Mendengar
ada orang bicara, Jodha tersadar dari lamunannya. Dia menoleh mencari asal
suara. Saat itulah dia melihat seorang pria dan seorang gadis berdiri dekat
pintu ruangan yang tadi dimasuki oleh ayahnya. Kedua orang itu memandang ke
arahnya, namun karena Jodha tidak merasa mengenalnya, dia hanya menoleh sekilas
dan kembali terpekur menatap keluar jendela. Tapi anehnya, dia merasa ada
kebencian dalam tatapan gadis itu padanya. Namun saat Jodha menoleh kembali,
kedua orang itu sudah tidak nampak.
Rupanya
Jalal menyeret Bhaksi masuk ke ruangannya sebelum kemarahan adiknya itu
meluap-luap. Karena ada tamu yang menunggunya, maka Jalal menyuruh adiknya
diam, sementara dia menyelesaikan urusan dengan tamunya.
Jalal:
“Tuan Bharmal...Silakan”
Jalal
duduk di kursinya, berhadapan dengan Tuan Bharmal tapi terpisahkan oleh meja
yang cukup besar.
Bharmal: “
Saya kemari untuk menindaklanjuti tawaran sebelumnya.”
Jalal:
“Dari pihak saya, saya tetap berpegang pada harga yang sudah diajukan.”
Bharmal:
“Pada dasarnya saya setuju, tapi ada satu permintaan khusus dari saya. Bisakah
operasional pabrik itu dipertahankan?
Ini demi rasa kemanusiaan semata. Karena pabrik itu adalah tumpuan hidup
para karyawannya.”
Jalal:
“Kurasa anda tidak berhak ikut campur pada urusan saya terutama pada apa yang
akan saya lakukan nanti.”
Bharmal:
“Memang benar, tapi tidak bisakah anda sedikit berempati?”
Jalal:
“Saya tidak suka berkompromi dalam bisnis.... Baiklah, sepertinya keputusan ini
sudah final. Selanjutnya pengacara saya yang akan mengurus surat-suratnya. Jika
tidak ada hal penting yang akan dibicarakan, pertemuan kita hari ini selesai.
Selamat siang..”
Jalal
menjabat tangan Tuan Bharmal dan mempersilakannya keluar. Dari celah pintu yang
membuka saat Tuan Bharmal keluar, sekilas Jalal bisa melihat gadis itu berdiri
menghampirinya. –‘Jadi gadis itu datang bersama Tuan Bharmal?..Apa dia
sekretarisnya?..Sepertinya bukan, pakaiannya lebih kasual..Atau apakah dia
putrinya?..Stop! kenapa aku harus peduli?!’—Jalal berkutat sendiri dengan
pertanyaan-pertanyaan di dalam pikirannya. Dia baru tersadar saat Bhaksi
berujar...
Bhaksi:
“Kakak, kau melamun lagi...Apa kau masih memikirkan gadis tadi?”
Jalal:
“Ah..Tidak, di otakku hanya ada bisinis. Aku tak perlu memikirkan soal wanita,
biar saja para wanita itu yang memikirkan diriku.”
Bhaksi:
“Kakak sombong sekali. Tapi ingat ya Kak, jangan pernah sekalipun mendekati
gadis tadi. Jauhkan dia dari kehidupanku!”
Jalal:
“Kenapa kau sangat membencinya?”
Bhaksi:
“Gara-gara gadis itulah, Shahabuddin memutuskan aku. Padahal aku sangat
mencintainya. Shahab tidak menghargai kakak sama sekali padahal kakaklah yang
membiayai seluruh biaya pendidikan dokternya. Aku yakin gadis itu sudah
merayunya hingga Shahabuddin berani menentang Kakak dan memutuskan pertunangan
denganku.”
Jalal:
“Jadi gadis itu! Yang sudah menyebabkan penghinaan yang besar pada namaku.
