Makan
malam kali ini tidak sebahagia kemarin, justru ada aura persaingan di meja
makan kediaman Tuan Bharmal. Bharmal duduk di paling ujung, disamping kiri
Bharmal ada Mainavati dan Jalal berada disamping kanannya, Surya duduk tepat
disamping Mainavati, sementara Jodha berada ditengah-tengah Jalal dan Sujamal.
Jodha merasa tertekan dengan situasi yang dialaminya, “Apa ini? Padahal rencananya malam ini aku dan papa kan akan
menjelaskan hubunganku dengan Jalal kepada mama. Tapi apa yang mama lakukan,
mengundang Surya tanpa sepengetahuanku. Bukankah papa
kemarin sudah melarang mama untuk mengundang Surya selagi ada aku dan papa di
rumah? Benar-benar menyebalkan!” gerutu Jodha dalam hati. Makan malam bersama Jalal seakan tidak bisa
memberi kenangan manis tersendiri baginya, karena terlalu banyak mata yang
terus mengawasi mereka.
Suasana di
meja makan begitu hening bagi Jodha. Mainavati begitu perhatian kepada Surya
dan Bharmal begitu perhatian kepada Jalal. Hanya Sujamal dan Jalal yang
menyadari bagaimana perasaan Jodha. Ingin sekali Jalal memeluknya untuk
mengangkat semua kegelisahan di hati Jodha. Namun apa daya, dia ingat betul
dimana dia sekarang, “Tenanglah Jalal,
kau harus bisa menahan dirimu. Kau tidak boleh
mengacaukan segalanya. Ingat... Kau datang kesini untuk meminta restu dari
kedua orang tua Jodha,”
tegas Jalal dalam hati.
Surya dan
Mainavati tidak suka melihat pemandangan dihadapan mereka. Jodha dan Jalal
terlihat saling mencuri pandang, meskipun itu tidak sesering kemarin.
Saat makan
malam hampir usai, Mainavati memulai pembicaraan, “Setelah ini, ada hal yang
ingin aku bicarakan kepada kalian semua.”
“Kebetulan
sekali, aku dan Jodha juga ingin memberitahu sesuatu,” ucap Bharmal. Mainavati
menatap Bharmal seolah meminta penjelasan, namun sebelum Mainavati
menanyakannya, Bharmal segera melanjutkan ucapannya, “untuk saat ini, kita
nikmati dulu makan malam ini. Setelah itu, kita akan berkumpul di ruang tamu.”
Mendengar
ucapan Bharmal, semua orang kembali melanjutkan memakan makanan mereka dengan suasana
hening, hanya terkadang terdengar suara sendok, garpu dan piring yang saling
beradu.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Setelah
membereskan meja makan, kini Sujamal dan Jodha ikut bergabung dengan yang lain
di ruang tamu. Bharmal dan Mainavati duduk berdampingan, Jodha berdampingan
dengan Sujamal, Jalal dan Surya duduk di sofa masing-masing. Untuk sesaat
suasana begitu hening. Jodha begitu gugup, semua diluar rencananya. Malam ini dia ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Mainavati
tentang hubungannya dengan Jalal, namun ternyata Jalal dan Surya saat ini berada di
tengah–tengah mereka. Sujamal
yang duduk disebelahnya, memberikan kekuatan kepada Jodha dengan menggenggam
tangannya. Sujamal sudah tahu apa yang direncakan Jodha, tadi saat membereskan
meja makan, Jodha memberitahu Sujamal bahwa dia ingin memberitahukan segalanya
apapun resikonya.
Jodha
menarik nafas dalam kemudian mengeluarkannya secara perlahan untuk menenangkan
dirinya. Dia tersenyum menatap Sujamal dan membulatkan tekadnya. “Em... Ma, Pa,
ada sesuatu yang ingin ku sampaikan kepada kalian.” Jodha diam sejenak,
sementara yang lain memilih diam dan menunggu Jodha melanjutkan ucapannya. “Ma,
Pa, sebenarnya... sebenarnya aku telah menjalin hubungan dengan pak Presdir..Aku...Aku mencintainya…”
Jodha
berhenti dan menatap sekelilingnya untuk melihat reaksi mereka. Bharmal, Sujamal dan Jalal tersenyum kearahnya. Surya tampak
kecewa. Sementara itu, Mainavati tampak menahan amarahnya. “Sejak kapan kau
berhubungan dengannya?” tanya Mainavati dengan nada dingin.
