re">
* * * * *
Nitesh –“Jodha memang berbagi masa lalunya denganku. Tapi debar
jantungnya bukan untukku...”
Jalal –“Apa maksudmu?”
Nitesh –“Kau tahu benar maksudku...!”
Setelah mengatakan itu, Nitesh keluar dari apartemen Jalal. Seperti
meninggalkan teka-teki, Jalal berpikir keras apa arti kata-kata Nitesh tadi.
Namun mungkin memang itulah jawaban terbaik yang bisa diberikan Nitesh jika
Jalal bertanya tentang hubungannya dengan Jodha. Jalal bisa memikirkannya lagi
nanti, sekarang dia ingin melihat Jodha.
Jalal masuk kembali ke dalam kamar Jodha, lalu duduk di samping Jodha
yang tertidur. Lama dipandanginya wajah Jodha. Wajah itu biasanya terlihat
anggun, angkuh dan selalu tampak tegar. Jauh berbeda dengan yang terlihat tadi,
wajah itu memperlihatkan ketakutan yang dalam. –‘Andai saja kau mempercayaiku, mau menceritakan semuanya padaku. Aku
pasti akan berusaha menghapus semua ketakutan dalam hidupmu.’— Begitulah
yang ingin dikatakan Jalal pada Jodha saat dia sudah bangun nanti.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi, Jodha baru saja membuka matanya.
Tidurnya sangat nyenyak, efek dari obat yang diminumnya semalam. Sekarang dia sudah tidak merasa
lemas lagi. Jodha ingat semalam Jalal menemaninya sampai dia tertidur. –‘Sudah saatnya aku membuka semua rahasiaku
padanya.’— pikir Jodha. Siap ataupun tidak, dia harus menghadapi Jalal..
Pintu kamarnya sengaja dibiarkan terbuka sejak semalam, Jodha segera
beranjak menuju dapur karena tiba-tiba dia merasa lapar sekali. Dia tidak
mendengar suara apapun dari dapur. Setengah jalan menuju dapur, langkahnya
terhenti tiba-tiba..... Ada Jalal sedang duduk di meja makan, dan sekarang pria
itu sedang memandangnya. Jodha menundukkan wajahnya, seperti seorang tertuduh
yang menunggu vonisnya.... Ya, Jodha sedang menanti reaksi Jalal sehubungan
semua yang terjadi semalam. Seandainya Jodha bisa mengartikan tatapan itu....
Jalal –“Apa kau lapar?”
Jodha –“Iya...”
Jalal –“Ada sandwich kalau kau mau...”
Jodha –“Terima kasih...”
Jalal –“Kalau sudah selesai makan, kutunggu di ruang depan. “
Jalal meninggalkan Jodha sendirian di meja makan untuk menikmati
sandwichnya. Jodha tidak bisa merasakan apakah sandwichnya enak atau tidak,
yang penting perutnya terisi. Setelah menghabiskannya, Jodha menyusul Jalal ke
ruang depan.
Jalal duduk di ujung sofa panjang, dan Jodha menempatkan tubuhnya di
ujung satunya. Jodha duduk dengan kedua kaki terlipat di depan dadanya.
Mempersiapkan dirinya....
Jodha –“Kenapa kau sudah bangun?”
Jalal –“Aku tidak bisa tidur.”
Jodha –“Apa kau sudah siap..?”
Jalal –“Hmm..”
Jodha menelan ludah dengan susah-payah, mencoba membersihkan tenggorokannya,
memastikan dia mampu bicara di depan Jalal...
Jodha –“Saat itu usiaku 17 tahun, aku masih di tahun keduaku di Second
Stage. Sekolahku mengadakan acara seni untuk charity dan aku salah satu
penampilnya. Malam itu, adalah latihan terakhir sebelum tampil. Aku berlatih
sampai malam. Biasanya ayah atau kakakku yang menjemputku, tapi malam itu
keduanya belum datang. Aku menelpon rumah dan ternyata mobil ayahku mogok dalam
perjalanan ke sekolahku.... Ayah menyuruhku untuk menunggu, dia akan meminjam
mobil.... Tapi aku tidak menunggu ayahku. Kuputuskan naik bis pulang...”
Jodha menarik napas panjang ...
Jodha –“Dari halte bis, aku masih harus berjalan kurang dari 1 mil untuk
sampai rumahku. Jalanannya kelihatan menakutkan karena memang sudah sangat malam...
