~~~~~~~~~~Jalal POV~~~~~~~~~~
“Semua orang mengatakan banwa Cinta itu
menyakitkan. Tapi cinta tidak begitu, cinta tidak pernah membuat sakit. Cinta
itu indah, cinta itu ilahi, cinta itu suci. Itu hanya perasaan seseorang yang
merasakan sakit kehilangan kekasih dan menginginkan supaya dia cepat kembali
kepada Sang Kuasa.”
“Angin dingin berhembus keras menerpaku dan
berbisik di telingaku. Tenggorokanku tercekat dan hatiku merasa sakit.
Kesulitan yang terjadi dalam hidupku tampak terlalu berat untuk ku tanggung. Jodha
berada disana, hanya ada disana, tapi aku tidka bisa mendekati dirinya. Begitu
dekat, tapi masih begitu jauh. Setelah semua tahun kekosongan ini, aku melihat dia hari ini. Aku masih Jalalnya,
tapi dia bukan Jodhaku lagi, aku menyadari itu.”
Enam Bulan Yang Lalu...
Jodha: “Aku harus pergi
Jalal, aku minta maaf,” dia melipat tangannya dan air matanya membanjiri kedua
matanya yang indah.
Jalal: “Dan hidupku? Tanpamu?”
Aku berdiri terdiam , kata-katanya yang menyakitkan telah mengosongkan emosiku.
Jodha: “Aku tak berdaya.”
Jalal: “Tetapi Jodha...” Aku ingin
mengatakan sesuatu, tetapi dia meletakkan jari-jarinya di bibirku. Aku mencium jari-jarinya.
Jodha: “Jalal, ini adalah apa
ayah minta padaku disaat-saat terakhir hidupnya.” Suaranya parau, menahan
begitu banyak rasa sakit. Dia menundukkan kepalanya.
Jalal: “Pergi? Sendirian?
Hidupku tidak akan bermakna tanpa dirimu, Jodha.”
“Berjanjilah padaku, kau
tidak akan pernah mencariku,” Jodha membalikkan tubuhnya.
“Mintalah aku untuk berhenti
bernapas, tetapi aku tidak dapat membuat janji ini,” aku bersikeras.
“Kau bisa...” ia melangkah ke
depan untuk membelai pipiku.
“Aku memeluk orang yang sangat ku sayangi
tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia meletakkan wajahnya didadaku dan aku
menghembuskan nafas berat menerpa rambutnya. Aku bisa mendengar detak
jantungnya yang keras.”
“Biarkan aku pergi,” ucap
Jodha.
“Aku terkejut. Dia berjalan ke pintu dan
duniaku meronta-ronta. Aku melihat ke tanah dna berharap abunya akan dikremasi.”
“Dan cincin? Kita sudah
berjanji untuk bersama-sama, Bagaimana....”
“Aku bertanya padanya tetapi dia tidak
berhenti untuk melihatku.Kakinya telah membawanya pergi. Aku tidak bisa
mengatakan apapun begitu pula dirinya. Dia berjalan keluar tanpa berbalik.”
“Segera... embun pagi dalam hidupku telah
pergi. Air mata tak berhenti menetes dari kedua mataku. Aku telah berjanji
tidak akan pernah menangis. Aku telah bejanji memegang tangannya sampai mati.
Aku telah berjanji untuk bersamanya, selamanya. Tapi janji-janji tinggal janji,
tidak akan pernah terpenuhi. Mereka dibuat untuk dilanggar. Hal ini telah
benar-benar menghancurkan hidupku.”
**Hari ini...**
“Itu hanyalah satu hari lagi ketika aku
bergegas ke halte bus untuk pergi ke kantorku, tapi aku tidak pernah tahu apa
yang telah dipersiapkan untuk satu hariku yang ini.”
“Sopir bus melajukan busnya dengan cepat dari
bisanya. Keseimbangan bus sepertinya akan mengajak hariku lebih buruk
kedepannya.”
“Aku naik bus dan megambil kursi kosong,
tetapi seorang lelaki tua berlari dan menduduki kursi itu. Dia tampak tinggi
dengan perut bersar, jadi aku berdiri disamping. Sambil berdiri aku melihatnya
sedang makan. Dia tersenyum licik padaku dan aku menyiksanya dalam kepalaku.”
