FROM YM TO YOUR HEART
Part 14
By Tyas Herawati Wardhani
PS: Terima
kasih untuk semua yang sudah baca, like dan comment. Terima kasih juga buat
yang message saya langsung. Itu semua jadi penyemangat buat saya. Mohon maaf
kalau ceritanya pendek, masih harus banyak belajar lagi, biar bisa bikin cerita
yang lebih berliku, dinamis dan menyentuh. Sambil menunggu inspirasi untuk
menulis ff dengan karakter jodha dan jalal lagi, saya akan tetap menulis fiksi.
~~~~~~~
Senin, 30/05/13
Aadhya Jodha : Kenapa kau lakukan ini???
Aadhya Jodha : Aku menyesal sudah mengenalmu!!
Rashed Jalal : Percayalah,sayang... itu yang terbaik
Aadhya Jodha : Terbaik apanya!
Aadhya Jodha : Kau menilai keputusanku hanya dari satu sisi, lihatlah
dari sisi yang lain....
Aadhya Jodha : Tetap saja AKU membencimu!!
Rashed Jalal : Tidak mengubah keadaan kau adalah istriku satu
bulan lagi...
Aadhya Jodha : Aku akan membuatnya jadi SATU TAHUN lagi!
Rashed Jalal : Coba saja kalau kau berani
Aadhya Jodha : Kau pikir aku tidak berani?!
Rashed Jalal : Kau tidak akan berani.
Aadhya Jodha : Memangnya kau siapa bisa menghalangiku?!
Rashed Jalal : Aku calon menantu kesayangan Ibumu. Percayalah, kau
tidak akan tahan pada pesonaku...
Aadhya Jodha : Dasar sombong!
Rashed Jalal : Itu juga salah satu pesonaku.
Aadhya Jodha : Kenapa Tuhan menghukumku? Bagaimana bisa aku jatuh
cinta dengan seorang pria Over Self-Confident seperti ini...
Rashed Jalal : Itu karena Tuhan menjawab doamu...
~~~~~~~
Awalnya Jodha pikir perdebatan mereka
kemarin tentang pengunduran dirinya hanyalah kelakar lain dari Jalal. Tapi
ternyata, pria itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Siang ini, di tangannya,
Jodha sudah memegang surat pemberhentian dengan hormat atas nama DIRINYA, yang
ditandatangani oleh Tuan Jalal Rashed.
Jodha tidak tahu harus bereaksi seperti
apa, menangis atau bernapas lega, marah atau mengalah. Benar-benar khas Jalal,
begitu pikir Jodha sinis. Dia bisa mengerti alasan Jalal seperti yang
diutarakannya kemarin, tapi haruskah secepat ini? Baru kemarin mereka
membicarakannya, bukankah seharusnya Jalal memberi waktu satu atau dua bulan
bagi Jodha untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya?!
Tidak bisa, kali ini Jodha tidak bisa
membiarkan Jalal bersikap seenaknya seperti ini.
Langkah kakinya sedikit menghentak di
atas lantai marmer, terlihat sekali dia sedang kesal dan siap menerjang apa
saja yang menghalanginya. Tangannya sudah memutar kenop pintu ruangan Jalal dan
dia menerobos masuk tanpa mengetuk ataupun mengucapkan salam lebih dulu.
“Kau tidak bisa semena-mena padaku! Hari
pernikahan kita masih lama, kenapa aku harus berhenti kerja sekarang?!” tanya
Jodha berapi-api sambil mengacungkan surat pemecatannya.
Jalal hanya menaikkan kedua alisnya, tidak
nampak terkejut meski diberondong protes seperti itu, ekspresinya lebih terlihat
seperti sedang menahan geli melihat tingkah Jodha.
Dan yang justru keheranan adalah pria
yang duduk di seberang meja Jalal, Tuan Shanker
Parwal, Monetery Staff Golden Road.
“Ups....maaf. Sepertinya saya...salah
masuk ruangan.” Ujar Jodha saat menyadari Jalal tidak sendirian di dalam sana.
