**Kembali**
“Jodha
anakku, duduklah disini...” Ibunya mendesaknya.
Jodha
masih agak kecewa dan kesal atas apa yang terjadi. ”Ibu, maukah kau masuk
sebentar, aku ingin bicara.....”
Mainavati
tersenyum dan menoleh pada tamunya, “Nak, kau duduklah dan nikmati hidangannya,
aku segera kembali.”
“Kenapa
harus mengundang dia kesini?!” Gadis itu sedikit berteriak menahan marah, “Ibu
tahu apa yang telah dilakukannya padaku saat kuliah! Aku terpuruk selama hampir
sebulan gara-gara pria itu, dan sekarang Ibu...”
“Jodha
anakku, tenanglah. Aku tahu Surya pernah sangat menyakitimu.. tapi waktu akan
mengobati luka itu kan?! Dan aku juga tidak pernah mengundangnya, dia datang ke
rumah kita karena dia butuh bantuan untuk menyalakan listrik...”
Jodha
keheranan, “Kenapa dia butuh bantuan untuk itu?”
“Itu
karena dia baru saja pindah ke sebelah rumah kita. Setelah dia selesai
berbenah, aku mnengundangnya untuk minum teh demi kesopanan.” Jodha memegang
kepalanya karena frustasi, dan menghempaskan dirinya ke kursi. Ibunya berusaha
menenangkannya “Nak, aku tahu kau sangat terluka, dan aku tidak memintamu
kembali bersamanya. Aku hanya ingin kau bersikap sopan padanya, apalagi
sekarang dia tetangga kita. Kita harus bersikap baik padanya. Aku harap kau
memahami apa yang kumaksud...” Dia mengangguk tanda setuju. “Bagus, sekarang
segarkan dirimu dan keluarlah...”
Gadis itu
memercikkan air ke wajahnya, sambil memaki keadaan yang harus dihadapinya.
Mantan kekasihnya menjadi tetangganya, dan dia harus bersikap sopan! “Kenapa
ibu mengundang dan menjamunya. Ibu tahu betapa aku tidak sudi melihat wajahnya
lagi, tapi tetap saja diundang! Seharusnya aku tinggal lebih lama di kantor,
setidaknya aku bersama Jalal.... aku baru ingat, sebaiknya aku menelponnya
begitu orang brengsek itu pergi.” Dia mematut dirinya di cermin dan menghela
napas, “Jodha, jangan biarkan pria itu mengusikmu, dia tidak berarti untukmu.
Kau sudah meraih kebahagiaan, jangan biarkan pecundang dari masa lalu ini
menghancurkannya...”
*****************
Dia
memasang senyum datar di wajahnya, dan melangkah ke ruang tamu. Ibunya
memandangnya dengan tersenyum sedangkan Surya menyeringai. Sudah lama sejak
terakhir kali mereka berbicara. Dia menarik sebuah kursi dan duduk di samping
ibunya.
Jodha:
“Halo Surya.”
Surya:
“Hai Jodha, bagaimana kabarmu?”
Jodha:
“Sejauh yang kurasa aku bahagia, jadi apa
yang membawamu ke lingkungan sederhana ini? Apa kau sudah bosan dengan gaya
hidup mewahmu?”
Surya:
“Sepertinya kau tidak kehilangan selera humormu. Aku pindah kesini hanya karena
aku diterima bekerja di kota ini. Transportasi disini jauh lebih mudah, kau
tahu. Lalu kau sekarang bekerja dimana?”
Jodha akan
menjawab ketika Mainavati tiba-tiba memotongnya, “Dia sekarang bekerja sebagai
Kepala Bagian Marketing di perusahaannya Jalaluddin Mohammed.”
Surya
(terkesan): “Wah, Kepala bagian Marketing! Itu hebat! Dan di perusahaan besar
pula!”
Jodha:
“Ya, jadi jika kau tidak keberatan, aku masih ada urusan (pada Mainavati) Ibu,
tolong panggil aku untuk makan malam begitu ayah datang, aku sangat lapar.”
Mainavati:
“Oh baiklah nak. Apa kau masih jetlag?”
Surya:
“Apa kau baru pulang dari luar negeri?”
