Mendengar
pintu yang terbuka, Bharmal, Mainavati dan Sujamal langsung menoleh ke arah
pintu. Seorang wanita muncul dari balik pintu.
“Selamat
siang.”
“Selamat
siang, Bu Hameeda. Silahkan masuk,” jawab Bharmal.
Bharmal
mempersilahkan Hameeda duduk di sofa, Bharmal dan Maina duduk berdampingan,
sementara Suja duduk berseberangan dengan Hameeda yang dibatasi oleh meja.
“Oh iya
Pak, Jodha kemana ya? Biasanya dia selalu ada di kamar,” tanya Hameeda.
“Jadi,
anda sering kesini, Bu?” tanya Mainavati.
“Iya,
Bu... Setelah mendengar semuanya dari Jalal, saya tidak bisa menahan diri saya
untuk tidak menemui Jodha. Jodha gadis yang sangat baik, saya sudah menganggapnya
seperti anak saya sendiri. Dan saya sangat senang, jika Jodha benar-benar
menjadi anak saya,” ucap Hameeda dengan tulus.
Mainavati
termenung mendengar penuturan Hameeda. Ia semakin sadar akan ketulusan cinta
Jalal kepada Jodha, ditambah lagi Hameeda begitu menyayangi Jodha meskipun
mereka belum mengenal lebih lama. Hameeda begitu mengerti dengan apa yang
dirasakan Jodha, tidak seperti dirinya yang lebih mementingkan egonya. Tapi dia
melakukan semua itu karena mencemaskan putrinya, akan tetapi tanpa sadar dia
justru mengekang putrinya dengan semua tuntutan-tuntutan yang dia berikan.
Pintu
kembali terbuka, kali ini yang masuk adalah Jalal dan Jodha. Jalal mendorong
kursi roda Jodha dengan pelan menuju ke
tempat tidurnya. Diangkatnya tubuh Jodha dan ia baringkan secara perlahan.
Setelah
itu Jalal berjalan menuju sofa dan menghampiri keluarga Jodha dan ibunya. “Ibu
sudah disini?” ucap Jalal sambil mencium tangan Hameeda.
Bharmal
teringat sesuatu, “Oh iya, saya tadi menemui dr. Mirza, beliau bilang Jodha
sudah boleh pulang besok sore. Penyembuhannya bisa dilakukan dengan berobat
jalan dan terapi rutin setiap seminggu 2 kali.”
Semua yang
mendengar tampak lega. Jodha pun sangat senang karena dia tidak terlalu lama
tersiksa dengan bau obat-obatan di sekelilingnya.
“Akhirn ya…aku sudah tidak sabar lagi untuk pulang,”ucap
Jodha dengan riang, “aku ingin cepat kembali bekerja ma,pa…,” Jodha terdiam, wajah cerianya menghilang seketika teringat dengan kondisinya saat ini. Ia
sadar bahwa dia tidak akan leluasa untuk bekerja lagi.
Jalal
menghampiri Jodha dan duduk di tepi ranjang di sebelahnya. Dibelainya rambut
kekasihnya dengan sayang.
“Sayang...
apa yang kau pikirkan, aku sudah memberikanmu cuti. Kau sudah bekerja keras
selama ini.” Jodha akan membuka mulutnya, tapi Jalal lebih dulu melanjutkan
ucapannya, “Oh baiklah... aku lupa bahwa kau sangat menyukai pekerjaanmu. Aku
punya pekerjaan baru untukmu. Pekerjaanmu adalah menemaniku setiap hari. Ini perintah
dari bosmu, jadi kau tidak bisa menyangkalnya,” ucap Jalal disertai kerlingan mata nakalnya.
Jodha
merasa canggung, “Apa yang dia katakan?
Apa dia tidak sadar kita tidak hanya berdua,” ucap Jodha dalam hati.
Jalal tahu
apa yang dipikirkan Jodha, tapi dia pura-pura tidak tahu. Sementara keluarga
Jodha dan Jalal hanya tersenyum melihat kelakuan mereka berdua, termasuk juga
Mainavati.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Satu bulan
telah berlalu setelah Jodha keluar dari rumah sakit, dan setiap seminggu 3 kali pula Jodha selalu menjalani terapinya dengan
ditemani oleh Jalal. Meskipun di kantor banyak pekerjaan, Jalal selalu
menyempatkan waktunya untuk Jodha. Setiap jam makan siang, Jalal selalu keluar
dan pulang pun juga lebih awal, berbeda saat Jodha bekerja di kantor
bersamanya.
