Jodha – “Aku tidak mau ada pesta yang
terlalu meriah... Pestanya cukup sederhana, toh ini hanya formalitas saja,
kan?! Pernikahan ini hanya sebuah kedok.”
Jalal – “Aku tidak peduli pestanya seperti
apa. Yang pasti aku akan mengumumkan pernikahan kita di media agar para
kolegaku percaya aku sudah menikah..”
Perdebatan demi perdebatan telah mereka
lalui hingga memakan waktu hampir sesore ini, merasa tidak ada yang perlu
dibicarakan lagi, Jodha pun pulang. Belum pernah dia merasa selelah ini,
tenaganya terkuras habis baik fisik maupun emosi. Namun jika ini satu-satunya
cara dia bisa menyelamatkan bisnis keluarganya, dia akan melakukannya tanpa
mengeluh. Jalal sudah berjanji tidak akan menyentuhnya, jadi dia tidak perlu
merasa was-was.
Sesampainya di rumah, seperti yang sudah
diduganya, seluruh keluarganya mencecar dengan berbagai pertanyaan yang intinya
adalah isi pembicaraan dengan Jalal tadi siang.
Ibu Meena – “Jodha.. bagaimana Nak?? Apa
kau baik-baik saja? Dia tidak berbuat aneh-aneh padamu kan?”
Jodha – “Tidak Bu, aku hanya lelah karena
perjalanan. Tuan Jalal cukup menghormatiku, dia tidak melakukan apa-apa
padaku.”
Jodha mencoba meyakinkan Ibunya yang
terlihat sangat khawatir. Dia juga harus mencoba meyakinkan seluruh
keluarganya, dia tidak ingin mereka tahu alasan sebenarnya Jalal menikahinya.
Dia harus terlihat tenang meski perasaannya campur aduk. Untuk pertama kali
dalam dua puluh tiga tahun hidupnya, dia harus berbohong pada orang tuanya.
Jodha tahu dia akan menanggung dosa besar, tapi ini juga pertama kalinya dia
berkorban demi keluarga yang dicintainya.
Tuan Bharmal – “Jodha.. apa kau bertanya
padanya alasan dia menikahimu..?”
Akhirnya pertanyaan ini muncul, Jodha
menelan ludah sebelum dia dengan susah payah menjawab..
Jodha – “Iya, Ayah.. Dia hanya bilang kalau
aku adalah tipe wanita yang ingin dinikahinya..”
Tuan Bharmal – “Apa kau juga bilang kalau
kau tidak mengenalnya apalagi mencintainya?”
Jodha – “Iya, dia menghargai perasaanku.
Dia akan menjaga kehormatanku sebagai istrinya nanti. Aku akan mencoba
mengenalnya seiring waktu dan mungkin lambat laun aku akan menyukainya juga.”
Jawaban terakhir yang dilontarkannya atas
pertanyaan ayahnya, terasa seperti memuntahkan batu besar dari dadanya. Karena
yang sejujurnya adalah dia tidak ingin menyukai pria manapun, apalagi calon
suaminya itu. Dengan kecantikan wajahnya, memang tidak bisa dihindari jika
banyak pria yang menyukainya, tapi berulang kali pula dia menolak perasaan
mereka. Hanya karena dia tidak ingin pria-pria itu kecewa jika mereka tahu apa
yang telah terjadi pada dirinya. Dia berusaha memagari perasaannya rapat-rapat
agar tidak ada yang bisa menyentuhnya, karena bukan hanya mereka yang kecewa,
dirinya sendiri akan jauh lebih terluka.
Sekarang dia malah akan menikah. Bagaimana
jika Jalal nanti jatuh cinta padanya? Bagaimana dia akan menghadapinya? Baginya
lebih mudah, jika dia menolak perasaan seseorang kemudian dia akan bersembunyi
agar tidak bertemu dengan orang itu. Tapi tidak akan bisa dengan pria yang akan
menjadi suaminya ini, mereka akan sering bertemu karena tinggal dalam satu
rumah, dia tidak akan bisa sembunyi atau melarikan diri lagi.
