re">
Tanpa berkata apa-apa lagi Bhaksi sudah melabrakkan tubuhnya pada Jodha
dan memeluknya. Tangisnya pecah. Semua kemarahan dan kebenciannya ikut luruh
dalam airmata yang ditumpahkannya di pundak Jodha. Jalal dan Jodha terdiam
cukup lama, mereka tidak ingin merusak momen ini, mereka mengerti jika Bhaksi
butuh pelepasan ini. Jodha balas memeluk Bhaksi, dia menepuk-nepuk punggungnya
untuk menenangkannya. Sedangkan Jalal hanya memperhatikan adegan mengharukan di
depannya ini, sesekali dia tersenyum atau menundukkan kepalanya. Dalam hatinya
dia bersyukur Bhaksi mendapatkan kebenarannya sebelum semuanya terlambat. Tapi
bagi dirinya sekarang, alasan yang mendasari pernikahannya dengan Jodha juga
tidak bisa berlaku lagi. Kebenciannya pada Jodha juga ikut lenyap bersamaan
dengan terungkapnya kebenaran ini.
Terima kasih pada Jodha, karena memiliki sikap tenang yang luar biasa
dalam menghadapi sikap permusuhannya dan Bhaksi. Jalal tidak berani memikirkan
jika Jodha menyesali pernikahan ini dan menuntut perceraian. Tidak, Jalal tidak
akan membiarkan itu terjadi, tidak untuk saat ini. Dia masih punya kendali, dia
yang akan memutuskan kapan semuanya akan berakhir. Tapi untuk saat ini, yang
diinginkannya hanya menikmati saat-saat kebersamaannya bersama
Bhaksi...maksudnya juga Jodha. Meski hanya sebatas teman, tapi bahkan memiliki
teman seperti Jodha rasanya bena-benar..... lengkap.
Jodha –“Sudah..sudah...Bhaksi, sudahlah..semuanya baik-baik saja.”
Jodha mengendurkan pelukan Bhaksi, dia mengusap airmata di pipi Bhaksi
sambil menepuk-nepuk pundaknya, berharap apa yang dilakukannya bisa membantu
memberikan kekuatan pada Bhaksi.
Bhaksi –“Jodha, maafkan aku..ampunilah aku...”
Jodha –“Tidak apa-apa, aku tidak menyimpan dendam sedikitpun padamu.”
Bhaksi –“Sungguh?”
Jodha –“Benar, tadi sudah kukatakan. Aku justru merasa bersalah. Namun
meski berkali-kali aku mengatakan seandainya, tetap tidak akan mengembalikan
satu tahun yang kau habiskan dalam kesedihan. Aku hanya bisa berterima kasih
karena kau mau mendengarkan dan membuka hatimu kembali untuk Kak Shahab. Aku yakin
Kak Shahab pria yang baik, dan dia membutuhkan wanita sepertimu untuk membawa
keceriaan dalam hidupnya.”
Bhaksi –“Lalu bagaimana denganmu? Aku tidak akan pura-pura tidak tahu
kalau kakakku menikahimu bukan karena cinta. Kak Jalal membencimu karena aku.”
Jodha –“Tanyakanlah pada kakakmu, apakah dia masih membenciku?”
Jalal –“Kami sekarang berteman, anggaplah seperti itu. Banyak hal yang
terjadi hanya dalam beberapa minggu ini. Dan yang membuatku tidak ingin
membencinya lagi adalah karena dia sudah pernah menyelamatkan hidupku..”
Bhaksi –“Benarkah?! Ceritakan padaku, Kak...Ayo cerita sekarang!”
Jodha –“Besok saja ceritanya, ya. Kurasa kau belum istirahat sama sekali
sejak tadi siang. Sekarang sudah malam, istirahatlah..”
Bhaksi –“Jodha, malam ini kau tidur denganku, ya?! Mulai sekarang aku
akan menebus semua kebencianku dengan menjadi adik ipar yang terbaik untukmu.
Kak Jalal, sekarang aku adalah penjaganya Jodha, kalau kau macam-macam aku
tidak akan segan-segan menghajarmu, meski kau kakakku.”
