Jodha
masuk ke toilet bersama Ruq dan Salima. Suasananya tidak terlalu ramai, jadi
mereka bisa dengan mudah bergerak dan berbincang. Jodha menarik mereka
mendekati cermin rias yang panjang.
Salima:
“Jodha, tolong beritahu kami apa yang terjadi. Aku yakin kau tidak sekedar membawa
kami kesini untuk menemanimu.”
Ruqaiya
: “Ya, Jo. Tolong beritahu kami apa yang mengganggumu?”
Jodha:
“Dengar. Berjanjilah, apapun yang aku ceritakan, kalian akan tetap
merahasiakannya. Oke?”
Ruqaiya
dan Salima: “Baik, kami berjanji.”
Jodha:
“Dengarkanlah aku baik-baik. Kalian boleh tidak percaya hal ini tapi aku telah
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat Benazir dan Pak Adham berduaan
dikabinnya Adham.”
Ruqaiya
dan Salima sangat terkejut. Mereka tidak menyangka apa yang telah dikatakan
Jodha.
Ruqaiya
: “Apa ? Benarkah?”
Jodha:
“Sekitar sebulan yang lalu. Saat itu minggu keduaku bekerja. Aku sedang berada
dikantor agak larut hari itu. Semua karyawan sudah pulang. Aku sudah selesai dengan
pekerjaanku dan mau pergi ke toilet. Kemudian aku kembali ke meja kerjaku, lalu
aku mendengar suara-suara yang datang dari kabinnya Pak Adham. Aku
menghampirinya dan berdiri didekat kaca pembatas dan melihat mereka sedang
berduaan. Aku coba mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Aku mendengar mereka
menyatakan hubungan mereka lalu Benazir menciumnya!”
Ruqaiya
dan Salima: “Apa ??!!”
Jodha:
“Dan itu bahkan bukan bagian terburuknya. Mereka bersepakat untuk mencuri dari Pak
Presiden.”
Salima:
“Matlab?”
Jodha:
“Mereka memakan uang perusahaan!”
Salima
dan Ruq sangat terkejut. Mereka tidak pernah membayangkan Benazir akan seperti
ini!
Salima:
“Jodha, kami percaya padamu. Karena kau tak pernah berbohong. Tapi apakah kau
sudah menceritakan hal ini pada Pak Presiden?”
Jodha:
“Belum. Bagaimana jika dia tidak percaya padaku? Aku tak punya bukti. Dia bisa
mengusirku karena telah membuat tuduhan tanpa bukti.”
Ruqaiya
: “Jadi kau tak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun?”
Jodha:
“Tidak. Aku menceritakan hal ini pada kalian saja.”
Salima:
“Jadi kau telah merahasiakan informasi ini selama sebulan?”
Jodha:
“Ya, Salima. Aku tak punya pilihan lain. Tidak ada yang akan percaya padaku.
Malahan mereka akan menyalahkaknku karena membuat tuduhan palsu terhadap
Benazir dan Pak Adham.”
Jodha
hampir menangis, Salima pun langsung memeluknya erat.
Salima:
“Jodha, jangan khawatir. Kami percaya padamu. Tapi aku yakin, kalau ini bukan
satu-satunya hal yang membuatmu khawatir. Tolong beritahu kami ada apa?”
Diluar,
Adham sudah datang dengan minumannya. Jalal sedang duduk menunggu Jodha. Salima
dan Ruq telah kembali. Mereka melihat Adham datang dengan minuman dan
kecurigaan mereka pun meningkat.
Jalal:
“Adham, kenapa kau lama sekali?”
Adham:
“Barnya sangat sibuk, jadi aku harus menunggu minumannya datang. Kemana mereka
bertiga?”
Jalal:
“Mereka pergi ke toilet. Mereka akan segera kembali.”
Adham:
“Oh, baiklah.”
Tiba-tiba
ponsel Adham berbunyi. Nama Benazir yang tertera dilayar.
Adham:
("Mengapa
dia menghubungiku? Aku harus menerima telpon ini." Batinnya).
“Jalal, aku harus menerima telpon penting ini. Aku akan segera kembali.”
Adham
pergi menerima telpon dari Benazir. Jalal mencurigai niat Adham.