Tuan Bharmal – “Jodha, pertimbangkan dulu
keputusanmu. Kau masih punya waktu untuk membatalkannya.”
Jodha – “Tidak perlu Ayah. Aku yakin dengan
keputusanku. Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir.”
Beruntung Jodha memiliki keluarga yang
selalu mendukungnya. Di saat keluarga lain ingin segera menikahkan putri mereka
dengan pria manapun yang lebih dulu melamar, keluarganya malah tidak pernah
menuntutnya untuk segera menikah. Orang tuanya membebaskannya menentukan
sendiri masa depannya. Karena itulah, meski keputusannya ini bertentangan dengan
prinsip dan hati nuraninya, demi kebahagiaan keluarganya, biarlah dia sendiri
yang akan menanggung resikonya.
Jodha – “Ibu, aku dan Tuan Jalal sepakat
tidak akan menggelar pesta besar-besaran, cukup sederhana saja. Kita undang
keluarga kita saja, dan lagipula Tuan Jalal tidak punya orang tua, jadi aku
khawatir akan terasa agak canggung..”
Ibu Meena – “Kau benar-benar yakin?? Bagi
kami tidak masalah pesta meriah atau sederhana, yang penting kau bahagia dengan
keputusanmu..”
Jodha hanya menjawab dengan senyuman, meski
agak dipaksakan, dia bisa bernapas lega karena alasan yang diberikannya bisa
meyakinkan keluarganya.
Karena pernikahannya akan digelar seminggu
lagi, maka hiruk-pikuk persiapannya langsung dimulai. Rumahnya mulai dihias.
Meski dihelat lebih sederhana daripada pesta pernikahan pada umumnya, namun
keluarga Jodha tetap melengkapi semua ritual upacaranya. Mulai dari upacara
shagun, Mangni, Mehndi, sampai ritual utamanya mengelilingi api suci sebanyak
tiga kali. Selama pesta, yang terlihat sangat tidak biasa adalah ketidakhadiran
keluarga mempelai pria. Jalal hanya didampingi oleh dua orang pengacaranya.
Untunglah seluruh kerabat Jodha memakluminya.
Setelah seluruh tamu meninggalkan pesta,
Jalal kembali ke hotel tanpa Jodha, karena Jodha ingin menghabiskan malam
terakhirnya di rumah dengan tidur bersama Ibunya. Jodha pasti akan merindukan
saat-saat bermanja di pelukan Ibunya seperti ini. Setelah malam ini, dia akan
berperan sebagai istri Tuan Jalaluddin Akbar. Dia akan tinggal di Delhi dan mungkin
dia tidak bisa sering-sering menemui keluarganya di Uttar Pardesh.
Keesokan paginya, Jalal menjemput Jodha
untuk segera berangkat ke Delhi. Seperti yang terjadi di keluarga India pada
umumnya, saat-saat ketika keluarga sang gadis melepaskan putrinya untuk pergi
bersama suaminya, tak terelakkan adalah saat-saat paling mengharukan. Tentu
Ibunya yang paling sedih, dia harus melepaskan putri yang sudah dibesarkannya
dengan penuh cinta. Jodha tak kuasa melihat air mata di wajah Ibunya. Setelah
mencium kaki orang tuanya, cepat-cepat dia masuk ke mobil dan melambaikan
tangannya pada seluruh keluarganya.
Perjalanan Uttar Pardesh-Delhi dilalui
dengan keheningan. Jodha dan Jalal sama-sama tidak ingin memulai pembicaraan
meski hanya basa-basi saja. Masing-masing mereka sibuk dengan pikirannya. Duduk
merekapun terpisah di masing-masing ujung jok penumpang di bagian belakang
mobil 4WD milik Jalal. Sesekali terdengar dering ponsel Jalal menandakan kalau
dia orang yang sangat sibuk. Tapi Jodha tidak pernah sekalipun menoleh.