Aku berjalan melewati beberapa rumah... Lalu deretan rumah berganti lahan
kosong dengan rumput tinggi... Aku mempercepat langkahku... Tiba-tiba ada suara
seseorang dari arah belakangku... Aku takut. Aku tidak berani menoleh. Aku
lari... Tapi aku masih bisa dengar mereka tertawa...”
Jodha mulai gemetar. Napasnya pendek-pendek. Dan Jalal melihat perubahan
pada raut wajah Jodha. Kembali wajah itu menampakkan ketakutan, seakan yang dia
ceritakan terulang kembali di depan matanya. Jalal mulai bisa meraba kemana
cerita ini akan berakhir. Jalal tidak tahan melihatnya.... Diraihnya satu tangan Jodha, digenggamnya erat
untuk menenangkannya....
Jodha –“Tiba-tiba tubuhku tersungkur ke tanah... Ada yang memegang
kakiku, ada yang memegang tanganku... dan satunya ada di atasku... Aku
berteriak, tapi bahkan aku sendiri tidak bisa mendengar suaraku... Aku... aku...
tubuhku rasanya mati rasa... aku ingin mati saat itu juga... Pria itu merobek
celanaku... dan rasanya sakit sekali....”
Tubuh Jodha bergetar hebat. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya.
Jodha menangis dengan keras. Tanpa meminta ijin pada Jodha, Jalal memeluknya.
Jalal membenamkan tubuh Jodha dalam dekapannya, membiarkannya menangis sampai
air matanya kering. Jalal membiarkan Jodha menumpahkan semua rasa sakit,
ketakutan dan mimpi buruknya....
Jalal –“Ssssshh... sssshhhh....”
Diusapnya punggung Jodha naik turun, sedikit demi sedikit bisa
menenangkannya. Entah sejak kapan, tangan Jodha sudah melingkari punggung
Jalal. Lengan itu melingkarinya dengan cukup kuat, seakan berpegangan pada
pelampung hidupnya....
Tangisan sudah berkurang menjadi isakan... kemudian isakan sudah tidak
terdengar lagi, tersisa napas yang masih sesenggukan di dada Jalal... Airmatanya
sudah membasahi baju Jalal, tapi Jalal tetap memeluknya.... hingga Jodha mulai
mengendurkan pelukannya dan mengangkat wajahnya yang basah dari dekapan
Jalal...
Jodha –“Untunglah Kak Nitesh datang menyelamatkanku... Aku tidak tahu
dia datang darimana, tiba-tiba saja dia sudah menghajar ketiga orang itu...”
Jalal –“Itu awal mula kalian bertemu?”
Jodha –“Benar..”
Jalal –“Itulah kenapa kau bilang dia penyelamat hidupmu...”
Jodha –“Selama 3 bulan aku terpuruk, mengunci diri dalam kamar... dan
hampir berhenti sekolah... Saat paling rendah dalam hidupku, saat itulah aku
berusaha bunuh diri..........
Jalal –“Apa yang membuatmu bangkit lagi?”
Jodha –“Orang tuaku dan Kak Nitesh tidak menyerah mengeluarkanku dari
kegelapan... Kak Nitesh berkali-kali meyakinkanku bahwa kehidupanku sangat
berharga dan aku bisa lebih berguna bagi orang lain.... Dia mengenalkanku pada
Sisterhood Shelter... Dari sanalah aku sadar nasibku masih jauh lebih baik
daripada korban-korban yang lain. Mereka ada yang dibuang dari keluarganya,
dari masyarakat, dari kampungnya..... Sedangkan aku.. keluargaku tidak pernah
memperlakukanku dengan jijik, mereka terus menyayangiku dan mendukungku...... Itulah
kenapa aku ingin wanita lain yang bernasib sama sepertiku bisa mendapatkan
kasih sayang dan dukungan. Aku ingin mereka juga mendapat kesempatan yang sama
untuk maju. Kami korban bukan penjahat, kami tidak layak dipermalukan apalagi
diperlakukan seperti penyakit masyarakat....”
Jalal –“Aku tahu kau gadis hebat... kau mampu bertahan..”
Jodha –“Aku menjalani terapi selama satu tahun...Lima bulan pertama
terapi aku sudah cukup berani masuk sekolah, tapi orang tuaku memindahkan
sekolahku untuk menghindarkanku dari pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan
selama aku tidak sekolah.Tidak ada yang tahu kejadian itu kecuali keluargaku
dan Kak Nitesh. Orang tuaku sengaja menutupi semuanya dan tidak melaporkannya
ke polisi semata demi ketenanganku....”