Jalal:
“Dia pasti telah memasukkan sesuatu ke dalam minuman Jodha. Aku harus
mengecek-nya.”
Jalal
mengambil gelas berisi jus jeruk dan menciumnya.
Jalal:
(sambil menjauhkan gelas itu dri wajahnya) “Hemmm! Minuman ini berbau vodka!
Adham telah berencana mencelakai Jodha. Dasar... Tunggu, aku harus membuang
minuman ini sebelum dia kembali.”
Jalal
mencoba mencari cara untuk membuang minuman itu. Dia tidak melihat pot tanaman
yang bisa digunakan untuk membuangnya. Minuman itu sangat kuat hingga
tenggorokan Jalal terasa terbakar. Dia meminumnya dengan cepat dan menyuruh
pelayan untuk membawa gelasnya.
Jalal:
“Uuh... Aku benci vodka! Dan yang ini sungguh terlalu kuat. Baiklah, sekarang
aku harus ke bar untuk mengambil minuman yang lain.”
Jalal
menuju ke bar untuk mengambil jus jeruk. Ditempat lain, Adham sedang sibuk
berbicara dengan Benazir.
Benazir:
“Hey, sayang. Kau dimana? Ribut sekali disana.”
Adham:
“Aku sedang di klub Tryst bersama Jalal.”
Benazir:
“Jalal ke saath? Apa yang kalian lakukan disana?”
Adham:
“Kami hanya sedang bersantai, sayang. Kami akan segera pulang.”
Benazir:
“Achcha, datanglah ke tempatku saat kau sudah pulang.”
Adham:
“Untuk apa?”
Benazir:
(Dengan nakal) “Tidakkah kau mau datang dan berduaan bersamaku?”
Adham
jadi bingung. Dia sungguh ingin bersama Jodha tapi dia tidak bisa menolak
Benazir. Dia menelpon Adham kali ini hanya untuk satu hal. Namun, Adham telah
memutuskan, dia harus mengakhiri telponnya dengan siasat.
Adham:
“Benazir, kau tau, aku akan menelponmu nanti. Disini terlalu bising dan
sinyalnya sangat buruk.”
Benazir:
“Iya... Baiklah, sayang. Jangan lupa menelponku ya!”
Benazir
menutup telponnya dan Adham memasang muka lega. Adham sangat senang karena
telah mengakhirinya tanpa harus menolak ajakannya. Dia teringat pengalamannya
saat berurusan dengan kemarahan Benazir. Saat itu tanpa disadari, Adham menolak
untuk makan siang bersamanya, dan lalu Benazir beehenti untuk menjawab
panggilan dari Adham. Akhirnya Adam menyerah pada keinginan Benazir. Adham
mendekatinya hanya karena dia adalah tangga menuju kesuksesan dan uang di
perusahaan Jalal.
Adham:
“Syukurlah! Bencana besar telah di atasi. Maafkan aku, Benazir. Aku tak
tertarik padamu malam ini. Karena aku hanya ingin Jodha.”
Jalal
telah kembali ke meja mereka sambil membawa minuman Jodha. Dia senang karena
telah kembali sebelum Adham. Dia lega dan menunggu mereka datang.
Di
toilet, Jodha masih merenung, apakah dia harus memberitahu Salima dan Ruq
tentang betapa rendahnya perkataan dan kelakuan Adham. Akhirnya, dia tak bisa
menahan dan mulai menangis.
Ruqaiya
: “Jodha, ada apa? Jika saja kau cerita pada kami, maka kami akan dapat
membantumu. Tolong jangan menangis.”
Jodha:
“Baiklah, akan aku ceritakan. Kau tahu, Pak Adham itu sungguh biadab. Salima,
di hari dimana kau menyuruhku untuk melapor padanya karena pak Presiden
terlambat, dia mencoba untuk menyentuh wajahku. Sejak itu, dia menggodaku berkali-kali.
Tapi aku hanya mengabaikannya, karena kupikir dia akan berhenti sendiri. Tapi
hari ini, dia sungguh telah melewati batas!!”
Ruqaiya
dan Salima: “Apa yang telah dia lakukan?”
