Jumat, 26 September 2014, jam 5.05 sore,
Halte bis
Semua pasti menikmati weekend, kecuali aku. Teman-temanku juga
mengolok-olokku karena aku tidak pernah ikut bersenang-senang bersama mereka.
Menurutku, rasanya tidak pantas aku bersenang-senang disini sementara
keluargaku di India selalu mencemaskan aku karena berada jauh dari mereka.
Kulihat Max berjalan ke arahku...
“Max..... mobil yang menjemputmu belum datang?”
“Belum... kau sudah lama disini?”
“Tidak, aku baru sampai..”
“Jodha... ini kan weekend, apa kau juga langsung pulang?”
“Iya... aku tidak pernah kemana-mana meski weekend panjang sekalipun.
Daripada berlibur disini, aku lebih memilih pulang ke keluargaku di India.”
“Apa kau tidak keluar dengan pacarmu?”
“Aku belum punya pacar..”
Dia tersenyum... Apa dia tersenyum karena jawabanku atau hal yang lain?
Memangnya dia punya perasaan padaku? Jodha, sadarlah, waktunya kembali ke dunia
nyata. Tidak ada pria yang menyukai gadis sepertimu. Yang lebih suka mengurung
diri di dalam kamar daripada keluar bersenang-senang....
Selama kurang dari 1 jam, entah kami mengobrol apa saja, aku bahkan
sudah lupa. Aku begitu terpesona dengan dirinya. Dilihat dari jauh saja, dia
sudah cukup menawan, apalagi dari jarak sedekat ini. Yang kumaksud dekat adalah
kami duduk bersebelahan di halte, dan celah antara kami hanya selebar setengah
meter.
Tubuhnya masih harum, membuatku tidak percaya diri berada di dekatnya.
Siapapun gadis yang jadi pacarnya pasti sangat beruntung. Seandainya saja aku
punya pacar sejantan ini. Dia akan kulipat dan kumasukkan ke dalam dompetku,
agar tidak ada gadis lain yang meliriknya.
Namun ada beberapa hal yang masih kuingat dari obrolan kami, yaitu
ternyata dia bekerja di kantor yang sama denganku, tapi berbeda divisi. Pantas
saja aku tidak pernah berpapasan dengannya. Aku juga tahu kalau dia anak
tunggal. Dia mengaku belum punya pacar, tapi kurasa tidak mungkin juga aku
punya kesempatan jadi pacarnya. Pria-pria seperti dia pasti mencari gadis
cantik bertubuh seksi dan punya pergaulan high class.
Senin, 29 September 2014, jam 5.41 sore,
Halte bis
Saat aku dan Max sedang mengobrol, tidak sengaja aku melihat salah satu
jarinya berdarah. Untunglah aku selalu membawa band aid. Kututup lukanya dengan
band aid dariku. Ada hal aneh yang terjadi... saat aku memegang tangannya untuk
mengobati lukanya, kenapa rasanya ada yang menggelitiki perut dan ujung kakiku
ya?
Rabu, 1 Oktober 2014, jam 5.24 sore, Halte
bis
Semakin sering aku bersama Max, kenapa perasaanku jadi berantakan
seperti ini ya?... Kadang saat mata kami berpandangan, jantungku berdegup
sangat kencang..... Lalu di saat lain, tangan kami tidak sengaja bersentuhan,
aku langsung salah tingkah.... Atau ada kalanya, dia tersenyum sangat manis
padaku, pasti aku langsung gugup.... Apa aku menderita penyakit yang tidak
kuketahui?
Rabu, 29 Oktober 2014, jam 6.01 sore, di
dalam bis
Aku sudah duduk manis di dalam bis. Dan aku masih sedikit kecewa karena
Max tidak ada tadi. Selama ini aku sudah terbiasa ditemani olehnya selama
menunggu di halte, dan hari ini dia tidak datang. Apa dia sakit? Atau dia
sangat sibuk? Atau dia pulang dari arah lain? Stop, memangnya aku punya hak
mengkhawatirkannya?!
Gubrak... Oouucchhh.. Bisnya mengerem mendadak, mungkin ada penumpang
yang ingin naik. Tapi dahiku sudah jadi korban karena membentur tempat duduk di
depanku.
“Jodha...!”
Ada yang memanggilku, tapi siapa?
“Max..?”
Ternyata gara-gara Max, bisnya sampai berhenti mendadak. Mau apa dia?
Kenapa memanggilku di tengah-tengah semua penumpang bis ini?
“Jodha, aku ingin jadi pacarmu... Boleh kan?!”