Dengan kikuk dan salah tingkah, Jodha
melangkah mundur dan keluar dari ruangan Jalal.
Dia berjalan lemas kembali ke mejanya,
disana sudah ada Sneyka, pastinya sedang menunggu dirinya, berharap ada gosip
baru yang bisa dia sebarkan siang ini.
“Jodha, ada apa? Apa kau kesal dengan
seseorang?!” tanyanya.
Heran,
apa tidak ada yang bisa terlewat dari pengamatannya?!. Seakan-akan dia bisa
mengendus dan mendeteksi ketidak beresan dari orang-orang di kantor ini... begitu pkir Jodha dalam hati
“Sepertinya ini hari terakhirku
bekerja... Aku dipecat...”
“APA!!” pekik Sneyka terkejut, membuat
yang lain menoleh ke arah mereka. “Jodha, kau sungguh-sungguh?!! Tapi kenapa?
Apa kau menyinggung perasaan seseorang? Kau merebut pacar seseorang?”
“Tidak semuanya, tapi jangan tanya
alasannya sekarang. Akan kuceritakan padamu suatu saat nanti.”
“Terserahlah, tapi kau tahu bagaimana
aku. Dengan atau tanpa kau ceritakan, aku pasti bisa mengetahuinya....
Omong-omong, kalau kau butuh kamus caci maki, kau bisa mencariku. Atau kalau
kau mau, aku bisa menyebarkan cerita untuk menggalang dukungan, tapi kulihat,
kau tidak terlalu sedih dengan pemecatan ini...Hmmm, semakin mencurigakan...”
Jodha hanya tersenyum mendengar Sneyka
bicara tanpa henti, salah satu yang akan dirindukannya setelah hari ini. Bukan
berarti mereka tidak akan bertemu lagi. Mereka tinggal dalam satu kota,
terhubung di social media yang sama, komunikasi apapun bisa mereka lakukan
meski tidak harus bertatap muka setiap hari.
Tidak bisa mengembalikan konsentrasinya
untuk membereskan sisa-sisa pekerjaannya, akhirnya Jodha memutuskan untuk
berjalan ke kantin yang terletak di lantai 2.
“Nona Jodha...”
Jodha menoleh dan dilihatnya Tuan Parwal
berjalan menghampirinya. Teringat dengan kejadian konyol di ruangan Jalal tadi,
Jodha berusaha menutupi rasa malunya dan hanya tersenyum kecil dengan sopan.
“Aku juga dipecat...”
Itu sama sekali tak disangkanya. Bahkan dia
sampai terpaku karena tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Jodha hanya
bisa membelalakkan matanya. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tapi dia juga
bingung apa yang harus dikatakan.
“Tapi...kenapa?... Maksudku, anda adalah
karyawan senior dan saya tahu, anda punya prestasi yang bagus. Atau
jangan-jangan, karena anda sering absen akhir-akhir ini, tapi semua orang
disini tahu, anda cuti karena merawat istri anda yang sakit kanker...Ya Tuhan,
maaf, saya terlalu banyak bicara. Tapi, ini tidak benar....” ujar Jodha
menggebu-gebu, “Orang itu ya, benar-benar ingin kupitak kepalanya supaya
sadar... dia pikir bisa seenaknya....” tambah Jodha sambil menggeretakkan
giginya menahan kesal dan kedua tangannya bergerak-gerak sambil membayangkan
menjitak kepala Jalal yang sekeras batok kelapa.
“Tidak apa-apa...” Tuan Parwal menenangkan
Jodha, juga menahan geli melihat tingkah wanita di depannya ini.
“Mana mungkin tidak apa-apa...”
“Sebenarnya tadi aku menemuinya juga untuk
memprotes keputusan itu, tapi entah kenapa saat dia mengatakan bahwa ini semua
dia atur untuk kebaikan saya, lalu dia meminta saya untuk bertahan sebentar
saja, aku percaya penuh padanya. Aneh, tapi itulah yang kurasakan...”