“Mama, apa
yang mama lakukan? Memangnya kita mau kemana? Apa aku perlu memakai baju ini?”
tanya Jodha pada Mainavati sambil memandang dirinya di depan cermin. Namun
Mainavati tetap bungkam meskipun Jodha menanyakan berulang kali.
Malam ini,
tepatnya sabtu malam di kediaman Bharmal, Jodha sudah tampak cantik dengan gaun
malamnya. Gaun berwarna hijau, berlengan pendek, panjang hingga menutupi
kakinya, yah meskipun sampai saat ini Jodha belum bisa berjalan.
Jam sudah
menunjukkan pukul 6.30 malam, Mainavati sudah hampir selesai menyiapkan
hidangan makan malam untuk tamu yang akan datang ke rumahnya. Jodha bingung
dengan perilaku
keluarganya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menghilangkan rasa
penasarannya. Setiap ia bertanya, mereka selalu menjawab, ‘Kau akan tahu nanti.’ dan sampai sekarang Jodha masih terdiam,
karena menurutnya percuma jika dia tanyakan lagi.
Tepat pukul 7, bel pintu rumah Bharmal berbunyi, menandakan bahawa tamu yang mereka
tunggu sudah datang.
“Mereka
datang tepat waktu,” ucap Mainavati kemudian berjalan ke arah pintu.
Saat pintu
dibuka, saat itulah Jodha tahu siapa tamu yang dimaksud. “Jalal dan Bibi Hameeda, jadi mereka tamu itu. Tapi mengapa keluargaku
sampai harus menyembunyikannya dariku, dan mengapa pula aku harus tampil
seperti ini? huuuuh...” desah Jodha dalam hati.
Sambil
menunggu waktu makan malam, keluarga Jodha dan Jalal kini berkumpul di ruang
tamu. Jodha masih duduk di kursi rodanya. Hameeda duduk bersebelahan dengan
Jalal, kemudian ia menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Jodha dan
memintanya untuk membukanya.
“Apa ini,
bibi?” tanya Jodha.
“Bukalah,
nak. Nanti kau akan mengetahuinya,” ucap Hameeda dengan lembut.
Jodha
membukanya, ia begitu terperangah melihat apa yang ada di dalam kotak tersebut.
“Ini indah
sekali, bibi. Pasti harganya sangat mahal. Kau sudah memberiku sepasang anting-anting berlian kemarin, aku merasa
tidak pantas untuk menerima semua ini,” ucap Jodha berusaha menolak pemberian
Hameeda, meskipun ia tahu bahwa Hameeda tidak akan menyukainya.
“Tidak,
nak, kau harus memakainya, itu adalah kalung keluarga kami yang diberikan oleh
Ibu
almarhum ayah Jalal kepadaku. Dan sekarang itu
menjadi milikmu, karena kau akan segera menjadi bagian dari keluarga kami,”
tegas Hameeda sementara Jalal hanya tersenyum kepada bidadari yang ada dihadapannya kini. Apapun
yang kenakan Jodha selalu mampu membuatnya terhipnotis.
“Maksud,
bibi? Tapi...” Jodha bimbang, apakah dia akan mengatakan bahwa Mainavati belum
memberikan restu padanya.
Mainavati
seakan tahu apa yang dipikirkan Jodha, sebelum Jodha melanjutkan ucapannya,
Mainavati menjawab, “Tenanglah, sayang... Mama merestui hubunganmu dengan Jalal. Dia laki-laki yang baik,
maafkan mama, mama melupakan perasaanmu dan lebih mementingkan ego mama. Jalal
adalah laki-laki yang baik dan mama yakin dia akan menjagamu dan merawatmu
dengan penuh cinta.”
Suasana
begitu haru. Sebelum ada yang meneteskan air mata, Bharmal memecahkan suasana
haru tersebut dengan suasana ceria.
“Jalal,
apakah rangkaian rencana kita akan segera kita laksanakan?” tanya Bharmal dan
sukses membuat Jodha kebingungan.
“Hai
Baghwan... Apa lagi yang kalian sembunyikan dariku?” gerutu Jodha diikuti wajah
cemberutnya, menyilangkan tangan di depan dada dan dialihkannya pandangannya ke
tempat lain.