Jalal –“Jodha tidak butuh perlindunganmu, justru kau yang harus belajar
pada Jodha bagaimana cara melindungi dirimu sendiri, benar kan Jodha?!”
Tanya Jalal pada Jodha sambil mengedipkan satu matanya, menggodanya.
Jodha tertawa kecil memperhatikan kakak
beradik itu saling mengolok, mengingatkannya pada kakak laki-lakinya sendiri.
Meski hubungannya dengan kakaknya tidak selepas hubungan Jalal dan Bhaksi, tapi
tetap saja banyak momen yang dirindukannya akan kehadiran seorang kakak.
Keinginan Bhaksi terpenuhi, malam ini dia tidur sekamar dengan Jodha,
tidurnya di kamar Bhaksi karena tempat tidur Jodha terlalu sempit untuk dua
orang. Baju tidurnya pun harus meminjam milik Jodha, karena semua barang
bawaannya masih tersimpan di hotel yang batal diinapinya. Sebenarnya Bhaksi
ingin bertukar banyak cerita dengan Jodha, tapi kantuk langsung menghinggapinya
begitu kepalanya rebah di bantal. Tenaganya terkuras bersama dengan luapan
emosi yang dirasakannya sejak siang. Bhaksi pun langsung tertidur pulas.
Jodha yang ada di sisi lain tempat tidur, justru sulit sekali untuk
memejamkan mata. Menyerah karena tidak bisa segera terlelap, dia pun duduk
sambil memeluk lututnya. Dirabanya bibir yang tadi dicium Jalal, rasanya masih
hangat, seperti ada yang masih tertinggal di bibirnya –‘Jodha, sadarlah! Jangan terlalu berharap! Jangan besar kepala!! Tadi
itu pasti hanya nafsu sesaat. Pria seperti Jalal tidak akan bisa serius dengan
perasaannya...Kembalilah ke dunia nyata sebelum kau kecewa. Jalal juga akan
kecewa. Seharusnya kau sudah kebal dengan trik rayuan apapun. Memang itu
kecupan pertamamu, tapi jangan terlena!!’—Sekali lagi Jodha menjilat
bibirnya. Dia berharap besok dia bisa bersikap biasa saja di depan Jalal.
Jangan sampai Jalal tahu kalau dia terpengaruh hanya karena sebuah kecupan ringan.
Semoga Jalal juga bersikap seperti itu, agar hubungan mereka tidak canggung.
Keesokan paginya, Jodha sudah selesai menyiapkan sarapan saat Bhaksi dan
Jalal menyusulnya ke meja makan.
Bhaksi –“Jodha , kenapa kau tidak membangunkan aku?”
Jodha –“Aku tidak tega, kau tidur sangat pulas.”
Bhaksi –“Kak Jalal, antarkan aku mengambil barang-barangku di hotel....
Kak Shahab nanti menungguku di Talkatora Gardens.”
Jalal –“Apa yang kalian lakukan di sana sebenarnya?”
Jodha –“Kalau kau ingin tahu, datanglah ke sana. Jam 10.”
Jalal –“Sungguh? Kau mengundangku?”
Kegembiraan tidak bisa ditutupi dari nada bicara Jalal saat Jodha mengijinkannya
datang. Seperti anak kecil yang diundang ke pesta ulang tahun temannya.
Bhaksi –“Jodha, kau juga bisa masak? Woaaah...beruntungnya kakakku. Tapi
sayang dia belum sadar akan nasib baiknya..”
Komentar Bhaksi blak-blakan saat Jodha menghidangkan sepiring menu
sarapan, Lamb over rice, ke depan Bhaksi dan Jalal. Diolok seperti itu, Jalal
tidak bisa menjawab.
Jodha –“Setelah sarapan, aku pergi dulu. Kalian kutunggu disana , ya?!”
Jalal dan Bhaksi mengiyakan. Setelah membersihkan dapur, Jodha berangkat
ke tempat kerjanya. Baru setelah itu dia bergabung dengan teman-temannya di
Talkatora Gardens.
