Note: Tulisan warna biru adalah ucapan dalam hati pemain.Written by Samanika
Sinar keemasan dari mentari pagi menerobos masuk melalui sela-sela jendela dan beberapa titik cahaya jatuh tepat di atas wajah Jalal. Dia mengerjapkan matanya dan memanggil salah satu pelayannya untuk menutup tirai. Dia tak mau di bangunkan di sela-sela puncak kenikmatan dari mimipinya yang akan terjadi. Setelah beberapa saat kemudian, alarm berbunyi dengan suara yang memekikkan telinga. Jalal yang merasa terganggu, segera mematikannya. Dengan perlahan, dia membuka matanya. Dia sudah tak bisa tidur lagi, dikarenakan cahaya mentari dan alarm yang telah membangunkannya. Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, dia pun bangkit dan duduk di sisi ranjang. "Uuhh,,, tadi itu sungguh mimpi yang indah! Tapi sinar mentari dan alarm bodoh ini telah merusak semuanya! Hhm,, sial! Sudah jam 9. Sebaiknya aku segera bergegas." gerutu Jalal.
Sambil masih menguap, Jalal masuk ke kamar mandi. Setelah menggosok gigi, dia menuju ke arah pancuran. Sambil menikmati air pancuran yang menyegarkan tubuhnya, pikirannya terbayang akan mimipinya semalam. Dia masih mengingat setiap detailnya dengan jelas, saat diteras, udara yang sejuk, hujan yang turun, dan tentu saja Jodha. Sedikit seringai merambah di wajahnya bila memikirkan Jodha. Memikirkannya dalam penampilan feminimnya yang membuat Jalal selalu tergila-gila. "Ohh! Dia terlihat sangat seksi dalam mimpi. Caranya menggodaku... Ahh! Aku bisa mati! Aku penasaran, kapan mimpi itu akan berubah menjadi kenyataan. Aku lelah terus-terusan bermimpi seperti ini. Mimpi-mimpi itu membuat birahiku semakin meningkat, dan aku akan jadi kesulitan mengendalikan diriku bila berada di dekatnya." gumam Jalal sambil menyelesaikan mandinya.
Selesai mandi dia mengambil handuk dan membalutkannya di sekitar pinggang, lalu keluar dari kamar mandi. Dia segera mengenakan setelan kantornya dan sepatunya. Setelah merasa rapi, dia menuju ke ruang ibadah untuk berdoa dan menenangkan pikirannya. Setelah itu, dia langsung menuju meja makan, dimana Ibunya sudah stand by lebih awal menunggunya untuk sarapan. Saat keduanya bertemu, mereka saling memberi salam hangat, kemudian duduk menyantap hidangan pagi. Dengan lahap dan tergesa-gesa, Jalal menyantap makanannya karena dirinya merasa sudah terlambat. Selagi makan, terlihat Jalal menyunggikan seulas senyuman di wajahnya, yang tentu saja tak lepas dari pengawasan sang Ibunda. Setelah sarapan, dia segera berpamitan pada Ibunya untuk berangkat kerja. Ibunya merasa senang dalam diam melihat tingkah anaknya. "Ibu tahu alasan dari senyuman yang menghiasi wajahmu, sayang. Dia pasti telah membawa perubahan pada dirimu. Kau sekarang mulai sering tersenyum, tertawa, dan malu-malu. Ya Allah, berkatilah Jodha dengan segala kebahagiaan. Dia sungguh wanita yang baik, yang telah membantu Jalal. Dia telah membuat Jalal menjadi orang yang lebih baik. Dan aku rasa Jalal juga menyukainya. Mohon berikan mereka masa depan yang indah bersama." gumam Hamida sambil tersenyum lebar.
