re">
Inilah saatnya, Jodha tidak peduli apakah setelah penjelasannya, pikiran
Bhaksi akan terbuka atau tidak, yang penting dia sudah berusaha. Apapun
hasilnya, itulah yang terbaik yang bisa diusahakannya.
Jodha –“Terima kasih sudah memenuhi permintaanku. Ada satu orang lagi
yang juga harus ada di sini.”
Jodha lalu berjalan ke pintu dan membukanya. Dia mempersilakan masuk
tamunya. Shahabuddin melangkah masuk ke dalam ruangan. Bhaksi langsung duduk
tegang di kursinya, seakan dia ingin melarikan diri dari sana, tapi Jalal
mencegahnya. Shahabuddin dan Jodha pun duduk, menempati sofa yang terpisah.
Shahab –“Maaf karena aku datang tanpa pemberitahuan, tapi demi
kebenaran, aku menuruti permintaan Jodha.”
Jodha –“Bhaksi, tolong maafkan aku karena telah menyakitimu. Tapi
dengarkanlah penjelasan kami.”
Bhaksi membuang muka, tapi dia tidak bersuara. Jodha memberi tanda pada
Shahabuddin untuk mulai bicara.
Shahab –“Sebenarnya.... aku dan Jodha tidak punya hubungan romantis
apapun. Hubungan kami murni pertemanan saja.”
Bhaksi berdiri dan menuding ke arah Shahab.
Bhaksi –“Bohong!! Aku ingat dengan jelas, Kakak sendiri yang bilang
kalau Kakak sangat mencintai Jodha. Karena itu Kakak ingin putus dariku!!”
Shahab –“Aku berbohong... aku mengatakannya agar kau membenciku dan
meninggalkan aku.”
Bhaksi –“Kenapa?! Kau sudah bosan denganku?! Kau sudah tidak mencintaiku
lagi?! Kau membenciku?! Katakan Kak, apa salahku?!”
Shahab –“Kau tidak salah apa-apa. Akulah yang bersalah. Aku tidak bisa
memberimu kebahagiaan dan kemewahan. Sebagai laki-laki aku tidak berguna di
depanmu.”
Bhaksi –“Apa yang kau katakan, Kak? Aku tidak pernah menuntut apa-apa...
Bahkan Kakakku sudah melakukan banyak hal untukmu. Apa lagi yang kau
inginkan?!”
Shahab –“Justru karena kakakmu sudah melakukan segalanya untukku,
menjadikannya beban berat yang harus kutanggung. Segalanya sudah tersedia
untukku, tapi aku merasa semakin sesak di sini. Aku belum pernah berusaha
dengan tanganku sendiri. Aku tidak punya kebanggaan atas namaku sendiri. Jadi
bagaimana bisa sebagai seorang pria, aku punya harga diri di depanmu?”
Bhaksi –“Kenapa kau tidak mengatakannya saja? Kenapa kau menyakiti
hatiku dengan meninggalkan aku? Apa kau tidak pernah memikirkan perasaanku?!”
Shahab –“Aku tidak bisa mengatakannya. Kupikir itu satu-satunya cara
agar kau membenciku dan melupakan aku. Segala yang kau lakukan untukku
membuatku merasa kecil dan tidak berharga. Aku merasa tidak pantas berdampingan
denganmu. Kuharap kau menemukan cinta dari pria lain yang jauh lebih baik
daripada aku.”
Bhaksi –“Apa kau sudah mendapatkan cinta dari gadis lain?”
Shahab –“Tidak.”
Bhaksi –“Lalu kenapa kau juga melepaskan karirmu di Rumah Sakit? Meski
kau tidak ingin bersamaku, kau harus pikirkan karirmu disana.”
Shahab –“Delhi Hospital sudah punya banyak dokter yang bagus.
Pekerjaanku disana bukanlah pekerjaan yang penting, hanya melayani orang-orang
yang punya uang saja, menjaga citra dan nama baik Rumah sakit. Bahkan sering
aku harus saling sikut dengan sesama dokter. Demi keuntungan Rumah Sakit, aku
bahkan lupa apa tujuan utamaku menjadi dokter. Aku seperti robot, bekerja
setiap hari sesuai kontrak. Tapi batinku tidak pernah merasa puas.”