Jodha
lalu menceritakan pada mereka tentang percakapannya dengan Adham ketika tak ada
siapa pun dimeja. Salima dan Ruq langsung terbelalak dan marah.!
Ruqaiya
: “Dasar B*jing*n! Beraninya dia melakukan itu padamu. Aku akan memberinya
pelajaran dan..”
Salima:
“Ruqaiyya, tenanglah. Bahkan aku pun marah, tapi dengan memukul dan memakinya
hanya akan menciptakan keributan dan tidak akan berguna. Kita harus menangani
situasi ini dengan dengan hati-hati.”
Ruqaiya
: “Tapi kita tidak bisa duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun. Kita harus
lakukan sesuatu.”
Salima:
“Iya, aku tahu, Ruqaiyya. Tapi kita tak bisa menjadi agresif disini. Kita harus
berpikir tenang dan rasional. Sekarang, kita akan pergi keluar dan duduk
seperti tak terjadi apa-apa.”
Ruqaiya
: “Tapi, Salima...”
Jodha:
“Aku rasa Salima benar, Ruqaiyya. Memukul dan memakinya tak akan berguna. Kita
akan memberi pelajaran pada si Lintah itu, tapi kita harus bertindak cerdas.
Akan lebih baik jika kita segera keluar dan kembali duduk saja, sebelum mereka
merasa ada sesuatu yang aneh.”
Ruqaiya
: “Tapi Jodha, apakah kau baik-baik saja? Bagaimana bisa kau menatap wajahnya
setelah apa yang dia lakukan padamu?”
Jodha:
“Ya, aku baik-baik saja. Dan aku berterima kasih pada kalian, aku sudah merasa
lebih baik. Aku senang karena aku bisa bercerita apapun pada kalian. Sejak
merahasiakan semua ini sendiri, membuatku sangat tertekan. Jadi semua yang kita
lakukan ini membuatku merasa baikan.”
Ruqaiya
: “Aww... Jodha.”
Salima:
“Ini waktu yang tepat untuk berpelukan.”
Merekapun
saling berbagi pelukan hangat yang lama. Jodha berterima kasih pada Kanha
karena telah memberikan teman2 yang berharga dan dia berdoa selalu untuk
kesehatan dan kebahagiaan mereka. Ketiganya lalu melepas pelukan.
Salima:
“Baiklah, kita harus segera kembali ke meja dengan normal. Bertingkahlah
seperti semua percakapan ini tidak pernah terjadi. Dan Jodha, aku berjanji
bahwa kita akan memikirkan sesuatu tentang ini, saat kita mendapat kemudahan
untuk melakukannya.”
Jodha:
“Baiklah, Salima.”
Ruqaiya
: “Baiklah ayo kita pergi. Pak Presiden dan si Bajingan itu sedang menunggu kita.
Mereka pasti bertanya-tanya kenpa kita lama sekali.”
Salima:
“Baiklah, ayo kita pergi.”
Jalal
dengan tidak sabar menunggu mereka semua untuk kembali dan heran apa yang
membuat mereka lama sekali. Adham sudah selesai menelpon dan segera kembali ke
meja. Dia tidak tahu kalau Jalal sudah meminum jus yang tadinya ditujukan untuk
Jodha. Jalal dengan tangkas menutupi apa yang dia lakukan tadi.
Jalal:
“Kenapa
mereka bertiga lama sekali. Para wanita ini, aku rasa mereka pasti sedang
berfoto-foto didalam toilet. Aku yakin.” (Batinnya)
Jalal
mulai merasakan dampak dari minuman tadi. Kepalanya terasa berat dan dia mulai
meras gelisah. Adham telah menambahkan vodka yang sangat kuat ke dalam minuman
tadi. Dia ingin Jodha meminumnya agar Jodha kehilangan kendali. Jalal tadinya
hanya meminum 2 gelas wiski agar dia masih bisa sadar untuk pulang. Dia
sebelumnya merasa biasa saja setelah meminum 2 gelas wiski. Tapi dengan 1 gelas
vodka saja dan dia merasa seperti meminum sedikitnya 10 gelas wiski. Dia sangat
membenci vodka karena hal ini. Vodka telah menjadi penyebab dia mabuk berat
sewaktu dulu. Apapun jenis alkohol tidak masalah baginya, tapi untuk beberapa
alasan tertentu, vodka selalu menjdi musuhnya. Tapi sudah meminum minuman yang
paling dibencinya hanya demi keselamatan Jodha. Dia tak bisa melihat Adham yang
mengambil keuntungn dari Jodha. Itu adalah alasan yang diyakini untuk dirinya.