Jalal pun tiba di kantor. Dia bernapas lega setelah melihat dirinya tiba sebelum para karyawannya tiba. Secepat kilat, dia menuju ruangannya, lalu duduk menyiapkan agenda yang untuk dikerjakan hari ini. Dia langsung teringat kalau dia harus pergi ke kantor polisi untuk memberikan surat pengaduan resmi atas kejahatan Adham-Benazir. Dia benar-benar lupa karena Salima sedang mengambil cuti, jadi tidak ada yang mengingatkannya. Hari ini terasa seperti biasa-biasa saja. Jalal bahkan tak merasakan sedikit kekesalan atas apa yang telah terjadi. Semuanya terasa telah kembali normal. "Aku merasa senang sekali hari ini! Semua berkat dirinya. Dia memang bak seorang malaikat." pinta Jalal merasa senang. Dengan antusias, Jalal menunggu kedatangan Jodha hari ini. Dia ingin mengatakan sesuatu semalam tapi tak sempat, karena sudah terlalu larut. Pikirannya masih saja terbayang akan pengorbanan Jodha dkk. demi dirinya. Terutama Jodha sendiri. "Aku pikir dia membenciku dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tapi mengapa dia mau membantuku? Aku yakin dia tak punya motif jahat di balik itu semua. Dia memiliki hati yang suci, tak mungkin, bahkan hanya untuk memikirkannya. Atau mungkinkah dia... Tidak! Jalal, dia tak mungkin punya perasaan terhadapmu. Aku sudah pernah bersama banyak wanita dan aku bisa membaca tanda-tanda jika mereka menyukaiku. Tapi Jodha sepertinya tak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia menyukaiku. Mungkin saja semua yang dia lakukan itu hanya sebatas kesetiaannya pada pekerjaan. Dia tak mungkin menyukaimu, Jalal. Dia membencimu!" Batin Jalal.
Saat sedang tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Jalal segera menyuruhnya masuk. Saat pintu terbuka, dia melihat Jodha yang berdiri di depan pintu. Dia pun lagi-lagi di buatnya terpesona oleh penampilan Jodha. Saat itu Jodha mengenakan Kurta Churidar putih dipadu dengan dupatta berwarna biru langit, juga sepatu high heels berwarna silver. Untuk aksesorisnya, dia memakai antin-anting Jhumkas berwarna silver dan beberapa gelang yang berwana-warni. Rambutnya diikat menjuntai ke belakang dan sebagian diberi pita jepitan. Bibirnya di beri lipstik berwarna pink cerah. Alhasil, dia terlihat sangat dan segar, hingga Jalal tak bisa memalingkan wajahnya. "Ohh!! Sungguh! Dia bak bidadari hari ini! Dia selalu sukses membuat penampilannya nampak sempurna, baik itu saat mengenakan Saree, kostum penari, kemeja dan celana panjang, maupun Kurta Churidar seperti hari ini. Rambutnya yang panjang nan indah, membuatnya terlihat bak putri duyung. (#hedeeh,,, gak salah tuh mas #abaikan) Bibirnya yang ranum bak kelopak mawar yang merekah. Bahkan kata-kataku tak bisa menggambarkan dengan jelas kecantikan illahinya. Yang bisa ku katakan hanyalah Masya Allah!!" pikir Jalal dengan kekaguman.
"Umm,,, Pak Presiden. Boleh saya masuk?" Pinta Jodha membuyarkan lamunannya. Jalalpun tersadar begitu mendengar suaranya, dan segera mempersilahkannya masuk dan duduk di kursi.
Jodha: "Pak Presiden, presentasi untuk Strategi Penjualan yang baru masih tertunda nih. Aku rasa, mungkin aku bisa mempresentasikannya hari Kamis ini."
Jalal: "Jodha, kau tak perlu cemas dan terburu-buru begitu. Gunakan saja waktumu sebanyak yang kau mau. Tapi aku sarankan, bagaimana kalau hari Senin depan saja."
Jodha: (tersenyum) "Baiklah, Pak. Hari Senin saja kalau begitu."
Jalal: "Umm... Jodha, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Jodha: "Tentu saja, Pak."
Jalal: "Jodha, aku yakin bahwa kau masih sangat membenciku. Lalu, mengapa kau mau berkorban dengan mengambil resiko untuk mengambil berkas-berkas itu dari ruman Adha?"
Jodha: "Pak, mohon jangan berkata seperti itu lagi! Benci adalah kata yang buruk. Awalnya aku memang membenci Anda karena keangkuhan dan keegoisan Anda. Apalagi, Anda adalah penyebab aku dipecat dari pekerjaan lamaku. Jadi, kebencianku beralasan,'kan? Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat sisi lain dari diri Anda. Anda sebenarnya tidak seperti apa yang terlihat dari luarnya selama ini. Bahkan selama 2 bulan ini, aku melihat kalau Anda sangat menyayangi dan peduli pada semua karyawan layaknya seorang Ibu yang menyayangi anaknya. Aku juga melihat betapa Anda sangat mengasihi Ibu Anda. Dan di malam saat aku mengantar Anda pulang... Anda bilang bahwa Adham telah mencampur vodka ke dalam minumanku... Dan malah Anda yang meminumnya, walaupun Anda membencinya dan itu akan menghilangkan kesadaran Anda. (menangis terharu) Aku sangat bersyukur pada Anda hari itu. Anda telah menyelamatkan kehormatan dan harga diriku. (menghapus tangisnya) Sejak saat itulah, aku berjanji akan membalas bantuan Anda, bagaimanapun caranya. Jadi, walaupun yang kami lakukan itu sangat beresiko, kami memilih untuk tetap menerobos masuk untuk mengambil berkas-berkasnya."