Bhaksi –“Apa Kakak berhenti menjadi dokter?”
Shahab –“Aku tetap seorang dokter, tapi aku sekarang bekerja dengan
hati, semata karena rasa kemanusiaan.”
Jalal (menyela) –“Dimana kau setahun belakangan ini?”
Shahab –“Aku bekerja di sebuah klinik kecil di desa di daerah Rajasthan.
Penghasilanku jauh lebih kecil dari sebelumnya, bahkan kadang aku hanya dibayar
dengan buah atau sayuran, tapi aku puas dan bangga atas apa yang kulakukan.
Karena disana banyak orang yang benar-benar membutuhkan seorang dokter.”
Bhaksi –“Kenapa Kakak tidak jujur saja padaku? Kupikir selama ini Kakak
bahagia bersamaku disini..!”
Shahab –“Aku minta maaf karena aku tidak mengatakan yang sebenarnya.
Kalau kau ingat, aku pernah sekali mengatakan padamu, aku ingin keluar dari
Rumah Sakit, tapi kau melarangku. Aku juga ingin bertahan demi dirimu, tapi aku
malah merasa semakin tersiksa, karena itulah aku mengambil langkah egois dengan
membohongimu.”
Bhaksi –“Tapi aku melihatmu dan Jodha keluar dari Rumah Sakit
bersama-sama dan kau mengantarnya dengan mobilmu.”
Shahab –“Aku tahu saat itu kau mengikutiku, karena itulah aku bersikap
seolah-olah aku bersama Jodha. Sebenarnya saat itu kebetulan saja Jodha ada di
Rumah Sakit.... Jodha, maafkan aku sudah memanfaatkan dirimu..”
Bhaksi sepertinya mulai melunak hatinya, sinar matanya sedikit melembut
dan kata-katanya sudah tidak diliputi nada marah lagi.
Shahab –“Kupikir setelah aku bisa membuat diriku sendiri bangga, aku bisa
kembali menemuimu Bhaksi, dengan kepala tegak. Aku akan datang padamu sebagai
seorang pria.”
Bhaksi hanya menunduk, mungkin dia mulai mencerna setiap penjelasan
Shahabuddin.
Jalal –“Bagaimana kalian bisa kenal?”
Jodha sudah akan menjawab, tapi Shahab menjawabnya lebih dulu.
Shahab –“Pertama kali aku melihatnya di Rumah Sakit. Saat itu dia sedang
berdebat dengan bagian administrasi. Jodha mengantar seorang pasien wanita yang
setelah diperiksa ternyata didiagnosa menderita radang usus buntu dan harus
dioperasi saat itu juga. Bagian administrasi menunggu persetujuan keluarga dan
Jodha tidak terima karena operasinya jadi tertunda. Saat itu aku heran, demi
seorang yang tidak dia kenal, Jodha berusaha mati-matian menolongnya, bahkan
dia juga yang menanggung biaya operasinya.”
Jodha –“Yang mengherankan adalah ketidakpedulian orang-orang pada hidup
orang lain. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa.”
Shahab –“Aku jadi penasaran, bagaimana kabar wanita itu sekarang?”
Jodha –“Sekarang dia tinggal di Sisterhood Shelter. Saat itu aku
menemukannya tergeletak pingsan di dekat pasar. Tidak ada orang yang tahu
tempat tinggal keluarganya. Ternyata dia tidak punya rumah. Putra dan
menantunya mengusir dia dari rumahnya karena dianggap beban bagi keluarga
putranya. Untunglah sekarang dia cukup bahagia di shelter.”
Shahab –“Setelah aku berkenalan dan bicara banyak hal dengan Jodha,
mataku mulai terbuka. Aku merasa malu, sebagai dokter aku tidak bisa melakukan
seperti apa yang Jodha lakukan. Berjuang demi hidup seorang pasien. Dia mulai
mengenalkanku pada Sisterhood Shelter. Dan suatu hari dia menceritakan tentang
program bantuan sosial untuk membangun desa yang miskin. Aku tertarik menjadi
sukarelawan. Kupikir itu kesempatanku membuktikan diri bisa berguna, berguna
dalam arti yang sebenarnya, bagi orang lain. Masalahnya adalah aku bingung
bagaimana mengatakannya pada Bhaksi. Aku memang egois karena memutuskan
semuanya sendiri, saat itu kupikir aku tidak mungkin mangajak Bhaksi bersamaku.
