Jalal datang kembali ke cafe setelah pergi
selama 10 menit saja. Di dapur dia celingukan mencari Jodha. Untunglah ada
Amrita.
Amrita –“Tuan Jalal, anda masih disini?”
Jalal –“Iya, dimana Jodha?”
Amrita –“Dia masih ke kamar kecil. Apa kau
mau menunggu?”
Jalal –“Akan kutunggu.”
Amrita –“Kalau begitu tunggulah di dalam
sini..”
Amrita mengajak Jalal ke sebuah ruangan kecil
yang berfungsi sebagai ruang kerja. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah sofa,
lemari besi, satu set meja kursi kerja. Mejanya terlihat cukup rapi meski di
atasnya bertumpuk kertas dan struk-struk barang. Jalal memilih duduk di sofa,
sedangkan Amrita menarik salah satu kursi di dekat meja kerja dan
menempatkannya di dekat sofa.
Amrita – “Tuan Jalal, maaf aku tadi tidak
mengenalimu. Aku juga belum punya kesempatan untuk mengucapkan selamat atas
pernikahanmu dengan Jodha..”
Jalal –“Terima kasih. Apa kau sudah lama
berteman dengan Jodha?”
Amrita –“Sejak Jodha jadi mahasiswa baru di
Jerman. Kebetulan kami satu asrama.”
Jalal –“Apa Jodha tidak mengundangmu ke
pernikahan kami?”
Amrita –“Jodha memberitahuku tentang
pernikahannya. Tapi dia justru memintaku untuk tidak datang. Dan aku
menghormati permintaannya.”
Hening beberapa saat, yang terdengar hanya
suara-suara bising dari dapur. Mereka sama-sama kehabisan topik obrolan. Jalal mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai,
dan Amrita memilin-milin ujung blusnya, seperti hendak menanyakan sesuatu tapi takut
mengutarakannya.
Amrita –“Emmmmh, Tuan Jalal, Jodha cerita
tadi ada insiden kecil di luar..”
Jalal –“Iya, kenapa?”
Amrita –“Mungkin Jodha belum menceritakannya
padamu, tapi sebagai temannya, aku sangat mengkhawatirkannya. Kejadian seperti
tadi, bukan pertama kalinya dialami Jodha, aku juga ragu itu akan jadi yang
terakhir. Sebelumnya dia pernah juga dijambak, diteriaki bahkan diancam
disakiti. Orang-orang selalu salah paham akan kebaikan Jodha. Karena itulah,
aku meminta bantuanmu, meski aku selalu percaya Jodha bisa melindungi dirinya
sendiri, tapi tolong jagalah Jodha. Jangan biarkan hal buruk terjadi padanya.”
Jalal mengerutkan keningnya mendengar cerita
itu.
Jalal –“Apa kau pernah melaporkannya pada
polisi?”
Amrita –“Aku ingin, tapi Jodha melarangku.
Dia justru merasa iba pada orang-orang yang ingin menyakitinya. Karena itulah
dia menyimpan semua masalah untuk dirinya sendiri. Menurutnya, seandainya
dilaporkan malah akan membuat masalahnya semakin besar.”
Jalal –“Apa Jodha dulu tidak punya pacar yang
bisa melindunginya?...Maksudku aku belum pernah bertanya padanya tentang
mantan-mantan kekasihnya..”
Jalal sengaja memancing pertanyaan ini, untuk
membandingkannya dengan cerita Rarisa kemarin.
Amrita –“Jodha tidak punya mantan kekasih.
Dia tidak pernah pacaran, tapi kalau pria yang naksir dia, banyak
sekali....Maaf, kuharap ceritaku ini tidak mempengaruhi hubunganmu dengan
Jodha..?!”
Jalal –“Tidak akan. Aku hanya ingin lebih
mengenal istriku dari teman-temannya.”
Jalal memberikan alasan yang masuk akal dan
Amrita percaya. Namun hati dan pikirannya tidak sejalan. Pikirannya mengatakan
dia ingin mengenal Jodha semata agar dia bisa mengukur kelebihan dan kekurangan
layaknya partner bisnisnya. Sedangkan hatinya berkata lain, Jalal ingin lebih
mengenal Jodha secara pribadi, karena semakin hari banyak hal baru yang
diketahuinya tentang Jodha , semakin tampak istimewa Jodha di matanya.
