Jodha dengan
nada rendah memanggilnya, “Tunggu Shahenshah...” **Tuh kan, terbukti, sebenarnya siapa yang lebih woooowww,,,
LOL** Jalal berbalik dan bertanya
dengan santai, “Ada apa Jodha???” Jodha memberanikan dirinya dan wajahnya
memerah, “Shahenshah, suasana hatiku telah kembali...” Jalal tersenyum dan
menghembuskan nafasnya, “Oh Jodha... Kau tidak pernah melewatkan kesempatan
untuk menggodaku... Apakah kau juga mengambil latihan untuk merayu suamimu???”
Sambil berjalan kearahnya dan menatapnnya intens. Dia semakin dekat dengannya,
“Jadi, jika moodmu telah kembali, lalu ciumlah aku...” Jodha menunduk karena
malu. Jalal mengangkat wajahnya dan perlahan-lahan mencium pipinya. Jodha
segera memejamkan matanya setelah merasakan sentuhannya yang lembab. Kemudian
dengan lembut mencium bibirnya dan memandangnya dengan penuh gairah. Jodha
membuka matanya dan kemudian membalas ciuman Jalal......
Tiba-tiba
ada sebuah pengumuman, “Mariam Makani hamidah Bano tashreef laa rahi
hai..." Mendengar pengumuman itu, keduaanya saling memandang dengan shock.
Jodha segera mendorong Jalal dan mulai memperbaiki penampilannya. Jalal juga
berpura-pura melihat ke tempat lain. Hamida bani memasuki kamar Jodha dan
sempat terkejut ketika melihat Jalal berdiri memandang berkeliling
membingungkan. Dia mengamati Jodha. Dan melihat ekspresi wajah mereka, ia
segera menyadari situasi... Dia sedikit tersenyum dan memutuskan untuk menggoda
pasangan tersebut. Dia bertanya dengan nada serius, “Jalal apa yang kau lakukan
disini saat ini??? Ini adalah waktu untuk latihan... Apakah kau tidak terlambat???”
Jalal mencoba mencari jawaban dan kemudian menjawab dengan gugup, “Tida
Ammijaan, aku... aku...” Kemudian setelah jeda sesaat, Jalal melanjutkan, “Aku
datang kesini untuk memberitahu Jodha begum tentang Diwan e Khaas...” Ia
menarik nafas dalam-dalam dan merasa lega karena telah menjawab pertanyaan
Hamida.
Hamida
menyembunyikan senyumnya dan menjawab, “Hmmm... Aku mengerti... Ada baiknya kau
mengingatkannya waktu pertemuan DWK sebelumnya... Tapi kurasa itu bukan hal
yang baru untuk Jodha.... Dia telah disini sejak 4 bulan yang lalu, dia
seharusnya sudah tahu kapan waktunya DWK...” Jalal merasa agak malu.
Tiba-tiba
Hamida melihat tanda merah di leher Jodha. Hamida bertanya dengan serius dan
nada menggoda, “Ooohhh Jodha, anakku! Apa yang terjadi kepadamu??? Lihat tanda
ini di lehermu... Bagaimana itu bisa terjadi???” Sebelum Jodha mengatakan
apapun, Jalal langsung menjawabnya, “Digigit nyamuk Ammijaan...”
“Nyamuk!!!”
Hamida menatapnya dengan bingung. Jalal sadar bahwa ia menjawab tanpa berfikir.
Hamida bercanda, “Sepertinya nyamuk yang besar...” Jalal melihat Hamida yang
tersenyum menggoda. Ia menghidari tatapan Hamida dan memandang Jodha dan
berkata, “Aku terlambat latihan... Jadi aku akan pergi sekarang... Khuda
Hafiz...” dan berjalan keluar dari kamar Jodha dengan menahan malu.
Jodha
merasa sangat malu hingga dia tidak mampu mengangkat pandangannya. Hamida
mencium dahinya dan berkata, “Aku juga akan meninggalkanmu...” Jodha dengan
wajah memerah memangdang Hamida bano yang sedang berjalan keluar.
Hamida
tiba-tiba berhenti dan berbalik, “Jodha anakku, sekarang pakailah kalungmu atau
nyamuk yang lain akan datang kembali dan menggigitmu lagi...” Kemudian ia
tersenyum pada Jodha, “Khuda Hafiz...” Jodha merasa sangat malu, dia tidak bisa
menatap mantanya lagi.
