Dokter sudah memeriksa kondisi Jodha dan memberikan resep. Sekarang
Jodha sudah beristirahat. Dokter mendiagnosa Jodha terserang hypothermia ringan,
dengan istirahat yang cukup akan bisa langsung memulihkan kondisinya. Bhaksi
menawarkan diri menjaga Jodha, karena seharusnya Jalal berangkat kerja. Tapi
Jalal bersikeras, dia sendiri yang akan menjaga Jodha. Bhaksi sangat mengerti
kekhawatiran Jalal, dia pun menuruti permintaan Jalal tanpa bantahan.
Jalal duduk di kursi yang ditempatkannya di samping tempat tidur Jodha.
Dipandanginya wajah Jodha yang tertidur. Napasnya sudah kembali normal. Digenggamnya
satu tangan Jodha seakan ingin menyalurkan kehangatan pada tubuh Jodha yang
dingin. Untunglah Jodha masih tertidur, jadi dia bisa bebas menggenggam
tangannya seperti itu, bisa merasakan kelembutan kulitnya, juga bisa mencium
tangannya. Kalau Jodha bangun, dia pasti tidak akan suka. Tapi Jalal tahu
batasan dirinya. Dia tidak akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan hal
yang lebih dari itu. Dia menghormati Jodha. Dan karena dia sudah mengungkapkan
cintanya, maka dia tidak akan melakukan satu perbuatan yang akan menyakiti
istrinya ini. Karena dia sangat berharga.
Jalal menyibak sejumput rambut di dahi Jodha, dia tidak bisa
membayangkan gadis sebaik dan secantik Jodha pernah mengalami masalah hingga
ingin bunuh diri. –‘Masalah seberat
apapun yang kau hadapi, jangan pernah ingin bunuh diri. Kalau kau mati, kita
tidak akan bertemu seperti sekarang. Kau sudah mengenalkan rasa cinta padaku,
berarti kau yang bertanggungjawab menjaganya.’— Dengan ketelatenan, Jalal
mengganti kompres hangat di dahi Jodha. Dia akan disini sampai Jodha bangun.
Sambil menjaga Jodha, Jalal punya kesempatan memperhatikan isi kamar
Jodha. Banyak sentuhan feminin pada kamar ini dengan warna pastel bertebaran
disana-sini. Tirai, penutup tempat tidur, taplak, bahkan pembungkus laptopnya
juga berwarna pastel. Kamarnya rapi dan bersih, mencerminkan penghuninya. Ada
satu foto berfigura di atas meja, foto Jodha dan keluarganya. Jalal tidak
pernah mengira kamar ini bisa disulap menjadi secantik ini. Akan tetapi ada
penyesalan di hati Jalal. Dia menyesal menempatkan Jodha di kamar sekecil ini. Jalal
mengakui sikapnya memang kejam pada Jodha saat hari-hari pertama mereka menikah,
bahkan Jalal sampai hati menempatkan Jodha di kamar yang sempit ini. Harusnya
Jodha menempati kamar yang lebih besar seperti milik Bhaksi atau bahkan Jalal
bisa berbagi tempat tidur dengannya. Tapi itu tidak mungkin, hubungan mereka
belum sejauh itu. Namun Jalal berharap hari saat Jodha bersedia berbagi tempat
tidur dengannya akan segera tiba. Besok, setelah Bhaksi kembali ke Inggris
untuk menyelesaikan studinya, dia akan memindahkan Jodha ke kamar Bhaksi. Untuk
Bhaksi, Jalal akan memikirkannya lagi nanti.
Hari menjelang sore saat Jodha mulai membuka matanya. Orang pertama yang
dilihatnya adalah Jalal. Jodha mengerjap-ngerjapkan matanya mencoba mengingat-ingat
apa yang terjadi semalam dan kenapa Jalal bisa ada di kamarnya. Sejauh yang
bisa diingatnya, dia pulang dalam keadaan basah kuyup lalu mandi air hangat,
setelah itu dia langsung berbaring. Apa lagi yang terjadi setelahnya, tidak
bisa dia ingat.
Jodha –“Tuan Jalal, sedang apa kau disini?”
Jalal –“Aku sedang merawatmu. Apa kau sudah merasa lebih baik?”
