Title
of Short Story : Just Love
Setting
of time: Modern
Characters
: Jalaluddin Akbar, Jodha Bharti, Bhaksi Bhano etc
Ponselnya berdering....
Jodha
menepikan skutiknya ke pinggir jalan. Mengeluarkan ponsel dari saku bajunya.
Tertera
nama “IBU” di layar ponselnya. Jodha segera menjawabnya –“Iya Bu, bagaimana
kabarmu?”.....(beberapa saat kemudian)....”Aku dalam perjalanan pulang, kuliahku
untuk hari ini baru saja selesai...Ibu, apa kau sakit?....Tapi kenapa suaramu
terdengar serak, seperti orang yang baru saja menangis... Aku merindukanmu dan
semua keluarga di rumah... Sungguh tidak terjadi apa-apa di rumah? ....
Baiklah, aku percaya Bu. Aku menyayagimu, Bu.”—
Menutup
poselnya, Jodha masih termangu di atas skutiknya. Dia terlihat tenggelam dalam
pikirannya. Alis matanya berkerut dan dia menggigit bibir bawahnya menampakkan
sedikit gigi putihnya, itu adalah kebiasaannya saat dia mengkhawatirkan sesuatu
-- ‘Jika memang semuanya baik-baik saja,
kenapa perasaanku tidak tenang? Aku seperti merasakan ada sesuatu yang buruk
terjadi pada keluargaku. Aku merasa Ibu menyembunyikan sesuatu dariku’—
Untuk
mencari petunjuk yang lain, Jodha memutuskan akan menghubungi kakak iparnya
begitu dia sampai di asrama. Diapun segera melajukan skutiknya pulang.
Jodha
Bharti adalah nama gadis itu. Dia gadis Rajput yang sedang kuliah di Bremen,
Jerman. Sudah hampir empat tahun dia konsentrasi menyelesaikan studinya di
bidang psikologi. Tahun ini adalah semester terakhirnya sebelum dia lulus.
Ayahnya Bharmal Bharti, adalah pemilik pabrik gula di Uttar Pardesh. Dari segi
ekonomi, keluarganya sangat mampu membiayai kuliahnya. Tapi Jodha lebih memilih
mandiri dengan memanfaatkan dana beasiswa dari kampusnya, sedang untuk biaya
hidupnya sehari-hari dia bekerja paruh waktu di sebuah coffee shop di kota
Bremen. Meski dia tidak sedang tinggal di negaranya sendiri, dia tetap memiliki
banyak teman, teman-teman wanitanya adalah sahabat terbaiknya, sedang
teman-teman prianya adalah para pengagumnya.
Pernahkah
kalian mendengar sebuah ungkapan “Nobody’s
perfect”? Semua pasti setuju pada ungkapan itu. Tapi Jodha Bharti itu
hampir sempurna. Postur tubuhnya semampai seperti impian seluruh gadis.
Kulitnya putih, lebih putih dari kulit gadis India pada umumnya. Rambutnya
halus berwarna hitam sepanjang punggung. Matanya lebar dan jernih hingga kita
seakan bisa tenggelam saat menatapnya. Hidungnya mancung menggambarkan
keanggunan juga keangkuhan. Bibirnya tipis dan tutur katanya halus. Lebih dari
semua itu, yang membuatnya semakin terlihat cantik adalah kepribadiannya. Di
antara teman-teman yang mengenalnya, Jodha adalah gadis terbaik yang pernah
mereka kenal. Dia senang membantu siapapun tanpa pamrih meski kadang dia tidak
mengenal orang yang ditolongnya. Di antara jadwal kuliahnya yang padat, Jodha
masih menyempatkan diri untuk aktif terlibat sebagai sukarelawan pada beberapa
kegiatan sosial dan badan amal yang mengkhususkan misinya membantu korban
tindak kekerasan pada wanita dan anak-anak. Pada saat libur kuliah, kadang dia
ikut turun ke jalan menggalang dana atau mengkampanyekan sikap Anti Kekerasan
pada wanita dan anak-anak di seluruh dunia. Turun ke jalan bukan berarti
melakukan demo long march atau orasi, namun dengan cara yang lebih menghibur.
Jodha dan kawan-kawannya sering mengadakan pertunjukan musik akustik di taman
publik atau di pusat perbelanjaan dengan membawa papan-papan bertuliskan slogan
Anti Kekerasan. Kemampuannya bermain gitar dan menyanyi memang sengaja
dimanfaatkannya untuk kebaikan.
Pada jam
11 malam, Jodha menghubungi kakak iparnya. Namun dari obrolan mereka, Jodha
tidak memperoleh informasi apa-apa, karena kakak iparnya memang tidak pernah
terlibat dalam urusan bisnis keluarganya. Hanya ada petunjuk kecil yaitu kakak
iparnya pernah memergoki Ibu sedang menangis atau bahwa Ayah dan Kakaknya
sering pulang larut malam.