Gara-gara batalnya pertunanganmu, namaku tercoreng di antara kolegaku. Aku
dianggap sebagai orang yang tidak patut dihormati. Kapan-kapan kita harus
memberinya sedikit pelajaran .”
Bhaksi:
“Aku pasti mendukungmu, Kak.”
Kemarahan
Bhaksi adalah kemarahan Jalal, begitupun kebahagiaan Bhaksi adalah kebahagiaan
Jalal. Bagaimanapun juga, Bhaksi adalah adik dan juga keluarga satu-satunya
keluarga yang dimiliki Jalal sejak kedua orang tuanya meninggal.
Saat itu,
ketika Bhaksi mengatakan sedang jatuh cinta, sebagai seorang kakak, Jalal
berusaha melakukan yang menurutnya terbaik untuk memastikan kebahagiaan
adiknya. Jalal memutuskan membiayai pendidikan Shahabuddin, selain karena
Shahabuddin berasal dari keluarga menengah dan agar pria itu tahu seberapa
besarnya kemampuan finansial Jalal, juga untuk memastikan Shahabuddin tidak
akan meninggalkan Bhaksi. Tetap saja semua yang ditakutkankannya terjadi.
Shahabuddin meremehkan semua pengorbanan Jalal dan meninggalkan Bhaksi yang
terluka demi wanita lain.
Sejak dulu
Jalal memang tidak pernah percaya pada wanita. Bukannya dia bersikap antipati,
hanya saja dia tidak pernah melibatkan emosi saat berhubungan dengan wanita,
semua hanya untuk kesenangan semata. Bagaimanapun dia adalah seorang lelaki. Di
usianya yang menginjak 30 tahun, Jalal belum pernah sekalipun jatuh cinta.
Wanita
dianggapnya sebagai biang kehancuran keluarganya. Ibunya meninggal bunuh diri
saat dia berusia 15 tahun, alasannya karena ibunya tidak tahan dengan sikap
ayahnya yang senang main perempuan. Ayahnya bukanlah tipe pria setia. Dia
berhasil sebagai seorang pengusaha, tapi dia gagal sebagi ayah. Jalal dan
Bhaksi tidak pernah merasakan perhatian dan kasih sayang ayahnya. Bila tidak
sedang sibuk mengurus bisnisnya, maka ayahnya sibuk bersama wanita lain.
Menghambur-hamburkan uang demi wanita adalah hal yang disukai ayahnya, hingga
aset pibadi dan perusahaannya ikut terkuras habis. Saat ayahnya meninggal, dia
hanya mewariskan perusahaan yang bangkrut dan hutang yang bertumpuk pada Jalal.
Kepahitan
hidup yang dialami Jalal membangunnya menjadi seorang pribadi yang tangguh,
berkemauan keras hingga kadang terkesan kejam. Perlahan dia membangun usaha
yang diwarisi dari ayahnya dari titik nol hingga bisa kembali diperhitungkan
sebagai perusahaan pengembang yang cukup diperhitungkan di Delhi. Dia masih berambisi
besar melebarkan sayap usahanya ke seluruh India bahkan ke luar negeri.
Media
lokal pernah menjuluki Jalaluddin Akbar sebagai salah satu The Most Wanted
Bachelor in Delhi. Di mata para wanita, Jalal adalah kekasih idaman. Wajah
tampan dan badan yang kekar atletis membuatnya selalu menjadi pusat perhatian.
Tatapan matanya yang tajam, sinis dan terkesan misterius memesona semua wanita.
Ditambah lagi sikap dan perawakannya
yang terkesan jantan dan maskulin. Dan yang paling utama adalah
embel-embel nominal kekayaannya yang membuat para wanita haus harta berebut mendekatinya.
Perpaduan semua hal itu membuat Jalal mudah mendapatkan teman kencan, tanpa
merayupun, para wanita sudah bertekuk lutut padanya. Tercatat mulai dari rekan
usaha, artis, model bahkan atlit pun pernah dikencaninya.