Jodha –“Memangnya aku kenapa?”
Jalal –“Kau terserang hypothermia karena semalam kau basah kuyup.”
Jodha –“Sekarang jam berapa?”
Jalal –“Jam 4 sore. Kau tunggu sebentar ya, aku akan mengambilkan
makanan untukmu...”
Saat Jalal kembali, dia membawa semangkuk sup krim hangat untuk Jodha.
Jalal –“Kau bisa makan sendiri atau harus kusuapi?”
Jodha –“Aku bisa makan sendiri.... Apa kau menjagaku seharian ini?”
Jalal –“Iya, aku....”
Jodha –“Terima kasih. Maaf kalau aku membuatmu khawatir..”
Jalal –“Jangan membuatku khawatir lagi, ya... Berjanjilah kau tidak akan
membahayakan dirimu lagi.”
Jodha –“Akan kuusahakan...Bhaksi kemana?”
Jalal –“Dia keluar bersama Shahabuddin, besok dia akan kembali ke
Inggris..”
Jodha –“Benarkah?! Aku pasti akan merindukannya...”
Jalal –“Jadi mulai besok kau akan menempati kamar Bhaksi..”
Jodha –“Maaf, aku tidak mau. Aku lebih suka kamar ini...”
Jalal –“Tidak boleh. Pilihanmu pindah ke kamar Bhaksi atau ke kamarku!”
Jodha tidak menjawab. Belum-belum
Jalal sudah memerintahkan hal-hal yang aneh.
Jodha –“Tuan Jalal, apa kemarin aku tidak salah dengar saat kau
mengatakan mencintaiku?”
Jalal –“Aku memang mengatakannya. Kalau kau tidak percaya aku akan
mengatakannya lagi. Aku mencintaimu, Jodha..”
Jodha –“Bagaimana dengan perjanjiannya?!”
Jalal –“Persetan dengan perjanjian!!. Di hadapanmu sekarang, aku menarik
semua kata-kataku. Aku minta maaf karena tidak bisa memegang janjiku, tapi aku
tidak menyesal...Aku batalkan semua kesepakatan tapi aku tetap akan
mempertahankan pernikahan kita. Aku juga menyesal dan minta maaf atas semua
perlakuan burukku padamu, tapi mulai sekarang aku akan bersikap baik. Aku tidak
tahu bagaimana cara mencintai yang benar, kalau kau mau mengajariku....”
Jodha –“Tuan Jalal, aku tidak bisa...”
Jalal –“Aku tahu, aku tidak akan memaksamu. Aku akan menunggu. Tapi
kuberitahu satu hal, mulai sekarang kau harus terbiasa menerima perhatianku.
Mungkin nanti, setelah kau terbiasa, kau bisa mencoba untuk...
Jodha –“Aku tidak menjanjikan apa-apa...”
Jalal –“Tidak apa-apa...Sekarang makanlah, lalu minum obatmu!”
Selama Jodha makan, Jalal tetap setia menemaninya. Bahkan Jalal ingin
terus menemaninya hingga malam. Jodha keberatan, karena dia tahu Jalal juga
pasti lelah setelah seharian merawatnya. Setelah didesak, dengan terpaksa Jalal
menuruti permintaan Jodha untuk beristirahat. Dasar Jalal, bahkan sebelum pergi,
dia masih memberikan serentetan peringatan untuk Jodha. Bahwa Jodha tidak boleh
turun dari tempat tidur kecuali ke kamar kecil, pintu kamar tetap terbuka agar
Jodha bisa berteriak memanggil Jalal atau Bibi Meeta jika butuh sesuatu, dan
yang terakhir Jodha harus beristirahat. Jodha mengiyakan semua perintah Jalal,
semata agar Jalal segera pergi dari kamarnya.
Keesokan harinya, Bhaksi berpamitan pada Jodha. Seandainya Jalal
mengijinkan, Jodha ingin ikut mengantar Bhaksi ke bandara, tapi bahkan sebelum
Jodha mengutarakan keinginannya, Bhaksi dan Jalal kompak melarangnya lebih dulu.
Akhirnya Jodha menunggu di rumah karena Jalal juga melarangnya pergi kemanapun.
Saat Jalal kembali, dia mulai memindahkan barang-barang Jodha ke kamar Bhaksi,
dibantu Bibi Meeta. Jodha hanya bisa diam melihatnya.
