Jodha memimpin rapat buat semua para arsitek mudanya, dia ingin mengetahui perkemabngan proyek yang akan segera akan dibangun, dia ingin mengetahui perkembangan teknisnya, terutama laporan dari sang leader “Mas Jalal" yang sekarang telah menyerahkan hatinya pada wanita lain. "pak Jalal, sejauh mana perkembangan proyek kita?" tanya Jodha dengan tatapan yang dingin, ini adalah kali pertama mereka bertemu sejak Jalal memutuskan memilih Aisyaah. Jalal merasakan sakit, ditatap oleh sang bos dengan tatapan dingin seperti itu, ada sesak yang menyeruak di hatinya. “Ma'afkan aku Jodha, tidak memilihmu, kau tau kan, kalau aku selalu menggunakan akal sehatku ketika mengambil keputusan???", batin Jalal. "Semuanya berjalan dengan baik bu, semua alat-alat berat, bahan-bahan bangunan, semuanya sudah siap, tinggal peletakan batu pertama." Jalal memberi laporan tentang pekerjaan team nya. “oke bagus, semuanya kalian yang urus, aku sangat percaya pada loyalitas dan dedikasi kalian pada perusahaan ini. Jodha pun menutup rapat, dia kembali ke ruangannya.
Tak berapa lama, suara pintu ruangan Jodha diketuk, "ya.. silahkan masuk" kata Jodha sambil matanya tetap terpaku pada laptopnya. “Ma'af, bisa saya mengganggu waktunya" tanya orang yang baru saja masuk. Jodha sangat mengenal suara itu. “Mas Jalal.. ada apa ya?" kata Jodha kaget.
Setelah duduk di hadapan Jodha, Jalal memualai membuka suaranya "Jodha, saya mohon izin selama 3 hari, saya akan ke Padang.” “ada keperluan apa ya?" tanya Jodha pura-pura tidak tau. "Begini, kamu masih ingat Aisyaah kan, saya akan melamarnya.” #deg tonjokan Chris Jhon terasa lagi. Jodha mencoba menutupi suasana hatinya, dia senyum seindah mungkin, sambil berkata "selamat ya mas, akhirnya kau menemukan tambatan hati, beruntung banget Aisyaah mendapatkan laki-laki sepertimu... kenapa kamu ga sabar nungguin aku mas?" goda Jodha. Muka Jalal merah padam, mendengar kata terakhir Jodha. "Jangan dimasukin ke hati, aku cuma bercanda.. ya silahkan aku memberimu izin, hati-hati ya, salam buat Aisyaah"
Hari ini Jalal ibunya datang dari Malang, dia sengaja datang ke Jakarta dalam rangka lamaran Aisayaah ke Padang besok lusa, Jalal menjemput ibu tercintanya di stasiun, dia pun membawa ibunya ke mess yang juga kantornya. "ini kantormu nak? Subhanalloh megah sekali” Ucap Hamidah begitu sampai di lobby. "ibu pengin duduk dulu cape" lanjut Hamidah, sambil menuju kearah sofa di depan recepsionis.
Tak lama dari itu dari arah dalam muncul Jodha, dia mengangguk penuh hormat sambil tersenyum menghampiri Jalal dan Hamidah. "Jodha, ini ibuku" ucap Jalal memperkenalkan ibunya, Jodha mencium tangan ibu Hamidah, yang terhulur kepadanya. Jodha pun duduk di samping Hamidah, dengan tangan tetap memegang hangat tangan Hamidah, dia serasa menemukan sosok ibu yang telah lama meninggalkanya, matanya berkaca-kaca. "ibu, kau mengingatkanku pada ibuku" Hamidha meraih pundak Jodha dan memeluknya penuh kasih sayang, dia sudah tau segalanya tentang Jodha, termasuk tentang kisah tragis yang menimpa kedua orang tua. Jalal telah menceritakan segalanya. "ibu turut prihatin sayang, kalau kau rindu ibumu, ibu siap memberi pelukan hangat untukmu nak” Ucap Hamidah, sambil mengelus rambut Jodha.