Beberapa menit menjelang pukul 10, Talkatora Gardens sudah ramai dengan
pengunjung. Baik lokal maupun turis. Keindahan tempat itu memang tidak bisa
diacuhkan dan sudah terkenal di antara para pelancong. Bunga-bunga dan
rimbunnya pohon-pohon yang menaungi jalan setapak yang mengelilingi taman,
membuat suasananya terasa sejuk meski saat itu matahari bersinar agak terik. Awalnya tempat itu adalah tempat penyimpanan
persediaan air dan kolam pemandian. Sekarang Talkatora Gardens menjadi taman
untuk umum.
Sesuai rencana, Jalal datang bersama Bhaksi. Berkat petunjuk Shahab melalui
telepon pada Bhaksi, setelah menyusuri jalanan setapak, akhirnya mereka
menemukan tempat yang dituju. Sudah banyak orang yang berkumpul di sana,
membuat Jalal makin penasaran acara apa yang akan berlangsung di tempat seperti
ini. Jalal menoleh ke kanan kiri mencari keberadaan Jodha, tapi gagal karena
terhalang banyaknya pengunjung. Kemudian terdengar yel-yel beberapa orang
memanggil nama Jodha. Awalnya pelan, tapi kemudian merambat ke pengunjung lain
hingga yel-yelnya bisa serempak terdengar. Jalal heran dalam hatinya –‘Apa mereka semua kenal Jodha? Bagaimana
bisa? ‘—
Bhaksi –“Kak, mereka semua memanggil Jodha, kau dengar? Lalu dimana Jodha? ...Kak Shahab dimana ya?”
Seakan mendengar panggilan Bhaksi, Shahab muncul dari kerumunan
orang-orang di depan mereka.
Shahab –“Kalian sudah lama? Ayo ke depan, Jodha sudah disana..”
Jalal dan Bhaksi mengikuti langkah Shahab menyeruak kerumunan orang yang
sepertinya arah pandangan mereka tertuju ke suatu tempat tertentu. Setelah
berhasil melewati kerumunan, Jalal dan Bhaksi tiba di depan sebuah panggung
mini. Dan di atas panggung ada...Jodha. Dia dan beberapa temannya sedang
mempersiapkan sebuah pertunjukan musik , karena terlihat ada beberapa gitar,
biola dan microphone disana. Jalal melihat Jodha menempatkan sebuah gitar di
pangkuannya dan duduk dengan microphone di depannya, mulai bicara...
Jodha –“Selamat siang untuk semuanya. Selamat datang di acara
penggalangan bantuan Hands for Nepal. Kami membantu mengumpulkan bantuan untuk korban bencana gempa bumi di Nepal. Semua bantuan
dalam bentuk apapun yang terkumpul akan kami salurkan kepada Save Our Children
Foundation. Semoga bantuan kita dapat membantu proses pemulihan saudara-saudara
kita di Nepal. Siapapun di antara kalian yang berniat menyumbang, segeralah
lakukan.. lakukan hari ini.. tidak akan berbeda meski kalian menyumbangnya
besok atau lusa. Terima kasih dan semoga kalian menikmati persembahan kami.”
Lalu Jodha menyanyi sambil memetik gitarnya. Dia juga diiringi oleh satu
lagi pemain gitar. Suaranya jernih, membuat Jalal terpesona. Satu lagi bakat
Jodha yang baru diketahuinya. Semua penonton mengikuti iramanya.
Shadows fill an empty heart
As love is fading
From all the things that we are
But are not saying
Can we see beyond the stars
And make it to the dawn
Change the colors of the sky
And open up to
The ways you made me feel alive,
The ways I loved you
For all the things that never died,
To make it through the night,
Love will find you
What about now?
What about today?
What if you’re making me all that I was meant to be?
What if our love never went away?
What if it’s lost behind words we could never find?
Baby, before it’s too late,
What about now?
................
