“Terima
kasih.” Jawab Jalal yang langsung duduk di sofa yang ada di depan meja kerja Meinawati. Meinawati tidak langsung ikut duduk, dia
terlebih dahulu membuka sebuah laci yang ada di samping
sudut meja kerja nya untuk mengambil sebuah map. Sebuah map bewarna hijau yang
berisi surat kerja sama antara perusahaan Meinawati dengan perusahaan Jalal.
“Karna kau
kesini bukan sebagai calon menantu ku tapi sebagai pengusaha yang akan
menanamkan modalnya di perusahaan kami maka aku akan memanggil mu
dengan formal,” Ucap Meinawati yang saat itu menghampiri sofa lalu duduk di depan Jalal. Lalu Meinawati memberikan map yang ada di tangannya ke Jalal “Kau periksalah dulu.”
Jalal
menerima map itu sambil tersenyum kearah Meinawati “Sebenarnya tidak perlu
formal seperti itu tante, panggil saja aku Jalal.”
Jalal
membuka map yang di berikan Meinawati lalu membaca setiap
lembaran yang ada di dalam map itu. Keningnya kadang berkerut
saat membaca kertas-kertas itu, Jalal juga sedikit melirik kearah Abul mali dan
juga Ruqyah. Setelah selesai semua membaca lembaran kertas-kertas itu Jalal
menutup map itu dengan manarik nafas panjang. “Maaf tante, sebelum kita
melanjutkannya kerja sama ini apakah aku boleh bertanya sesuatu?” Tanya Jalal
kepada Meinawati
“Tentu Jalal.
Kau mau bertanya apa?”
“Setelah
kematian ayahnya Jodha, bukankah perusahaan ini di wariskan
ke Jodha?”
Sebelum
Meinawati menjawab, sekretarisnya datang membawakan minuman untuk mereka. “Terimakasih
Sasa. Sekarang kau boleh keluar,” kata Meinawati kepada sekretarisnya. “Silahkan
di minum” katanya ke Jalal dan Abul mali serta Ruqyah.
Meinawati
menyeruput minumannya sedikit lalu meletakan kembali minumannya diatas meja. “Kau
benar Jalal. Ayah Jodha memang mewariskan perusahaanya ke Jodha.”
“Lalu
kenapa di surat tadi tertulis kalo Jodha hanya memiliki separuh saham dari
perusahaan ini?” Tanya Jalal penuh selidik.
Meinawati
tertawa kecil, “Karna Jodha belum siap mengelolah perusahaan ini, lalu dia
memberi kuasa ke Sujamal untuk menjalankan perusahaan ini. Untuk Sujamal bisa
menjabat direktur di perusahaan ini, Sujamal harus memiliki
sedikit saham di perusahaan jadi Jodha memberikan separuh
sahamnya ke Sujamal.” Jelas Meinawati
Setelah
mendengar penjelasan Meinawati, Jalal melihat kearah Abul mali. Seolah mengerti
dengan tatapan Jalal, Abul mali menjawab dengan sedikit anggukan kepala yang
tidak di sadari oleh Meinawati. “Baiklah tante sesuai dengan kesepakatan, aku
akan mendatangani surat ini setelah pernikahan.” Ucap Jalal sambil berdiri dari
duduknya.
“Baiklah Jalal,
kau bisa membawa surat itu untuk di pelajari di kantor
mu.”
“Aku
permisi pulang dulu tante.” Jalal lalu keluar dari ruangan Meinawati.
“Abul
mali, kau selidiki semuanya. Setelah itu laporkan padaku,” kata Jalal yang saat
itu telah duduk di belakang kemudi Abul mali.
“Baik sir,”
jawab Abul mali melihat kearah Jalal melalui kaca spion nya. Ketika Abul mali
akan menghidupkan mesin mobilnya tiba-tiba Ruqyah yang duduk di samping kemudi Abul mali berkata, “Itu bukan kah Jodha?” Sambil
menunjukkan jari telunjuk nya kearah perempuan yang sedang berdiri bersama
seorang pria.
