Written By: Bhavini Shah
Translate By: Dewi Agasshi
Jodha dalam dilema,
pikiran dan hatinya tak mengizinkan untuk menghukum Azim, menurutnya hukuman
itu terlalu kasar buatnya mengingat situasi Azim sendiri. Akhirnya dia
memutuskan untuk lebih mendengarkan apa kata hatinya, Jodha mengumumkan
keputusanya dengan penuh percaya diri... “Setelah mendengarkan semua orang, aku
merasa Azim melakukan kejahatan pencurian perhiasan kakak iparnya dan dia harus
dihukum karena kejahatan ini. akan tetapi, jika kita memotong tanganya untuk
kejahatan ini, maka akan dianggap sebagai kejahatan pada dirinya dan
keluarganya. Hukum dibuat untuk kenyamanan kita dan itu harus diubah dari waktu
ke waktu sesuai dengan kebutuhanya. Jika ada seorang anak yang tidak bisa makan
dan ia terpaksa mencuri roti untuk bertahan hidup, dan kita memotong tanganya
maka itu bisa dianggap sebagai ketidakadilan dan kekejaman. Jadi saya telah
memutuskan jenis hukuman untuk kasus ini, Azim akan bekerja sepanjang tahun
dilahan saudaranya dan akan mengurus Kakak dan Kakak Iparnya. Tentara Mughal
akan mengawasi Azim selama satu tahun, dan jika dia tertangkap melakukan
perjudian lagi maka tanganya akan dipotong langsung. Saya tak ingin memotong
tangan Azim dan membuat dia bergantung pada saudaranya selama sisa hidupnya.”
Jodha kembali menatap Azim dan berkata... “Azim, kakakmu telah melakukan banyak
hal untukkmu, sekarang giliranmu untuk merawatnya. Dan terakhir aku ingin
memberikan saran, jangan pernah melilih jalan pintas untuk mencapai tujuanmu,
bekerja keraslah dan menghasilkan uang, jangan pernah mengambil jalan yang
salah.”
Seluruh
pengadilan terkejut dengan keputusanya, keheningan mutlak melingkupi ruang
sidang Diwani Khass. Tak ada yang tahu bagaimana bereaksi terhadap keputusan
Jodha yang bisa dibilang baru dalam sejarah pengadilan Mughal Sultanat. Dan
Jodha sangat mengerti akan situasi ini, dia telah mengambil keputusan yang sangat
berseberangan dengan Jalal, Jalal sampai kapanpun lebih taat pada hukum yang
telah ada selama ini. Jodha ketakutan, ia ketakutan setelah melihat ekspresi
Jalal yang diperlihatkanya. Jalal menatap Jodha dengan pandangan tak percaya,
dengan ekspresi pahit dan nada pasif ia berkata... “aku setuju dengan keputusan
Malika E Hindustan dan mengatakan kepada keluarga terdakwa untuk pergi.” Suara
Jalal benar-benar menunjukkan ketidaksetujuan dengan keputusan yang telah
diambil oleh Jodha. Begitu seluruh keluarga terdakwa pergi dia kembali
berbicara... “aku ingin mendiskusikan kasus lebih lanjut besok.” Setelah
berkata demikian, Jalal meninggalkan Diwani Khass tanpa melihat Jodha.
Semua
orang tahu, Jalal sangat kecewa dengan keputusan Jodha. Hamida bangkit dari tempat
duduknya dan segera mendatangi Jodha, ia berkata... “Aku sangat bangga akan
keputusanmu. Pengadilan ini telah banyak melihat keputusan kejam, tapi hari ini
untuk pertama kalinya aku merasa penghakiman ini diambil dari hati. Aku sangat
bangga akan keputusanmu Jodha.”
Begum
E Khass dan Maham Anga, duo partner in crime menyeringai senang dengan
kemenangan mereka.
Atgah
Sahib berjalan menuju Jodha dan berkata... “Jodha Begum, saya sangat bangga
dengan keputusan yang telah anda ambil. Saya tak pernah berfikir suatu hari
pengadilan ini akan melihat keadilan seperti ini. pemikiran bijak dan mendalam
anda benar-benar menyelamatkan keluarga itu.”
Dengan
tersenyum hangat Jodha menjawab... “Dhanyvad, aku mencoba yang terbaik untuk
melakukan keadilan.”