Aku juga tidak bisa meminta Bhaksi menungguku, karena aku juga tidak tahu
berapa lama aku akan pergi.”
Jodha –“Seandainya aku tahu Kak Shahab punya tunangan, aku tidak akan
mengajaknya bergabung. Karena itulah aku merasa bersalah padamu, Bhaksi.
Maafkan aku, karena pengaruhku, Kak Shahab meninggalkanmu. Aku bisa menerima
kebencianmu.”
Bhaksi tetap menunduk dan tidak bersuara.
Jalal –“Aku ingin kejelasan satu hal, apakah sampai sekarang kau masih
mencintai Bhaksi?”
Shahab –“Ya, dari dulu sampai sekarang perasaanku belum berubah. Aku
masih mencintai adikmu. Tapi aku tidak ingin cintaku membutakan rasa
kemanusiaanku.”
Jalal –“Apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
Shahab –“Aku akan tetap kembali ke desa itu. Pekerjaanku disana masih
banyak. Aku tidak akan meminta Bhaksi menungguku ataupun memintanya kembali
padaku. Nanti, saat tugasku sudah selesai dan Bhaksi masih sendiri, aku akan
datang kembali padanya. Aku akan berusaha lebih keras memenangkan hatinya
kembali.”
Jalal –“Bhaksi, katakanlah sesuatu....”
Hening beberapa saat, semuanya menunggu Bhaksi bicara, tapi sepertinya
yang ditunggu belum ingin bicara.
Jodha –“Tuan Jalal, kurasa kita berdua harus pergi. Biarkan mereka
berdua bicara secara pribadi.”
Jodha cukup mengerti jika sekarang perasaan Bhaksi pasti campur aduk.
Kebenaran yang diyakininya selama ini ternyata bukanlah kebenaran itu sendiri.
Dengan isyarat matanya, Jodha mengajak Jalal untuk meninggalkan ruangan itu,
memberi waktu Bhaksi dan Shahabuddin bicara berdua. Jalal menurut, tapi saat
sudah di luar pintu apartemennya, dia bertanya..
Jalal –“Kita akan kemana?”
Jodha –“Aku juga tidak tahu, mungkin kita hanya berjalan-jalan saja di
luar. Berikanlah kesempatan Bhaksi dan Kak Shahab bicara berdua saja.”
Jodha mendahului Jalal masuk ke dalam lift. Penerangan di dalam lift
cukup jelas, Jalal bisa melihat pipi Jodha yang memerah bekas tamparan Bhaksi
tadi siang.
Jalal –“Pipimu masih merah, kau belum mengobatinya?”
Jodha –Aku belum sempat. Tapi kau tidak perlu kuatir.”
Senyum Jodha seakan berusaha meyakinkan Jalal bahwa dia baik-baik saja.
Jalal –“Aku minta maaf karena tidak sempat mencegah adikmu menyakitimu
tadi. Dan.... sekali lagi... aku juga minta maaf, karena aku telah salah
menilaimu... lagi.”
Jodha –“Jangan kau pikirkan, itu reaksi yang wajar bagi seorang wanita.
Aku masih bisa menahannya.”
Sesampainya di luar apartemen, mereka berjalan berbelok ke kiri
menyusuri trotoar. Dan terus berjalan ke sebuah taman kecil yang berbatasan
dengan lingkungan apartemen yang mereka tinggali.
Jalal –“Boleh aku mengatakan sesuatu?”
Jodha –“Silakan..”
Jalal –“Kau gadis yang..hebat. Kau sudah menjadi inspirasi banyak orang.
Mulai dari Nyonya Martha, Rarisa, bahkan Shahabuddin. Apa yang dikatakan
Shahabuddin benar, aku belum tentu bisa melakukan apa yang sudah kau lakukan.”
Jodha –“Aku hanya..”
