Sawako sudah menantikan Yuuki bersama dengan surat yang ia bawa. Saat menyadari kedatangan Yuuki, ia langsung mengangkat surat yang diterimanya.
Yuuki pun membacakan suratnya. “Dear Sawako. Apa kau sehat? Aku ingin bertemu denganmu.mendengar kau bermain piano. Aku memikirkannya setiap hari. Aku akan mengirim surat lagi.”
Sawako tampak bahagia. Awalnya Yuuki lega karena Sawako tidak sadar bahwa yang mengirim surat bukanlah pacarnya atau lebih tepatnya mantan pacarnya. Yuuki jadi gugup jika Sawako menyadari kebohongannya saat Sawako mengatakan bahwa pacarnya tidak pernah seperti itu dan itulah yang menyebabkan dirinya (Sawako) pindah.
Yuuki kembali menulis surat meskipun ia terbenani karena kebohongannya. Ia kembali membacakan suratnya disamping Sawako yang memainkan tuts piano. “Dear Sawako. Aku sibuk seperti biasa dan aku baik-baik saja.”
Narasi Yuuki, “Aku mengamatinya saat aku membaca surat. Kebiasaannya membekas difikiranku. Aku memikirkannya saat aku menulis. Cara dia memegang surat satu persatu.”
Menulis surat dan membacakannya sudah menjadi rutinitas Yuuki. “Saat aku memikirkan disentuh jari putihmu, aku cemburu dengan surat ini. Kuharap segera bisa memegang tanganmu.”
Yuuki tercengang saat Sawako mengatakan bahwa surat kali ini sedikit jorok, ia berfikir mungkin itulah sifat mantan pacarnya yang sebenarnya.
Sawako memainkan piano dengan Yuuki sebagai pendengarnya. Yuuki sadar bahwa lagu itu bukan ditujukan kepadanya, melainkan ditujukan kepada orang lain (mantan pacar Yuuki).
“Yang kuinginkan bukan jadi surat. Aku ingin menjadi dirinya (pacar Yuuki). Kalau aku membacakan surat yang kutulis sendiri, apa dia akan menerimaku?”
Yuuki kembali datang ke ruang musik. Sawako langsung menyadari kedatangan Yuuki. Sawako begitu senang, karena dengan kedatangan Yuuki, akan ada orang yang membacakan surat untuknya. Sawako bergeser dan mempersilahkan Yuuki duduk disampingnya.
Yuuki membaca suratnya dengan suara keras. “Dear Sawako. Hari-hariku, biasa-biasa saja, damai dan membosankan. Tapi ada sesuatu yang kuharapkan. Kau! Aku senang melihatmu. Tertawa, menangis dan tersenyum seperti saat suratku dibaca. Aku selalu ingin melihatmu.”
Yuuki kembali datang ke ruang musik. Sawako langsung menyadari kedatangan Yuuki. Sawako begitu senang, karena dengan kedatangan Yuuki, akan ada orang yang membacakan surat untuknya. Sawako bergeser dan mempersilahkan Yuuki duduk disampingnya.
Yuuki membaca suratnya dengan suara keras. “Dear Sawako. Hari-hariku, biasa-biasa saja, damai dan membosankan. Tapi ada sesuatu yang kuharapkan. Kau! Aku senang melihatmu. Tertawa, menangis dan tersenyum seperti saat suratku dibaca. Aku selalu ingin melihatmu.”
Yuuki hendak berbalik untuk menatap Sawako yang sedari memejamkan matanya. “Apa aku, tidak cukup baik?”
Sawako mendorong punggung Yuuki, “Surat ini, aku tidak begitu mengerti. Aku tidak suka. Aku senang, kau tahu! Aku selalu memikirkan surat seperti apa yang akan ia kirimkan berikutnya. Aku menantikannya setiap hari. Saat aku menerima suratnya, aku bisa terus hidup.
Yuuki tak tahan lagi. “APA? INI TANGANKU. INI WAJAHKU. (Yuuki tak memperdulikan Sawako yang menolak) SAWAKO! Lihat aku. INI AKU! Orang yang menulis surat adalah...”
Sebelum Yuuki mengatakan yang sebenarnya, Sawako langsung mendorongnya hingga ia terjengkang.
Sawako berlari meninggalkannya. Ia tak menghiraukan Yuuki yang melarangnya berlari. Alhasil, dirinya terjatuh, beruntung Yuuki masih sempat memeganginya. Sawako langsung mendorong Yuuki menjauh darinya.
Sawako tak dapat menahan tangisnya. “Kumohon. Jangan katakan. AKU TIDAK TAHU! Apa, apa yang harus aku lakukan? AKU TIDAK TAHU! AKU TIDAK TAHU!”
Yuuki menghampirinya dan mencoba menenangkannya. “Tak apa. Semuanya akan baik-baik saja. Surat itu akan datang lagi besok. Besok. Kau akan terima suratnya lagi besok. Oke? Semuanya baik-baik saja. Jangan khawatir.” Sawako pun menganggukkan kepalanya berulang kali.
Dengan berurai air mata, Yuuki kembali menulis surat untuk Sawako. “Dear Sawako. Apa kabar? Aku akan mengirim surat setiap hari mulai sekarang. Kuharap aku difikiranmu setiap hari. Setiap hari. Mainkan piano itu untukku. Kuharap, kau tidak akan pernah melupakanku.”
“Ini yang seharusnya. Kalau aku ingin membuatmu tersenyum.”
Keesokan harinya, Yuuki kembali ke ruang musik. *Entah isi surat itu sudah diketahui atau belum. Kemungkinan ia sudah mengetahui isinya namun tidak melalui Yuuki.* Yuuki langsung berlari cemas karena ia tak mendengar alunan piano yang biasa Sawako mainkan. Namun Sawako tetap ada disana menunggunya. Setibanya Yuuki, Sawako mendekatinya dan meraba wajahnya. Mulai dari pipi, hidung dan bibir.
Sawako menanyakan apa Yuuki mau mendengarkan alunan permainan pianonya (dan tentu saja lagu kali ini ditujukan untuk Yuuki). Sawako menarik tangan Yuuki karena Yuuki tak kunjung merespon. Selanjutnya Yuuki lah yang membimbing Sawako berjalan dan menunjukkan kursinya. Mereka duduk dikursi yang sama. Akan tetapi, kali ini Yuuki tersenyum bahagia tidak murung seperti sebelumnya.
Sebenarnya bingung juga harus berkomentar apa. Karena semua sudah tertuang jelas dalam tulisan alur ceritanya. Isi surat itu secara tidak langsung adalah pengakuan Yuuki meskipun Sawako tak menyadarinya dari awal. Namun pada akhirnya ia mampu menerima Yuuki.