Jalal: "Jodha, saat itu aku bukannya menolongmu. Aku hanya mencoba melindungi seorang karyawan, (#aissh,,, nipu diri sndiri nih#) apalagi terhadap seorang wanita. Jika wanita lain yang berada di posisimu saat itu, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Jadi, malam itu... Saat kau mengantarku pulang, apa lagi yang sudah ku katakan?"
Jodha: "Umm... Well, waktu itu Anda mengatakan bahwa Anda telah menyelamatkanku dari Adham. Anda juga bilang kalau aku mempunyai... apa ya waktu itu... kalau tidak salah... oh yeah 'Hunar'. Anda bilang kalau aku mempunyai banyak hunar yang membuat Anda kagum."
Jalal merasa sangat malu membayangkan dirinya mengatakan hal itu. "Apa lagi yang ku katakan?"
Jodha: (blushing) "Umm... Well, Anda juga bilang kalau aku terlihat cantik dan orang lain bisa saja mengambil keuntungan dariku dan memanfaatkanku."
Jalal semakin merasa malu sehingga rasanya ia ingin menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya! Dia tak menyangka bahwa dirinya akan menyebutnya Cantik secara langsung. Jalal benar-benar merasa malu hingga pipinya memerah.
Jalal: "Ohh,, jadi aku bilang begitu ya. Aku sungguh minta maaf, Jodha. Saat aku mabuk, aku suka bicara ngelantur. Aku harap kau memaafkanku."
Jodha: "Well, itu bukanlah suatu kesalahan, Pak Presiden. Anda hanya menyampaikan apa yang ada di pikiran Anda. Jadi, tak masalah."
Jalal: "Benarkah?"
Jodha: "Iya, Pak. Tidak apa-apa."
Jalal: "Lalu apa kau sudah menceritakan semua yang telah terjadi pada orang tuamu?"
Jodha: "Belum. Tapi aku berencana akan menceritakannya hari ini. Kemarin aku terlalu lelah, jadi belum sempat."
Jalal: "Iya, ceritakanlah semuanya pada mereka. Mereka berhak mengetahuinya apa yang telah terjadi. Umm... Jodha, satu hal lagi. Apa kau masih membenciku?"
Jodha: "Tidak. Aku tidak membenci Anda lagi, Pak. Bahkan aku menaruh rasa hormat yang besar pada Anda. Aku rela mengambil resiko apapun sebagai bentuk penghormatan rasa terima kasihku pada Anda."
Jalal: (dalam hati) "Oh, jadi hanya sekedar penghormatan ya. Bagus sekali, Jalal. Kau berpikir bahwa dia menyukaimu. Bagus sekali!"~pada Jodha~ "Okay, aku tahu kau sangat menghormatiku. Tapi, aku merasa sepertinya bukan itu saja."
Jodha: "Apa maksud Anda?"
Jalal: "Maksudku, aku masih tidak percaya bahwa kau berkorban hanya untuk menghormatiku dan berterima kasih padaku. Pasti ada sesuatu yang lain selain itu,'kan?"
Jodha: (malu-malu) "Tidak, Pak. Hanya sekedar penghormatan dan rasa terima kasih saja. Tidak ada yang lain. Tidak ada yang lain!"
Jalal: (menyeriangai) "Lalu mengapa kau terlihat malu-malu seperti itu? Apa kau sedang meyakinkan dirimu akan sesuatu atau kau sedang menyangkalnya?"
Jodha: (mulai kesal) "Menyangkal apa?"
Jalal: (nada menggoda) "Menyangkal bahwa perasaanmu sebenarnya lebih dari sekedar penghormatan dan terima kasih."
Jodha: "Pak Presiden, apa yang Anda...."
Jalal: (menyeringai) "Jodha, jika hanya sekedar rasa hormat dan terima kasih, kau tak perlu harus mengulang kalimat yang sama 2x. Dan wajahmu tidak mungkin memerah seperti ini."
Jodha merasa sangat malu. Lagi-lagi Jalal telah menangkap basah dirinya yang sedang memerah. Dia sampai tidak bisa memberikan pembelaan dirinya. Jika dia berusaha menjawab, Jalal pasti akan balik mengatakan hal-hal yang akan membuat Jodha semakin malu. Akhirnya, Jodha memutuskan untuk segera pergi dari hadapan Jalal sebelum dia meluncurkan rayuannya lagi.