Tapi alasan yang sebenarnya ialah dia tak bisa menahan pemikiran tentang Adham
yang menyentuh Jodha. Dia telah memusatkan pandangannya pada Jodha dan hanya
Jodha yang bisa menjadi miliknya. Setiap detik, pemikiran tentang Adham yang
menjadikan Jodha sebagai mangsa, sangat membuatnya marah. Akhirnya Ruqaiya,
Salima, dan Jodha tiba di meja.
Jalal(Dengan
gelisah): “Dari mana saja kalian? Kenapa lama sekali?”
Salima:
“Maaf, Pak Presiden. Kami tadi sedang asyik berfoto, makanya kami lama sekali.
Tapi Pak Presiden, apakah Anda baik-baik saja? Anda terlihat sedikit gelisah.”
Jalal:
“Aku baik-baik saja, Salima. Aku hanya sedikit lapar, itu saja.”
Adham:
“Aku rasa kita harus memesan makanan sekarang. Hey nona-nona, minuman kalian
telah datang dari tadi. Kalian bisa meminumnya.”
Mereka
mengangguk dan segera duduk. Adham tak bisa berhenti menyeringai. Apa yang
telah ia inginkan sejak lama, akhirnya akan terwujud malam itu. Dia tak sabar
melihat Jodha menghabiskan minumannya dan segera berada dalam kendalinya. Dia
melihat Jodha dan terus tersenyum licik. Salima dan Ruq melihat Adham sedang
menatap Jodha. Ketiganya meminum minumannya sedangkan Adham memesan makanan.
Mereka terus minun sampai makanan pun datang. Adham menunggu dengan sabar efek
dari minuman tadi sampai terlihat. Minuman Jodha tinggal setengah gelas dan dia
masih terlihat biasa saja. Adham heran, apakah minuman itu bekerja atau tidak,
dan memutuskan untuk menunggu hingga Jodha menghabiskannya. Akhirnya setelah
semuanya telah selesai makan malam, minuman Jodha pun telah habis diminum dan
dia masih tetap terlihat normal. Adham sangat terperanjat. Dia tak menyangka
bahwa seseorang yang tak pernah meminum alkohol sebelumnya, masih bisa merasa
dan bertingkah layaknya orang normal setelah minum untuk pertama kalinya. Wajah
Adham menunjukkan ekspresi terkejut dan tegang. Jalal yang melihat ekspresi
tersebut merasa senang, walau pun kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut, dia
tak bisa berhenti tersenyum melihat tanda kekalahan di wajah Adham.
Jalal
(Batinnya) : “Haa! Aku mengalahkanmu, Adham. Sekarang, akan mustahil bagimu
untuk menjadikan Jodha milikmu. Jodha adalah milikku dan aku takkan membiarkan
siapapun mengambilnya dariku.”
Ponselnya
Adham berbunyi, Benazir yang menelponnya. Adham langsung kesal.
Adham
(Batinnya): “Sial, rencanaku telah gagal. Dan sekaranga aku harus berhadapan
dengan ponsel ini.”
Adham
meminta izin untuk mengangkat telponnya dan segera bangkit dari meja.
Adham:
“Ya Benazir, katakan ada apa?”
Benazir:
“Kau yang katakan ada apa, Adham! Kau seharusnya menelponku tapi sepertinya kau
sudah lupa itu.”
Adham:
“Haan baba, sorry sayang.”
Benazir:
“Sorry katamu. Kau harus menebusnya.”
Adham:
“Apa yang harus kulakukan?”
Benazir
(dengan nakal): “Datanglah ke tempatku dan mari kita bercinta.”
Adham
sangat kesal karena rencananya gagal. Tapi tetap saja dia putus asa karena
tindakannya malam itu. Saat itulah, dia tak keberatan apakah bersama Jodha atau
Benazir.