Jodha
tampak ragu-ragu untuk menjawabnya. Jalal melihat Jodha yang sedikit ketakutan
menghadapi ibunya, Ia pun mulai angkat bicara, “Bibi, saya sudah mencintai Jodha saat pertama kali bertemu dengannya.
Saya sangat mencintainya,
dan kami mulai mengakui persaan kami saat di Miami. Kami....”
Mainavati
menatap Jalal dengan sinis, “DIAM... AKU TIDAK BERTANYA PADAMU!!” bentak Mainavati pada Jalal. “Jodha, lihat
mama, apakah kau sadar dengan pilihanmu? Kalian berdua tidak mungkin bisa
bersatu, ada banyak perbedaan antara kita dengan dia. Dia tidak mungkin bisa
mengikuti adat kita. Mama sudah putuskan, mama akan menikahkanmu dengan Surya,
mama tidak ingin mendengar bantahanmu!” Surya tersenyum karena mendapat
dukungan dari Maina, dia memang sudah lama memimpikan Jodha, tapi karena kesalahannya, dia harus
kehilangan Jodha.
Jalal
ingin menanggapi ucapan Maianvati, namun Bharmal lebih dulu angkat bicara,
“Maina, apa yang kau katakan?! Bagaimana bisa kau mengambil keputusan secara
sepihak? Apakah kau lupa dengan apa yang dilakukan Surya pada Jodha? Dia telah
menyakiti Jodha hingga Jodha terpuruk selama beberapa bulan. Apakah menurutmu seseorang seperti itu
pantas untuknya? Bukankah hal yang paling penting untuk kita adalah kebahagiaan Jodha? Coba kau pertimbangkan
sekali lagi keputusanmu itu!”
“Aku hanya
ingin melihat Jodha menikah dan dengan begitu aku tidak akan mencemaskannya
lagi. Dia akan terikat sehingga dia tidak akan mungkin berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri untuk orang
lain.” Mainavati mengatakan hal itu sambil menatap Jalal dengan tatapan tidak
suka.
“Lalu
mengapa tidak kita nikahkan saja dia dengan Presdir? Mereka saling mencintai, dan aku yakin Jodha akan bahagia
bersamanya,” ucap Bharmal.
“TIDAKK… kau tahu dengan sangat bahwa adat istiadat dan keyakinan kita sangat
berbeda dengannya. Apa kau ingin Jodha merubah keyakinannya hanya untuk bahagia bersama pria ini?” sahut Meinavati dengan semua
penolakannya.
“Bass… cukup Meina.. Kau sudah keterlaluan. Kau sudah
menyudutkan seseorang tanpa meminta penjelasannya terlebih dahulu. Pak presdir
telah menyampaikan padaku bahwa ia akan selalu menghormati keluarga kita serta
keyakinan kita. Dia tidak akan meminta Jodha untuk menjadi seperti dirinya. Aku
telah melihat ketulusan hati Presdir saat ia memintaku merestui hubungannya
dengan Jodha. Apa kau tidak bisa berfikir realistis untuk hidup saling
berdampingan dan menghormati satu sama lain?”ucap Bharmal memberi penjelasan kepada istrinya.
Jodha
menangis melihat kedua orang tuanya bertengkar untuk pertama kalinya
dihadapannya, dan itu semua karena dirinya. Sujamal dan kedua pria lain yang berada disana tidak mampu berbuat apapun. “Sudah
cukup! Hentikan!” setelah mengatakan hal itu, Jodha segera berlari keluar dari
rumahnya. Ia tidak tahan lagi melihat hal ini.
