Jodha sudah tersadar dari pinsannya dan mencoba mengumpulkan file
memorinya yang sudah awur-awuran tidak berturut lagi. Jodha mendengar suara
seseorang yang sangat di kenalnya sedang merintih. “Itu seperti suara Bhaisa.
Aku akan segera mengobati mereka dengan salep tadi.” Jodha beranjak dengan
membawa salep ditangannya. Terkejut. Itu yang pertama kali dirasakannya ketika
membuka pintu ruangan dimana ia diobati. Saat ini di depannya terpampang dengan
jelas kedua Bhaisanya yang sedang di cabuk dengan tangan di ikat di sebuah
pohon besar. Jodha menjatuhkan salepnya dan segera berlari menghampiri kedua
Bhaisanya. Jalal yang hanya sebagai komando, merasa simpati pada Jodha yang
memeluk kedua Bhaisanya dengan sangat erat. Jodha yang menjadi tameng mereka,
dan merasakan cambukan keras dari algojo yang bertugas mencambuk Sujamal dan
Maasing.
“Bhaisa...
Bertahanlah, aku akan mencari cara agar kita bisa lepas dari sini. Percayalah
dengan dewa, yang selalu ada melindungi kita... Aw” Jodha berkata sambil
menahan setiap cambukan yang di arahkan pada setiap Bhaisanya.
“Hentikan!”
teriak Jalal pada para algojo nya yang berwajah sangar. Jalal menghampiri Jodha
yang sudah bertubi tubi merasakan cambukan kejam para algojo itu. Lengan dan
tangannya telah berbekas luka cambukan yang merah dan membiru. Bagian
punggungnya juga mungkin telah banya bekas cambukan, tapi karena tertutup
Gongghatnya, Jalal tidak tau apa luka di punggungnya lebih parah atau tidak
dari pada luka di tangan dan lengannya.
“Jodha...
Kau baik-baik sajakan? Kenapa melakukan hal ini untuk menyelamatkan kami.
Biarkan saja mereka mencambuk kami sampai kami mati.” kata Maansing lemah.
Jalal
menarik tangan Jodha yang mendekap kedua Bhaisanya. Lukanya yang belum sembuh,
berdarah lagi karnanya. “Bodoh. Dasar wanita bodoh. Kenapa kau mau menjadi
tameng mereka, hah? Kau sudah bosan dengan hidupmu?” Bentak Jalal keras.
“Kau bunuh
saja aku. Kenapa kau hanya menyiksa kedua Bhaisa ku? Kenapa aku tidak
mendapatkan siksaan seperti mereka juga, hah? Sekarang ambil saja pedangmu yang
selalu jadi saksi atas kekejaman mu pada semua orang. Bunuh saja aku, jika kau
masih ingin menyiksa Bhaisa ku.” ucap Jodha dengan nada yang lemah. Bahkan
sudah tidak bertenaga lagi dirinya, untuk sekedar melakukan perlawanan pada
Jalal. Jodha melangkah sangat dekat dengan Jalal, lalu mengambil pedang Jalal
dari sarungnya.
“Ini
pedang mu. Sekarang tunggu apalagi, bunuh saja aku seperti yang ka mau.
Terserah pada mu, ingin seperti apa kau menginginkan kematianku.” Jodha
menyerahkan pedang itu pada Jalal. Sekilas Jalal melihat pedang dari tangan
Jodha dan mengambilnya.
“Kau ingin
agar aku membunuhmu? Itu tidak akan pernah terjadi.” ujar Jalal yang mulai naik
darah dengan perlakuan Jodha padanya. “Kalau kau tidak ingin membunuhku, maka
bebaskan Bhaisaku. Kau mencambuknya dengan sangat kejam. Kenapa hanya mereka
saja yang menerima hukumannya? Aku juga ingin mendapatkan hukuman yang sama
seperti mereka.” kata Jodha dengan tatapan sengitnya.