Mendengar
itu Jalal menaikkan kepalanya sedikit, melihat kearah yang di tunjuk oleh Ruqyah. Benar saja itu adalah Jodha bersama seorang pria
sedang mengobrol. Jodha juga terkadang tertawa dan tersenyum saat mengobrol
denga pria itu. Melihat itu wajah Jalal langsung mengeras karna menahan
amarahnya, karna selama dia bersama Jodha, Jodha tidak pernah tersenyum bahkan
tertawa seperti itu. Melihat wajah Jalal seperti itu, Ruqyah tersenyum jahat.
Dengan sengaja Ruqyah memanas-manasin Jalal “ Siapa pria itu?? Jodha juga
terlihat sangat bahagia mengobrol dengan pria itu” kata Ruqyah sambil melirik
kearah Jalal.
“Jalan
sekarang Abul mali.” Perintah Jalal denga tidak memperdulikan perkataan Ruqyah.
***
“Jodha
sudah siap, bu? Jalal udah datang tuh,” kata Sujamal ke Meinawati yang saat itu
sedang membantu Jodha berpakaian.
“Sebentar
lagi, kau temani lah dulu Jalal mengobrol” seru Meinawati
Pakaian yang
di kenakan Jodha merupakan pilihan Meinawati, sebuah rok bewarna hitam
dengan model rimpelan dipadukan dengan kemeja berlengan panjang bewarna pink
pastel. Serta ikat pinggang dan sepatu yang senada. Meinawati mewanti-wanti
agar ia tidak mengantinya dengan sepatu kets atau sepatu flatnya. Dengan
sedikit memulaskan bedak tipis dan lipgloss Jodha telah merasa siap untuk
pergi.
Jodha dan
Meinawati keluar dari kamarnya dan menemui Jalal yang ada di ruang tamu bersama Sujamal. Mata Jodha menyipit saat melihat pakaian yang
di kenakan oleh Jalal. Dengan kemeja abu-abu kaku, dasi bergaris, serta
celana dan jas bewarna abu_abu gelap yang dikenakan Jalal membuat Jodha
bertanya pada dirinya sendiri “Mau kemana sih dia?? Makan malam di Istana Negara? Pakaiannya formal sekali.”
“Nak Jalal,
maaf ya lama. Maklum perempuan memang membutuhkan banyak waktu untuk berdandan,”
seru Meinawati
Jalal
tersenyum kecil, “Ya tante, saya mengerti kok,” jawab Jalal sambil melirik
kearah Jodha.
“Ya sudah
kalo gitu, hati-hati di jalan ya, jangan ngebut-ngebut,” kata
Meinawati lembut.
Mobil Jalal
secara perlahan meninggalkan halaman rumah Jodha.
“Mau
keacara apa kita?” tanya Jodha saat mobil Jalal telah berjalan cukup jauh.
Selama perjalanan dari rumahnya tadi Jalal sedikitpun tidak mengeluarkan suara.
Tidak batuk, berdehem, apalagi bicara. Ia terus manatap lurus kedepan.
“Dinner,”
sahutnya datar
“Dimana?”
“Sudirman.”
Kalo ada
orang yang salah kustum sudah pasti itu Jalal. Rasanya Jodha jarang melihat
orang menggunakan pakaiana serapi ini cuma untuk dinner. Mobil Jalal telah
memasuki jalan Sudirman, berbelok perlahan kearah SCBD.
“Kita mau
makan apa?” tanya Jodha, kebetulan sekali saat ini dia memang sudah lapar.
“Apa aja yang
ada disana,” jawab Jalal asal-asalan, mematikan mesin mobil, membiarkan Jodha
membuka pintu sendiri, lalu terbirit-birit menjajari langkah kaki Jalal yang
panjang dan cepat.
Mereka
naik ke lantai dua, ternyata Jalal membawa Jodha ke sebuah acara makan malam
bersama teman-temannya sebagai perayaan atas diangkatnya dia sebagai direktur.