Jalal
sangat mengerti dengan kondisi Jodha, dia pamit kepada Bharmal dan Mainavati
untuk mengerjar Jodha. Surya masih terdiam dalam posisinya, kemudian Mainavati
menyuruhnya untuk segera mengejar Jodha juga. Dan tanpa pikir panjang, Surya
segera mengikuti Jalal yang sudah lebih dulu mengejar Jodha.
Tepat saat
itu, pintu lift terbuka, Jodha langsung masuk. Namun sayang, Jalal kalah cepat,
pintu lift tertutup sebelum dia bisa masuk menyusul Jodha, dia melihat tangga
darurat dan segera berlari menyusuri tangga tersebut untuk bisa mengejar Jodha.
Dia sangat mencemaskan keadaan Jodha, emosi Jodha sedang tidak stabil, ia
begitu takut terjadi sesuatu pada Jodha. Perasaannya tidak menentu. Sementara
itu, Surya masih menunggu hingga pintu lift terbuka.
Jodha
sudah sampai di lobi, dia berlari keluar dengan berlinang air mata. Tepat saat
itu Jalal sudah ada dibelakangnya dengan nafas yang tidak beraturan, dia
berteriak memanggil Jodha namun Jodha tidak menghiraukannya dan terus berlari
meninggalkannya. Jodha sudah sampai di depan pintu gerbang, dia berlari ke
jalan raya.
Malam yang
gelap, tanpa sinar sang bulan
ataupun bintang yang selalu
menampakan diri. Terlihat
sebuah truk yang melaju dengan kencang, sementara dari arah berlawanan melaju mobil yang didalamnya terdapat sepasang kekasih yang bertengkar. Truk
membunyikan klaskson panjang, karena mobil tersebut tidak memperhatikan jalan dan tanpa bisa dihindari kedua kendaraan tersebut bertabrakan. Mobil
tersebut terbalik dan bergesekan dengan aspal dalam jarak yang jauh. Jodha yang
masih terus berlari, sontak menghentikan langkahnya dan berdiri terpaku saat melihat kejadian itu di depan matanya. Kecelakaan tersebut berjarak 200 meter dari tempatnya berdiri,
kakinya begitu berat untuk kembali melangkah. Jalal yang berlari dibelakang Jodha langsung berteriak,
“JODHA... AWAS!!!”
Karena
kejadian yang tiba-tiba dan mobil tersebut yang meluncur dengan kencang, tak
dapat terelakkan, mobil itu langsung menghantam tubuh Jodha. Tubuh Jodha
terpelanting, kakinya terkena pecahan-pecahan kaca mobil, kepalanya terbentur
aspal. Tubuhnya bersimbah darah dan seketika itu juga dia tidak sadarkan diri.
Jantung
Jalal berhenti bekerja untuk sementara waktu menyaksikan kejadian dihadapannya. Namun
kesadarannya segera pulih, Jalal berteriak histeris dan segera berlari
menghampiri Jodha yang terkulai bersimbah darah. Segera direngkuhnya tubuh
Jodha dan berlari menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat kejadian. Dimasukkan tubuh kekasihnya
tersebut ke dalam mobil lalu
menyalakannya. Jalal sempat melihat
Surya dibelakangnya, “Katakan kepada keluarga Jodha bahwa aku membawanya ke
rumah sakit!” Karena Surya masih diam, akhirnya Jalal membentaknya, “CEPAT!!!”
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Kini semua
keluarga Jodha berserta Jalal dan Surya sedang menunggu proses operasi Jodha di
luar IGD. Susana begitu hening, hanya terdengar detikan jarum jam, bahkan
suasana operasi tak terdengar dari luar ruangan. Sudah 3 jam berlalu, namun belum ada tanda-tanda
bahwa operasi tersebut akan usai. Jam sudah menunjukkan waktu tengah malam,
sebelumnya Jalal telah
menceritakan semuanya kepada ibunya dan dia akan pulang larut malam, dia juga
meminta supaya ibunya tidak cemas.