“Tidak,
Di... kami tidak menyembunyikannya darimu, kami akan segera mengatakannya
padamu,” ucap Sujamal.
“Kau juga
tahu, Suja?” tanya Jodha.
“Tentu
saja, bagaimana aku tidak terlibat dalam persiapan pertunanganmu,” ucap Sujamal
jenaka.
“Apa?
Tunangan?” volume suara Jodha meninggi karena keterkejutan.
“Kenapa?
Apa kau tidak mencintaiku? Apa kau
tidak percaya cintaku, Jodha? Apa aku perlu
membuktikan cintaku padamu?” Jalal memberondong Jodha dengan
pertanyaan-pertanyaannya.
Sementara
Jodha jadi cemas dan kebingungan, “Bagaimana
ini? Aku tidak mau dia menciumku di depan mereka,” ucap Jodha dalam hati.
Mainavati
segera menghentikan perdebatan mereka berdua, “Sudah sudah... sekarang sudah
waktunya makan malam. Mari Bu, nak Jalal.”
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Setelah
makan malam selesai, Keluarga Bharmal dan Hameeda membicarakan rencana mereka
di ruang tamu, sementara Jalal meminta izin kepada mereka semua untuk berbicara
berdua dengan Jodha di taman belakang rumah Jodha.
“Bibi, apa
boleh aku berbicara berdua saja dengan Jodha di taman belakang?” tanya Jalal
pada Mainavati.
“Tentu
saja, nak Jalal,”
Setelah
mendapat persetujuan Mainavati, Jalal langsung berjalan menghampiri Jodha.
Jodha berpikir bahwa Jalal akan mendorong kursi rodanya karena ada keluarga keduanya di antara mereka. Tapi Jodha salah, Jalal
justru langsung menggendong tubuh Jodha tanpa memperdulikan protes Jodha.
“Jalal, apa yang kau lakukan?”
“Menggendongmu,” jawab Jalal dengan santai,
“bukankah sudah kukatakan, aku akan menjadi kakimu selama kau tidak bisa
berjalan dengan kedua kakimu. Jika kau tidak menyukainya, maka segeralah
sembuh. Atau... kau memang sengaja ingin ku gendong terus?” entah berapa kali
Jalal mengatakan hal itu dan selalu berhasil membuat pipi Jodha merona.
Lagi, lagi
dan lagi... Keluarga mereka selalu dibuat tersenyum melihat pasangan tersebut,
terkadang hanya Sujamal yang berani menggoda mereka dan Jalal justru menyukai
hal tersebut karena pipi Jodha akan semakin merona.
Kini Jodha
dan Jalal sudah berada di taman belakang. Jalal duduk di bangku taman dengan
Jodha duduk dipangkuannya. Jodha berusaha membebaskan dirinya, tapi Jalal sudah
mengunci tubuhnya dengan memeluknya. Jodha frustasi dan akhirnya dia pasrah
dengan posisinya saat ini.
“Haahhh...
dasar keras kepala. Apa kau tidak lelah jika memangkuku seperti ini?” tanya
Jodha.
“Tidak,
bahkan aku sanggup memangkumu seperti ini sepanjang hidupku,” goda Jalal.
“Kau tahu,
Jalal... Ada untungnya juga aku lumpuh seperti ini, dengan begitu aku tidak
akan bisa lari darimu,” ucap Jodha mencoba bercanda, namun ada kesedihan
didalam nada bicaranya.
“Apa
maksudmu? Jadi kau akan meninggalkanku jika kau bisa berjalan nanti? Itu tidak
akan pernah terjadi, sebelum itu terjadi aku akan mengikatmu. Minggu depan kita
akan bertunangan di villa keluargaku, dan 3 bulan setelahnya kita akan menikah.
Mengitari api suci adalah impianmu, kan? Jadi segeralah gerakan kakimu, jika
kau tidak bisa, maka aku akan terus menggendongmu dihadapan semua orang.” Jalal
mengutarakan semua rencananya disertai godaan-godaannya.
“Apa?
Kenapa kau tidak tanya dulu padaku? Minggu depan? Itu terlalu cepat Jalal. Aku
belum mempersiapkan apapun. Dan juga, bagaimana bisa aku berjalan dalam waktu 3
bulan lagi, dokter saja mengatakan bahwa prediksinya aku baru bisa kembali
berjalan dalam waktu 6 bulan setelah kecelakaan itu?!” gerutu Jodha.