Jalal –“Sampai sekarang apa kau masih sering mengingat kejadian itu?”
Jodha –“Awalnya tiap malam aku selalu memimpikannya.... Lama-kelamaan
semakin berkurang... Tapi sampai sekarang kadang aku masih mimpi buruk... Ada
trauma yang masih kubawa sampai saat ini.... aku takut keluar malam... aku juga
masih tidak bisa kalau harus memakai shalwar...”
Jalal –“Apa saat itu kau..”
Jodha –“Ya, malam itu adalah malam terakhir aku memakai shalwar.... Tidak
masalah kalau aku melihat orang lain memakainya, tapi tidak untuk kupakai
sendiri....”
Jalal –“Apa kau juga takut pada semua laki-laki?”
Jodha –“Tidak, aku tidak takut, buktinya aku tidak takut pada Kak
Nitesh... Hanya saja setiap ada pria yang mulai menyukaiku dan mendekatiku, aku
pilih menghindar....”
Jalal –“Tapi kau tidak takut padaku, kau juga mau menikah denganku.... Aku
juga pernah menciummu.... Jangan-jangan kau tidak menganggapku sebagai pria?”
Jodha –“Benar, aku juga tidak menyangka semua itu. Kau kasus yang
istimewa sejak awal... Pernikahan kita terjadi berdasarkan kepentingan yang
saling menguntungkan, bukan?! Jadi denganmu itu....... berbeda... aku tidak
bisa menggambarkannya....”
Jalal –“Apa kau bisa mengenali orang-orang yang melecehkanmu?”
Jodha –“Bisa, tapi aku tidak berniat mencari mereka apalagi
melaporkannya. Aku tahu alasan orang tuaku hanya untuk melindungiku dari
serangan-serangan opini masyarakat dan media. Apa kau tahu? Wanita korban
pelecehan di negara ini sedikit yang mendapat keadilan. Justru dipermalukan
mulai dari saat membuat laporan di kantor polisi, saat tahap penyelidikan
maupun saat di pengadilan. Tidak ada yang melindungi hak kami sebagai saksi.
Kronologi pelecehan yang kami terima, justru diumbar dimana-mana..”
Jalal –“Jadi mereka tidak pernah dihukum?”
Jodha –“Tidak, tapi aku yakin mereka akan mendapat hukuman dari Tuhan..”
Jalal –“Lalu semalam kau tidak sengaja bertemu dengan salah satunya?”
Jodha terdiam sejenak. Mengingat kembali yang terjadi semalam. Awal mula
dia bertemu salah satu orang jahat yang melecahkannya...
Jodha –“Saat aku keluar dari kamar kecil, pria itu lewat di depanku... Aku
mengikutinya hingga ke tempat parkir.... Aku mencegatnya dan menuntut jawaban
yang tak pernah terjawab sejak kejadian itu..”
Jalal –“Pertanyaan apa?”
Jodha –“Kenapa mereka melakukannya padaku?... Apa salahku pada
mereka?...Apa mungkin mereka punya dendam padaku?”
Jalal –“Apa dia menjawab?”
Jodha –“Dia tidak bisa menjawabnya... Tapi bahkan mereka juga tidak
pernah mengenalku...! Berarti benar kata Kak Nitesh, aku hanyalah gadis yang
tidak beruntung malam itu... aku lewat di tempat yang salah, pada waktu yang
salah dan bertemu dengan orang yang salah...”
Jalal –“Sejujurnya, semalam aku ingin membunuh pria itu... Kupikir,
beraninya dia membuatmu menangis, membuat istriku histeris....T api aku tidak
melakukannya... Aku ingat, kalau aku membunuhnya, aku akan masuk penjara. Kalau
aku masuk penjara, siapa yang akan menjagamu..?”
Jodha tersenyum mendengar pengakuan manis Jalal... Tapi senyumnya
kembali memudar karena dia belum dijatuhi vonis oleh Jalal..
Jodha –“Jadi, bagaimana keputusanmu?
Jalal –“Keputusanku?”
Jodha –“Apa kau akan menceraikanku?”
Jalal –“Kenapa aku harus menceraikanmu?”
Jodha –“Karena sekarang kau sudah tahu masa laluku. Aku tidak memiliki
kehormatan sebagai seorang gadis..”