Mainavati:
“Iya nak, dia baru saja datang dari Miami untuk menghadiri Konferensi
Internasional dan....”
Jodha:
“Ibu, aku masuk dulu......”
Dia
mengganti bajunya untuk tidur, namun di wajah cantiknya masih menampakkan bermacam
pikiran. Bertemu pria itu lagi, telah membawa kembali kenangan saat hari itu,
ketika dia memergoki kekasihnya bersama sahabatnya, mereka terlihat sangat
mesra. Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka, tapi tidak bagi Jodha. Meski
telah 3 tahun berlalu, tapi dia masih mengingatnya dengan jelas, air mata,
kesedihan dan kekecewaannya. Seiring waktu, dia kembali hidup normal, namun
tidak pernah mengira kalau dia akan merasa terluka lagi.
Jodha:
“Aku tidak pernah... tidak pernah berharap bertemu dengannya lagi... apa yang
harus kulakukan... aku... aku akan menelpon Jalal.”
Dia
menekan nomernya dan setelah beberapa saat, Jalal menjawab.
Jalal:
“Sayangku!”
Jodha
(hampir menangis): “Jalal! Aku merindukanmu!”
Jalal:
“Jodha, ada apa? Apa seseorang mengganggumu?”
Jodha:
“Tidak, hanya saja....”
Jodha
menceritakan tentang mantan kekasihnya telah pindah ke sebelah rumahnya, dan
bagaimana ibunya menyambutnya, meski tahu yang sebenarnya!
Jodha:
“Aku tidak pernah menyangka akan merasa seperti ini! Kupikir aku kuat, ternyata
aku salah...”
Jalal:
“Sayang kau tidak perlu merasa bersalah. Semuanya baik-baik saja!”
Jodha:
“Tapi ibuku sudah mengecewakanku! Teganya dia!”
Jalal:
“Dengar, bibi pasti punya alasan sendiri. Dia tidak bisa mengusirnya begitu
saja, tapi aku yakin dia tidak berniat menyakitimu.”
Jodha
mempertimbangkan apa yang dikatakan kekasihnya; dan itu sangat berarti. Ibunya
tak mungkin akan bahagia jika harus menyakiti putrinya. “Kau tahu, aku merasa
lebih baik setelah berbicara denganmu. Bagaimana kau melakukannya?”
Jalal:
“Bisa dikatakan itu adalah kelebihanku. Dan Jodha, aku selalu ada untukmu
apapun yang terjadi, kau bisa mengandalkanku.”
Jodha: “Oh
Jalal, aku ingin memelukmu dengan erat! Aku berharap kau disini sekarang....”
Jalal:
“Jangan khawatir, akan ada banyak pelukan besok.”
Tiba-tiba,
Jodha mendengar ibunya memanggil. “Oke, aku harus pergi. Aku mencintaimu!”
****************
Tiga
minggu telah berlalu. Kehadiran Surya di lingkungannya telah mempengaruhi
beberapa hal. Ayah Jodha selalu merasa sedih setiap kali ibunya menjamu Surya,
karena dia tahu Surya pernah menyakiti perasaan putrinya. Tapi Mainavati bukan
orang yang mudah menyerah, dia selalu mencari kesempatan mengundangnya setiap
kali suaminya sedang bekerja. Sejauh ini, Jodha selalu berhasil menghindarinya
dengan berangkat lebih pagi ke kantor dan lebih sering lewat tangga darurat
begitu dia lihat pria itu menunggunya di dekat lift. Dan bila terpaksa bertemu
di rumahnya, dia langsung masuk ke kamarnya. Dia benar-benar tidak tertarik
bahkan untuk berteman dengannya.
Jodha tiba
di kantornya hari itu, merasa sangat santai. Dia ingin segera menemui
kekasihnya, dengan bersamanya bisa menghilangkan semua kegundahannya.
Jodha:
“Selamat pagi Sayang!”
Jalal:
“Ooo kekasihku!”
Dia
menariknya dalam dekapan kuatnya, seakan hampir benar-benar melebur jadi satu.
Secara naluri, dia mengelus punggung Jodha, kadang bahkan meletakkan tangannya
di pinggang Jodha. Sedangkan Jodha mengusap rambutnya dengan lembut, tidak
ingin melepaskannya.