“Kau juga merasakan itu kan?! Meski kau
tidak mau mengakuinya, tapi hati kecilmu yakin dan percaya kekasihmu itu sedang
mengusahakan yang terbaik untuk kita berdua.” Lanjut Tuan Parwal.
“Dia bukan ke...” Jodha tidak
melanjutkan kata-katanya. Tuan Parwal bukan orang bodoh, dia pasti sudah bisa
menyimpulkan hubungan yang terjalin antara dirinya dan Jodha.
“Kalian berdua pasangan yang serasi,
melihat kalian berdua seperti melihat diriku saat masih muda dulu...”
“Apa yang serasi, kami lebih sering
berdebat...” jawab Jodha cemberut
“Itu karena hanya dia pria yang bisa
memancing keluar sisi kepribadianmu yang lebih terbuka seperti ini. Selama ini
kau selalu tampak tenang, terkendali dan terkesan tertutup. Bahkan kupikir kau
gadis yang dingin dan sombong. Tapi sekarang kau terlihat lebih ekspresif dan bersemangat...” ujar Tuan
Parwal terdengar bijak.
“Mungkin anda benar. Aku sendiri bahkan
tidak menyadarinya...” kata Jodha sambil menahan senyum, pikirannya mengingat kembali
saat-saat perkenalan pertamanya dengan Jalal.
Duduk di salah satu meja di kantin,
mengingat kata-kata Tuan Parwal, Jodha mulai mengakui kebenarannya. Dulu dia gadis
pendiam, berusaha tidak banyak bicara dan tidak menarik perhatian. agar orang lain juga tidak memperhatikan
kondisi keluarganya. Tapi semuanya berubah. Jalal berhasil menjungkir balikkan
dunianya. Hanya di depan Jalal, dia berubah menjadi gadis yang lebih terbuka.
Di depan Jalal, Jodha pernah marah, menangis, takut dan tertawa.
Lamunannya tiba-tiba buyar saat sebuah
tangan menyentuh pundak kirinya. Jodha menoleh dengan cepat dan dilihatnya
Jalal sedang menatapnya dengan ekspresi ‘aku tahu kau sedang memikirkan aku’
lalu duduk di depannya.
“Apa kau sudah merapikan mejamu?” tanya
Jalal.
Jodha tidak menyahut, hanya matanya saja
yang melirik kesal. Sisi keras kepala dalam dirinya tidak ingin membiarkan
Jalal merasa puas dan menang, meski dalam hatinya Jodha mengakui bahwa
keputusan Jalal memecatnya adalah keputusan yang paling tepat.
“Kau sudah berpamitan dengan
teman-temanmu? Pastikan juga mereka tahu kita akan menikah.” Imbuh Jalal lagi.
“Iya, akan kulakukan nanti.” Jawab Jodha
datar.
“Bagaimana kalau sekarang saja, hampir
semua orang makan disini kan?!” ucap Jalal dengan wajah berbinar-binar.
Oh Tidak.. Jodha mencium ada rencana
aneh lagi yang akan dilakukan Jalal. Belum sempat dia memikirkannya terlalu
jauh, dilihatnya Jalal berjalan ke arah tengah ruangan luas itu.
“Perhatian semuanya...” Jalal bicara
lantang, ruangan yang ramai berangsur hening, semua orang mengalihkan perhatian
dari makan siang mereka ke arah Jalal.
“Aku mewakili Nona Jodha Aadhya,
memberitahukan bahwa hari ini adalah hari terakhirnya bekerja. Jika kalian
adalah teman wanitanya, kalian masih bisa berkomunikasi kapanpun kalian mau,
tapi untuk rekan prianya, kalian masih bisa mengobrol, tapi dengan
sepengetahuanku. Karena kurang dari sebulan lagi dia akan menikah denganku....”
Seisi ruangan serempak bersorak, mereka menghampiri
Jalal untuk mengucapkan selamat. Jodha masih tertegun di mejanya, tangannya
menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa malunya. Dasar Jalal....