Jalal –“Aku juga sering berganti-ganti pasangan sebelumnya, apa kau juga
bermasalah dengan itu..?”
Jodha –“Seorang gadis yang sudah tidak suci saat pernikahannya adalah
aib bagi kedua keluarga. Sedangkan seorang pria dia diijinkan berganti-ganti
pasangan meski belum menikah.. Itu stigma masyarakat secara umum..”
Jalal –“Jodha, aku tidak mempermasalahkan pelecehan yang pernah kau
terima. Aku menyesal saat itu kita belum bertemu jadi aku tidak bisa
melindungimu. Tapi tidakkah kau sadar, pengalaman burukmu itu telah membuatmu
menjadi gadis yang sangat kuat? Yang berani menghadapi apapun..Yang punya
kepedulian yang sangat tinggi pada orang lain.”
Jodha –“Jadi...?”
Jalal –“Aku ingin bertanya dulu satu hal. Apa jantungmu berdebar
untukku..?”
Jodha –“Apa?! Siapa yang memberitahumu...?!”
Jalal –“Jadi benar..?”
Jodha gelagapan, pertanyaannya justru adalah jawabannya ... karena
memang benar, jantungnya selalu berdebar setiap ada di dekat Jalal...
Jodha –“Apa hubungannya dengan semua ini?”
Jalal mendekatkan wajahnya pada wajah Jodha, dan berbisik di
telinganya..
Jalal –“Kalau jantungmu berdebar untukku... berarti kau mencintaiku...”
Jodha tersipu dan menundukkan wajahnya...
Jalal –“Kalau istriku mencintaiku, mana mungkin aku lepaskan..”
Jalal meraih kembali satu tangan Jodha, diciumnya telapak tangan itu,
lalu ditempelkannya di dadanya...
Jalal –“Kau dengar? Jantungku juga berdebar untukmu...”
Mereka sama-sama tersenyum.... Jalal menggeser duduknya hingga menempel
di sebelah Jodha... sebelah tangannya dilingkarkan di belakang pundak Jodha... dan
kepala mereka saling berdekatan... Mereka tidak butuh kata-kata lagi. Justru
terlalu banyak bicara akan merusak momen ini. Mereka ingin menikmati kemesraan
kecil ini lebih lama.... dan lama... dalam keheningan.
Perasaan berbunga-bunga adalah perasaan yang paling menyenangkan yang
dirasakan oleh orang yang sedang kasmaran. Bahagia saat melihatnya tersenyum,
mencuri-curi pandang, dan rasa ingin selalu bersama. Seperti itulah yang
dirasakan Jodha dan Jalal.
Siang hari itu, Jalal mengajak Jodha jalan-jalan ke sebuah pusat
perbelanjaan. Kegiatan yang tidak pernah dilakukan Jalal sebelumnya, tapi untuk
Jodha apapun bisa dilakukannya. Ditariknya Jodha masuk ke sebuah toko alas
kaki. Jalal meminta Jodha memilih salah satunya.
Jodha –“Untuk apa? Aku tidak butuh.. ”
Jalal –“Pilih saja atau aku yang memilihkannya untukmu.. Seperti ini,
cocok untukmu.”
Jalal memilih sebuah high heels berwarna merah dengan aksen bunga di
ujungnya. Jalal mendudukkan Jodha dan memasangkan high heels itu di kakinya.
Jalal –“Kau suka?...Ini hadiahku untuk ulang tahunmu.”
Jodha –“Tapi ini bukan hari ulang tahunku...”
Jalal –“Aku merayakan ulang tahunmu yang tahun lalu... Tahun lalu, kita
belum bertemu, jadi aku akan merayakannya hari ini. Dan aku juga akan merayakan
setiap tahun dari usiamu..”
Jodha –“Kenapa?”
Jalal –“Karena setiap tahun hidupmu adalah hidupku...”
Setetes air mata Jodha jatuh tanpa bisa ditahannya. Jodha terharu pada
besarnya cinta Jalal untuknya.
Keluar dari toko sepatu, mereka melanjutkan acara jalan-jalannya.
Berjalan berdampingan, tersenyum tanpa bicara, hanya saling melirik dan mencuri
pandang. Tiba-tiba Jalal berhenti membuat Jodha juga menghentikan langkahnya.
Jodha –“Ada apa?”
Jalal –“Mana tanganmu?”
Jodha –“Untuk apa?”
Jalal –“Kau lupa menggenggam tanganku..”