“Saat aku mengedarkan padanganku untuk
mencari kursi, aku tertegun. Udara disekitarku berbau harum dan sinar matahari
yang berse-seri dari dahi seorang wanita. Dia duduk empat kursi di depanku. Dia
adalah Jodhaku.”
“Jodha adalah cinta dan hidupku. Kami
berteman baik saat kecil dan kita menjadi sepasang kekasih saat di perguruan
tinggi. Tetapi karena kutukan itu, dia meninggalkanku ketika ayahnya wafat.”
“Ayahnya adalah seorang Pendeta Hindu dan aku
seorang muslin, keyakinan yang paling dia benci. Dia juga seorang aktivis Hindu
dan putrinya memiliki pacar muslim adalah sesuatu yang tidak pernah dia terima.
Jadi, ketika dia menarik nafas terakhirnya, dia meminta anaknya untuk
meninggalkanku. Setelah mengatakan hal itu, jiwanya telah meninggalkan tubuhnya
dan itu juga membuat jiwaku pergi. Dia mati dengan satu jiwa dan mengambil jiwa
yang lain bersamanya.”
“Tapi sekarang, aku melihatnya setelah
betahun-tahun, aku seakan menepati janjiku. Aku meneteskan air mata. Kernet bus
menghampiriku dan aku terus menatapnya. Takdir telah membuat kami terpisah, tetapi
telah membawa harapan yang baru lagi.”
“Aku mengambil dompetku dna mengeluarkan
beberapa lembar uang dari dalamnya.”
“Itu adalah cinta kami yang sudah tertulis.
Aku sangat senang, akhirnya kami bisa melanjutkan kisah cinta kami. Itu begitu
indah, bibirku kini melengkung tersenyum lagi.”
“Aku ingat kenangan indah kami berdua. Kami
berjalan ditepi pantai dengan saling bergandingan tangan. Aku ingat saat dia
memegang tanganku di Perpustakaan , di samping rak buku. Aku ingat bagaimana
kita meniru ayahnya berkhotbah. Aku ingat bagaimana dia memberitahuku tentang
dunia impiannya. Aku ingat setiap candaan dan saat dia menggodaku, aku ingat
setiap nafas yang kita ambil bersama.”
“Jadi hari ini, aku ingin mendekatinya dan
memberinya kejutan. Aku tahu ketika dia
melihatku, dia akan memelukku dan menangis di pangkuanku. Aku menoleh ke
jendela kaca untuk memeriksa penapilanku.”
“Matahari bersinar terang hari ini.
Pohon-pohon Gulmohar yang rumpun, bejejer di samping jalan, bunga-bunga merah
yang indah. Musin semi datang, dan begitu pula dengan kebahagiaan dalam hidupku
kini telah tiba. Aku selalu ingin menghabiskan hidupku dengannya dan tua
bersamanya.”
“Kami telah berpisah untuk waktu yang sangat
lama, tapi sekarang tidak lagi. Aku sangat senang melihatnya untuk sebuat awal
yang baru. Aku menarik nafas panjang dan menutup mata untuk berdoa. Tetapi doaku
tiba-tiba terhalang karena sopir yang mengerem tiba-tiba. Itu membuatku
terpelanting ke depan. Aku mencoba untuk memandangnya. Rambutnya masih lurus
dan halus, tetapi sesuatu yang terjepit didalam mataku.”
“Ada sindoor di dalamnya! Duaniaku langsung
runtuh seketika. Dia bukanlah Jodhaku, dia adalah istri orang lain. Dia sudah
menikah dengan seseorang. Waktu seakan membeku!”
“Dia berada dihapanku, namun aku tidak
berkata apapun. Musim semi tidak membawa kebahagiaan apapun, tetapi kebenaran
itu memberikan tamparan keras padaku, dia adalah seseorang yang lebih baik
sekarang! Tiba-tiba, aku merasakan dorongan untuk melariakn diri dengannya,
tapi aku tidak bisa melakukannya. Itulah kata hariku.”
“Aku membukuk lagi untuk melihatnya. Ia
tersenyum. Dia bahagia tanpa diriku. Dia pasti telah melupakanku. Tahun-tahun
ini, setiap malam aku tidur dengan mimpi untuk bertemu dengannya suatu hari
nanti. Tapi hati ini, tidak seperti sesuatu yang telah aku impikan. Kepalaku
seperti dihantam batu berton-ton. Kakiku menjadi kaku dan tubuhku menggigil.”
“Aku menghela nafas, mengumpulkan semua
kekuatanku. Aku berbalik dan mendekati sopir untuk berhenti di pemberhentian
berikurnya.”