“Karna kau
wanita. Meskipun aku kejam, tapi aku tidak pernah membunuh seorang wanita.”
“Benarkah?
Aku tidak percaya kau tidak membunuh wanita.” Jodha mengambil pedang Jalal lagi
dan ingin menancapkannya di perutnya. Sujamal dan Maansing terkejut dan
berteriak histeris untuk menghentikan Jodha. “Tidak...” teriak Sujamal dan
Maansing berbarengan.
Jodha
hendak menancapkan pedang itu ke perutnya, tapi Jalal menahannya dengan
tangannya. Darah segar mengalir begitu saja dari telapak tangan Jalal. Jodha
menjatuhkan pedangnya dan mulai menangis karenanya. “Bodoh. Dasar lelaki bodoh.
Kenapa menahan pedangku dan justru melukai tanganmu? Kenapa kau harus
menyelamatkanku dan membuat dirimu sendiri terluka?” Jodha mengambil tangan
Jalal yang tergores pedangnya. Luka itu sangat tajam dan dalam.
“Aneh. Ini
aneh sekali. Kenapa Jalal menghentikan Jodha ketika pedangnya sebentar lagi
akan menembus perut Jodha?” Bathin Sujamal yang terheran betul dengan itu.
“Jodha
ingin bunuh diri, tapi Jalal menahan pedangnya hingga telapak tangannya
terluka. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada raja Mughal itu.” Gumam
Maansing bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Jalal menarik
tangan Jodha dan membawanya ke ruangan yang semula. Kali ini Jodha tidak
berontak dan hanya mengikuti saja. “Kau benar-benar membuatku marah. Luka mu
itu belum sembuh benar, kenapa memaksakan untuk melindungi mereka, hah? Dimana
salep tadi, aku akan mengobati lukamu?” Ucap Jalal dengan sedikit emosi.
“Salepnya
terjatuh tadi. Aku terkejut melihat Bhaisa ku yang dicambuki seperti itu.” kata
Jodha takut-takut.
“Hah,
kalau begitu kau tunggulah disini dulu, aku akan membuatkan pasta salep lagi
untukmu.” Jalal akan segera beranjak, tapi Jodha mencekal tangannya. “Kau
sebenarnya adalah pria yang lembut. Aku tau hati mu pasti terluka ketika
melihat seseorang terluka. Tapi kenapa ego membuatmu mengabaikan hati mu?”
tanya Jodha dengan lembut.
“Kau tau
itu. Kalau begitu pasti kau juga tau jawaban dari pertanyaan mu. Aku ingin
membuat salep untuk mu, tolong kau jangan membantah dan tetaplah berada disini.”
Jalal kemudian keluar meninggalkan Jodha yang masih terdiam di tempatnya.
* * *
* *
Jodha
terduduk dilantai ruang itu sambil meringkuk. Semua sekarang sudah musnah
lenyap di telan bumi. Ibunya sudah meninggal sejak dulu. Ayah yang menjadi
kebanggaannya telah meninggal di medan tempur. Tinggal ada Sujamal Bhaisa dan
Maansing Bhaisa yang lolos dalam pertempuran itu. Keadaan mereka sangat tak
berdaya sekali dan membutuhkan segera pengobatan. Pria itu jahat sekali,
mungkin itu juga siasat dari raja Mughal untuk mendapatkan Amer. Dia
berpura-pura baik pada Jodha dan merawat lukanya. Tapi, siapa yang tau hati kejamnya
masih bersemayam di hatinya. Cara apapun pasti akan dia lakukan demi memperluas
daerah kekuasaannya.
Jalal
datang dengan membawa mangkuk kecil yang berisi salep. Jodha masih meringkuk
dan terdengar isakannya. Jalal datang mendekat dan berjongkok di hadapannya. “Kau
menangis lagi? Katanya kau adalah seorang pendekar, lalu kenapa kau menangis
terisak seperti itu. Apa ada pendekar cengeng seperti mu?” tanya Jalal sambil
meletakkan obatnya di samping.