Melewati
malam tanpa tidur yang cukup nyenyak, esok harinya Jodha tetap berangkat
kuliah. Pagi itu di kampus, seperti biasa dia mendapatkan sebuah buket bunga
dan surat cinta dari salah satu pengagumnya. Dia tidak punya keinginan untuk
membaca isi surat itu dan hanya diletakkannya begitu saja di mejanya. Dia
menunggu kedatangan teman baiknya, Bertha karena dia ingin menceritakan
rencananya untuk pulang kampung. Setelah lima menit menunggu sambil melamun,
temannya datang menyapa...
Bertha:
“Jodha, seperti biasa ada satu surat cinta dan satu buket bunga. Tapi Tuan
Putrinya terlihat awut-awutan. Apa kau tidak tidur semalam?”
Jodha:
“Iya, kau benar. Keluargaku sedang dalam masalah. Aku berencana pulang dulu
sementara. Setelah semuanya beres, aku akan segera kembali menyelesaikan tugas
akhirku. Hari ini aku akan mengurus ijin-ijin yang dibutuhkan.”
Bertha:
“Stop.. stop.. bernapaslah dulu. Ceritakan satu per satu. Keluargamu punya
masalah apa? Lalu, kalau kau mendadak pergi, bagaimana nasib para pengagummu?
Bisa-bisa mereka mati berdiri karena patah hati...”
Jodha:
“Bertha, aku sedang tidak bisa bercanda. Aku juga tidak tahu ada masalah apa di
rumah, karena itulah aku pulang agar semuanya jelas. Dan mengenai pria-pria
yang mengaku jatuh cinta padaku, kau saja yang memberi mereka penjelasan. Kau
sendiri juga tahu kalau aku menganggap mereka semua teman.”
Bertha:
“Lalu bagaimana denganku. Aku akan merindukanmu.”
Jodha:
“Aku juga. Doakan semuanya segera beres. Aku pasti akan sering menelponmu dari
sana.”
Hari itu
juga Jodha mengajukan surat ijin cuti kuliah di kampusnya. Setelah itu dia
memesan tiket pesawat dan merapikan baju-baju ke dalam kopernya. Dia tidak
mempersiapkan apa-apa untuk penerbangan panjang yang akan dilaluinya. Bahkan
waktu makan pun hampir terlewat olehnya. Pikirannya hanya tertuju pada rumah.
Sesampainya
di New Delhi, Jodha langsung naik taxi menuju ke kampung halamannya di Kanhpur,
Uttar Pardesh. Menjejakkan kakinya turun dari taxi, Jodha bernapas lega. Inilah
kampung halaman yang sangat dirindukan dan dibanggakannya. Tampak rumah
keluarganya berdiri di sebelah danau kecil di desanya. Bangunan rumahnya tetap
sama seperti yang diingatnya sejak dia kecil. Hanya dicat ulang tiap tahunnya.
Siang ini rumahnya tidak seperti biasa, tampak sepi tanpa terlihat aktifitas
apapun.
Jodha
langsung masuk ke dalam rumah, karena pintu depan tidak terkunci. Mengedarkan
pandangannya ke sekeliling rumah mencari keberadaan ibu atau kakak iparnya.
Pada jam segitu, biasanya mereka sibuk menyiapkan makan siang. Terdengar
gumaman dari arah teras belakang, perlahan Jodha mendekat tanpa suara....
--‘Seperti suara ayah dan ibu’-- pikir Jodha
Ibu Meena:
“Sekarang kita harus bagaimana?”
Bharmal:
“Kita menghadapi jalan buntu, semua cara sudah aku tempuh, tapi sia-sia
semuanya. Satu-satunya jalan kita harus menjual pabrik ini.”
Ibu Meena:
“Lalu bagaimana nasib semua karyawan?”
Bharmal:
“Aku tidak tahu, yang paling buruk jika pembeli pabrik ini berniat menutup
usaha ini.”
Jodha
terhenyak tak percaya, ternyata masalahnya bisa seburuk ini. Tanpa menunggu
lama, dia langsung masuk dan menyapa ayah dan ibunya, membuat keduanya
terlonjak berdiri karena terkejut....
Jodha:
“Ayah...Ibu...”
Ibu Meena:
“Jodha!! Kau pulang? Kenapa tidak mengabari kami? Kami pasti akan menjemputmu
ke bandara...
Ibu Meena
menghambur memeluk Jodha, putri kesayangannya. Jelas terlihat kalau ibunya
terkejut tapi juga takut jika putrinya mendengar pembicaraan tadi...
Bharmal:
“Kau sehat, anakku?”
Jodha:
“Aku sehat ayah, tapi ayah dan ibu justru yang tidak sehat. Kenapa kalian
menutupi masalah ini dariku? Aku tidak mau dimanjakan seperti ini. Aku putri
kalian, karena itulah aku harus tahu, aku ingin membantu, dengan begitu aku
bisa berbakti pada kalian.”
Ibu Meena
menyela, mencoba mengalihkan topik pembicaraan “Jodha, kau pasti lelah,
istirahatlah dulu, nanti kita bisa bicara lagi. Sekarang aku akan menyiapkan
makan siang untukmu...”