Sesampainya mereka di apartemen Jalal,
mereka hanya disambut oleh seorang wanita, sepertinya dia adalah asisten rumah
tangga Jalal. Pria yang sebelumnya bertindak sebagai sopir selama perjalanan,
membawa masuk koper-koper bawaan Jalal dan Jodha. Jalal memerintahkan pada pria
itu meletakkan koper Jodha di sebuah kamar yang terletak di ujung koridor.
Jodha mengikutinya karena itu berarti adalah kamar yang akan ditempatinya.
Sedangkan Jalal masuk ke sebuah kamar yang sepertinya adalah kamar tidurnya.
Jodha memasuki sebuah kamar yang berukuran
2,5x3m, lebih kecil dari kamarnya di rumah orang tuanya. Dia mendesah –‘Jalal mungkin berpikir dia akan berhasil
menyiksa perasaanku dengan menempatkanku di kamar ini, tapi aku tidak akan
membuatnya senang. Aku tidak akan membuang waktuku dengan mengeluh.’—
Dindingnya bercat putih. Di dalam kamar itu sudah tersedia sebuah single bed,
lemari wardrobe yang tertanam di dinding dengan sepasang pintu geser, satu set
meja dan kursi. Jodha mulai mengatur letak pakaiannya di lemari. Sebagian besar
pakaiannya adalah t-shirt, kemeja dan celana katun, cardigan, dan celana denim.
Beberapa sackdress, nightgown dan saree yang hanya akan dipakainya untuk acara
formal tertentu saja.
Tidak banyak yang memperhatikan, Jodha
hampir tidak pernah memakai Shalwar Kurta atau Shalwar Kameez seperti gadis
India umumnya. Bukan karena dia tidak mencintai budayanya sendiri, tapi karena
ada alasan tertentu, yang hanya Jodha dan keluarganya yang tahu alasan dia
merasa tidak nyaman mengenakan kedua pakaian tradisional itu.
Berjam-jam dihabiskannya untuk mengatur
kamarnya, kamar yang akan ditempatinya sebagai istri Tuan Jalal, entah sampai
kapan itu berlangsung. Perutnya yang lapar mengingatkannya akan waktu makan
siang yang sudah terlewat. Jodha pun menuju dapur. Disana sudah ada wanita yang
tadi menyambutnya saat dia baru datang.
Bibi Meeta – “Selamat datang, Nyonya.
Namaku Meeta,panggil saja aku Bibi Meeta.”
Jodha – “Terima kasih. Panggil saja aku
Jodha, Bi. Tidak perlu memanggil Nyonya.”
Bibi Meeta – “Rasanya itu kurang sopan.”
Jodha – “Tidak Bi, kan terdengar lebih
akrab seperti itu. Anggap saja aku putrimu sendiri, jadi jangan terlalu sungkan
padaku....Bibi Meeta, aku lapar, Apa kau punya sisa makan siang?”
Bibi Meeta – “Maaf Nyonya...maksud saya
Jodha. Hanya ada roti lapis isi jika anda mau.”
Jodha – “Tidak ada yang lain?”
Jodha membuka lemari pendingin besar di
dapur itu, ternyata isi di dalamnya membuatnya mengernyitkan wajah.
Jodha – “Kenapa isinya hanya minuman dan
makanan ringan?”
Bibi Meeta – “Karena Tuan Jalal jarang
sekali makan di rumah. Dari pagi sampai malam, Tuan makan di luar, kecuali jika
dia menjamu tamu disini.”
Jodha – “Jadi tugas Bibi disini apa kalau
tidak memasak?”
Bibi Meeta – “Tugas saya memastikan seluruh
ruangan disini bersih. Setelah lewat siang hari, praktis saya tidak melakukan
apa-apa. Tapi untuk akhir pekan, biasanya saya berjaga sampai malam, karena
Tuan sering mengajak temannya minum-minum disini.”
Jodha – “Temannya pria atau wanita?”
Bibi Meeta – “Temannya pria......dan
wanita.”
Jodha – “Tidak apa, Bi, tidak perlu
ditutupi. Aku sudah tahu..... Kalau begitu aku akan berbelanja dulu, karena aku
ingin memasak untuk kita berdua. Apa Tuan Jalal ada di kamarnya?”