Jalal –“Melakukan apa yang bisa kau lakukan.”
Jodha –“Kau pasti bosan mendengarku mengatakan itu berulang-ulang.”
Jalal –“Tidak, semua kata-katamu benar.”
Jalal tersenyum pada Jodha, dan dibalas oleh Jodha. Mereka berjalan
pelan-pelan berdampingan, meski jarak antara keduanya cukup lebar, tapi
keakraban mereka justru makin terasa.
Cuaca malam itu cukup hangat, langit di atas mereka juga bersih dari
awan, hingga jika menengadah terlihat ratusan bintang di langit. Tiba-tiba ada
suara gemeresak dari semak-semak di
dekat kaki Jodha, membuatnya berjingkat kaget mendekatkan tubuhnya ke balik
punggung Jalal. Sambil celingukan ke bawah, mencari sumber suara, tanpa sadar
Jodha memegang ujung lengan kemeja Jalal yang digulung sampai siku, mencari
perlindungan. Meski kulit mereka tidak bersentuhan, tapi Jalal bisa merasakan
aura kehangatannya. Ternyata itu seekor kucing. Sambil tersenyum simpul dan
sedikit menoleh ke belakang, Jalal menggoda Jodha..
Jalal –“Kukira kau seorang pejuang yang tidak takut apapun, ternyata
suara kucing dalam semak bisa menakutimu.”
Jodha –“Bukan kucing yang membuatku takut, tapi gerakan-gerakan dalam
gelap itu yang menakutkkan.”
Jalal –“Saat kau menolongku dari perampok itu, bukankah keadaannya
gelap? Tapi kau tidak terlihat takut.”
Jodha –“Karena keadaan yang memaksa. Anehnya, dari semua malam, hanya
pada malam itu aku pulang larut, itu pun aku sudah ingin cepat-cepat sampai
apartemen. Hanya saja saat itu aku melihat mobilmu, jadi aku mendekat.”
Jalal –“Kenapa kau mendekat? Kau punya pilihan untuk mengabaikannya.”
Jodha –“Aku tidak tahu. Saat itu ada dorongan yang kuat yang kurasakan
agar aku berhenti dan memeriksa keadaan. Mungkin itu firasat kalau ada
seseorang yang butuh bantuan.”
Jalal –“Kenapa kau takut gelap?”
Jodha –“Ada kejadian di masa lalu yang membuatku takut pada gelapnya
malam. Ini pertama kalinya aku menikmati berjalan-jalan pada malam hari.”
Jodha lalu duduk di sebuah bangku dari batu di taman kecil itu, sambil
menengadahkan kepalanya memandang langit. Kedua tangannya berada disamping,
menyangga tubuhnya. Jalal berdiri tidak
jauh darinya.
Jalal –“Kau tidak perlu takut lagi, aku akan menemanimu jalan-jalan pada
malam hari. Kapanpun kau ingin, kau tinggal mengajakku.”
Jodha –“Terima kasih, aku pasti
menagih janjimu.”
Jodha tersenyum tapi masih sambil menengadahkan wajahnya melihat
bintang-bintang di langit. Jalal terpesona melihat siluet wajah Jodha yang
diterangi sinar lampu taman. Terasa sangat damai. Jodha tidak menyadari kalau
Jalal sedang asyik mengamati dirinya. Keseluruhan wajah Jodha adalah sebuah
penggambaran dari kesempurnaan. Batin Jalal bergejolak –‘Kira-kira bagaimana reaksinya jika aku menciumi satu persatu bagian
wajahnya...Ya Tuhan, Jalal, hentikan!..Kau mempermalukan dirimu sendiri!! Kau
sendiri yang menarik garis batas antara kau dan Jodha! Dan sekarang kau ingin
mencumbunya..!!’—Jalal berperang dengan egonya sendiri. Dia mengucek
matanya yang tidak gatal berharap bisa mengenyahkan khayalan itu, tapi saat
membuka matanya lagi, pandangannya kembali jatuh ke bibir Jodha –‘Kuasai dirimu, Jalal!!’--. Tapi Jalal
tidak bisa menahannya lagi. Dia mendekat dan membungkuk, lalu...