Aku tidak bisa segera menjawabnya karena kesadaranku belum pulih. Apa
ini mimpi? Atau gurauan? Atau aku terlalu banyak membaca novel, jadi sampai
terbawa ke dunia nyata? Aku bingung.....
“Jodha, aku menyukaimu. Boleh kan aku menjadi pacarmu?”
Bahkan Max sampai mengatakannya dua kali karena aku tidak memberikan
reaksi apa-apa.
“Boleh..”
Akhirnya aku bisa menjawabnya.... Lalu masalahnya sekarang, sikapku
harus bagaimana pada Max? Apa aku harus tersenyum malu-malu? Atau tersenyum
lebar? Atau tersenyum kecil saja?.... Seandainya saja dianggap sopan, aku ingin
berlari padanya dan memeluknya. Tapi aku malu, karena semua mata memandangku
saat ini... Dan saat aku menjawabnya, mereka serempak bersorak.
Jumat, 31 Oktober 2014, jam 5.24 sore, Halte
bis
Aku duduk di sebelah Max di halte. Tiba-tiba Max memegang perutnya dan
meringis kesakitan.
“Kenapa?”
“Perutku sakit..”
“Kau makan apa tadi siang?”
“Itulah masalahnya, aku tidak makan siang...”
“Kenapa kau tidak makan? Apa kau tidak membawa uang lagi? Seharusnya kau
menelponku, aku akan membagi makan siangku denganmu..”
Ya Tuhan, aku sudah seperti istrinya saja padahal aku baru jadi
pacarnya, mengomelinya gara-gara telat makan. Aku membayangkan seandainya aku
jadi istrinya, aku akan membuatkan bekal untuknya tiap hari. Jadi kukeluarkan
kotak bekalku, di dalamnya masih ada setengah porsi makan siang yang tidak
sempat kuhabiskan. Kusuruh Max menghabiskannya, dan dia bilang masakanku enak.
Waah senangnya dia memujiku. Kalau dia sudah cocok dengan masakanku,
berarti hubungan kami memang serasi.
Selasa, 4 November 2014, jam 1.30 siang,
Kantor
Penyeliaku memanggilku datang ke ruangannya. Kubawa semua laporan yang
dia minta. Aku yakin aku sudah mengerjakan semuanya dengan benar, tapi kenapa
wajahnya datar sekali?
“Bawa semua laporan ini ke ruangan CEO..”
“Ruangan CEO lantai berapa , Tuan Smith?”
“Lantai 7.. Kau ditunggu sekarang!”
Bodoh Jodha, berapa lama kau bekerja disini, ruangan CEO saja kau tidak
tahu. Mana bisa aku tahu, aku tidak pernah berhubungan langsung dengan CEO.
Baiklah, rapikan bajumu, perbaiki dandananmu, dan jangan lupa pasang senyum
terbaikmu. Ingat! Dia yang menggajimu..
Baru kali ini aku masuk ke lantai 7. Disini benar-benar tenang, tidak
ada hiruk pikuk seperti di lantai 1 tempatku bekerja. Disini tidak ada
sekat-sekat antar meja staf, tidak ada lalu lalang orang, dan aromanya segar
seperti di hutan pinus. Pantas saja, lantai 7 adalah lantai khusus petinggi
perusahaan.
Tidak sulit mencari ruangan CEO, karena resepsionisnya langsung
memanduku saat aku mengatakan siapa namaku dan laporanku sudah ditunggu CEO di
ruangannya. Melewati pintu kaca, aku diterima sekretarisnya yang langsung
mempersilakanku masuk ke dalam. Coba tebak, siapa yang kulihat di dalam ruangan
itu.
“Max, sedang apa kau disini? Apa CEO juga memanggilmu?”
“Tidak...”
“Berarti kita sama-sama menunggunya.... padahal tadi sekretarisnya
bilang dia sudah di dalam..”
“Benar, aku sudah menunggumu. Akulah Jalaluddin...”
“Jalaluddin? Rasanya aku pernah mendengar nama itu...”
“Aku CEO perusahaan ini..”
“APA!!!”
Rahangku rasanya mau lepas, karena menganga begitu lebarnya. Apa dia
bercanda?
“Nama asliku Jalaluddin Akbar..”
Ya Tuhan, permainan apa ini?! Kenapa dia selama ini mengaku bernama Max?
Max yang tidak mampu membayar ongkos bis, yang kelaparan karena belum makan
siang, yang berhujan-hujanan di halte. Ternyata dia kaya raya... Dia bahkan
bisa punya bis sendiri kalau dia mau...
“Berarti Selamat Siang Tuan Jalaluddin Akbar. Maaf aku bersikap tidak
sopan padamu.”