Bibi Meeta – “Tidak, Tuan Jalal sudah
pergi.”
Jodha merasa lega karena Jalal sudah pergi,
paling tidak dia tidak perlu memberitahunya hanya untuk sekedar berbelanja.
Jodha menuju ke sebuah hyper mart. Berbagai macam sayuran, daging, bumbu dapur,
bahkan bahan untuk kuepun dibelinya. Dia berniat selama di Delhi dia akan
memasak, meski yang menikmatinya hanya dia dan Bibi Meeta. Toh dia membeli
semuanya dengan uangnya sendiri.
Terhitung lima kantong besar dibawanya
pulang. Beruntung sopir taksi yang ditumpanginya bersedia membantunya
mengangkat semua kantong itu hingga di depan pintu apartemen Jalal di lantai
lima. Untuk makan malamnya, jodha berencana memasak ayam tandoori. Selain itu,
dia juga membuat pie apel dan brownies kenari kesukaannya. Sambil memasak,
Jodha mengajak Bibi Meeta mengobrol...
Jodha – “Bibi, kue ini tidak mungkin habis
malam ini, sisanya disimpan saja di lemari pendingin, bisa dihangatkan lagi
jika akan dihidangkan.”
Bibi Meeta – “Anda pintar sekali memasak.”
Jodha – “Terima kasih. Oh ya, kalau Tuan
Jalal tidak sengaja melihat ini semua, dan seandainya dia bertanya, tolong
jangan katakan kalau aku yang memasak. Dia tidak akan suka. Katakan saja Bibi
yang memasak ya?”
Bibi Meeta – “Tapi kenapa..?”
Jodha – “Tidak apa-apa, Bi. Hanya katakan
seperti itu saja.”
Sebenarnya Jodha menyimpan banyak
pertanyaan tentang Jalal, tapi dia ragu untuk mengoreknya dari Bibi Meeta.
Jodha – “Bibi, apa kau sudah lama bekerja
pada Tuan Jalal?”
Bibi Meeta – “Sejak ayahnya meninggal, saya
mulai bekerja pada Tuan Jalal, awalnya saya bekerja mengasuh Nona Bhaksi.”
Jodha – “Bhaksi itu adiknya Tuan Jalal,
kan? Kenapa dia tidak hadir saat pernikahan kami?”
Bibi Meeta – “Dia sedang kuliah di Inggris.
Sejak pertunangannya dibatalkan, Nona Bhaksi jarang pulang ke India. Tapi
setiap kali dia pulang, dia tidur di kamar itu.”
Bibi Meeta menunjuk ke sebuah kamar yang
ukurannya sama besar dengan kamar Jalal. Jodha ingin sekali bertemu dengan
Bhaksi untuk meminta maaf padanya. Jika memang pertunangannya batal karena
kesalahan yang melibatkan dirinya, dia akan menghadapi kebencian Bhaksi secara
langsung.
Selesai makan malam, Jodha masuk ke
kamarnya. Dia mereka-reka rencana kegiatan apa yang bisa dilakukannya besok,
dia tidak tahan jika harus berdiam diri di apartemen sepanjang hari. Tak terasa, Jodha sampai tertidur...
Keesokan paginya, Jodha mengawali pagi
harinya dengan jogging. Olahraga pagi akan membantunya siap melakukan aktifitas
apapun sepanjang hari. Saat dia kembali, ternyata Jalal sudah berpakaian rapi
siap bekerja. Saat berpapasan di pintu, tanpa menoleh Jalal
berkata—“Bersiaplah, nanti setelah makan siang datanglah ke kantorku. Kita akan
menemui klienku. Tugas pertamamu sebagai istriku. Ingat, kau hanya perlu
bersikap seolah kita adalah pasangan serasi.”
Sebelum waktu makan siang, Jodha sudah bersiap-siap.
Dia mengenakan sackdress katun selutut tanpa lengan dengan lipitan di bawah
dada berwarna biru kelasi dengan motif bunga-bunga kecil di bagian bawah. Tidak
lupa dia mengandalkan high heels untuk menyempurnakan penampilannya. Karena ini
siang hari, Jodha hanya mengikat rambutnya ke sisi kiri dengan scarf putih.
