Sebuah mobil fortuner berwarna hitam mengkilap tampak berhenti di depan pelataran parkir sebuah rumah sakit. Seorang pria yang bernama Jalaluddin Faisal Akbar yang tidak lain dan tidak bukan adalah pengendara mobil itu keluar dari sana setelah berhasil memarkirkan mobilnya dengan sempurna. Ia mamasuki kawasan rumah sakit dengan sedikit berlari.
Setengah jam yang lalu ia mendapat kabar bahwa sang ibu mengalami kecelakaan dan di larikan ke rumah sakit ini.
Setelah bertanya pada suster. Ia bergegas menuju kamar 214 tempat sang ibu di rawat.
Saat ia membuka pintu alangkah terkejutnya melihat seorang perempuan berhijab yang selama ini ia cari.
Kedua mata mereka saling bertatap seolah-olah menjadi perwakilan hati mereka.
Kemudian pandangan itu beralih pada sosok wanita paruh baya yang sedang terbaring lemah.
Ia mendekati wanita itu lalu mencium tangan dan keningnya dengan lembut.
"Mama nggak apa-apa bang" ujar sang ibu di iringi senyum tulus.
"Kenapa nggak bilang kalau mau ke Bandung. Biar abang yang jemput mama."
Dengan perasaan tak enak hati karena menganggu kedua anak dan ibu itu. Dokter Jodha berkata pada pria itu "Maaf pak bisa bicara di ruangan saya?"
Pria itu pun menoleh lalu mengangguk.
Mereka berjalan beriringan menuju ruangan Dokter Jodha. Yang letaknya lumayan jauh dari kamar 214 tempat bu Farah di rawat.
Selama di perjalanan menuju kesana Jodha selalu mendapat sapaan dari para perawat atau pun sesama Dokter yang berpapasan dengannya. Beberapa pasien yang pernah di tanganinya pun ikut menyapa. Jodha memang di kenal dengan sebutan Friendly Doctor karena senyum dan sikapnya yang ramah maka tak heran jika ia termasuk calon menantu idaman. Bahkan para pasien ibu-ibu pun secara terang-terangan memintanya untuk menikah dengan anak mereka.
Sikap Jodha itu pun tak luput dari perhatian sesosok pria di sampingnya. Ia tersenyum penuh kekaguman.
Banyak yang berubah dari sosok Jodha kini ia lebih dewasa dan juga semakin cantik dan anggun.
dr. Jodha Atsilia Haura. SPB
Begitulah yang tertera dalam papan nama yang berdiri tegak di atas meja kayu jati yang terlihat kokoh di sebuah ruangan bernuansa putih dengan sedikit corak biru langit yang menjadi garis wallpaper di dindingnya.
Ia mempersilahkan pria itu untuk masuk.
"Jadi bagaimana keadaan ibu saya dok?" Jalal mulai bertanya.
"Pasien mengalami benturan di kepala bagian belakang tapi alhamdulillah benturannya tidak mengenai sistem saraf. "
"Berapa lama ibu saya harus di rawat?"
"Tergantung kondisinya pak. Tapi setelah saya cek kemungkinan tiga atau empat hari pasien di perbolehkan pulang".
Setelah keluar dari ruangan Dokter Jodha ia menuju kamar 214 untuk menemani sang ibu.
Ia duduk di kursi samping ibunya "Tadi dokter bilang apa bang?".
"Dokter bilang mama kena benturan di kepala tapi alhamdulillah benturannya tidak terlalu parah".
Bu Farah mengelus kepala putra sulungnya itu dengan penuh kelembutan "Maafin mama udah ngerepotin abang."
"Mama nggak pernah ngerepotin abang. Harusnya abang yang minta maaf akhir-akhir ini abang terlalu sibuk di kampus dan jarang pulang ke Jakarta". Ia berkata dengan penuh penyesalan.
Memang akhir-akhir ini ia di sibukkan dengan para mahasiswanya yang akan melaksanakan ujian di tambah lagi seminar di berbagai kota.
Sejak lulus program S2 dari Universitas Al-Azhar Kairo ia memutuskan untuk tinggal di Bandung sambil bekerja di salah satu Universitas negeri di kota ini.