5 jam
berlalu dan akhirnya seorang dokter keluar dari ruangan dan langsung di
kerumuni oleh keluarga Jodha dan yang lain. Mereka tampak cemas dan menanyakan
tentang kondisi Jodha. Dr. Mirza memandangi mereka satu per satu, dia
menghembuskan nafas berat dan mulai menjawab kegusaran mereka, “Untuk saat ini,
kondisi Nn. Jodha masih kritis. Dia kehilangan banyak darah. Kita tunggu selama
24 jam ke depan, jika Nn.
Jodha sadar sebelum waktu 24 jam, maka dia berhasil melewati masa kritisnya dan bisa dipindahkan ke ruang rawat.”
Mendengar
pernyataan dr. Mirza, tubuh Mainavati langsung lemas. Bharmal langsung menopang
tubuhnya. Jalal berusaha tegar, “Apakah
saya boleh menemuinya, dok?” Dr. Mirza pun mengizinkan, namun hanya dua
orang yang bisa masuk.
“Terima
kasih, dok,” ucap Jalal kemudian mulai melangkahkan kakinya.
Mainavati
yang melihat hal itu langsung menghentikan Jalal, “Mau kemana kau? Aku tidak
mengijinkan Jodha bertemu denganmu! Pergi dari sini!”
Jalal
terhenyak, dia tidak menyangka Mainavati akan
mengatakan hal itu. Bharmal segera menguasai situasi, “Tenanglah, Maina.
Ingat, kita ada di rumah sakit sekarang! Jangan membantah, biarkan Presdir
menemui Jodha.” Maina pun tak membantah, dia hanya diam mencoba mengontrol
emosinya sebelum menemui Jodha.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Jodha sudah
sadarkan diri dan melewati masa kritisnya. Sudah 5 hari dia berada di
rumah sakit dan Jalal dengan setia
mendampingi dan merawat Jodha. Urusan kantor sementara dia serahkan kepada Bharmal, Jalal ke kantor hanya jika ada urusan mendesak
saja atau rapat penting dengan klien asing.
Sementara
Surya sudah hilang entah kemana setelah mendengar kabar bahwa kaki Jodha
mengalami kelumpuhan. Surya mengaku pada Mainavati bahwa dia akan kembali ke
Jepang untuk mengurus usaha disana. Mainavati sangat marah dengan kelakuan
Surya saat itu, dia tak menyangka bahwa dia akan meninggalkan Jodha yang seperti
sekarang ini. Dia menyesal telah memilih Surya untuk putrinya. Beruntung semuanya belum terlambat. Sejak saat itu, Mainavati
pun sedikit demi sedikit mulai membuka dirinya untuk Jalal, meskipun dia belum
menyetujui hubungan mereka sepenuhnya. Namun dia melihat ketulusan yang terpancar dari mata
Jalal. Mainavati sadar akan hal itu setelah beberapa hari dilalui di rumah
sakit, di ruang rawat Jodha, dia melihat Jalal yang begitu perhatian dan
telaten merawat Jodha. Bahkan suatu ketika Jalal membawa patung khana ke dalam kamar rawat
Jodha, agar Jodha bisa leluasa untuk
berdoa. Jalal bahkan mampu membujuk Jodha untuk
makan, padahal Maina sempat kewalahan untuk membujuk Jodha agar mau makan.
Sore ini,
Jalal mengajak Jodha ke taman rumah sakit. Jalal duduk di bangku taman dan
Jodha duduk di kursi rodanya.
“Jalal...
Mengapa kau masih disini? Apa yang kau harapkan dari wanita cacat sepertiku?”
pertanyaan yang selalu diucapkan Jodha kepada Jalal selama beberapa hari
terakhir ini.