“Aku iri sekali padamu. Kenapa kau yang
mendapatkannya?!” itu suara Sneyka.
Jodha mendongak dan dilihatnya Sneyka
bersedekap di depannya sambil memasang wajah cemberut. Sedetik kemudian,
mulutnya melebar karena senyuman.
“Selamat ya...” ujarnya sambil menarik
Jodha berdiri dan memeluknya.
Setelah itu rasanya Jodha tidak ingat
lagi apa saja yang dilakukannya. Teman-temannya mengerubunginya dan mengucapkan
selamat. Begitu banyak orang yang mengelilinginya hingga dia kewalahan.
Hingga menjelang malam, Jodha baru selesai
membereskan semuanya. Berkas-berkas kerjanya telah dia serahkan pada Jalal,
sedangkan barang-barang pribadinya sudah terbungkus rapi dalam satu boks.
Jalal menghampirinya dan mengambil alih
boks itu dari tangannya.
“Sudah siap pulang?” tanya Jalal.
Jodha mengangguk. Sebelum masuk ke dalam
lift, disempatkannya memandang dan menjelajahi setiap sudut lantai ruang itu.
Dia akan merindukan tempat ini, suasana kerjanya, dateline-nya, rekan-rekannya
dan juga gosip-gosipnya.
Jalal mengantarkannya pulang. Ada banyak
hal yang ingin mereka bicarakan, tapi mereka hanya saling melempar senyum.
Sepertinya sudah terjalin saling pengertian yang dalam di antara keduanya,
hingga kata-kata sudah tak diperlukan lagi.
Jika sebelumnya Jalal hanya mengantar
Jodha sampai ke depan pintu apartemennya, tapi kini pria itu masuk, berbincang
dengan Ibu dan Nenek Jodha, duduk dan menikmati makan malam seakan ini adalah
rumahnya sendiri. Well, tentu saja Jodha tidak keberatan. Mereka akan menikah,
jadi pastinya tidak akan ada dinding pemisah antara kedua keluarga mereka.
“Besok, aku akan mengajak Bibi dan
adikku kesini, kalian bisa membicarakan seperti apa pesta pernikahan yang kau
inginkan.” Kata Jalal di depan pintu, setelah dia berpamitan pada Nyonya
Aadhya.
“Tentu.”
“Apa tidak ada yang ingin kau katakan
padaku?” tanya Jalal.
“Selamat malam...” ujar Jodha setelah
melayangkan sebuah kecupan ringan di pipi kiri Jalal, membuat pria itu tak
berkedip.
“Tiga hari lagi aku akan mengajakmu
jalan-jalan.” Kata Jalal sambil tersenyum,
tangannya mengusap rasa hangat yang tertinggal di pipinya karena kecupan
itu.
Tiga hari. Jodha bertahan selama tiga
hari menahan rasa ingin tahunya. Selama dua hari dia disibukkan dengan
membicarakan rencana pernikahannya dengan Bibi dan adik Jalal. Pesta sederhana
untuk keluarga kecil mereka dan sahabat dekat adalah yang dipilihnya. Tidak
perlu menghamburkan uang atau pamer kekayaan, hanya kekhidmatan saja yang dia
utamakan. Yang terpenting adalah kehidupan setelah pernikahan mereka, bukan
pestanya.
“Kau sudah siap?” tanya Jalal begitu
Jodha membukakan pintu untuknya, tiga hari kemudian.
“Kuambil tasku dulu.” Jawab Jodha sambil
berjalan menuju kamarnya.
Sambil menyandang tas bahunya, Jodha
menyusul Jalal yang berdiri di dekat pintu sambil berpamitan pada Nyonya
Aadhya.
Perjalanan mereka membelah padatnya lalu
lintas kota Mumbay menuju ke arah selatan. Di bagian kota ini didominasi
komplek pertokoan besar dan juga pergudangan. Mobil Jalal berbelok ke sebuah
lahan parkir luas dengan beberapa mobil berjajar rapi disana. Di depannya
berdiri sebuah gedung dua lantai yang cukup luas.