Adham:
“Kasih aku waktu setengah jam, aku akan segera kesana.”
Dia
langsung menutup telponnya dan kembali ke meja. Jalal memanggil tagihannya.
Adham:
“Jalal, aku terpaksa harus pulang. Ibuku sedang sakit, jadi aku harus
memeriksanya.”
Jalal
mengangguk dan Adham langsung meninggalkan klub serta menaruh uang tagihannya
diatas meja..
Jalal(Batinnya):
“Iya! Kau
kalah Adham. Bagus sekali, Jalaluddin Mohammed! Kau telah berhasil
menyelamatkan Jodha Singh dari Adham Khan.”
Setelah
membayar tagihannya masing-masing, mereka lalu bersiap-siap untuk pulang.
Kepala Jalal terasa sakit berdenyut-denyut. Dia memegang kepalanya dan mulai
berjalan. Dia bingung, apakah dia bisa berkendara untuk pulang dalam keadaan
seperti ini. Jodha yang melihatnya, bertanya,
Jodha:
“Pak Presiden, apakah Anda tidak apa-apa? Kau terlihat tidak sehat.”
Jalal:
“Jodha, aku tak apa-apa. Jangan khawatir. Hanya sedikit sakit kepala kok.”
Jodha:
“Jika sedikit, Anda tidak akan memegang kepala Anda sambil berjalan.”
Jalal:
“Jodha, aku tak apa-apa. Lihatlah..”
(Jalal
menunjukkan beberapa gerakan yang meyakinkan)
Jodha:
“Apakah Anda membawa supir, Pak Presiden?”
Jalal:
“Tidak, Jodha. Jangan khawatir, aku akan tiba dirumah dengan selamat.”
Jodha:
“Pak Presiden, dengan keadaan seperti ini Anda akan tiba dipenjara, bukan
dirumah. Tidakkah Anda tahu kalau banyak polisi yang membawa Breathalyzer (alat
pengukur kadar alkohol)?”
Jalal:
“Aku tahu, Jodha. Tapi aku tidak mabuk.”
Jodha:
“Tapi napasmu mengatakan sebaliknya.”
Napas
Jalal memang berbau alkohol. Dia juga tidak dalam kondisi siap untuk mengemudi.
Jodha akhirnya memutuskan untuk mengantarnya pulang dengan mobil Jalal.
Jodha:
“Salima, Ruqs, kalian pulang duluan ya. Aku akan mengantar Pak Presiden dulu,
dan langsung pulang.”
Salima:
“Tapi bagaimana kau akan pulang?”
Jodha:
“Jangan khawatir, aku akan menelpon Papa. Dia bisa menjemputku dirumahnya Pak
Presiden.”
Ruqaiya
: “Baiklah, Jodha. Tapi mohon hubungi kami saat ku tiba dirumah ya..”
Jodha:
“Iya, baiklah. Aku akan mengambil barang-barang ku dari mobilmu.”
Mereka
segera keluar dari klub dan menunggu pelayan membawakn mobil mereka. Mobilnya
Ruqaiyya yang pertama datang. Jodha dengan cepat mengambil barang-barangnya.
Dia memeluk Ruqaiya dan Salima sebelum mereka masuk ke mobil.”
Ruq
dan Salima: “Sampai jumpa hari senin, ya.. Bye..”
Jodha:
“Bye.. Selamat malam.”
Ruqaiya
dan Salima pun pergi. Jodha segera menelpon ayahnya dan menjelaskan situasinya.
Dia menyuruh ayahnya datang kerumah Jalal untuk menjemputnya. Ayahnya setuju
dan berkata klu dia akan segera kesana. Jodha lalu melepas sepatu heels-nya dan
memakai sepatu kantoran, jadi dia dapat mengemudi dengan mudah. Mobil jalal
sudah datang. Pertama, dia membantu Jalal duduk di kursi depan lalu dia duduk
di kursi pengemudi. Jodha langsung melaju keluar dari lingkungan klub.
Jalal
agak sedikit mabuk tapi dia tak dapat mencermati apapun dengan mudah dalam
keadaan sakit kepala. Pikirannya juga tak dapat mengendalikan mulutnya. Dia
terus saja berbicara.
