Yuuki hendak berbalik untuk menatap Sawako yang sedari memejamkan matanya. “Apa aku, tidak cukup baik?”
Sawako mendorong punggung Yuuki, “Surat ini, aku tidak begitu mengerti. Aku tidak suka. Aku senang, kau tahu! Aku selalu memikirkan surat seperti apa yang akan ia kirimkan berikutnya. Aku menantikannya setiap hari. Saat aku menerima suratnya, aku bisa terus hidup.
Yuuki tak tahan lagi. “APA? INI TANGANKU. INI WAJAHKU. (Yuuki tak memperdulikan Sawako yang menolak) SAWAKO! Lihat aku. INI AKU! Orang yang menulis surat adalah...”
Sebelum Yuuki mengatakan yang sebenarnya, Sawako langsung mendorongnya hingga ia terjengkang.
Sawako berlari meninggalkannya. Ia tak menghiraukan Yuuki yang melarangnya berlari. Alhasil, dirinya terjatuh, beruntung Yuuki masih sempat memeganginya. Sawako langsung mendorong Yuuki menjauh darinya.
Sawako tak dapat menahan tangisnya. “Kumohon. Jangan katakan. AKU TIDAK TAHU! Apa, apa yang harus aku lakukan? AKU TIDAK TAHU! AKU TIDAK TAHU!”
Yuuki menghampirinya dan mencoba menenangkannya. “Tak apa. Semuanya akan baik-baik saja. Surat itu akan datang lagi besok. Besok. Kau akan terima suratnya lagi besok. Oke? Semuanya baik-baik saja. Jangan khawatir.” Sawako pun menganggukkan kepalanya berulang kali.
Dengan berurai air mata, Yuuki kembali menulis surat untuk Sawako. “Dear Sawako. Apa kabar? Aku akan mengirim surat setiap hari mulai sekarang. Kuharap aku difikiranmu setiap hari. Setiap hari. Mainkan piano itu untukku. Kuharap, kau tidak akan pernah melupakanku.”
“Ini yang seharusnya. Kalau aku ingin membuatmu tersenyum.”
Keesokan harinya, Yuuki kembali ke ruang musik. *Entah isi surat itu sudah diketahui atau belum. Kemungkinan ia sudah mengetahui isinya namun tidak melalui Yuuki.* Yuuki langsung berlari cemas karena ia tak mendengar alunan piano yang biasa Sawako mainkan. Namun Sawako tetap ada disana menunggunya. Setibanya Yuuki, Sawako mendekatinya dan meraba wajahnya. Mulai dari pipi, hidung dan bibir.
Sawako menanyakan apa Yuuki mau mendengarkan alunan permainan pianonya (dan tentu saja lagu kali ini ditujukan untuk Yuuki). Sawako menarik tangan Yuuki karena Yuuki tak kunjung merespon. Selanjutnya Yuuki lah yang membimbing Sawako berjalan dan menunjukkan kursinya. Mereka duduk dikursi yang sama. Akan tetapi, kali ini Yuuki tersenyum bahagia tidak murung seperti sebelumnya.
Sebenarnya bingung juga harus berkomentar apa. Karena semua sudah tertuang jelas dalam tulisan alur ceritanya. Isi surat itu secara tidak langsung adalah pengakuan Yuuki meskipun Sawako tak menyadarinya dari awal. Namun pada akhirnya ia mampu menerima Yuuki.