Jodha turun dari mobil sambil
memperhatikan desain gedung itu yang bagian depannya berupa kaca setinggi
langit-langit, memungkinkan setiap orang melihat isi di dalamnya. Seseorang
yang berdiri di pintu masuk, menyambutnya.
“Nona Aadhya, akhirnya kita bertemu
lagi.” Sapa Tuan Parwal sambil menjabat tangan Jodha.
“Apa yang anda...” tanya Jodha tapi
langsung dipotong oleh Jalal, “Akan kujelaskan di dalam.”
Jalal menggandeng tangan Jodha dan
mengajaknya masuk. Sambil berjalan, Jodha memperhatikan aneka macam furniture
mewah yang tertata memenuhi ruangan itu. Naik ke lantai dua, suasana kantor
nampak disini. Dua atau tiga ruangan bersekat, sisanya adalah beberapa
perangkat meja dan komputernya tersebar di beberapa sudut. Terlihat beberapa
tumpukan tebal brosur furniture di atas salah satu meja, Jodha mengambil satu
lembar dan membacanya sekilas.
“Selamat datang di kantormu yang baru.”
Ujar Jalal sambil menggerakan tangannya menunjuk ke sekeliling tempat itu.
“Apa?!”
“Aku membeli franchise IKEA, dan kau
yang akan mengelola tempat ini. Tuan Parwal akan bertanggung jawab untuk tax
and monetery. Bagian terbaiknya adalah seluruh aktifitas di tempat ini
terintegrasi dengan komputer di rumah kita. Jadi, kau bisa mengawasinya dari
rumah, tidak perlu harus setiap hari kesini. Begitu juga dengan Tuan Parwal,
dia bisa menyelesaikan pekerjaannya di rumah, jadi dia akan punya lebih banyak
waktu menjaga istrinya.” Jalal menjelaskan sedetail-detailnya.
Jodha memandang Jalal dengan perasaan
haru. Dengan tangan dinginnya dia mengatur semuanya sendiri, begitu mengerti
keinginan Jodha dan kebutuhan Tuan Parwal. Dia bisa berempati pada orang-orang
di sekitarnya. Jodha beruntung sekali, pria ini jatuh dari langit dan akan
menjadi suaminya. Apa lagi yang lebih baik dari itu.
“Jadi sebenarnya, kau menikahiku untuk
jadi istrimu atau manager usahamu?!” tanya Jodha pura-pura kesal sambil melipat
tangannya di depan dada.
“Sebenarnya masih banyak pekerjaan yang
ingin kuserahkan padamu, kau akan menjadi nyonya rumahku, ibu dari anak-anakku,
pasangan kencanku untuk pesta perusahaan...” jawab Jalal memancing senyum Jodha
makin lebar.
“Terima kasih.” Balas Jodha sambil
meremas hangat tangan Jalal yang masih menggenggamnya.
Mereka saling tersenyum penuh cinta dan
pengertian.
Kemudian Jalal mengajaknya ke bagian
belakang gedung di lantai satu. Masih dalam gedung yang sama, tapi disinilah
segala pekerjaan assembly dilakukan. Ketukan palu saling sahut- menyahut. Lima
atau lebih pria menghampiri Jalal begitu melihatnya datang. Sikap tubuh mereka
dengan jelas menunjukkan rasa hormat pada Jalal.
“Perkenalkan wanita ini adalah calon
Nyonya Jalal Rashed. Dia akan menjadi bos kalian. Jadi, jaga kelakukan kalian
di depannya. Aku bisa memaklumi kesalahan dalam pekerjaan, tapi aku tidak akan
mentolerir sikap yang buruk.” Ancam Jalal pada para pekerjanya.
Sepertinya mereka cukup mengerti dan
tidak bertanya apa-apa.
Tiba-tiba salah seorang berteriak...