“Setelah busnya berhenti, aku melompat
keluar. Seorang gadis menatapku yang seperti orang bodoh dan sedang terluka,
tapi itu tidak masalah. Kakiku tidak terluka, tapi hatiku terluka.”
“Lupa pernikahan, aku sudah
pernah melihat banyak gadis tahun-tahun ini, aku tidak memperdulikannya. Tapi dia?” gerutuku.
“Aku ditipu oleh dirinya. Dia melanggar
janjinya untuk bersamaku selamanya.”
“Dia tidak menyintaiku lagi.
aku bukan lagi bagian dari hidupnya.” nafas tersengal-sengal dan tegang.
“Merasa kehilangan lagi, aku duduk di pinggir
jalan seperti pengemis. Aku memandang sekeliling kota, kota yang begitu ramai
namun sepi bagiku. Aku menatap langit biru. HIDUP tidak mungkin menawarkan
kesempatan yang sama dua kali, itu kata Dewan Perusahaan Asuransi Jiwa. Aku
ingin berteriak, mengapa kesempatan ini diberikan kepadaku? Harus dijalankan
untuk merusak kehidupan pernikahan?”
“Aku ingin seseorang memelukku. Tetapi tidak
ada! Aku sendirian di dunia ini. Aku menangis ketika aku memandang bus bergerak
pergi. Dia ada di dalamnya, bahagia.”
“Itu hanyalah seperti hari ketika semuanya terjadi.
Aku adalah miliknya dan dia adalah milikku. Itu adalah waktu untuk kita.”
“Tetapi waktu itu telah terbang jauh
sekarang. Bus pergi dan metafora Jodha akan pergi. Aku ingin menangis dnegan
suara keras tapi pari-paruku penuh dengan sesak.”
“Mataku menatap bus tesebut dan tiba-tiba
semua berubah dalam sekejap. Telingaku berdering dengan kebisingan dan
gelombang panas udara yang mengguncangku. Aku tidak bisa menyadari apa yang
terjadi dalam sekejap.”
“ITU BOM. Asap Tornado naik dan aku tidak
bisa melihat apa-apa. Asap dari pembakaran bus mengisi udara dan orang-orang
disekitarnya berlarian. Mataku terjebak dalam bangkai bus dan kemartian yang
tersebar di seluruh jalan. Mungkin, bus tersebut pecah menjadi beberapa bagian.
Salah satu bagian telah menimpa mobil dijalan dan bagian lainnya terhempas ke
toko didekatnya.”
“Aku berlari ke tempat itu. Jalanan di cat
dengan warna hitam dan merah. Semua orang berkabung dengan rasa sakit. Kekacauan
terjadi disekitar. Aku berlari untuk Jodhaku. Luka-luka masa lalu yang tak
tersembuhkan. Kami tidak punya banyak hal yang bisa didengar dan tanpa
diucapkan. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan hidup yang diberikan kepadaku.”
“Aku berlari untuk hidupnya, hidup kita.
Musim gugur hadir di belakangku. Jalan terasa panas dan berdarah. Aku tidak
pernah tahu darah bisa membuat selicin ini, dan aku langsung tersungkur ke arah
Jodhaku.”
“Aku berdiri untuk berjalan lagi, tapi
tanganku melayang untuk menutupi dirinya dan aku menunduk. Suara ledakan datang
lagi. Hal itu menyentuh pipiku. Meskipun pipiku berdarah, aku bisa merasakan
jantung yang berdetak dalam kehangatan.”
“Aku tahu ada kehangatan saat menyentuh
jari-jarinya. Itu adalah sebuah cincin. Cincin yang snagat aku kenali. Aku
menangis dan membenturkan kepalau di jalan. Aku mengangkat kepalaku dan
menatapnya. Sensasi sentuhan kata-kata yang tidak terucapkan. Aku menangis
meraung-raung. Itu adalah cincin yang sama, janji kami bersama-sama. Tangannya
bergerak meraih tanganku, dia menepati janjinya, untuk memegang tanganku sampai
mati. Dia memakai cincin itu, dia masih mencintaiku. Itu adalah tanganku
Jodha....”
~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~
PS: Jujur,
saya nulis ini dengan berurai air mata.... Hiks... tissue.... tissue...
Source:
Admin Jodha akbar zee tv aka paridhi and rajat
Translate
by: Chusnianti