Setelah dua hari penuh tanpa beraktifitas, pada hari ketiga Jodha
bertekad akan melakukan semua rutinitasnya lagi. Jalal menemaninya jogging
pagi, lalu sarapan pagi berdua. Usai sarapan, Jalal mengantar Jodha berangkat
ke tempat kerjanya.
Pada siang harinya, Jalal menelepon Jodha..
Jodha –“Iya Tuan Jalal.”
Jalal –“(suara di telepon) Aku pesan cupcake 20 buah.”
Jodha –“Baik, kapan kau akan mengambilnya?”
Jalal –“Aku tidak akan mengambilnya. Aku mau kau mengantarnya ke
kantorku.”
Jodha –“Harga kuenya tidak termasuk ongkos antar.”
Jalal –“Akan kubayar lebih!. Satu jam lagi sopir akan menjemputmu.”
Jodha –“Aku belum bilang iya..”
Jalal –“Kita makan siang bersama.”
Jodha –“Tuan Jalal!”
Tut..tut..tut..teleponnya sudah ditutup. Jodha menggerutu pada ponsel di
tangannya –“Dasar tidak sopan!..Tapi caranya lucu untuk mengajak makan siang...”
Jodha terkikik sendiri mengingat percakapan mereka tadi.
Tepat satu jam kemudian, sopir yang dikirim Jalal sudah menunggu di
depan cafe. Jodha juga sudah siap, jadi dia langsung berangkat. Dengan
menenteng sebuah kotak besar berisi kue pesanan Jalal, Jodha berjalan masuk ke
kantor Jalal. Saat tiba di depan ruangan Jalal, Jodha memberitahu asistennya
bahwa dia sudah ditunggu Jalal. Asisten Jalal sepertinya agak ragu membiarkan
Jodha masuk ke ruangan Jalal, tapi Jodha luput memperhatikan gelagat itu. Benar
saja, saat dia membuka pintu.....
DEG... ada pemandangan yang cukup menyakitkan hatinya. Jodha berharap
tidak pernah membuka pintu ini. Jodha berharap tidak pernah melihat adegan di
depannya ini. Jodha berharap bisa menghilang saat itu juga. Jodha berharap
tidak pernah punya perasaan apapun pada Jalal agar apa yang dilihatnya tidak
berpengaruh apapun padanya. Tapi sudah terlambat..... Jodha sudah melihatnya.
Jodha melihat Jalal berpelukan dengan seorang wanita cantik di dalam ruangannya.
Di dalam ruangan tertutup, apapun bisa mereka lakukan tanpa ada yang melihat.
Tapi kebetulan yang sungguh klise, kenapa harus Jodha yang melihat itu semua??
Jodha mematung di ambang pintu. Sebelah tangannya masih menempel di
pegangan pintu. Untunglah tangan satunya masih bisa memegang kotak kuenya dan
tidak sampai terjatuh. Tanpa sadar Jodha menahan nafasnya. Matanya tak berkedip.
Mulutnya hanya mengeluarkan suara “Ah...”
Tapi Jalal sudah melihat Jodha. Dia sudah melihat pandangan terkejut
dari Jodha. Tapi dibalik itu, dia bisa melihat kesedihan Jodha. Ini salahnya,
seharusnya Jalal tidak membiarkan gadis ini memeluknya. Jalal berusaha
melepaskan pelukan gadis itu, tapi apa yang sudah terjadi tidak akan bisa
dihapus dari ingatan Jodha, istrinya.
Jodha –“Maaf, sepertinya waktuku yang salah..”
Akhirnya Jodha bisa bersuara. Setelah mengatakan itu, Jodha menutup
kembali pintunya. Meletakan kotak kue di meja asisten Jalal. Dan pergi dari
tempat itu.
Jalal –“Tunggu Jodha ....!”