“Tuan, awas! Di kakimu!” sambil menunjuk
ke satu tempat di dekat kaki Jalal.
Jodha juga melihatnya, sebuah
kalajengking besar merayap mendekati kaki Jalal. Tanpa berpikir lagi, Jodha
langsung mengayunkan gulungan brosur yang tak sengaja dibawanya dari lantai
atas. Plak. Plak. Plak. Tiga kali dia memukulkannya dengan keras. Binatang
beracun itupun mati tergencet dengan mengenaskan. Jodha kembali menegakkan
tubuh dengan perasaan lega.
Semua pria yang ada disana sedang
memandanginya dengan tatapan melongo, campuran antara kagum, terpesona dan
sedikit takut. Jodha baru menyadari apa yang telah dilakukannya...
“Awww... takut, ada binatang itu..!”
Jodha menjerit dan melompat kecil, bertingkah seolah-olah dia ketakutan.
Tapi tak ada seorang pun yang percaya.
Serempak pria-pria itu mengacungkan
jempol mereka ke arah Jodha, salut atas keberaniannya.
“Bagaimana?! Aku tidak salah pilih kan?!
Calon istriku wanita yang hebat, dia bisa melindungiku.... Kalian harus
hati-hati dengannya.” Ujar Jalal bangga sambil melingkarkan sebelah tangannya
ke pinggang Jodha dan merapatkan tubuh mereka.
Jodha hanya bisa menunduk malu, apalagi
saat mereka bersorak dan bertepuk tangan, ini adalah pujian tertinggi yang bisa
diterima seorang wanita dari para pria.
Hari yang menyenangkan bagi Jodha, awal
dari banyak hari menyenangkan yang dia lalui bersama Jalal. Meski tidak luput
dari perdebatan-perdebatan kecil, tapi itu sudah seperti gaya khas mereka dalam
mengungkapkan cinta dan perhatian. Seperti contohnya suatu waktu Jodha belajar
mengemudikan mobil atas permintaan Jalal...
“Jalal, kenapa mobil ini jalan sendiri?!
Aku belum menyuruhnya jalan...”
“Mobil ini tidak akan bisa mendengarmu.
Coba angkat kakimu dari pedal gas dan...”
“Kakiku dimana?!”
“Di bawah.”
Mobil berhenti dengan tiba-tiba, setelah
Jodha menemukan letak kakinya.
“Aku tidak mau belajar lagi.”
“Kalau begitu sopir akan mengantarmu
kemanapun kau pergi.”
“Aku tidak mau! Jangan coba-coba jadikan
aku wanita pemalas, bodoh dan tidak berguna. Aku naik bus.”
“Aku hanya memberimu dua pilihan.
Menyetir atau sopir.”
“Kenapa kau selalu memaksa?!”
“Aku tidak akan memaksa kalau kau
menurut dari awal...”
Bertengkar bukan berarti tak sayang.
Menolak bukan berarti tak percaya. Tak menurut bukan karena rasa cinta itu
sudah tak ada. Begitulah yang dirasakan keduanya. Perdebatan-perdebatan kecil
mereka hanyalah langkah mereka memupuk rasa cinta dan pengertian. Mempertebal
rasa saling percaya dengan mengenal setiap ketidak sukaan dan kesukaan.
Perdebatan kecil itu juga hadir di hari
terpenting mereka. Pesta pernikahan akhirnya diadakan di rumah baru mereka.
Sekitar seratus lima puluh tamu undangan memadati ruang tamu dan taman di
sekeliling rumah. Butuh usaha keras memilah sekian teman dekat dan kolega
mereka, mengingat posisi tinggi Jalal di perusahaan dengan ratusan klien yang
dia kenal. Riuhnya suasana pesta sepadan dengan kerepotan saat
mempersiapkannya. Jodha puas melihat semua tamu undangan terlayani dengan baik.