Jalal:
“Jodha, kenapa kau yang mengemudikan mobilku? Minggirlah dan biarkan aku yang
mengemudi.”
Jodha:
“Pak Presiden, duduklah dan biarkan aku mengemudi, aku berjanji akan
mengantarmu pulang dengan selamat.”
Jalal:
“Kau tahu, kau terlihat sangat cantik hari ini. Warna baju itu cocok sekali
denganmu. Pakailah lebih sering.”
Jodha
lalu merona mendengar pujian yang tak diduganya. Pipinya langsung memerah
karena malu.
Jodha:
“Terima kasih untuk pujiannya, Pak Presiden.”
Jodha
kembali menatap kedepan dan terus melaju. Jalal menyalakan radio dan
mendengarkan alunan lagu yang lembut. Dia sedang menikmati lagu, namun
tiba-tiba sebuah rangsangan rasa sakit yang amat dalam menjalari kepalanya. Dia
langsung memegang kepalanya dan sedikit mengerang.
Jalal:
“Uuh! Aku benci vodka bodoh ini. Selalu membuatku sakit kepala.”
Jodha:
“Lalu kenapa Anda meminumnya tadi, Pak Presiden?”
Jalal
tertawa, Jodha jadi heran. Dia bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jalal:
“Aku tidak ingin meminumnya, tapi aku harus melakukannya demi dirimu, Jodha!”
Jodha
terperanjat! Dia heran, bagaimana bisa dirinya menjadi penyebab sakit kepalanya
Jalal. Dia bertanya lagi lebih jauh.
Jodha:
“Tapi kenpa Anda meminumnya demi aku ?”
Jalal:
“Aku harus meminumnya karena Adham telah mencampur vodka ke minumanmu.”
Jodha
terkejut mendengarnya. Dia tak percaya apa yang barusan dia dengar.
Jodha:
“Apa yang Anda maksudkan, Pak Presiden?”
Jalal:
“Ya, maksudku adalah Adham mencampur vodka ke dalam jus jerukmu. Ketika kalian
pergi ke toilet, dia pergi ke bar untuk memesan minuman, bukan? Dia pasti telah
mencampurnya saat itu. Aku curiga padanya dari awal. Dan disaat dia pergi untuk
menjawab telpon, aku mengecek minumanmu dan tercium bau vodka. Aku harus segera
menyingkirkannya sebelum dia kembali, aku tak punya pilihan lain selain
meminumnya dan dengan cepat mengambilkan minuman yang lain untukmu. Jadi ya,
kau adalah penyebab dari sakit kepalaku, Jodha.”
Mendengar
cerita tersebut, Jodha mulai menangis. Dia tak pernah membayangkan kalau Adham
akan berbuat hal yang rendah itu. Dan dia merasa sangat berterima kasih pada
Jalal. Dia telah membahayakan kesehatannya sendiri dengan meminumnya demi
Jodha. Dia berhutang budi yang sangat besar padanya. Jika bukan karenanya,
Adham pasti sudah mengambil keuntungan darinya malam ini. Jalal melihat air
mata di matanya.
Jalal:
“Kenapa kau menangis? Apakah kepalamu juga sakit?”
Jodha
(menghapus tangisnya): “Tidak, Pak Presiden. Aku tahu, Anda tak akan mengingat
semua kejadian ini besok pagi, tapi aku ingin mengucapkan banyak terima kasih
pada Anda. Jika bukan karena Anda, aku pasti akan kehilangan kehormatan dan
harga diriku hari ini. Terima kasih banyak, Pak Presiden.”
Jodha
menoleh ke Jalal, dan melihatnya sudah pingsan. Jodha tersenyum dan terus
melaju.
Akhirnya,
mereka telah sampai dirumah Jalal. Jodha memasuki tempat parkir, dan
memarkirkan mobil.
Jodha:
“Oh tidak! Bagaimana dia akan masuk ke dalam sekarang? Haruskah aku memanggil
bibi? Tidak. Aku rasa dia pasti sudah tidur. Sepertinya aku harus membawanya
masuk ke dalam.”