Jalal
berada di kamarnya, dia menjatuhkan badan BBSG-nya ***Biasa
aja kali bacanya, ga usah pake melotot segala. Kibbas duppatta*** di
kursi dengan perasaan terkianati. Hatinya sakit dan sangat terluka,
kata-katanya terus bergema di telinganya. Hatinya bagai tersayat sembilu
mengingat pujian Maham untuk Jodha. Perlahan Ego-nya membangun dinding
kepahitan dalam hatinya dan mulai mengambil alih akalnya. Untuk pertama kalinya
ego lelaki sebagai Shahenshah begitu dilukai di dalam Diwani E Khass, dan
itupun dilakukan oleh orang yang sangat dia percayai... “Beraninya kau
melangkahiku Jodha, dan melawan keinginanku untuk menghukum mereka. Kau bahkan
memberikan dukungan untuk keluarga itu. Ohhh aku tahu, kau melakukan itu untuk
mengambil simpatik dari orang-orang yang berada dalam pengadilan dengan cara
menginjak kakiku. Kau benar-benar seorang manipulatif sejati dan seorang
politisi yang sangat tajam. Apakah selama ini kau benar-benar tidak bersalah
atau hanya berpura-pura? Kau sudah merencanakan semua ini jauh-jauh hari agar kau
bisa mengontrol aturan dalam kesultanan. Kau juga ingin kekuatan sama seperti
orang lain, kau telah membuktikan pada semua orang hari ini bahwa keputusanku
kejam dan kau baik dan bijaksana. Kau telah berhasil mengesankan seluruh
pengadilan dengan kecerdasan jahatmu. Ohhh dan kau tak peduli untuk
memberitahuku bahwa kau telah menulis sebuah buku tentang ekonomi. Kau ingin
mengesankan semua orang dan membuat mereka terkejut. Yang kau coba ingin
buktikan adalah bahwa kau penguasa yang jauh lebih baik daripada aku??. Aku
telah memberikan segalanya untukmu, termasuk diriku sendiri. Dan kauuu....
Kyuuuu Jodhaa Kyuuuu?? Ternyata kau juga salah satu dari mereka.” Segala pujian
Menteri untuk Jodha akan kecerdasan dan kebijaksanaanya telah memberikan luka
pada Ego Jalal, banyaknya pujian itu membuat Jalal merasa rendah diri dan
perlahan namun pasti pikiranya dipenuhi fikiran-fikiran negatif tentang Jodha. ***Haishhhh gemblung kok Shahenshah satu ini, cemburu sih
wajar tapi ini kekanak-kanakan. Egomu ternyata masih jauh lebih besar daripada
cinta dan kepercayaanmu pada Jodha *Jenggung kepala Jalal, cabuti brengosnya
satu biji, hosh hosh hosh sebel ane ngetiknya. Semoga keyboarnya ga rusak.
Huftttt ******
Setelah segala pujian itu, Jodha berbalik
dengan khawatir. Ia ingat wajah suaminya yang diliputi rasa kecewa dan
frustasi, dan itu membuatnya ketakutan. Ia takut, dan berfikir bahwa Jalal
benar-benar marah padanya. Jodha ingin bertemu dan berbicara padanya
sebelum gunung berapi amarahnya benar-benar meletus, ia berjalan menuju kamar
Jalal dengan langkah cepat sambil berdoa pada Khana untuk meberinya kekuatan
menghadapi Jalal. Ketika sampai didepan kamar Jalal langkah Jodha dihentikan
oleh penjaga, tapi sang penjaga segera menyadari bahwa Jodha sekarang adalah
Malika E Hindustan yang bisa mengunjungi Shahenshah setiap saat, setiap waktu
tanpa menunggu persetujuan atau izin dari Jalal. Ketika Jodha melangkah masuk
kakinya serasa mati rasa karena takut. Ia melihat Jalal sedang duduk di kursi,
tenggalam dalam pemikiranya yang mendalam. Mengetahui Jodha memasuki kamarnya,
Jalal hanya menatapnya datar tanpa ekspresi dan itu sukses mebuat Jodha
tersentak ketakutan. Jodha duduk disamping Jalal dengan perasaan takut yang tak
diketahuinya. Ia bisa merasakan keheningan yang damai ini hanya sementara
sebelum badai menerpa. Dalam waktu satu menit mereka hanya duduk bersandingan
tanpa berbicara satu sama lain, setelah menunggu agak lama dan tak ada
tanda-tanda Jalal akan memulai pembicaraan maka Jodha berinisiatif untuk
memulainya. Diletakkan tanganya diatas tangan Jalal sambil berkata... “Apakah
aku melakukan kesalahan Shahenshah?.”