Amrita –“Yang aku tahu, pria yang paling
dekat dengan Jodha adalah Kak Nitesh, tapi Jodha sudah menganggapnya sebagai
kakak.”
Jalal –“Kalau dengan Shahabuddin?”
Amrita –“Dokter Shahabuddin..?”
Jalal mengangguk. Inilah informasi yang
ditunggu Jalal. Tapi sebelum Amrita sempat menjawabnya, pintu ruangan itu
terbuka. Jodha masuk sambil menempelkan sekantung makanan beku di pipinya. Dia
belum menyadari kehadiran Jalal di ruangan itu. Baru saat Jalal berdiri, Jodha
melihatnya...
Jodha –“Tuan Jalal, Kau sudah datang..?”
Jalal –“Iya, bagaimana sakitnya?”
Jodha –“Sudah mendingan..”
Jalal –“Pakailah ini. Krim ini untuk
meredakan memar dan bengkak. Aku biasa memakainya...”
Jalal mengangsurkan sebuah krim pada Jodha
dan langsung menerimanya sambil mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.
Amrita cukup tahu diri, karena tidak ingin mengganggu mereka berdua, tanpa
bersuara dia meninggalkan ruangan itu.
Jalal –“Sini kuoleskan..”
Jodha –“Aku bisa memakainya sendiri.”
Sebelum Jodha selesai bicara, Jalal sudah
mengambil lagi krim di tangan Jodha. Selembut mungkin Jalal mengoleskan krim di
pipi Jodha yang memerah dengan gerakan melingkar. Dari jarak sedekat itu, Jalal
bisa menghirup aroma citrus segar yang menguar dari tubuh Jodha. Meski sudah
hampir seharian Jodha berkutat di dapur, tapi keharumannya masih melekat. Tanpa
banyak protes, Jodha membiarkan Jalal mengobatinya. Jalal pun semakin leluasa memperhatikan
sudut-sudut wajahnya. Matanya yang bulat dengan bola mata gelap, seakan
seseorang bisa tenggelam karena kedalaman mata itu. Bulu matanya lentik dan
panjang. Hidungnya yang mungil dan berujung lancip terlihat anggun di wajahnya.
Bibirnya adalah bentuk bibir yang paling sempurna menurutnya. Pantas saja
banyak pria yang terhipnotis kecantikannya. Sebenarnya Jalal sudah bisa melihat
kecantikannya sejak awal bertemu, tapi karena persepsinya yang salah telah
membutakan semuanya.
Jodha bukannya tidak bereaksi apa-apa atas
sentuhan itu. Jantungnya berdetak sangat kencang. Rongga dadanya terasa penuh.
Untunglah tubuhnya tidak bergetar. Ini pertama kalinya dia mengijinkan seorang
pria berada sangat dekat seperti ini. Kenapa Jalal? Mungkin karena Jalal adalah
suaminya. Bahkan Jodha harus bersusah payah menelan ludah yang terasa
menggumpal di tenggorokannya. Cepat-cepat Jodha memutus sentuhan itu.
Jodha –“Sudah?”
Jalal –“Sudah, dengan krim ini memarmu tidak
akan membekas. Sekarang aku antar kau pulang.”
Jodha –“Aku bisa pulang sendiri. Motorku...”
Jalal –“Motormu tidak akan kemana-mana meski
kau meninggalkannya disini. Demi keamananmu, kau pulang denganku. Besok aku
akan mengantarmu berangkat...”
Jodha –“Kau peduli pada keamananku?”
Jalal tidak menjawab, hanya memandang Jodha.
Tapi dari tatapannya seakan dia mengatakan –‘Apa kau masih perlu bertanya? Apa
kita akan berdebat?’— Akhirnya Jodha menurut tanpa protes lagi.
Di dalam mobil, keduanya diam, tidak ada yang
berniat memecahkan keheningan. Beberapa kali Jalal melirik ke arah Jodha, tapi
gadis yang diliriknya hanya menatap lurus ke depan.
Jodha –“Terima kasih.”
Jalal –“Ha..? Untuk apa?”
Jodha –“Untuk krimnya.”
Jalal –“Ooo, bukan masalah.”
Jodha –“Kau tadi pergi hanya untuk membeli
krim ini?”
Jalal –“Menurutmu?”
Jodha –“Kau bilang kau sering memakai krim
ini, apa kau sering berkelahi?”