Jodha
merasa kesal, “Aku tidak akan membiarkanmu Shahenshah, kau meninggalkanku
sendiri setelah menempatkanku pada kekacauan yang memalukan ini...”
Jodha
mulai mempersiapkan pooja... Ia dengan cepat membuat prasad, selesai pooja
kresna dia keluar untuk melakukan tulsi pooja...
Jalal
masih bermain pedang. Bermain pedang adalah bagian dari rutinitasnya, tida peduli
seberapa sibuk dirinya tetapi dia selalu meluangkan waktu untuk melakukan latihan
pedang.
Ketika
berdoa, Jodha merasa terganggu karena ada yang mengawasinya. Jodha dan Jalal
saling mencuri lirik satu sama lain. Mata Jodha menyipit menandakan bahwa ia
merasa terganggu dan juga kesal, namun Jalal justru tersenyum nakal.
Bakshi
Bano melihat keduanya melirik satu sama lain. Dia sangat bahagia tentang apa
yang baru saja terjadi dengan hubungan Jodha dan Jalal. Ia menghampiri Jodha
dan mengucapkan salam. Jodha menyambutnya dan memberinya Aarti dan Prasad. Bhaksi
mulai bertanya, “Apakah kau tidak ingin memberikan aarti kepada Bhaijaan???”
Jodha mengangguk dan keduanya mulai berjalan menghampiri Jalal.
Mereka menghampiri
Jalal. Jodha memberinya Aarti dan Prasad. Kemudian Bakshi menyapanya, "Aadab
Bhai jaan... Aku ingin mengucapkan selamat kepada kalian berdua... Akhirnya
saudaraku jatuh cinta...” Jodha menunduk malu dan berfikir, “Apa yang
terjadi hari ini... Semua orang menggoda kami...”
Jalal menatap Jodha dan berkata, “Kau benar
Bahshi... Akhirnya, aku telah jatuh cinta...” Jodha memandangnya dengan sudut
matanya dan berfikir, “Apapun yang kau lakukan kemarin di Diwan-e-Khaas, apakah
masih belum cukup sehingga kau melakukan lagi sekarang!!!”
Jalal
tersenyum kepada mereka berdua dan berbalik untuk kembali latihan. Bhaksi
melihat ada goresan kuku di punggung Jalal dan ia bertanya dengan khawatir,
“Bhai jaan, goresan apa ini???” Jalal segera berhenti dan tersenyum kemudian
berbalik menghadap Jodha dan Bhaksi. Dia melirik Jodha dengan tatapan nakal,
“Bakshi, sebenarnya kemarin aku pergi ke danau dan disana ada kucing liar yang
menyerangku... Tapi kau tidak perlu khawatir, sepertinya aku sudah terpesona
kepada kucing liar itu...” Jodha mendengar ucapan Jalal dan menyipitkan
matanya.
Bhaksi
terkejut, “Ya Allah... Apa yang etrjadi ini Bhai jaan??? Pertama-tama kau
diserang harimau dan sekarang ini kucing liar... Jagalah dirimu sendiri...”
Kemudian ia berbalik menghadap Jodha, “Kau sudah merawat taman istana, sekarang
tolong urus cedera bhaijaan...” Dan ia meninggalkan mereka sendiri. Jodha
menatap Jalal sekilas dan pergi untuk mengambil obat untuknya.
Jodha
kembali dengan membawa salep. Jalal mulai menggodanya, “Kematilah Junglee
Billi... Oleskan salepnya...” Jodha dengan kesal bertanya, “Mengapa kau
mengatakan bahwa luka itu diberikan oleh kucing liar???” Jalal memandangnya
dengan tatapan misterius, “Hmmm... Benar Jodha... Seharusnya aku mengatakan
yang sebenarnya kepada Bakshi... Bagaimana aku mendapatkan goresan ini dan yang
memberikannya...” Keduanya saling memadang dan tersenyum satu sama lain.