Dengan
tatapan sinis dan nada pahit Jalal menjawab... “ohh tidak, tak ada cara
bagaimana Malika E Hindustan membuat suatu kesalahan.” Dan dengan kasar Jalal
menarik tanganya dari genggaman Jodha dan ia bangkit dari kursinya. Melihat itu
Jodha dengan cepat bangkit dan memeluknya dari belakang dan berkata...
“Shahenshah, aku tahu kau marah karena aku memberi vonis yang bertentangan
denganmu tapi aku sangat senang kau tidak marah padaku. Aku telah berjanji
kalau aku akan menghabiskan sepanjang hari dan malam denganmu disini, maka aku
akan menepati janji itu.”
Jalal
menggenggam tangan Jodha yang melingkar didadanya, dengan sedikit kasar ia
membebaskan diri darinya dan menjawab dengan nada sinis dan tajam... “Malika E
Hindustan, aku hanya marah pada orang-orang yang dekat dengan hatiku, dan aku harus
berterimakasih padamu yang telah membangunkanku sebelum terlambat.” **haishhh asli pengen nyawat sandal Bhaijaan, kumat GGD
ne**
Jodha
menatapnya, dan melihat api kemarahan dimata Jalal membuatnya mengambil dua
langkah mundur, kata-katanya terdengar tenang mematikan. Kata-kata Jalal
terlalu tajam baginya. Dalam hati ia berkata... “Hei Iswar, apa aku mendengar
dengan benar?, apa dia berkata bahwa aku tak dekat dengan hatinya lagi?.” Jodha
merasa seperti seseorang telah menusuknya dengan pisau dalam hatinya dan tanpa
diundang air mata telah jatuh dari mata indahnya. Jodha dengan nada memohon
mencoba berbicara dengan sang suami yang lagi darah tinggi... “Shahenshah,
maafkan aku untuk kesalahanku. Kau dapat menamparku atau memarahiku untuk
keputusan salahku, tapi jangan menyakitiku seperti ini. ketidaktahuanmu dan
kebencianmu memberikanku rasa sakit yang tak tertahankan Shahenshah.” Mendengar
itu jalal kemudian berbalik kearahnya dan melihat ia menagis dengan tangan
terlipat. Selama beberapa detik hati Jalal meleleh melihat kondisi rentan
Jodha. Ia mencoba menjawab dengan nada sopan... “Jodha Begum, aku merasa sangat
lelah hari ini dan aku ingin beristirahat. Bisakah kau tinggalkan aku sediri?.”
Mendengar
itu, Jodha menangis terisak-isak menyadari bahwa Jalal tak mau berbicara
denganya. Dengan nada rentan iapun berkata... “Shahenshah, aku mohon tolong
maafkan aku. Aku tak akan mampu menanggung ini.” Jodha kemudian berlari kearah
Jalal dan memelukknya dengan kuat, ia kembali berujar... “Aku hanya
menginginkanmu Shahenshah, aku tak membutuhkan apa-apa lagi selain itu.” Jalal
bergumam pada dirinya sendiri... “Aku berharap itu benar.” Sebuah seringai muak
menghiasi wajahnya dan matanya berubah menjadi gelap. Rasa sakit dan air mata
Jodha sudah tak berdampak pada dirinya, pikiranya berteriak keras-keras
mengatakan bahwa Jodha mencoba memanipulasi dirinya lagi namun hatinya tak siap
untuk mempercayai pikiranya. Namun dari detik-detik yang terlewati akhirnya
perlahan-lahan hati Jalal memberikan persetujuan pemikiranya dan menjadi seperti
batu yang meremukkan akal sehatnya. Air mata dan juga kata-kata Jodha sudah tak
memiliki dampak apapun pada Jalal sekarang, dengan kasar Jalal mendorong Jodha
pergi dan berteriak keras... “Jodha Begum, tinggalkan aku sendiri.”