Jalal –“Pria harus sering bertarung untuk
menunjukkan kekuatannya.”
Jodha –“Kekuatan tidak selalu ditunjukkan
dengan adu fisik. Apa orang tuamu tidak khawatir kalau kau sering berkelahi?”
Jalal –“Mereka tidak ada yang peduli. Mereka
sibuk sendiri-sendiri. Ibuku hanya sibuk meratapi penderitaannya karena
pengkhianatan ayahku, sedangkan ayahku juga sibuk memanjakan wanita-wanita
simpanannya.”
Jodha –“Kau pasti kesepian.”
Jalal –“Aku tidak sempat berpikir kalau aku
kesepian. Karena aku juga sibuk bekerja untuk bertahan hidup. Ayahku mewariskan
perusahaan yang bangkrut. Aku harus berjuang sendirian untuk membangunnya lagi.
Hanya adikku satu-satunya alasan aku bertahan.”
Jodha tertegun, dia tidak pernah tahu masa
lalu Jalal. Tapi sadarkah Jalal kalau dia sudah membeberkan bagian hidup yang
sangat pribadi pada Jodha? Sepertinya tidak, dan Jodha cukup tahu diri untuk
tidak berkomentar apa-apa. Perasaan Jodha sedikit melembut –‘Tuan Jalal telah
menjalani hidup yang sangat keras. Mungkin itulah kenapa dia memandang
kehidupan dengan penuh kepahitan. Dia sulit mempercayai orang lain. Pengalaman
hidupnya menjadikan dia orang yang tangguh tapi juga keras.—‘
Jalal terdiam, dia baru sadar kalau dia sudah
menceritakan masa lalu dalam hidupnya. Hal yang belum pernah dilakukannya pada
siapapun. Entah kenapa kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Apa
itu semua karena pengaruh gadis di sampingnya? Apa yang sudah dilakukan Jodha
hingga dia merasa senyaman itu bercerita? –‘Ini memalukan.’—teriaknya dalam
hati.
Jodha cukup mengerti jika Jalal kembali
menutup diri, terlihat dari sikap diamnya yang tiba-tiba. Untuk membuat suasana
kembali normal, Jodha mencoba mengalihkan obrolan.
Jodha –“Aku penasaran, bagaimana kau tahu aku
ada di cafe?”
Jalal –“Oh itu...ehm...itu karena...kebetulan
aku melihatmu masuk kesana saat aku berangkat tadi pagi.”
Jodha –“Bukankah jalan ke kantormu ada di
arah berlawanan?”
Jalal –“A..itu...karena...aku harus mampir
dulu ke suatu tempat.”
Jodha –“Lalu kenapa kau datang dengan
marah-marah?? Amrita yang cerita. Rasanya tadi pagi aku tidak melakukan sesuatu
yang salah.”
Jalal –“Emm...itu...karena..”
Jodha –“Tuan Jalal, apa yang membuatmu
marah?”
Jalal –“Itu...ah, kita sudah sampai..”
Dalam hati Jalal bersyukur --
‘Fiuhhh..untunglah aku bisa mengelak. Apa yang akan kujawab? Benar-benar
memalukan kalau dia tahu aku marah untuk alasan yang tidak jelas...’
Jalal menurunkan Jodha di lobi apartemen,
sedangkan dia melanjutkan perjalanan ke kantornya.Di kantor, Jalal tidak bisa
konsentrasi. Berulang-ulang pikirannya memutar kembali apa yang terjadi tadi
siang. Pikirannya mulai terbuka, dia bisa memandang Jodha sebagai gadis yang
berbeda dari anggapannya semula. Secara tidak langsung, Jodha telah
mengajarinya memandang suatu masalah dari sudut yang berbeda, bahwa apa yang
terlihat belum tentu yang paling benar. Satu penyesalannya, dia gagal mengorek
informasi tentang hubungan Jodha dan Shahabuddin. Adakah kemungkinan apa yang terjadi
pada Bhaksi dan Shahabuddin sama dengan yang terjadi pada Tuan Virindra dan
Devika? Mungkinkah Bhaksi terlalu cepat menarik kesimpulan tentang hubungan
Jodha dan Shahabuddin?