Pengumuman
kedatangan Jodha dan Jalal dibuat dan kemudian mereka berjalan bersama-sama di
Diwan e Khass. Jodha sedikit takut melihat begitu banyak administrator cerdas
dan berpendidikan. Ada juga beberapa raja yang berkunjung kesana dengan membawa
isu-isu negara mereka masing-masing. Segalanya tampak sangat berbeda. Perasaan
duduk dibelakang tirai dan hanya mendengarkan berbeda dengan duduk di atas
takhta. Seluruh tubuhnya menggigil karena gugup. Ia pernah menghadiri darbar di
kota Amer, namun hari ini, untuk pertama kalinya ia akan duduk disamping Jalal
dan harus memberikan pendapatnya mengenai isu-isu politik. Dia panik namun
mencoba untuk tetap etrsenyum. Jalal melihat matanya dan mengetahui bahwa Jodha
sangat gugup. Dia berkeringat di musim dingin. Keduanya sampai di tahta. Yang
pertama duduk adalah Jalal, kemudian Jodha duduk di sampingnya. Pikirannya kosong karena takut. Tubuh bagian
dalamnya dingin. Jalal melihat wajahnya yang takut dan khawatir. Ia
perlahan-lahan meletakkan tangannya diatas tanagan Jodha dan menatapnya untuk
menenangkanya. Kemudia perlahan-lahan ia berbisik, “Jangan khawatir Jodha, aku
bersamamu...”
Melihat
wajah Jodha yang khawatir, Rukaiya dan Maham keduanya tersenyum satu sama lain.
Hamidah dan Jodha melirik satu sama lain. Dengan ekspresi mata hamidah
memberikan berkah-Nya kepada Jodha. Darbar itu penuh dengan menteri yang
cerdas. Kecerdasan mereka dianggap terbaik di seluruh Hindustan. Para peneliti,
orang yang melihat hitungan bulan, berada didepan matanya dan itu membuatnya
semakin gugup. Jodha adalah orang yang sangat intelektual dan pengetahuannya
begitu luas. Dalam usianya yang masih sangat muda dia memperoleh pengetahuan tentsng
obat-obatan, bisnis dan interaksi internasional. Dia membaca banyak buku yang
berbeda. Bacaan favoritnya adalah tentang ekonomi dan perpajakan. Dia bahkan
menulis bukunya sendiri tentang cara meningkatkan Arth-tantra. Tidak ada satu
pun yang tahu termasuk Jalal bahwa Jodha memiliki rincian pengetahuan yang
sangat banyak. Tidak ada yang berfikir jauh tentang Jodha. Untuk mendapatkan
kedudukan Diwan e Khaas di Mughal bukanlah tugas yang mudah. Orang-orang
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kedudukan di DWK. Semua
orang menatap Jodha sebagai ratu favorit Shahenshah dan tidak lebih.
Pengadilan
dimulai dengan Atgah Sahib membacakan deklarasi, “Banjir besar terjadi di
Sikandrabad tiga hari tang lalu, dan beberapa desa benar-benar hancur... Raja
Sikandrabad ada disini untuk meminta bantuan dan meminta pajak desa
dihentikan...” Jalal meminta untuk
menjelaskan lebih jauh. Raja bangkit dan menjelaskan kerusakan yang
disaksikan oleh orang-orang desa, “Semua desa-desa hancur dan banyak orang yang
meninggal karena banjir... Orang-orang yang masih bertahan, setidaknya tidak
membayar pajak selama setahun...”
Diskusi
dimulai, satu per satu semua orang mulai memberikan pendapat mereka tentang
pajak. Apa jumlah pajak harus dimaafkan, bagaimana akan berdampak pada
perbendaharaan Sultanat dan banyak pertanyaan lain yang menyangkut hal tersebut.
Juga ada sebuah diskusi besar oleh para ahli keuangan. Diskusi utama adalah
pada berapa banyak semua ini akan dikenakan biaya. Akhirnya semua orang datang pada
kesimpulan yang memberikan 6 bulan pemberhentian pajak untuk warga korban
tersebut. Kemudian Jalal meminta pendapat Maham dan Rukaiya di dalam hal ini.
Keduanya setuju dengan Menteri Keuangan dan penasihat dan menjelaskan bahwa
Sultanat tidak mampu untuk memberikan lebih dari enam bulan pemberhentian pajak.
Akhirnya
Maham bertanya pada Jodha, “Malika-e-Hindustan... Apa pendapatmu tentang
masalah ini???”