“Bukankah
aku sudah bilang, aku mencintaimu, aku mencintaimu lebih dari hidupku. Aku
tidak akan pernah meninggalkanmu. Bukan fisikmu yang membuatku tertarik
kepadamu tapi hatimu. Aku
mencintaimu, sayang... Keluguanmu, kepolosanmu, kebaikanmu, ketulusanmu, hatimu
yang begitu suci, itulah yang membuatku tertarik kepadamu. Sorot matamu,
senyumanmu, itulah yang ingin kulihat setiap hari. Aku ingin segera memilikimu,
sayang... Aku ingin kau selalu disampingku, siang hari aku habiskan waktuku
bersama, dan saat pagi menjelang, aku ingin wajahmu lah yang ku lihat untuk
pertama kalinya. Apakah kau masih meragukanku?” Jalal tak pernah bosan untuk
menyemangati Jodha. Dia selalu berusaha untuk mengembalikan semangat gadis itu
dan menepis keraguan Jodha terhadap dirinya.
“Tapi
Jalal... dulu kau bilang....”
“Sttt...
lupakan hal itu. Aku dulu mengatakan hal itu hanya untuk menggodamu saja. Aku
sangat suka melihat pipimu yang memerah seperti kepiting rebus. Bagaimana pun keadaanmu, apapun yang kau
kenakan, kau selalu tampak cantik dan seksi, My Hottie,” goda Jalal.
Seketika
itu juga wajah Jodha langsung merona, dia menundukkan wajahnya untuk
menyembunyikannya dari Jalal. Tapi Jalal tentu tahu hal itu. Jalal menundukkan
kepalanya dan secepat kilat dikecupnya bibir Jodha. Jodha terbelalak, “Apa yang
kau lakukan?”
Jalal
tersenyum senang. “Setiap kali aku melihat wajahmu yang seperti itu, aku tidak
bisa mengendalikan diriku untuk menciummu, My
Hottie.”
Mereka
tertawa bersama, Jalal terus melancarkan godaannya, bersenda gurau tanpa
memperdulikan dimana mereka sekarang. Mainavati terharu melihat senyum Jodha,
senyum yang sangat dia rindukan beberapa hari ini. Jodha yang ceria dan Jodha
yang selalu optimis, “Terima kasih Tuhan, kau telah mengembalikan senyum
putriku. Semua ini memang salahku. Aku terlalu egois, aku terlalu memaksa
putriku untuk segera menikah tanpa memikirkan bagaimana perasaannya.”
Sujamal
yang kebetulan baru datang setelah dari kampusnya langsung menimpali, “Kenapa
tidak kau retui saja hubungan mereka, Ma? Kau lihat, Didi bisa tersenyum
kembali karena Kak Jalal. Kak Jalal juga tulus menyayanginya. Mereka tampak
ilahi jika bersama. Mereka saling melengkapi, bukankah kau lihat hal itu?”
“Benar, Maina,”
Bharmal yang kebetulan baru masuk ke ruang rawat Jodha ikut bergabung dengan
pembicaraan mereka berdua, “bukankah ini yang kau harapkan? Segera mengikat
putrimu dengan pernikahan? Dan aku yakin, Jalal bisa menjaganya dengan baik. (Setelah hubungan Jodha
dan Jalal, Bharmal tidak lagi memanggil Jalal dengan sebutan Presdir kecuali di
kantor)Kebahagiaan Jodha ada
padanya. Juga, bagiku kebahagiaan anak-anakku adalah yang nomer satu.”
Mainavati
tampak memikirkan ucapan suami dan putranya. Dia masih ragu dengan keinginan
mereka dan keputusan apa yang harus diambilnya. Ia tidak ingin mengulangi
kesalahannya untuk kedua kalinya. Ia memang marah dengan Jodha karena ketidak
jujurannya selama ini. Namun dibalik semua itu, ia juga bersalah karena
mementingkan egonya tanpa memikirkan perasaan putrinya. Lama dia termenung,
hingga akhirnya terdengar suara pintu kamar rawat Jodha terbuka.
To Be
Continued
Terima
kasih Bunda Alfi atas ide cerita dan bantuanya. Terima kasih untuk all readers
atas kesabaran, like dan komentarnya selama ini. Partisipasi kalian selalu saya
nantikan...
FanFiction
His First Love Chapter yang lain Klik
Disini