Jodha mengenakan lehenga dan choli
berwarna biru dengan corak emas dipadu sari berwarna merah. Sedangkan Jalal
tampil dengan setelan yang lebih simpel, setelan jas tiga lapis dengan dominasi
warna putih dan aksen hitam di ujung lengannya. Tanpa henti mereka tersenyum
dan menerima ucapan selamat dari para tamu, meski begitu, Jalal masih saja
punya kesempatan menggoda istrinya...
“Kau sudah siap untuk nanti malam?”
bisik Jalal di telinga Jodha.
“Siap untuk apa?” jawab Jodha pura-pura
bodoh untuk menutupi kegugupannya.
Pertanyaan itu terus-menerus terngiang
di telinga Jodha, apalagi sekarang dia sudah sendirian di kamarnya. Jalal masih
di bawah, menemani tamu yang terakhir pulang.
“Kau gugup, sayang?” goda Jalal begitu
dia masuk ke dalam kamar.
“Tidak....” balas Jodha dengan suara
sedikit tercekat.
Jalal mendekati Jodha yang sedang
berdiri di samping ranjang. Tubuhnya terlihat kaku. Jalal cukup mengerti, ini
adalah saat yang pertama baginya. Dia ingin Jodha juga menikmati percintaan
mereka yang pertama, karena itulah dia harus membuat Jodha rileks dan tidak
tegang lagi.
Jalal mulai membelai pipi kanan Jodha
dengan ujung-ujung jarinya, sedangkan tangan satunya melingkar di punggung
Jodha, menariknya lebih dekat dan lebih melekat ke tubuhnya. Membelai lembut
punggung Jodha, menyentuh kulit lembutnya di bagian yang tidak tertutup choli.
Membuat perasaan wanita itu berdesir dalam kenikmatan.
Jodha menunduk, tidak berani menatap
Jalal, karena dia takut pada api gairah di mata pria itu yang pasti mampu
langsung membakarnya.
Jalal mendekatkan wajahnya hingga
hembusan napas mereka terasa di wajah masing-masing. Aroma mint berpadu
manisnya lily blossom. Gairahnya terlecut. Jalal menangkup wajah Jodha,
menhujaninya dengan kecupan-kecupan ringan mulai dari dahi, kedua kelopak mata,
hidung mungilnya dan kedua pipinya. Napas Jalal terasa panas di wajah Jodha.
Tarikannya mulai tak beraturan.
Jodha membuka bibirnya sedikit,
bermaksud menghirup udara lebih banyak, namun gerakan itu dianggap Jalal
sebagai undangan untuk mencicipinya. Jalal melumat bibir Jodha tanpa ampun,
mencecap setia sudutnya dan menghisap rasa manisnya. Desahan tertahan meluncur
di sela-sela cumbuan mereka.
Jalal ingin menikmati yang lainnya juga.
Tangannya mulai merayapi sekujur tubuh Jodha. Dari bahu ke punggungnya, terus
turun ke pantatnya dan kembali lagi ke bahunya. Sedangkan bibirnya kini mulai
menjelajahi leher dan dadanya. Kini gairah Jodha sudah tak tertahan juga.
Tubuhnya bergerak menerima dan mengikuti irama Jalal.
Jejak-jejak hangat terasa di
tempat-tempat yang dikecup Jalal, menyalakan api di dalam tubuh Jodha. Dia
menginginkan lebih. Tangannya mulai bergerak meraba dada Jalal. Merasakan
detaknya. Tubuh Jalal terasa panas dan liat di bawah sentuhannya. Jodha ingin menyentuhnya
langsung, tapi kemeja itu masih menjadi penghalangnya. Jari-jarinya mulai tidak
sabar membuka kancing-kancing itu satu per satu, dan rasanya sulit sekali.
“Kau menyukainya sayang...?” tanya Jalal
di antara napasnya yang terengah-engah.
Jodha bingung mencari jawaban, karena
mata dan pikirannya sudah tertutup kabut gairah.
“Malam ini, hanya milik kita berdua...
Aku akan membuatmu melayang sangat tinggi, dan yakinlah hanya aku yang bisa
membuatmu merasakan itu semua..” janji Jalal.