Jodha
memandang Jalal. Dia ketakutan. Dia tidak pernah berbicara di depan yang banyak
orang tentang isu politik. Kemudian ia memulai dengan sedikit pendekatan, “Pada
awalnya, aku mengerti pemotongan pajak akan berdampak pada keuangan Sultanat,
tapi aku memliki beberapa pertanyaan untuk Raja Sikandrabad...” Jodha bertanya
kepada Raja dnegan hormat dan nada rendah, “Apa yang anda lakukan sejauh ini
untuk mendukung desa tersebut, yang selamat dari banjir yang tragis???” Dengan
yakin Raja menjawab, “Negara kami telah mengirim lebih dari dua puluh tentara
untuk menyelamatkan para korban, yang datang ke istana, diberi sumbangan
beberapa pakaian dan selimut... Juga, beberapa kuil dan masjig yang mengatur
makanan bagi para korban...” Jodha terus bertanya secara bertahap kali ini
kepercayaan dirinya semakin meningkat, “Apakah mereka sudah memiliki
perlindungan yang layak??? Dan apakah mereka menerima semua bantuan yang mereka
butuhkan atau mereka memohon untuk mendapat bantuan sedapat mungkin???” Dengan
nada menyesal Raja menjawab, “Semua ini terjadi begitu cepat sehingga kami
tidak punya waktu untuk mempersiapkan hal itu...” Nada bicara Jodha sedikit
lebih keras dan percaya diri. Dia bertanya dengan keras, “Apakah negara anda
memliki dana darurat untuk bencana alam atau kejadian yang tak terduga untuk
negara??”
Jalal dan
semua orang terkejut dengan pendekatannya. Tidak ada yang berpikir tentang
situasi sedemikian rupa. Dengan menyesal Raja menjawab, “Tidak... kami tidak
pernag merencakaannya terlebih dahulu untuk jenis masalah...”
Semua
orang yang ada di pengadilan terkejut dengan pendekatan Jodha yang cerdas dan
kekhawatirannya pada warga desa. Semua orang hanya berkonsentrasi pada
pemotongan pajak dan tidak ada yang berpikir tentang dampak pada masyarakat. Mata
Rukaiya dan Maham terbelalak shock melihat kepercayaan diri Jodha yang
meningkat, kekuatan dalam nada bicara dan pikiran jangka panjang yang sangat
bijaksana.
Rukaiya
memotong ucapan Jodha, “Malika-e-Hindustan, kami sepenuhnya memahami
kekhawatiranmu tentang orang-orang tetapi ini bukanlah tanggung jawab kami...
Raja Sikandrabad seharusnya hanya mengurus umat-Nya... Kekhawatiran pengadilan
adalah pemotongan pajak bukan orang-orang... Kau benar-benar melenceng dari
topik utama...”
Jalal
dengan geram menghentikan Rukaiya dengan tangannya dan kemarahan di matanya dan
berkata dengan nada keras, “Semua orang yang berada dibawah Mughal Sultanat
adalah tanggung jawabku... Aku tidak bisa mengabaikan masalah orang-orang yang
menderita dalam bencana... Aku sepenuhnya setuju dengan pemikiran Malika e
Hindustan... Setiap negara harus memiliki perencanaan untuk situasi darurat dan
dana cadangan untuk persiapan jika sewaktu-waktu terjadi krisis... Semua masjid
dan kuil harus memberikan kontribusi sebagai layanan untuk krisis...”
Kemudian
Jalal bertanya pada Atgah Sahib, “Apakah kita memiliki perencanaan darurat???”
Dengan menyesal ia menjawab, “Tidak ada Shahensah, kita tidak...” Jalal
langsung memerintahkan dengan keras, “Kita perlu membangun sebuah komite untuk
situasi darurat segera... Setiap negara harus dana perencanaan dan cadangan
untuk situasi seperti itu... Aku tidak ingin orang-orang berlarian untuk mencari
bantuan... bantuan harus segera sampai pada mereka dalam krisis seperti ini...
Setiap negara harus memiliki tempat penampungan besar...”
Hamidah
memandang Jalal dengan perasaan bangga. Dia bisa merasakan perubahan sikap Jalal.
Rukaiya dan Maham terkejut. Rencana mereka gagal untuk mempermalukan Jodha di
depan yang banyak orang dan membuat Jalal menyadari keputusannya salah. Mereka
tidak pernah berpikir dia akan memiliki visi sejauh ini dalam masalah-masalah
politik.
Jalal
memandang Jodha dengan bangga dan berbisik, “Aku sangat tahu dengan baik, aku
tidak membuat kesalahan... Kau benar-benar layak menjadi Malika e Hindustan...
Kau benar-benar telah membuatku bangga...”
Precap:
Maham dan Rukaiya merencakan permainan lain...