Dengan
terpaksa mereka memisahkan diri, namun Jodha masih melingkarkan tangan di
lehernya dan menatap matanya.
Jodha:
“Tuan Mohammed, kenapa dengan tanganmu hari ini?”
Jalal:
“Hah? Apa maksudmu?”
Jodha:
“Jangan pura-pura tidak tahu... kau pasti tahu dimana mereka...”
Jalal:
“Aku meletakkannya di pinggangmu... kenapa?”
Dia
melingkarkan lengannya di leher Jalal dan merebahkan kepala di bahunya.
Jodha:
“Kau tau, aku sungguh beruntung memilikimu dalam hidupku... Aku tidak tahu apa
yang akan kulakukan tanpa dirimu....”
Jalal:
“Jodha, berhentilah berpikir tentang seandainya... Tuhan ingin kita bersatu dan
disinilah kita... kita telah melalui hal yang berat pada awalnya... lalu kita
bersama tak terpisahkan pada akhirnya...”
Jodha:
“Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya... maksudku aku senang ketika
lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan... tapi ini berbeda. Ini perasaan yang
sangat indah, dan aku ingin merasakannya selamanya...”
Jalal:
“Jodha, kau baik-baik saja?”
Jodha:
“Ya, tentu saja. Kenapa kau bertanya?”
Jalal:
“Karena kau mengungkapkan perasaanmu hari ini. Apakah mantan pacar bodohmu itu
mengganggu kekasihku ini?”
Jodha
(tertawa renyah): “Tentu saja tidak, sayang! Kekasihmu ini selalu bisa
menghindari si bodoh itu. Hanya saja... aku tidak pernah mengira aku bisa
berbagi hal-hal sangat pribadi dalam hidupku dengan seseorang tanpa
pertimbangan. Tapi kurasa aku salah, kau tahu segalanya tentangku namun kau
tidak pernah sekalipun menyalahkanku atas apa yang Surya lakukan.”
Jalal:
“Bagaimana bisa itu jadi kesalahanmu? Jika kau merasa tidak nyaman akan sesuatu
dan orang itu tidak berusaha menghargai pilihanmu, maka itu adalah
kesalahannya.”
Tiba-tiba,
terdengar ketukan di pintu. “Boleh saya masuk, Pak?” Yang pasti itu bukan
Salima; suaranya terdengar lebih dalam dan serak. Mereka saling memisahkan diri
dan Jodha berusaha mengenali siapa yang berada di balik pintu.
Jalal:
“Masuklah.”
Pria itu
melangkah masuk; orangnya tinggi dan badannya cukup tegap. Jodha belum pernah
melihatnya; kepribadiannya seperti seorang yang berkuasa. Dia berpakaian necis,
dan tanpa disadari Jodha menatapnya. Dia tidak seperti kebanyakan pegawai di
kantor itu; berkelas dan penuh gaya.
Jalal:
“Kalian berdua silakan duduk.”
Keduanya duduk, di lain pihak Jodha sangat
penasaran siapa mereka. Tamu itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan
menyerahkannya pada Jalal. Jodha berusaha mengira-ngira sampai dia menyadari,
“Itu adalah Surat Perjanjian!”
Jalal:
“Jodha, ini adalah Sales Manager yang baru di perusahaan kita, Tuan Shareef
(melihat ke arah Shareef): “Dan dia adalah Marketing Manager, Nona Jodha Singh.
Kau akan sering bekerja sama dengan departemennya.”
Dia
menyapanya dengan senyuman dan pria itu membalas tersenyum.
Shareef:
“Terima kasih, Tuan. Aku merasa terhormat bisa bekerja padamu.”
Jalal:
“Salima akan menunjukkan dimana mejamu.”
Keduanya
meninggalkan ruangan, dan Jodha juga menyusul keluar, sambil berjanji pada
Jalal. “Aku segera kembali...”
Pria yang
pernah datang untuk interview tiga minggu lalu, bukan lain adalah Shareef itu
sendiri. Setelah mengangkat ayah Jodha sebagai Wakil Presiden, posisi Sales
Manager kosong. Jalal mengambil alih pekerjaan departemen itu sementara waktu,
hingga dia menyadari harus mengisi kekosongan itu segera. Setelah membuka
lowongan, wawancara dan menyeleksi beberapa calon, Shareef yang paling sesuai
dengan kualifikasi. Pendidikan dan kemampuannya sesuai, dan Jalal segera
mempekerjakannya.