Dan malam itu, mereka berdua mewujudkan
janji itu bersama-sama.
******
“Aku pulang, sayang...”
Jodha menyambut suaminya di depan pintu.
Senyum lebar mengembang di wajahnya melihat sang suami yang belum dilihatnya
dalam....SATU hari ini.
“Selamat datang, suamiku sayang...”
Jalal mencium ringan bibir istrinya, sejenak
melepaskan dahaganya yang rindu pada aroma wanita yang sangat dicintainya ini.
Jodha menutup pintu di belakangnya dan
mengikuti langkah Jalal menuju kamar pribadi mereka. Ibu, Nenek serta Bibi
Jalal sedang duduk menikmati tayangan drama di televisi sambil menyesap teh
sore mereka. Sedangkan Monita ada di dalam kamarnya sendiri, mungkin sedang
mengerjakan tugas kuliahnya. Kedua keluarga mereka tinggal dalam satu rumah
tanpa ada masalah. Inilah impian Jalal saat membeli rumah besar ini, untuk
mengumpulkan seluruh anggota keluarga dalam satu perlindungan.
Di dalam kamar, Jodha membantu Jalal
melepaskan jasnya dan meletakkan tas kerjanya ke atas meja di depan jendela
besar yang memperlihatkan pemandangan kota Mumbay di bawah mereka. Pada pagi
hari, sinar matahari masuk menerangi seluruh sudut membuat kamar mereka hangat
dan terlihat lebih luas. Sedangkan malamnya, pemandangan kerlap-kerlip lampu
kota terlihat sangat indah dan menakjubkan.
“Apa benar, kau bekerja keras hari ini?”
“Kenapa?”
“Karena aroma tubuhmu masih harum
seperti saat tadi pagi kau berangkat kerja..” ujar Jodha sambil mengendus leher
Jalal, menghirup aroma jantannya yang selalu membuatnya lupa diri.
Jalal tersenyum mendengar jawaban Jodha.
“Dan kau...apa saja yang kau lakukan
hari ini?”
“Tidak banyak.....Hanya menebar pesonaku
pada beberapa pria, merayu salah satunya agar dia mau menemani siangku yang
membosankan...”jawab Jodha sambil memutar-mutar bola matanya dan mengerucutkan
bibirnya.
Lag-lagi Jalal hanya tersenyum
mendengarnya, dia menggandeng tangan Jodha dan mengajaknya duduk di tepi tempat
tidur.
“Lalu..apa ada yang berhasil kau gaet?”
“Banyak. Kau tahu betapa mudahnya mereka
terpesona padaku...”
“Sungguh?! Padahal aku sudah memberikan
cap di perutmu yang jelas-jelas menunjukkan kau adalah milikku. Harusnya itu
ampuh untuk menghalau pergi pria lain yang ingin mendekatimu...” balas Jalal
sambil mengusap lembut perut Jodha yang besar.
Jodha tersipu malu, dia menunduk
memandang perutnya yang sudah berisi calon bayi berumur tujuh bulan. Tanganya tertaut
dengan tangan suaminya di atas perutnya.
“Mau bagaimana lagi, suamiku sendiri
melupakanku dan tidak menelponku sejak tadi pagi...”
“Jadi, hari ini istriku sedang ingin
dimanja,...baiklah, apa yang harus kulakukan untuk membuatnya senang?”
Jodha berpikir sejenak, lalu dia berdiri
dan menarik Jalal untuk ikut berdiri. Kemudian dia menggandeng lengan Jalal dan
berjalan memutari tempat tidur mereka.
Dia meminta suaminya untuk berbaring,
dan dia menyusul berbaring di sebelahnya. Tubuh mereka saling menempel, kaki
mereka saling berkait, tangan mereka saling memeluk.
Jodha menyurukkan kepalanya lebih dalam
ke lekukan leher Jalal dan mendesah lega,
“Hangatnya...”
***** END *****