Dengan taksi, dia menuju ke kantor Jalal. Disana Jalal sudah menunggu di
mobilnya.
Jodha hanya bisa menerka-nerka kemana Jalal
akan membawanya. Mereka berkendara ke arah selatan meninggalkan kemacetan New
Delhi. Daerah yang mereka lalui selama perjalanan adalah semacam wilayah
sub-urban. Di kiri kanan jalan tampak rumah-rumah berjajar rapi. Tampaknya
sebagian besar penghuni wilayah ini adalah keluarga dengan tingkat ekonomi
menengah ke atas. Setelah berkendara kurang lebih satu jam, sampailah mereka di
daerah yang lebih eksklusif dengan deretan villa dan latar belakang daerah
perbukitan.
Jalal membelokkan mobilnya ke sebuah jalan
masuk salah satu villa. Tampaklah sebuah bangunan indah bergaya pedesaan Eropa
dengan tembok dari batu bata merah. Pepohonan di sekitar rumah menambah asri
suasananya. Jalal memarkir mobilnya dan melangkah menuju pintu masuk utama
rumah. Jodha mengikuti di belakangnya.
Seorang pria membuka pintu setelah Jalal
mengetuknya, dia lalu memandu Jalal dan Jodha ke sebuah ruangan yang menghadap
sebuah taman dan dibatasi sebuah pintu model Perancis yang tingginya mencapai
langit-langit rumah. Setelah mempersilakan mereka berdua duduk, pria itu
kemudian beranjak pergi untuk memberitahu tuan rumah tentang kedatangan
tamunya.
Seorang pria setengah baya dan sepertinya
berkebangsaan Belanda masuk dari pintu Perancis itu dan menghampiri Jalal...
Tuan Rudolf – “Selamat siang Tuan Jalal.
Apa kabar?”
Jalal – “Selamat siang, Tuan Rudolf. Dan
kenalkan ini istri saya, Jodha. Jodha ini Tuan Rudolf Bernardt.”
Tuan Rudolf – “Selamat siang, Nyonya.
Selamat datang di rumah kami. Panggil saja saya Rudolf.”
Jodha – “Terima kasih. Rumah anda sangat
indah, Tuan Rudolf.”
Jalal – “Tuan Rudolf, terima kasih atas
waktunya. Kedatangan saya kesini untuk mengajukan kembali proposal yang
sebelumnya anda tolak. Saya sudah merevisinya dan saya harap anda
mempertimbangkannya lagi.”
Tuan Rudolf – “Baiklah, mari kita bicarakan
di ruangan saya.”
Jalal – “Jodha, kau tunggu sebentar
disini.”
Meski Jalal mengatakannya dengan nada
datar, namun sinar matanya menyiratkan hal yang berbeda, seakan yang sebenarnya
ingin dia katakan adalah –‘Tunggulah
disini dan jangan macam-macam—“
Jalal mengikuti Tuan Rudolf masuk ke ruang
kerjanya dan menutup pintu di belakang mereka.
Tuan Rudolf – “Sebelumnya aku ucapkan
selamat atas pernikahanmu.”
Jalal – “Terima kasih. Silakan anda periksa
proposal yang telah saya susun. Semoga sesuai dengan yang anda inginkan.”
Tuan Rudolf mulai memeriksa satu per satu
isi proposal yang diajukan Jalal. Jalal menunggu dengan harapan tinggi bahwa
kali ini Tuan Rudolf akan menyetujuinya. Dia datang sebagai pria yang sudah
menikah seperti tuntutan Tuan Rudolf sebelumnya yang mencari partner yang sudah
berkeluarga , jadi dia merasa kali ini pasti akan berhasil. Saat itu suasananya
cukup sunyi, yang terdengar hanya suara kertas yang dibolak-balik.
Tiba-tiba....
“Aaaaaaaaahhhhhhh......”
Terdengar jeritan dari luar....
**********************