Jalal:
“Pergilah, aku senang akhirnya menemukan pengganti yang cocok untuk Tuan
Bharmal. Paling tidak sekarang, departemennya bisa bekerja.”
****************
Kedua
sejoli itu duduk berdampingan, terasa semilir angin berhembus dari jendela.
Mereka telah meninggalkan kantor menuju rumah Jodha, begitu ibunya mengabari
akan keluar rumah dan tidak akan pulang sebelum malam. Adiknya sedang kuliah
dan mereka hanya berdua di dalam rumah itu. Merasa santai, Jalal merebahkan
dirinya dan Jodha yang telah menggerai rambutnya, meletakkan tangan di dada
Jalal.
Jodha:
“Aku penasaran kapan mereka menyadari kalau kita berdua sama-sama tidak ada di
kantor.”
Jalal:
“Lalu? Memangnya kenapa?”
Jodha:
“Kita ini membolos! Bagaiman kalau ayahku tahu!”
Jalal:
“Aku akan memberitahu semua orang kalau kita menghadiri meeting yang
mendesak.... Tenanglah! Kau hanya mengatakan rumahmu sedang kosong dan aku
menyarankan agar kita datang kesini.....”
Jodha:
“Iya, aku tahu...tapi aku tetap saja khawatir....”
Jalal:
“Sayang, kenapa?”
Jodha:
“Aku tidak bisa tidak merasa... bahwa segala sesuatunya berjalan sangat mudah
untuk kita.... ini sudah tiga minggu sejak kita jadian... dan...”
Jalal
menempelkan jarinya di bibir Jodha, membuat Jodha membelalakkan matanya
terkejut.
Jalal: “Jangan
berkata seperti itu... kita baru saja diberkahi... apapun yang terjadi
selanjutnya, kita akan mengahadapinya bersama-sama....”
Jodha:
“Iya!”
Jalal:
“Jadi, apa kita bisa melanjutkan tujuan awal kita datang kesini?”
Jodha:
“Apa maksudmu!”
Jalal
langsung memegang pinggang Jodha, menariknya mendekat dan mulai menciumi
lehernya. Jodha melingkarkan tangan di lehernya, merasa geli, sedangkan Jalal
melanjutkan godaannya.
“Terima
kasih Tuhan pelajaran terakhir dibatalkan! Aku bisa segera pulang dan tidur!”
Sujamal dengan riang membayangkan bahwa dia akan menikmati sisa hari ini. Dia
mengeluarkan sebendel kunci dari tasnya dan membuka pintu. Begitu melangkah
masuk, dia melihat dua pasang sepatu sudah ada di dekat pintu.
Sujamal:
“Ini pasti sepatu Kakak, tapi yang satunya aku yakin bukan milik Ayah.”
Seketika,
samar-samar dia mendengar suara dari salah satu kamar. Mulai melangkah, dia merasa
yakin suara itu dari kamar kakaknya. Pelan-pelan dia membuka pintu, dan saat
itulah dia melihat Jodha duduk di samping pria, saling menggenggam tangan, dan
si pria masih menciumi leher Jodha.
Jodha:
“Jalal, hentikan! Ini geli...”
Jalal:
“Tidak, aku tidak mau!”
Dia
melanjutkan aksinya, dan Jodha masih cekikikan geli. Lalu, Jodha melingkarkan
tangannya dan memeluknya erat; menempelkan dirinya ke Jalal..
Jodha:
“Aku sangat mencintaimu.”
Jalal:
“Aku lebih mencintaimu.”
Sujamal
menutup pintu dalam keterkejutan, sungguh sulit dipercaya apa yang baru saja
disaksikannya.
Sujamal:
“Apa yang dilakukan Kakak dan Tuan Mohammed? Apakah mereka saling mencintai?
Sejak kapan? Dan yang lebih buruk, apa pendapat ayah dan ibu jika mereka tahu!”
To Be
Continued
Precap:
Jodha mengaku pada adiknya.
FanFiction
His First Love Chapter yang lain Klik
Disini