Jodha:
“Tidak apa, Ibu. Aku tidak terlalu lelah. Aku mohon Ayah bersedia menceritakan
semuanya padaku.”
Bharmal:
“Baiklah. Duduklah disini, Ayah akan menceritakan semuanya.”
Jodha
duduk di samping Ayahnya, dan Ibunya duduk di seberangnya. Meski angin semilir
berhembus, namun udara di sekitar mereka tidak terasa sejuk sama sekali.
Ayahnya mulai bercerita. Perusahaannya terlilit hutang yang sangat besar dan
sekarang sudah jatuh tempo. Meski rumah keluarga mereka dijual, namun nilainya
belum bisa menutupi jumlah hutangnya apalagi untuk membayar pesangon
karyawannya. Satu-satunya solusi yang tersisa hanyalah menjual perusahaan.
Namun resikonya adalah jika pemilik barunya nanti akan mengalihfungsikan
seluruh aset, maka tidak akan tersisa lagi pabrik gula yang menjadi kebanggaan
keluarganya.
Jodha:
“Ayah sungguh rela pabrik kita pindah ke tangan orang lain? Bukankah Ayah sudah
mendedikasikan seluruh hidup Ayah untuk pabrik itu? Lalu bagaimana dengan
Kakak?”
Bharmal: “Aku
tidak boleh egois memikirkan diriku sendiri di saat seperti ini. Apa yang akan
Ayah dan Kakakmu lakukan nanti, itu urusan nanti. Sekarang yang penting
bagaimana kami memenuhi kewajiban kami pada karyawan.”
Jodha:
“Lalu siapa yang akan membeli perusahaan ini? Apa Ayah sudah punya calonnya?
Mungkin Ayah bisa bernegosiasi dengannya agar tidak menutup pabrik.”
Bharmal:
“Ayah sudah punya calonnya, besok Ayah akan ke Delhi menemuinya.”
Jodha:
“Aku akan menemani Ayah, paling tidak itulah yang bisa kulakukan.”
Pembicaraan
mereka pun usai tepat saat makan siang. Meski masalah mereka belum selesai,
tapi Jodha merasa sedikit lega, paling tidak dia ada di tengah-tengah keluarga
yang dicintainya. Esok dia akan menemani Ayahnya. Malam ini Jodha berdoa agar
semua urusannya lancar.
Jodha
tidak akan pernah menduga takdir apa yang sudah menantinya.
Keesokan
harinya, Jodha dan Ayahnya sengaja pergi pagi-pagi sekali dari rumah agar dia
bisa segera menemui calon pembelinya. Sampailah mereka di sebuah gedung tiga
lantai dengan eksterior dan interior bergaya modern minimalis. Di pintu masuk
lobinya Jodha membaca nama New Estate Builder, Pvt. Setelah melapor pada
resepsionis, dia mengajak Jodha langsung naik ke lantai tiga, dimana ruangan
pimpinannya berada. Sekretarisnya langsung mempersilahkan Tuan Bharmal untuk
masuk ke sebuah ruangan, dia meminta Jodha untuk menunggu saja di luar.
Jodha
duduk di sofa di ruang tunggu. Wajahnya dihadapkan ke jendela, tangan kanannya
disandarkan di lengan sofa dan telapaknya ditopangkan pada dagunya. Sinar
matahari dari jendela memantul di wajahnya. Bahasa tubuhnya memperlihatkan
kalau dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia bahkan tak menyadari ada
seorang pria yang sedang memperhatikannya.
Sang
pemilik perusahaan ternyata baru tiba, dialah Jalaluddin Akbar. Tidak seperti
biasanya, Bhaksi Bano, adiknya hari itu ikut dengannya. Sesampainya di meja
sekretarisnya, dia diberitahu ada seorang tamu yang sudah menunggunya di dalam.
Langkah
Jalal terhenti saat hendak masuk ke ruangannya, karena dari sudut matanya dia
menangkap sosok yang menarik perhatiannya. Jalal menoleh dan menatapnya
lekat-lekat. Matanya terpaku tak bergerak. Dia gadis yang cantik. Jenis gadis
yang cocok menjadi beauty icon sebuah iklan kosmetik, seakan-akan dia melompat
keluar dari layar televisi dan sekarang duduk di ruang tunggu kantornya.
--‘Dia sedang menunggu siapa?”—Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul di
benaknya.
Dia
tersadar dari keterpanaannya saat mendengar Bhaksi memanggil “Kakak....” sambil
mengguncang lengan Jalal...
Bhaksi:
“Kakak, siapa yang kau lihat?”
Jalal:
“Ha...apa?”
Bhaksi mengikuti
arah pandang Jalal.
Bhaksi:
“Dia?! Mau apa dia disini?”
Jalal:
“Apa kau mengenalnya?”
Bhaksi:
“Mengenalnya?! Aku membencinya! Sangat membencinya!”
Jalal
terkejut mendengar nada marah dari kata-kata Bhaksi. Dia penasaran ‘SIAPA GADIS ITU? Apa yang dilakukannya
hingga Bhaksi marah padanya?’
*************