Isak
tangis Jodha berhenti seketika setelah mendengar teriakan marah Jalal
kepadanya, ia melirik Jalal dengan gugup dan ketakutan. Ia tak mengerti mengapa
suaminya begitu marah padanya hanya karena vonis yang dijatuhkanya tidak sesuai
dengan keinginanya, dan ia begitu marah dengan semua ini. Jodha mencoba menatap
mata Jalal, mencoba membaca pikiranya namun hasilnya nihil. Maka Jodha
memutuskan untuk meninggalkan tempat ini untuk saat ini, dengan nada rendah ia
berkata... “Shahenshah, aku tak mengerti apa yang terjadi padamu secara tiba-tiba.
Hanya untuk satu vonis yang bertentangan dengan keinginanmu kau sudah mulai
membenciku!! Apapun itu, sesuai dengan keinginanmu aku akan meninggalkanmu
sendirian.” Jodha kemudian perlahan berjalan menuju pintu. Jalal menatap
kepergian sang istri. Dan disaat yang sama sebelum mencapai pintu Jodha
berbalik untuk melihat Jalal sekali lagi dengan penuh harapan, namun hanya
wajah yang dipenuhi rasa sakit dan kecewa yang diperlihatkan Jalal padanya.
Jalal yang melihat wajah sedih, pucat, dan mata berkaca-kaca menjadikan rasa
sakitnya kian bertambah sehingga tak terasa air matanya sendiripun menetes
tanpa persetujuanya. Untuk menyembunyikanya dari Jodha, Jalal kemudian kembali
berbalik membelakangi Jodha. Dengan kesediahn yang mendalam, Jodha mencoba tersenyum
dan berkata dengan nada sedikit kasar yang penuh kekecewaan....
“Mata
diammu, menunjukkan tindakanmu yang tak berperasaan.
Hatiku
menginginkanmu, namun kau dengan kejamnya mendorongku menjauh dari pelukanmu.
Ketika
hatiku putus asa ingin melihat sekelebat cinta itu lagi dimatamu, kau menatapku
dengan kebencian yang sangat.
Berbalik
membelakangiku dan menyembunyikan air matamu.” Setelah mengatakan itu Jodha
dengan tatapan kemarahan berjalan meninggalkan kamar Jalal.
Jalal
memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit dihatinya, Ia masih diposisi semula
dalam waktu yang cukup lama. Dan sepanjang hari ini dia berada dikamarnya,
memberikan intruksi ketat supaya tak mengizinkan siapapun mengganggunya. Maham
dan Begum E Khass telah mencoba menemuinya namun Jalal menegaskan tak mau
diganggu dan meminta penjaga supaya menyampaikan itu pada dua crime couple itu.
Jalal
sedang dalam dilema besar ***Judul Lagu Ungu*** dan
hanya satu hal yang tak dapat ia mengerti, mengapa Jodha menentang keinginanya
untuk memberikan keadilan pada keluarga
itu? Apakah dia benar? Apakah aku salah? Harga diri Jalal terluka... apakah
Jodha memiliki visi yang lebih baik daripada aku? Aku akan menghukum Azim
dengan memotong tanganya. Jodha membuat keputusan yang bijaksana tapi mengapa
hal itu menyakitiku? Dengan keputusanku, maka ketiga orang itu akan membayar
seluruh hukuman ini. ***Ishhh dasar labil,
childishnya akut sudah***..... hukumanya... “Jika seorang anak yang
belum menerima makan untuk hari ini dan dia mencuri roti kemudian kami memotong
tanganya karena mencuri, yang dianggap sebagai ketidakadilan dan kekejaman..
apa maksudnya? Apakah Jodha mau berkata aku kejam kepada orang-orangku?. Jika
aku mulai melihat motif dan alasan dibalik aksi pencurian, maka aku akan
berakhir dengan mengampuinya. Sehingga orang tak akan lagi memiliki rasa takut
akan hukuman dan kejahatanpun akan semakin meningkat... Johdhaaaaa, kau selalu
membuatku menyadari bahwa aku salah. Kau dulu berkali-kali bilang sebelumnya
orang-orang menghormatiku karena ketakutan mereka bukan karena mereka
mencintaiku. Apakah mereka menghormatiku karena takut padaku? Benarkah?.”
Segala pemikiran kusut Jalal membuat dia semakin sengsara sehingga ia
memutuskan untuk bertemu dengan Atgah Shahib dikamarnya, maka dia meminta salah
satu penjaga untuk memanggil Athgah Shahib.
AS:
“Aadab Shahenshah, anda memanggilku tuanku?.”