“Untuk
masalah acara kau tenang saja, aku dan keluargamu sudah mengurusnya, sayang...
Dan kau bisa segera berjalan atau tidak itu tergantung dari dirimu sendiri. Jodha yang ku kenal adalah seseorang yang
optimis, bahkan dia sanggup mengerjakan tugas yang kuberikan dalam satu hari
padahal aku memberinya waktu dua hari.”
Jodha
mulai merajuk, “Tapi itu sesuatu hal yang berbeda, Jalal.”
“Apa kau
tidak percaya padaku, sayang? Akan kubuktikan kekuatan cintaku padamu?” ucap
Jalal disertai kerlingan nakalnya.
“A... apa
maumu?” Jodha mulai siaga, dia tahu apa yang dipikirkan Jalal sekarang. “Jangan
macam-macam, Jalal!”
Namun
Jodha tidak bisa berbuat apapun, dia tidak bisa menghidar. Jalal langsung
mengunci bibir Jodha menggunakan bibirnya. Ciuman yang begitu lama dan intens
dengan posisi Jodha yang kini masih dalam pangkuan Jalal. Sentuhan bibir yang
sudah lama dirindukan keduanya semenjak Jodha mengalami kecelakaan, begitu hangat dan manis terasa.
Kehangatan yang saat ini menjalar di tubuh keduanya mengiringi ciuman mereka
saat ini, tanpa ada rasa khawatir dan takut di hati mereka. Kedamaian dan
kebahagian mereka saat ini terasa begitu lengkap mereka rasakan saat berbagi
ciuman malam itu.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Seminggu
telah berlalu, kini tiba waktunya pertunangan Jodha dan Jalal. Sesuai permintaan Jodha, ia tidak ingin acara
pertunangannya terlalu mewah, sebelumnya dia mengancam tidak mau bertunangan dengan
Jalal jika Jalal melangsungkan pertunangannya dengan cara yang berlebihan. Di
villa Jalal yang jauh dari keramaian kota, tepatnya di halaman yang begitu
luas, sudah dihiasi dengan banyak pita, balon, bunga dan confetti. Halaman
villa Jalal kini berubah warna perpaduan merah konvensional dan putih. Meja
berwarna hitam yang dihiasi dengan mawar warna merah dan tempat lilin yang
berkilauan dan lilin warna putih pada bagian atasnya.
Malam
harinya, sudah banyak keluarga Jalal dan Jodha yang hadir dan beberapa sahabat
dekat mereka. Jalal sudah menyambut mereka dengan ramah, sementara Jodha masih
berada di kamarnya tempat menginap semalam bersama Ruqs dan Salima.
“Ah..
tidak kusangka, ternyata hottie kita akan segera bertunangan dengan Presdir,”
goda Ruqs.
“Iya Ruqs,
bahkan aku tidak percaya bahwa Presdir yang begitu dingin, hatinya bisa
dicairkan oleh gadis yang keras kepala seperti kau, Jodha,” tambah Salima menggoda.
“Ahh...
apa-apaan kalian ini? Selalu saja
menggodaku,”ucap Jodha merajuk dengan rona merah di wajahnya. “Oh iya Ruqs, kapan kau akan menyusul kami
bersama Sharif, pacar barumu itu?” Jodha
balik menggoda Ruqs.
“Hei…kenapa kau justru balik menggodaku? Tapi,
mungkin sebentar lagi kalian akan menerima undangan dariku,” kata Ruqaiyya dan langsung
mendapat sorakan dari Jodha dan Salima.
“Kita
lanjutkan ini nanti, sekarang sudah waktunya untuk Jodha menemui calon
tunangannya yang sebentar lagi akan menjadi calon suaminya,” Salima
mengingatkan.
Kini Jodha
sudah sampai di halaman dimana tempat pertunangan akan dilangsungkan. Dia
ditemani oleh Salima dan Ruqaiyya yang berada dibelakang kursi rodanya.