Terlambat, Jodha sudah menutup pintu. Jalal bergegas mengejar Jodha. Dia
mencarinya ke lantai dasar. Jalal bertanya pada penjaga pintu apakah istrinya
sudah berjalan keluar, tapi jawabannya sama sekali tidak membantu. Jalal terus
berlari ke tempat parkir, tapi dilihatnya mobil yang menjemput Jodha tadi masih
terparkir di halaman kantornya. Berputar-putar Jalal melihat ke segala arah,
berharap melihat sekelebatan saja keberadaan Jodha. Tapi tidak ada. Jodha tidak
terlihat dimanapun. Frustasi, Jalal mengacak-acak rambutnya sendiri. –‘Tidak mungkin Jodha bisa menghilang
secepat itu!..... Apa mungkin dia masih ada di dalam?’—
Jalal masuk ke dalam gedung kantornya lagi. Dia bertanya pada
pegawai-pegawai yang berpapasan dengannya, tapi tidak ada yang melihat Jodha. Tiba-tiba
teringat, Jalal mencoba menghubungi ponsel Jodha. Tidak tersambung. Putus asa,
Jalal kembali ke ruangannya di lantai tiga. Saat akan membuka pintu ruangannya,
ujung matanya menangkap sesuatu. Pintu darurat menuju atap gedung sedikit
terbuka. Dan seperti ada seseorang yang membisikinya, mengatakan Jodha ada di
balik pintu itu..
Jalal berbalik dan berjalan dengan yakin ke arah pintu darurat itu. Meski
gedung ini miliknya, tapi Jalal hampir tidak pernah berjalan melewati pintu
ini. Di balik pintu itu ada tangga darurat menuju atap gedung. Jalal menyusurinya
hingga tiba disana. –‘Akhirnya
kutemukan...’—
Meski hanya melihat punggungnya, Jalal yakin kalau itu Jodha. Dia sedang
duduk di atas dudukan beton. Perlahan tanpa menimbulkan suara, Jalal mendekati
Jodha. Entah bagaimana, Jodha bisa merasakan kehadiran Jalal karena dia langsung
menoleh saat Jalal baru berjalan ke arahnya.
Jalal –“Jodha, kumohon jangan lari lagi... Aku akan menjelaskan
semuanya.”
Jodha –“Aku tidak bisa lari kemana-mana... Kau juga tidak perlu
menjelaskan apa-apa.. Itu urusanmu, aku tidak akan ikut campur...”
Jalal –“Dengarkan saja! Gadis itu masa laluku. Ya, dia datang untuk
merayuku, tapi aku menolaknya. Kukatakan padanya aku sudah menikah dan aku
mencintai istriku. Sepertinya dia tidak terima dengan penolakanku. Tiba-tiba
saja dia memelukku, dan sungguh..aku berusaha melepaskannya saat kau datang..”
Jodha –“Aku tidak peduli apa yang kalian lakukan!”
Jalal –“Sungguh kau tidak peduli?!... Sedikitpun tidak peduli?!”
Jodha membuang muka. Dia menoleh ke arah lain agar Jalal tidak melihat
airmatanya yang hampir keluar.
Jalal –“Apa kau menangis?”
Jodha –“Aku ingin menangis...tapi aku tidak diperbolehkan menangis..”
Jalal –“Siapa yang melarangmu menangis..?!”
Jodha –“Janji pada diriku sendiri....Juga
kesepakatan kita..”
Jalal –“Bukankah sudah kukatakan padamu, aku
batalkan semua kesepakatan awal kita....Aku batalkan semuanya! Tapi tidak
pernikahan kita..”
Jodha –“Tolong jangan mempersulitku lagi....”
Jalal –“Kau terlalu keras pada dirimu
sendiri! Tidak bisakah kau jujur kalau kau punya perasaan padaku?!”
Jodha –“Tuan Jalal, aku melakukan semuanya
ini untuk melindungi perasaanmu!... Aku peduli padamu karena kita berteman. Aku
tidak ingin kau sakit hati karena diriku, karena itu akan membuat hatiku lebih
sakit..”
Jalal –“Apa karena masa lalumu?!”
Jodha tidak menjawab....
Jalal –“Jodha, apapun masa lalumu itu, aku
berjanji tidak akan meninggalkanmu..Kau tidak perlu melindungi perasaanku. Saat
ini aku hanya butuh kejujuranmu...Apa kau cemburu?”
Lama Jodha tidak menjawab. Dia berdiri tapi
memunggungi Jalal...
Jodha –“Aku marah!...Aku tidak suka kau
memeluk gadis tadi ataupun gadis-gadis lain yang aku tidak tahu...!”