Jalal
menyambut Atgah, dan dengan nada membingungkan Jalal berkata... “Aku ingin
membahas tentang vonis yang diberikan oleh Jodha Begum hari ini. apa pendapatmu
tentang itu? Apakah kau fikir itu adalah keputusan yang tepat.”
Atgah
memahami dilema Jalal dan iapun mencoba memberikan jawaban dengan bijak...
“Shahenshah, saya mempunyai dua pendapat tentang putusan ini. Jika saya melihat
kasus ini dalam sisi kemanusiaan maka tak ada vonis yang lebih baik daripada
ini. saya sangat kagum dengan visi jauhnya Jodha Begum, saya tak pernah tahu
bahwa Jodha Begum sangat berpengetahuan dan cerdas. Shahenshah, saya sangat
bangga dengan keputusan anda untuk setuju dengan Malika E Hindustan. Tapi jika
saya melihat kasus ini dari segi hukum, maka keputusan ini benar-benar salah.
Azim telah mengakui semua kesalahanya dan saudaranyapun telah mengakui
kelalaianya, sehingga mereka harus dihukum. Dan hukum adalah hukum yang harus
dipatuhi dalam segala kondisi, juga ketika kita masuk dalam ranah hukum kita
harus berfikir dengan menggunakan otak bukanya hati. Kami telah mendapat ribuan
kasus seperti ini dan kita tak bisa menilai setiap kasus dengan cara seperti
ini.”
Atgah
Sahib pun melanjutkan kata-katanya... “Tapi hari ini Jodha Begum memaksa saya
untuk berfikir bahwa kita harus memakai pengukuran dari setiap kejahatan.
Cerita perumpamaan tentang anak yang lapar benar-benar membuat saya berfikir
bahwa kita perlu meninjau hukum kita. Hukuman untuk kejahatanya harus
didasarkan pada letak perbedaan kejahatan. Saya sangat terkesan dengan
pemikiran Jodha Begum, saya sungguh-sungguh dengan perkataan saya.”
Dengan
ekspresi menyedihkan Jalal bertanya... “Atgah Sahib, apa kau berfikir bahwa aku
adalah seorang Shahenshah yang kejam dan bengis? Keputusan Jodha Begum hari ini
membuatku berfikir bahwa selama ini aku tidak adil pada rakyatku dan mereka
menghormatiku hanya karena takut kepadaku. Apa aku benar-benar Shahenshah yang
kejam? Apakah Jodha Begum saja yang benar?.”
Atgah
Sahib dengan nada menghibur menjawab pertanyaan Jalal... “Nahhi Shahenshah
bilkul nahhi, anda tidak kejam. Saya setuju bahwa anda selalu mengambil
keputusan dengan menggunakan otak dan bukanya hati, dan penguasa yang baik
memang itu adalah salah satu syarat utamanya. Kelembutan hati seorang raja tak
akan memberikan perdamaian dan keamanan pada rakyatnya, dan janganlah membuat
kesalahan dengan menilai diri sendiri hanya pada satu kasus. Saya sangat tahu
seberapa kerasnya anda berfikir tentang keselamatan dan kesejahteraan rakyat
anda. Semua undang-undang ini dibuat untuk kepentingan rakyat dan tak ada
kerajaan yang sempurna. Anda tidak dapat menyenangkan semua orang tapi tidak
berarti bahwa anda seorang Shahenshah yang kejam dan tak berperasaan. Dan
setelah mengatakan semua ini, ada satu pemikiran Jodha begum yang saya
benar-benar menyentuh hati saya yaitu ‘hukum dibuat untuk kenyamanan kita dan
dengan perubahan waktu yang diperlukan.”
Jalal
berusaha keras untuk tersenyum pada Atgah Sahib, dan setuju dengan apa yang
disampaikanya..”dengan perubahan waktu yang diperlukan.” Gumam Jalal dalam
hati. Setelah Atgah Sahib pergi Jalal kembali dihantam oleh kenyataan bahwa
sekali lagi EGO-nya dihancurkan, memang dia setuju dengan pendapat Atgah tapi
bukan berarti Jalal puas dengan jawabanya. Ketika seseorang memuji kecerdasan Jodha,
langsung Jalal membandingkan dirinya dengan dia dan pada akhirnya menghancurkan
lagi Ego-nya sebagai seorang Shahenshah. Kecemburuan telah menciptakan
kemarahan yang amat sangat didalam hatinya. Ia merasa sangat terganggu
mengingat bahwa Jodha telah mengambil keputusan melawan keinginanya dan
keputusan Jodha lebih baik daripada keputusanya. Jalal sebenarnya sadar diri
bahwa keputusanya kadang-kadang sangat bengis dan tidak berperasaan, dia tak
pernah berfikir dua kali saat memberi penghukuman. Ia tak pernah berfikir
tentang alasan dibalik sebuah kejahatan. Apakah Jodha mencoba untuk membuktikan
didepan semua orang bahwa aku adalah Shahenshah yang tak punya rasa ampun?