Jalal menggenggam satu tangan Jodha dan melanjutkan langkahnya. Jodha
hanya tersipu melihat tingkah jalan. Sekali lagi Jalal menghentikan langkahnya.
Jalal –“Masih kurang dekat..”
Jalal melingkarkan lengannya ke balik punggung Jodha dan menarik tubuh
Jodha menempel padanya. Jodha terkejut tapi dia diam saja.
Jodha –“Ini kurang dekat..”
Jodha balas menggoda Jalal dengan melingkarkan lengannya ke pinggang
Jalal, membuat senyum Jalal semakin lebar. Kemudian mereka meneruskan
perjalanannya lagi.
Lagi-lagi Jalal berhenti...
Jodha –“Apa lagi?”
Jalal –“Sebentar..”
Jalal melepas jasnya dan menutupkannya ke kepala Jodha, hingga wajah
Jodha tersembunyi di balik jasnya.
Jodha –“Tuan Jalal, apa yang kau lakukan? Aku tidak bisa melihat
jalan..”
Jalal –“Tidak apa, aku akan menuntunmu. Aku hanya tidak rela kalau
pria-pria disini memandangi istriku... Wajahmu itu hanya aku yang boleh
memelototinya..”
Jodha –“Kau ini kekanakan sekali...”
Jalal tidak membalasnya, dia langsung menuntun Jodha yang wajahnya
tertutup masuk ke dalam mobilnya. Kadang hal-hal yang terkesan kekanakan bisa
mempermanis hubungan.
Kedua pasangan itu sedang berbaring berhadapan di tempat tidur Jodha.
Mereka masih mengenakan baju yang mereka pakai tadi siang saat berjalan-jalan.
Bahkan mereka tetap memakai alas kaki di atas tempat tidur. Tapi bukan alas
kaki sembarangan. Jalal memakai sepatu hadiah dari Jodha, begitu juga Jodha
memakai high heels hadiah dari Jalal tadi siang. Mereka menggerak-gerakkan kaki
dan saling menyentuhkannya. Diselingi tawa kecil dari mulut mereka..
Jalal –“Jodha... malam ini kau tidur di kamarku ya?”
Jodha –“Tuan Jalal... aku masih butuh waktu..”
Jalal –“Kapan kau akan berhenti memanggilku Tuan? Kau bisa memanggil
Jalal saja..”
Jodha –“Aku tidak bisa....”
Jalal –“Cobalah..”
Jodha –“Tidak mau..”
Jalal –“Kau tahu Jodha, kau gadis paling cantik yang pernah kukenal.. Saat
pertama aku melihatmu, aku terpesona.. Tapi saat itu kau tidak menyadari
kehadiranku.”
Jodha –“Benarkah? Tapi kau bukan pria paling tampan yang pernah
menyukaiku...”
Jalal –“Tapi kau sudah jadi istriku, pria lain tak akan bisa
memilikimu.... Bagaimana? Aku hanya ingin tidur bersamamu, saat bangun aku bisa
langsung melihatmu, saat akan tidur, wajahmu yang terakhir kulihat.... Aku
tidak akan menyentuhmu sampai kau ijinkan... Ya?”
Jodha –“Baiklah...”
Akhirnya Jodha luluh pada permohonan Jalal. Besarnya pengertian Jalal
pada dirinya membuat hatinya tenang. Dia percaya sepenuhnya pada Jalal, karena
itulah dia akan mulai memberanikan diri menjadi istri Jalal seutuhnya.. Malam
ini adalah langkah pertamanya.......
Jodha membuka matanya saat wajahnya merasakan hangatnya matahari pagi.
Matanya langsung bertatapan dengan mata Jalal. Senyuman Jalal menggambarkan
kebahagiaannya bisa bangun di sebelah Jodha. Sembunyi-sembunyi Jodha melirik ke
bawah tubuhnya, baju tidurnya masih lengkap. Begitupun Jalal masih mengenakan
piyama tidurnya...
Jalal –“Tidurmu nyenyak?”
Jodha –“Ya...”
Jalal –“Apa kau masih takut?”
Jodha –“Sedikit...”
Jalal –“Nanti malam kita ulangi lagi ya...”
Jodha –“Ya... dan kau kuijinkan naik ke tahap kedua...”
**** THE END *****
Terima kasih banyak sudah mengapresiasi karya saya.
Maaf jika ada yang tersinggung, sungguh semua itu tidak disengaja.