Jalal bangun pagi keesokan harinya dengan
perasaan yang lebih riang. Saat pertama kali dia membuka mata, hal yang pertama
diingatnya adalah mengantar Jodha ke tempat kerjanya. Bergegas dia masuk kamar
mandi. Biasanya Jodha berangkat pukul 8, karena itulah dia harus siap tepat
waktu. Saat dia menuju meja makan, dia belum melihat Jodha, hanya ada Bibi
Mehta.
Jalal –“Bibi, Jodha belum bangun?”
Bibi Mehta –“Sudah, Tuan. Tapi dia belum
kembali dari jogging.”
Jalal –“Oh..tolong buatkan sarapan untukku
yang seperti kemarin.”
Bibi Mehta –“Maaf Tuan, saya tidak bisa.
Sarapan kemarin yang memasak Nyonya Jodha.”
Jalal –“APA?...Lalu yang sebelumnya?”
Bibi Mehta –“Setiap pagi yang memasak adalah
Nyonya Jodha.”
Jalal –“Astaga..”
Terdengar pintu depan dibuka. Jodha masuk dan
mengangguk memberi salam pada Bibi Meeta dan Jalal, lalu masuk ke kamarnya.
Jalal menunggu di meja makan dengan secangkir kopi di hadapannya. Kira-kira 15
menit kemudian, Jodha keluar dan menuju dapur.
Bibi Meeta –“Jodha, Tuan Jalal ingin menu
sarapan seperti kemarin.”
Jodha –“Sungguh?... Tunggu sebentar..”
Jalal tidak berani menatap Jodha, dia
benar-benar tidak punya muka. Dia sudah menikmati masakan Jodha padahal saat
itu dia masih bersikap dingin padanya. Dia menikmatinya tapi dia memusuhi
orangnya, seperti pria yang tidak punya sikap saja. Tapi matanya mulai memperhatikan
Jodha yang memasak dengan cekatan. Pandangannya lama kelamaan tak beralih. Dia
suka sekali pemandangan pagi hari ini.
Bibi Meeta –“Tuan Jalal, selamat ulang
tahun.... Apakah nanti malam anda merayakannya di luar atau di sini?”
Jodha yang sedang sibuk memasak, mengangkat
wajahnya mendengar ucapan Bibi Meeta, keheranannya hanya disuarakan dalam
hatinya –‘Tuan Jalal ulang tahun hari ini? Aku sama sekali tidak tahu, tapi aku
sendiri juga tidak pernah bertanya.’—
Jalal –“Aku tidak tahu. Aku belum merencanakan
apa-apa.”
Masakan telah terhidang di atas piring di
depan Jalal. Jalal sangat menikmatinya. Sambil makan, sesekali dia melirik ke
arah Jodha. Ingin sekali dia mengucapkan terima kasih atau sekedar memuji
kelezatan masakannya, tapi gengsinya mengalahkan semuanya. Sampai mereka
selesai makan pun, mereka tetap saling diam.
Di dalam mobil, belum ada yang bicara, tapi
Jalal berkali-kali menoleh ke samping seakan dia ingin mengatakan sesuatu tapi
masih menahannya. Melihat wajah Jodha yang datar membuatnya mengurungkan
niatnya berulang kali, sepertinya Jodha sedang memikirkan sesuatu yang cukup
penting.
Jalal –“Bagaimana sakitnya?”
Jodha –“Sudah tidak terasa.”
Jalal –“Masakanmu enak. Aku tidak tahu kalau
selama ini kau yang memasak, aku pikir itu masakan Bibi Meeta. Terima kasih
untuk masakannya.”
Jodha –“Mmmm..”
Jalal –“Kau belajar memasak dari siapa?
Ibumu?”
Jodha –“Bukan.”
Jalal –“Jadi, apalagi yang kau bisa? Kau bisa
menangkap ular, punya kemampuan bela diri, kau juga pintar memasak..Apalagi
yang belum aku tahu?”
Jodha –“Tidak ada.”
Jalal –“Kau sedang memikirkan apa? Apa kau
takut pria kemarin datang lagi mengganggumu?”
Jodha –“Tidak.”
Jalal –“Apa perlu kusewakan bodyguard untuk
menjagamu?”
Jodha –“Terlalu berlebihan.”
Jalal –“Atau sebaiknya kita lapor polisi?
Meminta perintah menjaga jarak untuk pria itu?”
Jodha –“Tidak..., Tuan Jalal, kau ini bisa
cerewet juga ya?”