Pikiran dan hatinya berlomba-lomba dengan jawaban YA atau TIDAK. Jalal marah
pada Jodha, tapi ia tak bisa mengatakan apapun pada Jodha. Ia melihat air mata
dimata Jodha tapi sangat mengejutkan bahwa itu tak berdampak lagi pada Jalal.
Untuk saat ini setidaknya pikiran Jalal telah menang melawan hatinya.
Dibagian
lain dalam Istana tepatnya dalam kamar Jodha, Jodha duduk dilantai didepan
Mandir Khrishna dengan perasaan bingung. Untuk pertama kalinya ia tidak bisa
membaca pikiran Jalal. Ia tak mengerti kenapa Jalal begitu kesal dan
mengabaikanya, Jodha tahu bahwa Jalal tak suka dengan keputusanya namun reaksi
Jalal yang menurutnya berlebihan memberikan rasa sakit yang teramat sangat.
Apalagi ketika Jalal menatapnya dengan tatapan kebencian yang seolah-olah
berkata bahwa ia salah membuatnya semakin sedih. Bahkan ketika mereka dulu
sama-sama masih saling membenci Jalal tak pernah memperlihatkan pancaran
kebencian dimatanya untuknya. Jodha merasa rentan, dan ia telah bertekad ia
akan bertanya pada Jalal apa yang begitu mengganggunya.
Pagi
hari, setelah menyelesaikan doa Khana ia pergi keluar untuk melakukan Tulsi
Pooja, ia melihat Jalal tak berlatih pedang saat ini karena biasanya pada waktu
Jodha melakukan Tulsi Pooja, Jalal telah siap bermain dengan pedangnya. Namun
hari ini tak begitu adanya. Jodha kemudian berjalan menuju kamar Jalal, ia
melihat Jalal dan Abdul yang sedang berjalan menuju istal kuda. Tatapan mata
keduanya bertemu, Jalal bisa melihat kesedihan dimata Istrinya, lama mereka
saling menatap. Melihat itu Abdul dengan segala kesadaran yang dipunyai memilih
untuk memberikan privasi pada keduanya, ia berjalan menuju sisi lain istana.
Jodha,
dengan nada rendah meminta berkata pada Jalal... “Shahenshah, aku ingin
berbicara denganmu selama beberapa menit saja.”
“Katakan
dengan cepat, aku memiliki begitu banyak urusan yang harus segera kuselesaikan.”
Jalal mengatakanya dengan nada kasar dan penuh kemarahan.
Untuk
mencairkan suasana Jodha mencoba bertanya dengan nada santai, ia berkata...
“Shahenshah, apakah kau akan pergi kesuatu tempat?.”
Jalal
merasa terganggu dengan pertanyaan Jodha, ia menatap Jodha dengan tatapan marah
dan menjawab... “Apakah aku perlu izinmu ketika aku ingin pergi keluar, atau
kau juga ingin aku memberikan penjelasan apa yang akan kulakukan sepanjang
hari?.” ***Jiaaaaaaaaaaaan, huasyeeeem tenan kok
Bhaijaan ini. hayang ngageplak kepalanya pake dayung sampan. Bikin esmosi
wae***
Jodha
terkejut melihat tanggapan Jalal, iapun dengan nada menyakitkan mengatakan...
“Aku hanya bertanya dan tak bermaksud seperti yang kau pikirkan Shahenshah.”
Jalal tak mau ini menjadi panjang, segera ia berkata... “Ada lagi?.”
Setelah
melihat sikap dan suasana hati Jalal, Jodha merasa ini bukanlah waktu yang
tepat untuk membahas lebih lanjut.. tapi dia juga mencoba bertanya sekali
lagi... “aku hanya ingin memberitahumu bahwa besok aku tak dapat menghadiri
Diwani E Khass.” Kata itu tanpa disadarinya keluar begitu saja.