Didalam acara itu Jalal sama sekali tidak memperdulikan Jodha. Ia sibuk
mengobrol bersama teman-temannya.
Jodha
duduk di salah satu meja yang memiliki dua belas kursi. Kuris yang di sediakan belum terisi penuh, hanya ada beberapa wanita muda yang
menggunakan gaun pesta. “Nama kamu siapa? Kesini dengan siapa?” tanya salah
satu wanita kepada Jodha.
“Saya Jodha
tante, saya kesini bersama om saya,” jawab Jodha dengan sopan.
“Ehm, eh
saya Veronika, kamu bisa panggil saya Vero aja, oh iya om kamu sapa?” tanya
wanita itu lagi yang ternyata bernama Veronika.
“Om Jalal.”
Wanita itu
melebarkan matanya, “ Aku tidak tau kalo Jalal sebejat itu, aku dengar dia memang
suka gonta ganti pacar segampang perempuan ganti baju tapi aku tidak menyangka
sama anak kuliahan juga mau.”
Jodha
merasakan makanannya tersangkut di teronggokannya mendengar perkataan wanita
itu. Dengan susah payah Jodha mendorong makanannya untuk melewati
kerongkongannya, “Saya benar-benara keponakannya,” jawab Jodha setelah berhasil
menelan habis makanannya.
“Oh maaf,
aku kira, aduh...kasian temen ku Bella, dia sudah beberapa kali di khianti oleh om kamu, coba deh kamu ngomong sama om kamu untuk terima
Bella jadi pacarnya, kamu bakal dapat tante yang baik daripada pacarnya yang
satu lagi yang punya restoran korea itu” jelas vero sambil menunjuk kearah
wanita yang sedang berbicara akrab dengan Jalal
Jodha
hanya tersenyum kecil mendengar wanita itu berbicara. Dengan sopan Jodha pamit
untuk pergi ke toilet. Didalam toilet Jodha masih tidak percaya kalo Jalal
begitu bejatnya hingga berganti-ganti pacar seperti itu.
“Kamu
sakit perut?” tanya Jalal yang berdiri tepat di depan
pintu toilet wanita. Sudah hampir sepuluh menit dia berdiri di situ.
“Kamu
bikin kaget aja,” sahut Jodha.
“Kamu
sakit?” tanya Jalal lagi, melihat betapa pucatnya Jodha. Namun Jodha berlalu
begitu saja, memaksan Jalal untuk mengekor di belakangnya.
“Hanya
masuk angin,” jawab Jodha asal-asalan sambil terus berjalan lebih cepat.
Jalal
menangkap pergelangan tangan Jodha, membuat tubuh Jodha berbalik menghadap
kearahnya. Kini mereka berhadapan, dengan posisi ini Jalal bisa melihat dengan
jelas hidung Jodha yang mancung, wajahnya yang oval, serta bibirnya yang bagus,
dan Jodha juga terlihat lebih tinggi dari yang ia duga.
“Tadinya
aku ingin memperkenalkan mu di dalam, tapi tadi siang aku melihat mu
berbicara denga seorang pria. Dan kau terlihat sangat bahagia, bahkan kau
sampai tertawa lebar saat berbicara denga pria itu,” ucap Jalal denga
mempraktekkan cara tertawa Jodha saat bersama pria itu.
Ingin
rasanya Jodha tersenyum melihat cara Jalal mempraktekkan cara dirinya tertawa
tapi ditahannya. Dengan Jalal berdiri bersidekap di depannya
dengan jarak kurang dari satu meter, Jodha bisa merasakan betapa
mengintimidasinya Jalal saat ini. Tatapannya, cara berdirinya, bahasa tubuhnya,
semua itu membuat Jodha terpojok. Jodha mundur selangkah, punggungnya membentur
tembok.
“Siapa
dia?” tanya Jalal lagi, kali ini nadanya mulai naik.
Bersambung
FanFiction
Pelabuhan Terakhir Bagian yang lain Klik
Disini