Jodha
mendongak dan menatap Jalal dengan marah. Wajah pria itu, pasti akan selalu
mengingatkan nya dengan kematian sang ayah. “Kalau kau hanya berpura-pura baik
dan perduli kepada ku, lebih baik kau tidak usah mengobati luka ku lagi.
Sekarang aku ingin pergi dari sini dan membawa kedua Bhaisa ku. Terserah padamu,
kau akan membunuhku atau tidak.” kata Jodha sambil menghapus air matanya. Ia
berdiri tegak, meskipun berjuta sakit menderanya. Untuk apa mendapatkan
perawatan kalau ia tau, ia akan berakhir dengan merenggang nyawanya juga. Lebih
baik mati tanpa pengobatan dari pada mendapatkan pengobatan tapi tidak berguna
apa-apa baginya. Jalal tidak mungkin mau dengan mudah membebaskan mereka begitu
saja tanpa keuntungan yang memihak padanya.
“Kau ini
mengapa suka sekali mencari masalah dengan ku, hah? Sekarang terserah padamu
kau mati juga aku tdk akan perduli.” Jalal membuang salep itu &
meninggalkan Jodha lagi.
“Aku juga
tdk butuh simpati dari mu.” kata Jodha membalas. Tiba-tiba saja memori
ingatannya kembali memutar saat dimana Jodha ingin bunuh diri dgn menancapkan
pedangnya ke bagian perutnya. Telapak tangan Jalal terluka karna pedang itu.
Meskipun ia membencinya, tetapi ia masih punya moral juga. Ia harus mengobati
luka Jalal meski dgn terpaksa. Seseorag yg membuat orang lain terluka, maka ia
juga yg harus menyembuhkannya.
Jodha
berlari mengejar Jalal yang berjalan dengan langkah cepatnya menahan kesal. “Jalal...
Tunggu dulu.” teriak Jodha yang berlari dengan membawa salep nya di buang oleh
Jalal tadi.
Jalal
memasuki ruangan besar, mungkin saja itu kamarnya selama ia berada di tenda.
Jodha juga ikut masuk dan mencekal lengannya. “Aku tau kau marah padaku, aku
juga marah padamu. Tapi, aku juga masih mempunyai moral dan etika. Kau sudah menyelamatkan
nyawa ku, jadi aku harus mengobati luka ditelapak tanganmu. Aku tidak perduli,
kau akan marah atau tidak.” Jodha mengambil tangan Jalal yang terluka, dan mula
mengoleskan salep ditelapak tangannya dengan berhati-hati.
“Ternyata
kau tau juga membalas budi orang lain. Ku kira, kau hanya tau memarahi dan
menyalahkan orang saja.” ledek Jalal yang diiringi dengan senyum tulusnya.
Senyuman itu tidak lagi menyeringai seperti dendam terpendam ataupun iblis yang
membuatnya akan menjadi manusia kejam. Senyumnya terlihat begitu tulus tanpa
rekayasa. Matanya juga berkata, lelaki itu adalah lelaki yang lembut serta
penyanyang. Namun keinginan dan egonya, membuat ia melupakan kelembutan hati
nuraninya yang selalu beradu argumen menentang kehendak satu sama lain.
“Kau kira
aku tidak tau diri? Itu adalah pemikiran yang sangat salah sekali. Sekarang kau
sudah ku obati, tugasku sudah selesai. Aku pergi dulu.” Jodha beranjak sambil
membawa salepnya kembali.
Jalal
hanya memperhatikan Jodha yang semakin lama, semakin menghilang di balik pintu.
“Bhaisa pasti akan sangat membutuhkan salep ini. Aku juga harus mengobati luka
mereka.” Jodha berlari ke arah Bhaisanya yang masih terikat di sebuah pohon
besar yang rindang.
“Bhaisa...
Aku membawakan salep untuk kalian. Sekarang, aku akan mengobati luka kalian.”