Dengan
tatapan sinis Jalal menjawab... “Sepertinya kau merasa sudah cukup menunjukkan
bakatmu hanya dalam satu hari, dan kau sudah tak ingin menunjukkanya lebih
banyak lagi.”
Dengan
perasaan sedih Jodha menjawab... “Bukan seperti itu Shahenshah, besok aku akan
pergi ke kuil Ambee Matta untuk berdoa.” Dengan kasar Jalal menjawab...
“Seperti yang kau inginkan.” **Haishhhh Jenggung
beneran neh lama-lama**
Sebelum
Jodha bisa merespon perkataan Jalal, terlihat sosok yang paling kusebelin yaitu
Begum E Khass yang sedang berjalan menuju keduanya. Melihat kedatanganya Jalal
tersenyum hangat ***Huweeeeeeek gumohhhh aku, palu
godam kepala Shahenshah*** dan dengan penuh semangat kepalsuan melewati
Jodha, berjalan menuju Begum E Khass, Jodha berbalik untuk melihat tingkah aneh
Jalal dan ia sangat terkejut melihat Jalal dan Kodok berpelukan dengan penuh
semangat ***Argghhhhhhhhhh, batek brengos
Shahensahah, wax keteknya pake koyo cabe, huftttttt*** Dan beberapa
detik kemudian Jalal mencium kening Kodok, dan saat kejadian itu mata sang
Kodok burik buruk rupa buruk adat ini menatap Jodha dengan sorot sinis penuh
kemenangan. ***Haishhhhh, balang bakiak Shahenshah
Jalal, ane sumpahin abis itu tu bibir jontor kena virus borok’en, sebel tingkat
dewi udahan, hosh hosh hosh***
Melihat
pemandangan menyakitkan didepan matanya, tanpa terasa air mata Jodha mulai
mengalir menganak sungai, ia menatap keduanya tanpa berkedip. Dan kenyataan
yang paling menyedihkan untuknya adalah karena Jalal memang dengan sengaja
melakukan itu untuk menyakitinya. ***derita dimadu
ya gini, jangan maulahhhh wahai kaum hawa masa kini***
Sang
Kodok bertanya pada Shahenshah kita yang lagi kumat penyakit GGD-nya... “Jalal,
kemana kau akan pergi?.” Jalal menjawab sambil menatap Jodha **hoyong nyulek matane dakuh, heu heu heu** ...
“Ohhh Begum E Khass, aku selalu memberitahumu sebelum aku pergi keluar istana.
Sebenarnya aku datang untuk menemuimu tapi pagi ini aku merasa tidak terlalu
baik, dan ada beberapa orang yang tak berguna menghentikanku dan membuang-buang
waktuku.” ***Hopoooooooooooh? Plakkkkk, kaplok kiwo
tengen, cakar-cakar muka Shahenshah, cabuti brengos pake tang. Sebelllllll***
Jodha
menatapnya dengan rasa sakit yang luar biasa, akhirnya air mata kesedihanya
berubah menjadi kebencian dan tanpa berkata apa-apa ia berbalik berjalan menuju
kamarnya, namun setelah beberapa langkah ia memutuskan untuk berlari supaya
cepat sampai kekamarnya. ***Ane dukung Jodha,
jangan biarkan Bhaijaan songong itu mendekatimu lagi, ben nyonyoooor***
Setelah
Jodha meninggalkan tempat itu, akhirnya Jalal menangis. Wajah sedih Istri
tercintanya **opo preeeeet, tak jenggung mustoko
panjenengan** akhirnya berdampak pada hatinya yang kejam dan penuh
dengan keegoisan. Ia mulai merasa tercekik di Istana. Tanpa mengucapkan sepatah
katapun pada Begum E Khass, Jalal berjalan menjauh meninggalkanya. Ia harus
menegaskan bahwa dirinya adalah seorang penguasa yang besar. Ia memutuskan
untuk mengunjungi beberapa desa sebagai orang biasa dan mengajak Abdul untuk
ikut bersamanya. Mereka menggunakan pakaian Rajvanshi, setelah itu mereka
melompat kepunggung kuda dan memacu kuda itu pergi menjauh keluar istana.
PRECAP:
“Jash Untuk Menghormati Malika E Hindustan”.
PS: Maaf beribu maaf jika terganggu dengan celotehanku di part ini, jujur saya gak bisa menahan diri karena udah sampek ubun-ubun keselnya. hehehehe happy reading ~~^^