Jodha
menarik Jalal keluar dan membopongnya. Jalal ternyata tidak sepenuhnya pingsan.
Dia terus menggumamkan sesuatu yang tak dapat dimengerti. Jodha lalu membawanya
masuk kerumah. Dia bertanya pada salah satu pelayan lalu dia menunjukkan arah
menuju kamar Jalal pada Jodha.
Selagi
Jodha membopongnya, Jalal terus saja berbicara.
Jalal:
“Kau tahu, kau terlalu manis, Jodha. Orang lain bisa saja memanfaatkanmu..”
Jodha:
“Hhmp... Benarkah?”
Jalal:
“Ya, ditambah lagi kau pintar. Hunar-mu telah membuatku terkesan.”
Jodha:
“Hunar... Apa maksudmu?”
Jalal:
“Kemampuanmu. Memasak, berbicara, dll. Kau pandai memasak.
Jodha:
“Terima kasih, Pak Presiden.”
Jodha
sudah sampai dikamar Jalal, lalu membopongnya dan membaringkannya diatas ranjang
king size. Lalu dia membuka sepatu dan kaus kakinya. Dia menutupnya dengan
selimut, lalu untuk sesaat wajah mereka sangat dekat. Jalal terlihat
polos saat tertidur,
pikirnya. Jodha memandangi kulitnya yang terang dan wajah tampannya. Bentuknya
yang khas begitu tegas, tajam dan terukir indah. Keningnya halus dan sepasang
bibirnya sangat indah. Jodha yang sedang mengagumi wajahnya, sesaat tersadar
dan langngsung menarik wajahnya menjauh. Lalu dia merona karena tingkahnya..
Jodha
yang menatap Jalal yang sedang tidur dengan damainya, langsung merasa bersalah.
Dia ingin membantu Jalal seperti yang sudah Jalal lakukan. Jalal sudah sangat
baik dan sudah membahayakan dirinya demi melindungi Jodha. Air mata mengalir di
mata Jodha.
Tiba-tiba
ponselnya berbunyi, Ayahnya yang menelpon. Ayahnya mengatakan kalau dia sedang
menunggu diluar dan Jodha boleh keluar. Sebelum pergi, dia kembali menatap
Jalal dan bertekad untuk membantunya.
Jodha:
“Pak Presiden, aku berjanji bahwa aku akan mengungkap kebenaran Benazir dan si
Lintah itu didepan mata Anda! Aku tak akan membiarkanmu menderita secara
diam-diam. Kau berhak untuk tahu kebenarannya, dan akan ku pastikan kau akan
mengetahuinya.”
Jodha
lalu meninggalkan rumah Jalal dan mengambil barang-barangnya dari mobilnya
Jalal. Ayahnya sedang menantinya di seberang jalan. Jodha dengan segera menuju
kearah mobilnya ayahnya dan langsung masuk kedalamnya. Keduanya tersenyum, lalu
melajukan mobilnya untuk pulang.
Dijalan,
Jodha menceritakan semua hal yang mereka lakuakan kepada Ayahnya. Namun, dia
tak menceritakan soal Adham. Dia pikir sebaiknya cukup dirinya dan kedua
temannya saja yang mengetahuinya.
Mereka
pun sampai dirumah. Jodha merasa sangat lelah setelah hari yang panjang. Dia
lalu mengganti bajunya dan memakai gaun tidurnya. Dia menelpon RuqSal untuk
memberitahukan kalau dia sudah sampai dirumah. Setelah itu, dia merebahkan
tubuhnya dan tertidur, sambil memikirkan perkataan Jalal yang dalam keadaan mabuk.
Adham
yang berada dirumah Benazir telah menyelesaikan urusannya. Dia lalu berbaring
dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Benazir berbaring disampingnya dengan
tertidur pulas. Adham menatap langit-langit dan memikirkan tentang rencananya
yang telah gagal.
Adham:
“Rencanaku boleh gagal kali ini. Tapi kau tidak akak beruntung lagi lain kali,
Jodha. Karena Adham Khan selalu mendapatkan yang dia inginkan, bagaimanapun
caranya. Dan aku akan pastikan bahwa kau akan menjadi milikku seorang, Jodha!!”