Jodha tersenyum sambil mulai mengolesi salep itu pada luka mereka satu persatu.
“Jodha... Kami baik-baik saja. Apakah kau sudah makan?” tanya Maansing. “Makan?
Aku... Aku belum makan Bhaisa. Tapi jangan khawatir, aku masih akan bertahan.
Ayah telah mengajarkan ku bagaimana caranya menjadi seorang wanita yang
tangguh. Bhaisa... Nanti aku akan pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan
segar untuk makanan kita.” Kata Jodha lembut.
“Tidak
Jodha... Kau tidak boleh pergi ke hutan seorang diri. Di hutan banyak sekali
binatang buas yang akan melukai mu. Lebih baik, kita tidak usah makan dari pada
membiarkanmu pergi ke hutan seorang diri.” cegah Sujamal.
“Bhaisa
kau tau bagaimana sifat adik mu inikan? Jadi Bhaisa pasti tau apa yang akan aku
lakukan. Sekarang, luka kalian sudah aku obati, aku akan pergi ke hutan dulu.”
Jodha bangkit dan meninggalkan salep itu di samping pohon besar yang mengikat
Bhaisanya.
“Jodha
tidak... Jangan pergi ke hutan seorang diri. Kau bisa saja mendapat masalah
jika ada binatang buas disana. Kami tidak bisa membantu Jodha...” teriak
Maansing bersikeras menghentikan langkah Jodha yang semakin menjauh dari
pandangan mereka.
“Tidak
Bhaisa, aku akan tetap pergi ke hutan. Jangan khawatir tentang keselamatanku.
Akukan seorang pendekar, tidak ada yang akan bisa melukaiku.” sahut Jodha
dengan berteriak sangat keras agar Maansing dapat mendengarnya.
Lagi-lagi
Maansing dan Sujamal hanya geleng kepala tidak mampu menghentikan keputusan
Jodha yang bersih keras ini mencari buah-buahan di hutan. Kepalanya benar-benar
seperti batu.
Jalal
datang dan melihat Sujamal dan Maansing yang berusaha melepaskan ikatan tali
yang mengikat mereka dengan sangat kuat. Jalal hanya tersenyum remeh pada
mereka berdua. “Teruslah berusaha melepaskan ikatan tali itu semampu kalian.
Tidak akan pernah berhasil usaha kalian itu. Kalian atan menambahkan luka pada
pergelangat tangan kalian, jika kalian tetap berusah melepaskan tali itu.” ujar
Jalal dengan senyum bangganya. Tali itu bukanlah tali biasa yang di beli di
pasaran, tapi ia membeli tali itu khusus dari negeri luar untuk mengikat
tawanan agar tidak bisa membebaskan diri mereka dari tali keras itu.
“Jalal
lepaskan kami. Kami harus segera mencari Jodha yang pergi ke hutan seorang
diri. Kalau di hutan sampai ada binatang buas, pasti Jodha akan jadi santapan
lezat mereka.” pinta Sujamal yang mengiba. Sementara Maansing juga ikut
menimpali ucapan Sujamal barusan. “Jalal, kami hanya tinggal bertiga setelah
kematian ayah. Kami tidak ingin kehilangan satu saudara kami, aku mohon
bebaskan kami dari sini.”
“Jodha
pergi ke hutan? Katakan, ke arah mana dia pergi!” tanya Jalal dengan tenang.
Namun lain hal dgn hatinya yang mulai risau dengan tindakan Jodha ini. Kenapa
lagi-lagi, wanita itu membuatnya selalu merasa khawatir dan cemas karena ulah
konyolnya.
“Dia
berlari ke arah utara hutan ini.” jawab Sujamal singkat. Jalal mengangguk lalu
pergi menunggangi kudanya menuju hutan bagian utara. Di dalam hutan itu sangat
rimbun sekali dgn pepohonan. Jarak antar pohon ke pohon begitu dekat, sehingga
sulit untuk menemukan keberadaan Jodha. Tapi tiba-tiba...
~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~