CUP...Jalal mencium ujung bibir Jodha. Hanya sepersekian detik. Hampir
tidak terasa karena sangat ringan, seringan bulu, dan tidak meninggalkan bekas
seperti hembusan angin. Sebuah kecupan tetaplah sebuah kecupan. Efeknya mampu
mengirimkan getaran panas ke seluruh tubuh keduanya. Rasa menggelitiknya bahkan
terasa sampai ujung kaki. Jodha membelalak karena terkejut, bibirnya masih
sedikit terbuka tapi tidak bersuara. Jalal juga sama, tidak menduga, meski dia
yang melakukannya tapi rasanya ada kekuatan lain yang tidak bisa
dikendalikannya, yang menggerakkan tubuhnya dan menngecup Jodha.
Jodha –“Kenapa kau menciumku?”
Jalal –“Karena aku ingin.”
Jodha –“Lalu kenapa aku membiarkanmu menciumku?”
Jalal –“Aku tidak tahu.”
Jalal terkekeh mendengar pertanyaan konyol Jodha. Posisi tubuhnya masih
membungkuk di atas Jodha. Matanya sejajar dengan mata Jodha, jadi dia bisa
melihat setiap perubahan ekspresi di matanya.
Jalal –“Kalau kau marah, kau boleh menamparku.”
Jodha –“Aku seharusnya menamparmu, tapi rasanya tanganku tidak bisa
bergerak.”
Jodha berkedip dua kali, seakan mencoba memutuskan matra yang menguasai
tubuh dan pikirannya. Kemudian dia berdiri, menjaga jarak kembali dari Jalal.
Beruntung saat itu gelap, jadi tidak tahu seberapa merahnya pipinya karena
menahan rasa malu. Bahkan lebih merah dari saat ditampar tadi.
Jodha –“Tuan Jalal, kumohon jangan lakukan ini lagi. Aku masih ingat
kalau kau suamiku, tapi sejak awal kita sudah sepakat hubungan kita tidak akan
melibatkan kontak fisik.”
Jalal –“Aku tahu..”
Jodha –“Dan perasaan apapun yang kau punya untukku, sebaiknya kau
hentikan sekarang juga.”
Jalal –“Sudah terlambat...”
Jodha –“Kau masih bisa menghentikannya, sebelum kau kecewa.”
Jalal –“Tapi kita masih berteman kan?”
Jodha –“Berteman, hanya itu saja!...Ayo kita kembali, Bhaksi dan Kak
Shahab mungkin sudah selesai bicara.”
Jalal –“Apa kau tidak ingin berpegangan pada lengan bajuku lagi?.Aku
hanya menawarkan diri...”
Digoda seperti itu, Jodha hanya menoleh sebentar dan langsung melengos
berjalan mendahului Jalal kembali ke aparteman. Dia masih sempat mendengar
Jalal terkekeh di belakangnya.
Kembali ke apartemen, Jodha melihat Bhaksi masih ditemani Shahab. Tapi
posisi duduk mereka yang menempel bersebelahan dan tangan saling mengait di
pangkuan, orang tidak akan salah mengartikan kalau hubungan mereka kembali
membaik. Wajah Bhaksi tersenyum berbunga-bunga meski masih sedikit nampak bekas
airmata di pipinya. Melihat kakak dan kakak iparnya datang, Bhaksi menyambut
mereka dengan riang.
Bhaksi –“Kakak, kalian lama sekali. Kupikir kalian tersesat.”
Jalal –“Kukira malah kau sudah melupakan kami.”
Bhaksi dan Jalal saling mengolok, Jodha dan Shahab hanya tersenyum
mendengar candaan mereka.
Shahab –“Sudah larut, aku harus pulang. Terima kasih untuk semuanya.
Bhaksi, istirahatlah, besok kita bicara lagi. Jalal, terima kasih karena masih
mau menerimaku.”
Jodha –“Hati-hati Kak, sampai bertemu besok..”
Shahab –“Baik, sampai bertemu besok di Talkatora Gardens. Jalal, aku
pulang dulu.”
Setelah Shahab keluar, ganti Jalal yang bertanya pada Jodha..
Jalal –“Apa yang akan kalian lakukan di Talkatora Gardens?!”