Jalal menatap mereka berdua dengan penuh haru, meski mereka baru pertama bertemu tapi kedekatan telah terjalin, Jodha merasa nyaman ada didekat ibu Hamidah. "andaikan dia itu mantumu bu, saya akan senang melihatnya, melihat keakraban kalian." batin Jalal. "Jodha, kau ga keberatan ibu tinggal di messku kan?" tanya Jalal. "tentu tidak mas, aku senang, aku malah ingin berduaan dengan nya mengobrol banyak hal, mari saya antar bu" kata Jodha sambil menggandeng tangan ibu Hamidah, Jalal berjalan didepan mereka, akhirnya mereka sampai di depan kamar Jalal, setelah membuka kunci Jalal dan Hamidah masuk. Jodha masih berdiri di luar, dia tidak berani masuk tanpa ijin Jalal “Mas, boleh saya masuk?" tanya Jodha ragu-ragu "tentu saja Jodha, disinikan kita tidak berdua, ada ibu. Masuklah..." ini pertama kalinya Jodha masuk kamar Jalal.
Malam ini Jodha tidak pulang kerumah, ia ingin tidur di mess, saat itu Jalal dan Hamidah baru selesi menunaikan shalat isayaa.
Tok.. tok.. tok, suara pintu di ketuk. Jalal pun melangkah hendak membuka pintu, dia masih mengenakan kain sarung warna hitam, baju koko putih sesiku, dan peci hitam, aura keshalehannya sangat nampak. Begitu pintu di buka, Jodha sedang berdiri dibalik pintu sambil memeluk guling dengan mengenakan piyama lengkap dengan celana panjang. "ada apa Jodha?" tanya Jalal heran dengan apa yang dilakukan bosnya. “Mmmm.. mas.. boleh aku nginep... aku ingin tidur bersama ibu" kata Jodha masih dengan ragu-ragu. Jalal juga nampak kebingungan, dia menoleh menatap ibunya. "ada apa nak?" tanya Hamidah, sambil membereskan sajadah bekas shalatnya. "ini Jodha bu.." jawab Jalal. "ada apa dengan Jodha?" kata Hamidah sambil menuju kearah pintu.
Melihat apa yang dikenakan Jodha, Hamidah tersenyum sambil menarik tangan Jodha penuh cinta.. "ayo masuklah nak, kau mau nginep disini?” Ucap Hamidah. "tapi bu..." bantah Jalal seperti ragu-ragu akan apa yang dilakukan ibunya. "Jodha kan tidurnya sama ibu, bukan sama kamu." kata Hamidah sedikit sengit. "kamu tidur di sofa ya.." lanjut Hamidah lagi, sambil mengajak Jodha menuju tempat tidur.
Hamidah mengambilakan bantal dan selimut untuk Jalal. Jalal hanya bisa menatap dengan pasrah kelakuan dua wanita, yang sesungguhnya sama-sama ia sayangi. Jalal duduk di sofa, dia meraih buku tebal berjudul 'Kado Pernikahan untuk Istriku', buku itu sebenarnya akan ia berikan untuk Aisyaah, tapi dia penasaran ingin membacanya.
Di atas tempat tidur, Jodha dan ibu Hamidah asik mengobrol, seperti sepasang sahabat yang lama tak bertemu "ibu senang bisa bertemu langsung dengan mu Jodha.. biasanya ibu cuma dapet cerita tentangmu dari Jalal.." kata Hamidah. “Mas Jalal, memang suka ceritain aku ke ibu?" tanya Jodha, dengan suara aga keras biar didengar Jalal. "iya, dia ceritakan semu hal tentangmu ke ibu"
"Ehm" Jalal dehem memberi isyarat pada ibunya, agar diam. meski Jalal memegang buku, tapi fikirnnya was-was, dia takut ibunya buka kartu. "ibu, Jodha sudah malam, tidurlah." kata Jalal. Jalal mematikan lampu, menggantikannya dengan lampu redup di sudut runagan, seolah mengisayaaratkan pada ibunya untuk berhenti bicara. Dia bergegas ke kamar mandi untuk ganti baju tidur. Jalal menarik selimut dan tidur di sofa.
Membaca kekhawatiran anaknya, Hamidah pun mengajak Jodha tidur. "betul kata Jalal, ayo kita tidur, nanti kesiangan, besok kan harus bangun pagi siap-siap ke bandara." Jodha pun akhirnya mengalah, padahal dia ingin tau, tentang apa saja yang Jalal ceritakan pada ibunya. Jodha ikut menarik selimut, dan tertidur dalam pelukan hangat ibu Hamidah.