Jalal langsung membalik tubuh Jodha dan
memeluknya. Akhirnya jawaban yang sudah ditunggu Jalal. Jawaban Jodha yang
memastikan perasaannya juga sama dengan perasaan Jalal. Meski Jodha tidak
secara langsung mengatakan cemburu, tapi jawaban itu sudah mewakili semuanya.
Jalal –“Kau boleh menangis kalau kau
marah...kau boleh sakit hati padaku, itu artinya kau punya perasaan untukku...”
Dibenamkannya kepala Jodha ke pundaknya.
Dengan gerakan lembut, Jalal membelai rambut Jodha. Memberikan rasa tenang padanya.
Selama beberapa lama, mereka tetap dalam posisi itu. Menikmati setiap detiknya.
Jodha –“Tuan Jalal, aku tidak menangis...Kau
bisa melepaskan aku.”
Jalal –“Kau boleh menangis sepuasnya, tidak
ada yang melarangmu lagi.”
Jodha –“Aku tidak menangis...Kau hanya
cari-cari alasan untuk memelukku..”
Jalal melepaskan pelukannya mendengar gurauan
Jodha...
Jalal –“Aahh..kau tahu rupanya...Tidak
bisakah kau menangis agar aku bisa memelukmu lagi?”
Jodha –“Tidak mau!”
Jalal –“Dengar Jodha. Sebelumnya aku tidak
suka menunjukkan perasaanku, apalagi mengatakan cinta. Meski aku berganti-ganti
pasangan, tapi tidak ada yang berhasil membuatku mengatakan cinta. Hanya
denganmu, aku jadi suka sekali mengatakan aku mencintaimu...Kumohon kau
bersabar menghadapiku, aku pasti akan sering melakukan kesalahan karena semua
perasaan ini baru untukku, mungkin gadis dari masa laluku akan muncul lagi,
bertahanlah...Karena kau kekuatanku..”
Jodha terharu mendengarnya. Tanpa
disadarinya, satu tetes air mata jatuh bergulir di pipinya. Dan Jalal
melihatnya...
Jalal –“Kau menangis..berarti aku boleh
memelukmu...”
Jalal menggoda Jodha lagi...
Jodha –“Tidak! Aku mau pulang!”
Jalal –“Kita belum makan siang..”
Jodha –“Makanlah sendiri!!. Gadis tadi pasti
menunggumu!”
Jalal –“Tidak, aku sudah mengusirnya...Ayo
kita makan siang..”
Jalal menggandeng tangan Jodha dan menariknya
masuk ke dalam gedung lagi. Acara makan siang yang berawal dengan buruk, namun
kemudian berakhir dengan baik....
Jodha dan Jalal melewati satu tahap lagi
dalam hubungan mereka. Dengan mulai terbuka pada perasaan masing-masing,
membuat segalanya terasa lebih indah. Terdengar klise, tapi itulah yang terjadi
pada mereka berdua. Mereka tidak tergesa-gesa untuk menapaki setiap tahapnya.
Mereka hanya berusaha menikmati setiap saatnya. Karena setiap saat, jika
dilalui berdua, akan terasa lebih bermakna.
Pada salah satu malam, Jalal yang baru
selesai membersihkan diri, menghampiri kamar Jodha. Di ambang pintu kamarnya,
Jalal memperhatikan Jodha sedang mengobrol dengan seseorang via skype,
sepertinya seorang pria.—‘Apa kakaknya?!,
Sepertinya bukan!.’— tanya Jalal dalam hatinya, mencoba menebak siapa lawan
bicara Jodha. Karena Jodha terlihat
sangat ceria dan terhibur oleh lawan bicaranya. Membuat Jalal cemburu karena
ada pria lain yang lebih dekat dengan Jodha lebih dari dirinya...
Jalal –“Kau bicara dengan siapa?”
Jodha –“Dengan Kak Nitesh. Dia akan datang ke
India..Aku akan mengenalkanmu padanya..”
Jalal merasa pernah mendengar nama itu. Amrita
pernah menyebut nama Nitesh. Dia bilang pria itu adalah yang paling dekat
dengan Jodha dan sudah dianggap kakaknya.
Jalal –“Aku tidak sabar bertemu dengannya..”
*******