Jalal –“A...”
Skakmat. Belum pernah sekalipun dalam
hidupnya ada orang yang menganggapnya cerewet. Apalagi seorang wanita. Hanya
saja wanita ini bukan wanita yang sedang merayunya. Wanita ini sudah menjadi
istrinya, tapi hubungan mereka baru saja membaik. Tapi dia sudah menyebutnya
cerewet. Apa Jalal tersinggung? Tidak, tapi dia bergumam dalam hatinya –‘Sial,
dia benar!. Tadi memang aku yang banyak bicara. Jadi begini rasanya kalau ada
orang yang mengataimu cerewet. Sebelumnya aku yang biasa mengatakannya pada
wanita-wanita yang merayuku, sekarang Tuhan membalasku.’— Jalal mengira Jodha
marah, tapi sayup-sayup dia mendengar suara terkikik yang tertahan dari
sebelahnya. Rupanya Jodha sekuat tenaga menahan tawanya, tapi tidak bisa.
Tawanya terlepas dan menular pada Jalal. Mereka tertawa bersama.
Jodha –“Maafkan aku, Tuan Jalal, aku tadi
kelepasan.”
Jalal –“Tidak apa, aku memang terlalu banyak
bicara.”
Jodha –“Senang mendengar kau bisa bicara
banyak hal dan mendengarmu tertawa. Kau teman mengobrol yang menyenangkan. Dan
terima kasih karena mengkhawatirkanku. Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Jodha tersenyum dan dibalas oleh Jalal.
Jodha –“Tuan Jalal, sudah sampai, terima
kasih sudah mengantarku.”
Jalal –“Jodha...ah, tidak apa-apa.
Berhati-hatilah.”
Jodha turun dari mobil, menganggukkan kepala
pada Jalal dan masuk ke dalam cafe.Meski Jodha sudah tidak terlihat, tapi Jalal
masih belum beranjak dari sana, masih duduk diam di dalam mobilnya. –‘Cepat
sekali sudah sampai , sebenarnya aku masih ingin mengobrol ...Aah, kenapa aku
jadi seperti ini?!..Lalu alasan apalagi yang bisa kupakai hanya untuk bisa
ngobrol lagi dengannya...Ah, aku tahu, makan siang...aku akan kembali kesini
saat makan siang..’—Dengan senyum puas di wajahnya, Jalal menyalakan mobilnya
dan pergi menuju kantornya.
Tepat saat makan siang, Jalal masuk ke dalam
Sisterhood cafe, tapi ternyata Jodha tidak ada. Amrita yang menemuinya
memberitahu kalau Jodha keluar sejak satu jam sebelum Jalal datang. Raut
kekecewaan tampak di wajahnya, tapi dia tidak berkomentar apa-apa. Dia langsung
pergi dan kembali ke kantor.
Malam harinya, Jalal pulang larut. Ruangan
dalam apartemennya sudah gelap, Bibi Meeta dan Jodha pasti sudah tidur.
Sebenarnya hari ini teman-temannya mengajaknya untuk berpesta merayakan ulang
tahunnya, tapi dia menolaknya. Alasannya sederhana tapi dia tidak mengatakan
yang sejujurnya pada teman-temannya. Sebenarnya dia ingin merayakan ulang
tahunnya bersama seseorang, tapi dia terlalu gengsi dan harga dirinya terlalu
tinggi untuk sekedar mengundangnya sekalipun. Hasilnya dia berakhir di malam
yang sepi, tanpa ada pesta seperti tahun-tahun sebelumnya.
Saat akan membuka pintu kamarnya, kaki Jalal
tersandung sebuah kotak yang tergeletak di lantai tepat di depan pintu
kamarnya. Diambilnya kotak itu dan dibawanya masuk ke dalam kamar. Kotaknya
berwarna biru, tapi Jalal tidak menemukan petunjuk siapa pengirimnya.
Penasaran, Jalal membuka penutupnya dan isinya membuatnya tersenyum.
Sepatu. Isinya adalah sepatu pria berwarna
coklat gelap dan modelnya sangat sesuai dengan seleranya. Bahkan saat dia
mencobanya, ukurannya pas.–‘Siapa pengirimnya?..... Bagaimana dia tahu ukuran
kakiku?... Kenapa hadiahnya sepatu?...’—
*******************