“Jangan bersikap resmi seperti itu. Panggil saja aku Jalal. Aku dan Max
orang yang sama. Kau tidak perlu merubah sikapmu padaku. Aku suka sekali dengan
Jodha yang apa adanya.”
“Tapi kita tidak bisa seperti itu Tuan Jalal. Kau dan Max jauh berbeda.
Kau CEO, sedangkan Max adalah temanku menunggu bis.”
“Max itu juga aku... Untuk itulah aku mengundangmu kesini. Aku ingin kau
mengenal siapa diriku yang sebenarnya. Aku tidak ingin berbohong lagi..”
“Berbohong ya... jadi apa keuntunganmu membohongiku?”
“Sebenarnya aku ingin mencari seorang gadis yang mau menerimaku apa
adanya. Jika aku mengenalkan diriku sebagai Jalal, aku tidak tahu gadis itu
menyukai diriku atau hartaku. Karena itu, aku pura-pura bernama Max dan
akhirnya aku bisa tahu kalau kau gadis yang aku inginkan..”
“Jadi kau sedang mengujiku? Mengaudisiku? Dan memutuskan bahwa aku
adalah gadis yang kau inginkan... Untuk apa kau menginginkanku?”
“Untuk menjadi istriku.”
“Seandainya yang lolos ujianmu adalah gadis lain, maka gadis itu yang
akan menjadi istrimu?”
“Apa maksud pertanyaanmu?”
Dasar dunia sudah gila, yang gila bukan dunia, tapi Tuan Jalal ini yang
sudah gila. Kemana perginya cinta pada pandangan pertama, cinta buta, ataupun
cinta lokasi. Sekarang mencari istri pilihan pun harus lolos ujian.
“Tuan Jalal yang terhormat, aku tersanjung menjadi gadis pilihanmu. Tapi
aku tidak suka jadi Cinderella. Aku gadis biasa dan kau pangeran tampan yang
kaya. Hubungan seperti itu tidak pernah ada. Aku tidak mau menjadi istrimu. Kau
audisi saja gadis yang lain. Biarkan aku mengundurkan diri..”
“Jodha, bukan begitu. Awalnya aku memang ingin tahu bagaimana kepribadianmu.
Tapi perasaanku tulus... aku mencintaimu... Bersamamu aku bisa menjadi diriku
sendiri, aku tidak pernah berpura-pura saat bersamamu. Aku juga bisa merasakan
kalau kau juga menyukaiku dan kumohon jangan menyangkalnya. Aku minta maaf
karena aku mengawalinya dengan salah, tapi apa yang kita berdua rasakan bisa
berlanjut dengan baik. Aku akan mencintaimu selama hidupku, aku janji.”
“Tapi ini tidak adil. Kau tahu semua tentang diriku. Tapi aku tidak tahu
apa-apa tentangmu. Tidakkah aku juga pantas mengujimu?”
“Kau boleh bertanya apa saja, aku akan menjawab semuanya. Tapi tetaplah
bersamaku.”
“Tidak. Aku menolakmu. Kau juga boleh memecatku.... Permisi.”
Itu adalah pertemuan terakhirku dengan Max. Ah salah, mulai sekarang aku
harus terbiasa memanggilnya Jalal. Sejak hari itu aku tidak pernah berpapasan
dengannya padahal kantor kami sama. Dia juga tidak mungkin menunggu bis lagi,
dia pasti punya sopir dan mobil pribadi. Tapi anehnya, dia tidak memecatku
karena kupikir dia akan marah dan mendepakku keluar dari perusahaannya.
Jumat, 7 November 2014, jam 5.45, Halte bis
Aku hampir ketinggalan bis, gara-gara Tuan Smith terlalu lama memeriksa
laporanku. Untung bisnya belum datang. Aku menunggu sendirian lagi. Aku
merindukan Max, maksudku Jalal,
menemaniku menunggu bis. Mulutku tidak akan mengakuinya, tapi hatiku ingin
memanggilnya. Kutundukkan saja kepalaku untuk menahan air mataku yang ingin
keluar... aku sangat.. sangat... merindukannya..
“Apa kau memanggilku?”
Aku terkejut, serasa tak percaya Jalal ada di sebelahku... Untung aku
bisa menahan diri, kalau tidak aku akan menjerit melompat kegirangan. Tenang
Jodha.... ingat! Pasang ekspresi jual mahalmu...
“Tidak, untuk apa aku memanggilmu?!”
Apa dia punya indera keenam?
“Kalau begitu, kita mulai lagi dari awal. Kenalkan namaku Jalal... harta
dan pekerjaanku tidak penting... Jodha, sekarang aku siap menerima ujian
darimu....”
*****E N D*******