Dari semua
wanita yang pernah dikencaninya, tidak ada satupun yang membuatnya terkesan. Dengan mudah dia
melupakan wanita yang satu jika sudah berkencan dengan wanita yang lain. Tidak
ada yang pernah mencuri waktu tidurnya atau mengusik konsentrasi kerjanya.
Hingga dia
bertemu GADIS itu...
Malam ini
sudah malam kedua Jalal memikirkan dia. Di meja masih berserakan berkas-berkas
yang harus dikerjakannya, tapi pikirannya berkelana kembali pada pagi itu...—‘Siapa dia?...Kenapa aku terus-menerus
memikirkannya?...Aku bahkan belum tahu siapa namanya?... Rasanya seperti ada
sesuatu yang menarikku dengan kuat, hingga bayangannya saja tidak bisa lepas
dari ingatanku... Aku harus melakukan sesuatu...’— Frustasi dengan yang
dipikirkannya Jalal mengacak-acak rambutnya yang agak panjang.
--‘Aku
punya rencana, dan ini pasti akan berhasil. Setelah aku menemuinya, akan
kulihat apakah ini semua hanya rasa penasaranku saja atau ada yang lain. Jika
semuanya sudah terjawab, aku tidak akan membutuhkannya lagi’—
Jalal
kemudian menelpon seseorang....
Keesokan
paginya, Tuan Bharmal Bharti sudah bersiap di kantornya. Semalam dia menerima
telepon dari pengacara yang mewakili Tuan Jalaluddin mengabarkan dia dan
kliennya akan datang hari ini untuk melihat-lihat pabrik sekaligus
menyelesaikan berkas-berkas pengambil alihan aset.
Pukul
sembilan tepat Jalal dan pengacaranya memasuki ruang kantor Tuan Bharmal. Rasa
penasaran Jalal telah membawanya sampai sejauh ini, biasanya dia tidak suka mengurusi
tetek-bengek sehubungan dengan surat-surat perjanjian. Dia mempercayakan
sepenuhnya pada pengacaranya. Pengecualian untuk hari ini. Dibalik sikap tenang
dan dinginnya, ternyata dia menahan keinginan yang kuat untuk segera menemukan
gadis yang telah mengusik pikirannya: ‘Dimana
gadis itu?’—
Jalal
tidak menemukannya di kantor Tuan Bharmal –‘Gadis
itu bukan sekretarisnya’—batin Jalal, karena ternyata sekretaris Tuan
Bharmal adalah seorang wanita yang lebih dewasa usianya. –‘Kalau begitu hanya tinggal satu kemungkinan, gadis itu punya hubungan
keluarga dengan Tuan Bharmal, saatnya menjalankan rencanaku yang lain’—pikiran
Jalal benar-benar dikuasai oleh rasa penasarannya. Dia bahkan sama sekali tidak
fokus selama proses penandatanganan perjanjian.
Setelah
semua urusan selesai, Tuan Bharmal mempersilakan Jalal dan pengacaranya makan
siang bersama di rumahnya. Sebenarnya ini adalah siasat Jalal untuk bisa
diundang ke rumah Tuan Bharmal. Dia berdalih ingin berkenalan dengan anggota
keluarga Tuan Bharmal yang lainnya, sehingga mau tidak mau Tuan Bharmal
mengajak Jalal bertandang sekaligus makan siang di rumahnya.
Disanalah
Jalal menemukannya. Gadis itu sedang berjongkok di samping motornya, tidak
jelas apa yang sedang dilakukannya. Meski Jalal melihatnya dari arah belakang,
tapi dia yakin gadis itulah yang dicarinya. Tuan Bharmal memanggilnya...
Bharmal:
“Jodha”
Jodha:
“Ayah? Sudah pulang?”
Bharmal:
“Iya. Kenalkan ini Tuan Jalaluddin, dia akan makan siang bersama kita hari
ini.”