Terakhir kali ia pulang ke rumah orang tua nya yakni dua bulan yang lalu saat menghadiri pengajian tujuh bulanan sang adik yang tengah hamil.
Sementara di ruangan lain Jodha masih terisak tenggorokannya pun tercekat. Pertemuan dengan pak Jalal mengembalikannya pada ingatan beberapa tahun lalu saat ia melihat pria itu tengah duduk manis bersama sang istri di kursi pelaminan.
Ingin rasanya ia berdamai dengan masa lalu.
"Assalamu'alaikum..". Suster Ratna masuk sambil membawa beberapa berkas.
Jodha pun akhirnya mendongak "Wa'alaikumussalam. Ada apa sus?"
"Sekarang dokter ada kunjungan ke kamar 276". Ujar suster Ratna tidak enak hati karena telah mengganggu sang dokter.
Jodha mengangguk sambil mengusap air matanya dengan tisu lalu bangkit dari kursinya untuk menuju ruangan pasien.
Saat melewati taman. Matanya menyipit melihat sosok anak perempuan yang sedang menangis tersedu-sedu.
"Bentar sus kita ke taman dulu sebentar".
"Baik dok".
Di hampiri nya anak perempuan itu. "Dek kenapa nangis sayang. Mama sama papanya kemana?". Jodha bertanya dengan lembut.
Anak perempuan bernama Hilma itu pun mendongak. "Bundaaa..." ia berucap sambil berhambur memeluk Jodha.
"Bunda jangan tinggalin Ima". Ia kembali menangis.
Karena kasihan akhirnya Jodha mendudukkan anak itu di atas pangkuannya. Setelah menghiburnya anak itu pun tertidur.
Sedangkan seorang pria berperawakan tinggi tegap yang sedang memperhatikan mereka tak jauh dari tempat mereka duduk.
Sebenarnya ia akan menghampiri keponakannya namun langkahnya terhenti saat seorang dokter dan suster telah terlebih dulu menghampirinya. Ia tersenyum saat melihat cara sang dokter menghibur keponakannya. Terlihat sangat keibuan.
Perlahan-lahan ia menghampiri mereka. "Maaf jika dia merepotkan dokter. Hampir semua perempuan yang di temuinya ia sebut bunda. Karena ibunya baru saja meninggal satu jam yang lalu" ujar pria itu menjelaskan.
"Tidak apa-apa pak. Dia masih anak-anak belum mengerti jika ibu nya telah tiada. Saya turut berduka atas meninggalnya istri bapak". Ucap Jodha tulus lalu dengan hati-hati menyerahkan anak itu yang tengah terlelap.
"Yang meninggal itu bukan istri saya tapi kakak saya. Ohiya kenalkan nama saya Irfan. Kalau boleh tahu nama dokter siapa?" tanya sang pria sambil mengulurkan tangannya.
"Nama saya Jodha". Jodha menangkupkan kedua tangannya.
"Terimakasih dokter sudah menghibur keponakan saya"
"Sama-sama. Saya permisi masih ada pasien yang harus di kunjungi. Assalamu'alaikum". Jodha dan suster Ratna berlalu meninggalkan Irfan.
"Wa'alaikumussalam" Irfan menjawab sambil tak henti memandang Jodha.
Ia kagum. Baru kali ini ia menemukan dokter seperti Jodha. Tak hanya berparas cantik namun juga bersifat lembut dan keibuan.
*****
Aku tidak bisa mendefinisikan cinta dengan sebenar-benarnya. Namun yang aku tahu dari apa yang pernah aku rasa, cinta hanya mengenai 2 hal. Yakni pertemuan dan perpisahan, kapanpun mereka datang selalu siapkan hati terbaik untuk mengikhlaskan.
Ikhlas jika pada akhirnya pertemuan tidak sesuai harapan, ikhlas jika pada akhirnya perpisahan yang ada tidak pernah kita siapkan.
Sebab jika takdir sudah mengikat, perpisahan hanya jalan untuk membuatnya menjadi lebih erat.
(Jodha Atsilia Haura & Jalaluddin Faisal Akbar)
Karya: Sasha Citra