Jam 3 dini hari, Jodha terbangun oleh suara gemericik air kran, meski matanya saja yang terjaga. Ternyata, Jalal baru keluar dari kamar mandi, mukanya basah penuh ketentraman, rupanya Jalal habis wudhu. Jalal tak menyadari kalau ada sepasang mata indah yang terus mengamatinya. Jalal mengambil sajadah, mengenakan kain, dan melapisi kaos oblong nya dengan baju taqwa, dia larut dalam kekhusuan yang dalam, ini adalah malam terakhir sebelum dia mengkhitbah Aisyaah. Mata Jodha yang sedari tadi terjaga, berkaca-kaca ingin sekali dia ikut berdiri menunaikan shalat malam bersama Jalal, merasakan ketentraman yang sekarang hanya bisa dilihatnya. Jodha hanya mampu bergumam dalam relung hatinya yang terdalam, dimana hanya Tuhan dan dirinya saja yang bisa mendengar "Wahai Zat yang maha menguasai kehidupan, berilah aku sosok pemimpin, yang mampu membimbingku, melindungiku, menunjukanku jalan kesurgamu, rasanya aku tak sanggp melangkah sendirian dalam pekatnya hiruk pikuk dunia, tanpa pendamping seorang laki-laki super, yang mampu menunjukanku arah kebenaran.”
Ibu Hamidah ternyata juga ikut bangun, dia pun bergegas mengambil wudhu, dan ikut melaksanakan qiyamu lail. Merasa tak enak, melihat semuanya sudah terjaga, Jodha pamit untuk kembali ke kamarnya, dan menawarkan diri untuk mengantar ke bandara besok pagi.
Pagi pun tiba, Jodha sudah siap mengantar lelaki pujaannya dan ibu mertuanya (ngarep) untuk pergi ke bandara, Jodha memberikan kunci mobilnya pada Jalal, dengan tatapan penuh arti seolah-olah mengatankan "beneran nih jadi ngelamar???"Jalal menerima kunci dari Jodha dengan sekilas memandang wanita cantik yang ada dihadapannya “Ma'afkan aku Jodha, aku sudah memutuskan untuk memilihnya." batin Jalal, yang sepertinya terdengar oleh telinga hati Jodha. Jodha pun pasrah, dia mencoba ikhlas dengan apa yang sudah diputuskan mas bawelnya, yang sekarang sudah tidak bawel lagi. Dia duduk dikursi belakang dengan ibu Hamidah, Jalal melajukan mobil dengan pelan, seolah hatinya enggan untuk meninggalkan Jakarta tepatnya meninggalkan Jodha.
Sebelum ke bandara, mobil menjemput Bairamkhan dan Halimah yang turut ikut, karena akan mengkhitbahkan Aisyaah untuk Jalal, sebagai pengganti ayahnya. Halimah duduk dibelakang, sedang BairaKhan duduk di samping Jalal. Halimah memecah kebisuan, "Jodha, bukankah sebaiknya kau juga ikut bersama kami, kamu ga mau nganter karyawan teladanmu, ikut menyaksikan momen spesial dalam hidupnya???” "saya sedang banyak pekerjaan kak." jawab Jodha berusaha menyembunyikan lara hatinya, Jalal melihat sekilas ekspresi Jodha dari spion, begitu juga ibu Hamidah. Suara hatinya ingin sekali menjadikan Jodha sebagai mantunya, tapi apalah daya, anak semata wayangnya telah mengambil keputusan, yang dia dapat dari petunjuk Robb nya lewat sujud-sujudnya yang panjang.
Mereka pun tiba di Bandara. Jodha memeluk ibu Hamidah dan Halimah secara bergantian, seolah ingin mendapat kekuatan agar hatinya ikhlas melepas lelaki impiannya mengkhitbah wanita lain. Jalal menyerahkan kunci mobil pada Jodha sambil berkata "terima kasih untuk segalanya Jodha, kau wanita yang baik, pasti Tuhan telah menyiapkan laki-laki hebat untukmu.” Jodha hanya bisa berkaca-kaca, luka hatinya tergores lagi, "iya mas, kau hati-hati ya, do'aku menyertaimu” Ujar Jodha sambil menyeka air matanya yang merembes, dengan sapu tangan Jalal yang kini jd miliknya...... Bersambung ke Part 10