( Chris Daughtry –“What about now”)
Dari atas panggung, Jodha melihat kehadiran Jalal dan Bhaksi, dia
tersenyum pada keduanya. Dari tempatnya berdiri, Jalal bisa melihat kehadiran
teman-teman Jodha. Ada Rarisa dan suaminya, Amrita bahkan ada Nyonya Martha dan
suaminya. Semua penonton bertepuk tangan setelah Jodha selesai menyanyi
termasuk Jalal. Jodha menyandarkan gitarnya dan mengucapkan terima kasih pada
seluruh penonton.
Jodha –“Terima kasih atas apresiasi kalian, tapi akan lebih indah jika
kalian juga memberikan bantuan bagi Nepal. Dan nikmatilah pertunjukan kami
berikutnya..”
Jodha turun dari panggung dan tempatnya digantikan penampil lain. Jalal
menghampirinya. Sebelum Jodha sampai di depan Jalal, dia sudah dikerumuni oleh
banyak orang, dan sebagian besar adalah pria. Beberapa dari mereka
mempersembahkan karangan bunga yang indah untuk Jodha. Karena banyaknya yang
memberinya bunga, sampai-sampai tangannya tidak cukup menampung semuanya.Jodha
meladeni mereka semua yang saling berebut perhatian darinya. Ada yang sekedar
mengucapkan terima kasih, ingin menyumbang, ada yang meminta foto bersama,
memujinya atau bahkan hanya ingin bersalaman dengannya. Tapi Jodha tidak
keberatan, demi suksesnya penggalangan dana ini , Jodha dengan senang hati
memanfaatkan pengaruhnya. Sungguh aneh, kadang juga sulit dipercaya, kehadirannya
dalam sebuah kegiatan amal bisa mempengaruhi banyak orang untuk memberikan
sumbangan. Ada temannya yang mengatakan, dengan melihat kecantikan Jodha banyak
orang yang terhipnotis dan dengan sukarela.
Banyaknya orang yang mengerubungi Jodha, bahkan Jalal harus sedikit
menyingkir agar tidak tersikut. Meski geram melihatnya, Jalal hanya bisa diam.
Ingin rasanya dia berteriak Hei, aku suaminya!! Aku akan menghajar kalian semua
karena memberi bunga pada istriku!!...’Tapi
apa aku punya hak untuk itu?’ tanya Jalal dalam hati. Kemudian hatinya
berdebat lagi –‘Kenapa aku bisa semarah
ini gara-gara seorang wanita? Kenapa aku merasa kesal gara-gara banyak pria
yang menyukainya?...Apa aku mulai cemburu? Sejak kapan aku benar-benar
menganggapnya istriku? Sejak kapan aku punya perasaan padanya?’—Keruwetan
pikirannya buyar saat Bhaksi berbisik di telinganya.
Bhaksi –“ Kakak, tidakkah seharusnya kau membawa bunga juga untuk
Jodha?”
Jalal –“Haruskah?”
Bhaksi –“Tidak usah kalau kau tidak ingin!”
Sindir Bhaksi pada Kakaknya yang sama sekali tidak peka. Tapi diam-diam
Jalal mulai mempertimbangkannya.
Setelah kerumunan itu bubar, barulah Jodha bisa menemui Bhaksi dan
Jalal.
Bhaksi –Suaramu indah sekali. Pantas saja semua pria terbuai. Termasuk
kakakku..”
Jodha –“Bhaksi....”
Jalal –“Kalian tunggu sebentar disini. Aku segera kembali!”
Bhaksi dan Jodha saling mengedikkan bahu melihat sikap Jalal yang
misterius.
Beberapa saat kemudian Jalal kembali dengan seikat bunga mawar merah di
tangannya. Tanpa ragu diberikannya bunga itu kepada Jodha, karena kebetulan
Jodha sedang sendirian. Bhaksi ada di sudut lain sedang bermesraan bersama
Shahab.
Jalal –“Ini untukmu..”
Jodha –“Untukku? Sungguh? Kau pergi hanya untuk membeli bunga ini?”
Jalal –“Menurutmu?”
Jodha –“Terima kasih.”
Jalal –“Hanya begitu saja?”
Jodha –“Kau ingin aku mengatakan apa?”