Saat Jalal
menyadari kehadiran Jodha, dia begitu terpesona dengan penampilan kekasihnya
yang akan segera menjadi tunangannya ini. Apapun yang dikenakannya,
bagaimanapun keadaannya, pesonanya selalu berhasil mengalihkan dunianya. Saat
ini Jodha mengenakan baju berwarna putih tulang berlengan pendek. Rambutnya ia
biarkan terurai dan wajahnya dipoles dengan riasan natural namun elegan. Meskipun dia harus berusaha lebih keras
untuk bisa memakai baju yang sesuai keinginannya. Ia tidak ingin memakai
pakaian yang terlalu terbuka, dan tentu Jalal akan mengabulkan keinginan
kekasihnya tersebut karena Jodha terus menggertaknya.
Sementara
itu Jalal mengenakan kemeja berwarna putih dengan jas berwarna abu-abu. Mereka
tampak serasi saat disandingkan.
Tak lama
kemudian acara pertunangan pun dilangsungkan. Jodha begitu terpana saat melihat
sepasang cincin yang ada dihadapannya. Cincin permata dengan sedikit emas yang
bertaburkan permata di sekelilingnya. Cincin yang akan disematkan di jari
Jodha, memiliki sebuah permata yang lebih besar dibandingkan yang lainnya di
bagian atasnya.
Jodha
ingin menitikkan air mata setelah acara tukar cincin berlangsung, namun ia
menahannya. Jalal menunduk, meraih kedua tangan Jodha dan mengecup punggung
tangannya. Akhirnya air mata lolos juga, air mata kebahagiaan membasahi kedua
pipinya. Dengan penuh perhatian, Jalal menghapus air mata Jodha dengan tangan
kanannya. Sungguh, jika tidak ada banyak orang disana, maka dia akan langsung
menghapus air mata itu dengan bibirnya, bukan dengan tangannya. Akan tetapi
Jalal berusaha keras untuk mengontrol keinginnya tersebut, banyak janji yang
sudah ia katakan pada Jodha, ia tidak akan banyak menggoda Jodha saat banyak
mata yang menatap mereka. Jalal benar-benar tidak berkutik karena
ancaman-ancaman Jodha, meskipun ia sendiri tahu bahwa Jodha juga menginginkan
dirinya, bahwa Jodha ingin selalu bersamanya. Namun demi kekasihnya, Jalal akan
menurutinya untuk saat ini, akan tetapi tidak untuk nanti, meskipun Jodha
melarangnya, dia akan terus menggodanya setiap ada kesempatan.
Sudah
larut malam, para tamu sudah banyak yang pulang termasuk Ruqs dan Salima. Kini
hanya tinggal Jodha, Jalal, Maina, Bharmal, Suja dan Hameeda yang menginap di
Villa. Semua orang sudah masuk ke dalam kamar mereka masing-masing, akan tetapi
Jodha masih berada di taman di temani oleh Jalal.
“Sudah
malam, sebaiknya kau cepat istirahat. Aku tidak mau calon istriku kelelahan,”
ucap Jalal.
“Kenapa
kau menggodaku lagi?” rajuk Jodha.
“Kenapa,
sayang? Acara pertunangan kita kan sudah berlalu, jadi sekarang aku bebas akan
melakukan apapun padamu,” Jalal mengucapkan kalimatnya disertai senyumannya dan
lirikan matanya yang tajam.
Jodha
merasa dirinya kembali terancam.
Seakan dia tahu apa yang dipikirkan Jalal saat ini. Dan benar saja, saat itu
juga Jalal langsung memegang kedua pipinya dan mencium bibirnya, keduanya kembali menikmati
ciuman mereka malam itu. Tak hanya itu, setelah apa yang ditahan Jalal sejak
tadi sudah terbayar, kini dia langsung menggendong Jodha.
Jodha
menjerit karena Jalal terus menerus membuatnya terkejut dengan tindakannya,
“Turunkan aku, sayang... kau hanya perlu mendorongku diatas kursi rodaku.”
“Tidak!”
ucap Jalal singkat.
Jodha
tahu, percuma saja dia mengelak, Jalal akan melakukan apapun yang dia mau dan
Jodha pun sebenarnya menikmatinya. Dia sangat bahagia mendapat cinta yang
berlimpah dari kekasihnya ini, dan dia semakin bertekad untuk segera sembuh secepatnya.
To Be
Continued
Terima
kasih Bunda Alfi atas ide cerita dan bantuanya menyempurnakan tulisan ini.
Terima kasih untuk all readers atas kesabaran, like dan komentarnya selama ini.
Partisipasi kalian selalu saya nantikan...
FanFiction
His First Love Chapter yang lain Klik
Disini