Jodha: "Aku rasa, aku harus segera kembali ke ruanganku sekarang, Pak Presiden."
Jalal: "Kau boleh pergi. Tapi ada satu hal lagi."
Jodha: "Apa itu, Pak?"
Jalal: "Pujianku. Kau terlihat sangat cantik hari ini, Jodha."
Jodha sekarang semakin malu lagi, sampai wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Jodha membuang mukanya, terlepas dari tatapan menggoda Jalal.
Jodha: "Terima kasih, Pak. Aku permisi dulu."
Setelah berpamitan, Jodha bergegas meninggalkan ruangan Jalal. Sedangkan di ruangan Jalal, senyum mengembang menghiasi wajah tampannya. Melihat Jodha yang menahan rona wajahnya, membuat Jalal sangat senang. "Dia kelihatannya sangat malu sekali. Dan juga manis! Dia terlihat sangat cantik hari ini! Dia adalah 'husn ki pari'-ku." pinta Jalal tersenyum sumringah.
Jodha masuk keruangannya dan segera mengerjakan tugasnya. Namun dia masih terus membayangkan perkataan Jalal. Seberapa pun kerasnya Jodha mencoba untuk memusatkan pikirannya pada pekerjaan, tapi rasanya sulit sekali. Kata-kata Jalal terus terngiang di telinganya bagaikan senandung lagu. "Uughh!!! Jodha....!!! Fokuskan dirimu!!! Mengapa hatimu jadi gelisah begini sih saat mengingat kata-katanya tadi?! Dan mengapa dia menggodaku? Dia mungkin mempunya hati yang baik tapi dia tetaplah si Jallad!" gerutu Jodha.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Waktu pun berlalu mendekati jam makan siang. Biasanya Ruqaiyya yang akan datang ke ruangan Jodha untuk makan siang. Saat Jodha akan beranjak untuk memanggilnya, seseorang mengatakan bahwa Ruqaiyya sedang kurang sehat dan sudah di izinkan pulang sejak tadi. "Ya ampun, Ayah juga sedang keluar saat ini karena ada pekerjaan penting yang harus dia urus di luar perusahaan. Hhmm.. Sepertinya aku harus makan siang sendiri." gumam Jodha murung.
Jodha mengeluarkan kotak makan siangnya, ingin memulai makan. Namun, dia teringat akan sesuatu. "Sebelum makan, sebaiknya aku serahkan saja file ini pada Pak Presiden." pikir Jodha.
Jodha pun mengambil file di atas mejanya dan berjalan menuju ruangan Jalal. Dia mengetuk pintu dan masuk ke ruangannya. Saat itu, Jalal sedang terlibat perbincangan di telepon dengan seseorang, lalu mengisyaratkan Jodha untuk duduk. Setelah mengakhiri teleponnya, Jalal segera memutar kursinya menghadap Jodha.
Jalal: "Ya, Jodha. Ada apa?"
Jodha: "Pak, ini file yang Anda minta. Aku berpikir untuk memberikannya padamu sebelum aku mengadakan panggilan bisnis bersama klien dari Amerika nanti."
Jalal: "Oke, Jodha. Terima kasih."
Jodha: "Baiklah, Pak. Aku permisi dulu untuk makan siang."
Jodha sudah beranjak akan pergi tapi suara Jalal menghentikannya.
Jalal: "Tunggu, Jodha!"
Jodha: "Iya, Pak?"
Jalal: "Kau biasanya makan siang bersama Ruqaiyya dan Salima,'kan?"
Jodha: "Iya, benar, Pak. Tapi hari ini mereka tidak ada."
Jalal: "Ya, dan Ayahmu juga sepertinya lagi keluar,'kan?"
Jodha: "Benar, Pak. Jadi, cuma aku makan siangnya sendirian."
Jalal: "Hmm,, aku juga sendirian nih. Jadi,,, bagaimana menurutmu? Apakah kau keberatan untuk menemaniku makan siang? Dari pada sendirian."
Jodha nampak terkejut atas pernyataan Jalal. Wajahnya nampak sedang berpikir. Kemudian, dia tersenyum dan menyetujuinya. "Baiklah, Pak Presiden. Bisa tunggu sebentar? Aku akan mengambil kotak makan siangku." Jodha bergegas kembali ke ruangannya. Sedangkan Jalal nampak tak bisa menahan senyum bahagianya, memikirkan sebentar lagi dia akan kencan makan siang bersama bidadari-nya.