Jalal –“Tidak ada.”
Nyonya Martha datang menghampiri Jodha, dia memberikan seikat white lily
untuknya. Jodha terlihat senang sekali, bahkan dia berkali-kali mencium bunga
di tangannya. Sikapnya berbeda dengan pada saat Jalal yang memberikan bunga.
Jalal –“Kenapa waktu aku yang memberimu bunga, kau tidak terlihat
sesenang ini?!”
Jodha –“Karena aku lebih suka white lily..”
Jalal –“Kenapa tidak bilang?! Kan aku bisa membelikanmu bunga itu..?!”
Jodha –“Kau juga tidak bertanya..”
Jalal –“Kalau begitu sekarang kau ceritakan semua yang paling kau sukai.
Musik favoritmu, makanan, film, tempat yang paling kau suka, apapun itu...”
Jodha –“Kenapa?”
Jalal –“Tentu saja karena...karena...kenapa ya?”
Dua kali sudah Jodha membuat Jalal tak berkutik dengan pertanyaannya. Sekarang
Jalal salah tingkah. Untunglah ada Bhaksi dan Shahab datang dan mengajaknya
makan siang. Tanpa berpikir panjang lagi, Jalal langsung menyetujuinya.
Tempat yang mereka pilih adalah salah
satu restoran di dekat Gardens. Jalal memilih duduk di depan Jodha. Entah dia
mau mengakui atau tidak pada dirinya sendiri, Jalal memilih posisi seperti itu
agar dia bisa memandangi wajah gadis di depannya sampai puas.
Jodha –“Bhaksi, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Kak Shahab bilang
dia akan segera kembali bekerja. Apa kau akan ikut dengannya?
Bhaksi –“Aku memutuskan akan menyelesaikan studiku dulu. Setelah aku
lulus, kami akan bertunangan dan menikah. Jika setelah kami menikah, tugas Kak Shahab
di desa belum selesai, aku akan ikut dengannya. Aku bisa menjadi wanita dewasa
yang mengabdi pada suamiku. Kuharap kalian berdua merestui keputusanku.”
Jalal –“Bhaksi, kau tahu aku selalu menuruti semua keinginanmu. Jika
menurutmu itulah yang terbaik, aku mendukungmu. Shahab telah membuktikan
sebagai seorang gentleman dengan menolak semua kemapanan yang kusediakan.
Seorang pria akan bangga disebut sebagai pria jika dia mampu berdiri dengan
usahanya sendiri.”
Shahab –“Terima kasih Jalal.. Juga terima kasih Jodha, kau yang memungkinkan
semuanya ini terjadi.... Rasanya seakan-akan takdir kita bertiga berputar di sekelilingmu...apa
kau tidak menyadarinya?”
Jodha –“Tidak, aku tidak memikirkannya sampai seperti itu.”
Di tengah-tengah perbincangan mereka, datang tiga orang pria memberi
salam pada Jodha. Jalal memandang tajam pada ketiganya, meski hanya dalam hati
dia marah karena mereka tersenyum –senyum pada Jodha –‘Sialan, siapa lagi mereka? Aku suami Jodha, wanita yang kalian sapa
itu! Seharusnya kalian meminta ijin dulu dariku sebelum menyapa istriku!! Hanya
karena janjiku pada Jodha,aku tidak menghajar kalian karena menggoda istriku’—Jodha
dan Shahab berdiri, rupanya yang datang adalah teman-teman mereka berdua.
Setelah berbasa-basi singkat, ketiga orang itupun pamit pergi. Jalal langsung
menyambar kesempatan untuk menuntut penjelasan dari Jodha...
Jalal –“Siapa mereka? Tidak punya sopan santun sama sekali..!”
Jodha –“Mereka teman-teman kami, sesama dokter sukarelawan seperti Kak
Shahab, hanya saja mereka akan berangkat ke Nepal sebagai tenaga medis bantuan
untuk korban bencana. Maaf kalau sikap mereka tidak berkenan bagimu..”