Jodha:
“Salam Tuan”
Jalal:
“Salam Nona Jodha”
Gadis itu
ternyata sedang mengganti oli motornya. Terlihat sedikit coreng hitam di tangan
dan wajahnya. Jalal menahan senyumnya –“Hebat
juga gadis ini, dia bahkan bisa mengganti sendiri oli motornya”—Dalam hati
Jalal heran, kenapa hanya karena bisa melihat gadis ini lagi, serasa dia merasa
sangat beruntung hari ini.
Di dalam
rumah, Jalal disambut Ibu Meena dan menantunya. Sedangkan Jodha tidak
menampakkan diri sampai saatnya semua anggota berkumpul di meja makan. Selama
makan siang Jalal tidak bisa berhenti memandangi Jodha, entah orang lain tahu
atau tidak yang sedang dilakukannya, Jalal tidak peduli. Satu-satunya orang
yang pasti menyadarinya adalah Jodha. Dipandangi seperti itu, Jodha merasa
jengah tapi dia tidak bisa berkata apa-apa karena takut merusak suasana saat
itu. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ditanyakan Jodha pada Tuan Jalal itu,
dia hanya sedang menunggu saat yang tepat.
Kesempatan
itu datang ketika Jalal sedang duduk sendiri di teras belakang menikmati angin
sejuk di udara yang panas siang itu. Jodha mendekatinya..
Jodha:
“Tuan Jalal, maaf mengganggu.”
Jalal:
“Silakan Nona Jodha.”
Jodha: “
Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
Jalal:
“Ya, hal apa?”
Jodha:
“Kalau boleh saya tahu, apa yang akan anda lakukan pada pabrik ayah setelah
ini?”
Jalal:
“Aku ralat, pabrik itu sudah sah menjadi milikku. Apa yang akan kulakukan pada
pabrik itu rasanya bukan urusanmu.”
Jodha:
“Maaf bukan maksud saya mencampuri urusan anda. Pertanyaan saya berkaitan
dengan nasib para karyawan pabrik, jadi tidak bisakah anda sedikit berbaik hati
dan melakukan sesuatu agar mereka tidak menderita?”
Jalal:
“Saya adalah pebisnis, dalam bisnis tidak memakai hati. Kalau memakai hati itu
namanya beramal. Lagipula, kau tidak perlu berpura-pura memedulikan mereka,
Nona Jodha.”
Jodha:
“Apa maksud anda? Saya benar-benar peduli pada mereka. Mereka telah bekerja
selama bertahun-tahun dan ayah saya memperlakukan mereka seperti keluarga.”
Jalal:
“Tapi buktinya ayahmu tetap gagal mempertahankan usahanya, bukan?! Jangan
pernah melibatkan hati dalam bisnis. Sama seperti dirimu, jangan berpura-pura
memiliki hati jika kau sendiri tidak peduli pada perasaan orang lain.”
Jodha:
“Aku tidak mengerti maksud anda.”
Jalal:
“Bukalah ingatanmu, Nona Jodha! Kau mengira kita tidak pernah saling mengenal,
bukan?! Atau mungkin karena begitu seringnya kau menipu dan menyakiti perasaan
orang lain, kau lupa siapa saja yang pernah kau sakiti. Saat kau merayu seorang
pria, pernahkah kau berpikir kalau dia adalah kekasih atau tunangan seseorang?
Atau kau memang sengaja melakukannya dan menikmatinya?”
Jodha:
“Tuan Jalal, kumohon hentikan kata-kata anda! Anda sama sekali tidak tahu apa
yang sedang anda bicarakan!”
Jalal:
“Kenapa? Kau tertangkap basah? Apakah aku berhasil menyadari muslihatmu? Aku
tahu kau sebenarnya sedang menjalankan rencana licikmu mendekatiku dengan
berpura-pura peduli pada orang lain. Dengan terlihat seakan hatimu baik, kau
berharap aku jatuh pada pesonamu kan?! Kau salah, aku hapal siasat gadis
sepertimu untuk menjebak seseorang.”
Jodha:
“Anda benar-benar tidak sopan!!”