Jalal –“Kenapa kau yang minta maaf? Mereka yang salah, seharusnya sikap
mereka lebih sopan saat bicara dengan seorang wanita yang sudah menikah,
apalagi suaminya ada di depannya..”
Bhaksi –“Ehm..ehm...”
Bhaksi berdeham dengan maksud menggoda Jalal. Bhaksi sudah merasakan
tanda-tandanya kalau kakak laki-lakinya ini mulai punya perasaan yang lebih
dalam pada Jodha. Meski mereka bersikeras kalau hubungan mereka hanya pada
tahap pertemanan, tapi sikap dan pandangan mata tidak bisa berbohong. Dia
justru sangat berharap kakaknya bisa mencintai dan menyayangi Jodha, karena ada
sebuah keyakinan yang entah muncul darimana bahwa hanya Jodha lah yang mampu
menundukkan dan menenangkan hati kakaknya. Bhaksi juga ingin Kakak Jalal-nya
merasakan cinta, kebahagiaan dan perasaan berbunga-bunga seperti yang
dirasakannya saat ini.
Bhaksi –“Kakak, kau membuat Jodha malu dengan rasa cemburumu itu...”
Jalal –“Aku tidak....Bhaksi, jangan bicara lagi..!”
Bhaksi langsung terdiam dan mengigit bibirnya menahan senyum. Akhirnya
Jalal menyadari semua perkataannya. Dia melirik ke arah Jodha yang tertunduk tapi
ada senyuman kecil di wajahnya. Dalam hati, Jalal memaki kebodohannya sendiri –‘Sial..sial..sial..!! Lagi-lagi aku tidak
bisa mengontrol diriku sendiri. Benarkah sikapku seperti pria yang cemburu? Aku
belum pernah tahu rasa cemburu itu seperti apa... Hanya saja, rasanya aku ingin
menghajar semua orang yang berani melirik atau bahkan tersenyum pada istriku...Tapi
kalau sampai aku melanggar kesepakatan yang kubuat dengan Jodha berarti jatuh
harga diriku..! Ini tidak boleh terjadi lagi..’—
Jalal –“Jodha, jangan dengarkan kata-kata Bhaksi...”
Jodha –“Aku tahu Bhaksi hanya bercanda..”
Perbincangan terus berlanjut sambil menikmati makan siang mereka,
diselingi dengan candaan-candaan dari Bhaksi yang bisa membuat Jalal tertawa
lepas. Dari situlah Jodha melihat sisi lain kepribadian Jalal yang selama ini
luput dari perhatiannya. Di saat Jalal bisa santai dan tertawa lepas seperti
itu, Jodha membayangkan pasti sangat menyenangkan hidup bersamanya. Sejak awal
pernikahan, hanya sikap permusuhan yang ada di antara mereka hingga mengabaikan
semua pandangan objektif. Dilihat dari sudut manapun, Jalal bukan orang paling
tampan di India, tapi aura yang muncul dari dalam dirinya seakan bisa
memberikan rasa aman bagi orang-orang di sekitarnya yang disayanginya. Jodha
membayangkan seandainya dia ada dalam pelukan tubuh kokohnya, pasti rasanya
sangat terlindungi.
Entah sejak kapan Jodha berani membayangkan hal-hal romantis itu,
mungkin sejak kecupan malam itu, atau sebelumnya, tiba-tiba kahayalan seperti
itu muncul seperti kilasan sebuah slide film dalam otaknya –‘Seandainya aku punya kesempatan berada dalam pelukannya, aku ingin
selamanya berada disana. Tapi masa laluku akan selalu menjadi jurang yang
sangat dalam. Jika tidak hati-hati, kami berdua akan jatuh ke dalamnya.’—
“Jodha..”
Jodha terkujut dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
Jodha –“Tuan Gerrard, kebetulan sekali...”
Jalal langsung cemberut dan kegeraman juga dirasakan dalam hatinya –‘Siapa lagi ini?...Berapa banyak lagi pria
yang mendekati Jodha?!...Berapa banyak lagi yang harus kusingkirkan demi
mendapat perhatian dari istriku sendiri?!...’—
*******************