Setelah
berkata seperti itu, Jodha pergi meninggalkan Jalal sendiri. Menahan amarah
yang rasanya seperti mau meledak –‘Dia
pikir dia itu siapa bisa berkata seenaknya?! Dia pasti salah orang! Apa maksud
semua ucapannya?!’—Untung saja , Ibu dan ayahnya tidak ada yang mendengar
pembicaraannya dengan Jalal tadi. Baru bertemu sekali, Jodha sudah merasa
sangat membenci Jalal. Dia bahkan tidak menemui Jalal saat dia pamit pulang.
Dia tidak mau lagi berurusan dengan pria itu.
Jalal
merasa sedikit lega setelah mengatakan semuanya tadi, dia merasa sudah berhasil
membalas sakit hati yang dirasakan adiknya dan dia berencana untuk melakukannya
lagi, tapi untuk itu dia harus memikirkan cara yang lain. Selama berkendara
kembali ke Delhi, dia terus memutar ulang percakapan antara dirinya dan Jodha -‘Kenapa rasanya masih ada yang salah? Kenapa
sepertinya dia jujur? ...Tidak, dia pasti berakting, untung saja aku tidak
tertipu kepolosannya... Benarkah dia sungguh tidak tahu?..’—Berbagai
pertanyaan masih bergelayut dalam pikirannya, dan Jalal tidak mendapatkan
satupun jawaban yang tepat.
Sesampainya
di Delhi, Jalal langsung menuju kantornya. Meski sudah menjelang sore, namun
Jalal tidak punya niat untuk pulang ke apartemennya. Dia lebih memilih
menyibukkan diri dengan pekerjaan daripada pikirannya melantur kemana-mana.
Asisten
Jalal menemuinya ketika dia masih menenggelamkan diri di antara berkas-berkas
di mejanya, dia membawa kabar yang membuat Jalal sangat kecewa. Tender yang
selama ini diimpikannya ternyata ditolak, padahal Jalal dan anak buahnya sudah
mempersiapkannya dengan cukup matang. Untuk memastikannya, Jalal menghubungi
langsung calon kliennya.
Setelah
melalui perdebatan panjang di telepon, Jalal bisa menyimpulkan bahwa proposal
tendernya ditolak karena alasan yang lebih bersifat pribadi, sama sekali jauh
dari perkiraannya. Calon kliennya beralasan bahwa reputasi Jalal sehubungan
dengan beberapa skandal percintaannya yang diberitakan media akan berpengaruh
pada sukses tidaknya proyek itu. Sama sekali bukanlah alasan profesional
menurut Jalal ..–‘Apa-apaan ini!!..
Kenapa menjadi masalah aku menikah atau tidak?!!...Apa maksud mereka
sebenarnya?....Apa proposalku akan diterima jika aku sudah menikah...?...Alasan
macam itu!!...Brengsek!! Semuanya kacau!!..’—
Lama Jalal
merenungkan penolakan itu –‘Apa aku harus
menikah supaya mereka menyetujuinya?? ..Kenapa mereka harus mencari pria yang
sudah menikah jika aku bisa melakukannya lebih baik?!!..Aku sama sekali tidak
ingin menikah! Seorang istri akan menyusahkan hidupku!..’—
Tiba-tiba
seulas senyum licik terukir di wajahnya, rupanya sebuah ide muncul di otaknya –‘Benar, aku butuh seorang istri yang bisa
kugunakan hanya pada saat aku memerlukannya saja. Dia hanya akan menjadi simbol
pernikahan. Aku akan mengendalikan seluruh hidupnya.. tentunya dengan
pertukaran yang pantas. Aku akan lihat sampai berapa lama dia bisa
bertahan...’—
Jalal
merasa bangga akan idenya. Dia bukan hanya tersenyum, tapi tertawa terbahak
membayangkan keberhasilan dan kemenangan yang akan diraihnya... –‘Besok kita akan bertemu lagi, Nona’—
**************************