Samar terdengar lantunan ayat suci dari sebuah bilik kamar. Gadis yang masih mengenakan mukena melantunkan ayat-ayat dengan nada pelan agar tak mengganggu para tetangganya.
Tamaram lampu menyinari setiap jajaran ayat-ayat pada mushaf. Lidahnya fasih mengucapkan setiap makhraj pada baris ayat, karena setiap hari gadis itu selalu menyibukkan dirinya dengan lantunan ayat suci Al Qur'an.
"Zahira ..." seseorang memanggil nama gadis itu.
Lantunan ayat gadis itu terhenti ketika namanya di panggil oleh sang Ayah.
Zahira segera mengakhiri lantunannya. Ia bergegas melepas mukena dan segera menuju kamar ayahnya. "Iya, Abah."
Gadis itu memasuki kamar abahnya.
"Abah mau berangkat ke kebun teh, kamu baik-baik di rumah," pamit sang Abah.
"Apa Aza boleh ikut? Aza mau bantu Abah metik daun teh." Zahira menatap abahnya memohon.
"Kamu nggak capek habis pulang dari asrama?"
"Nggak, Bah. Aza malah udah rencana mau bantuin Abah hari ini metik teh." Zahira tersenyum simpul.
Abah pun tersenyum melihat wajah putinya memohon. "Aza siap-siap, Abah tunggu di depan. Jangan lama-lama, ini sudah siang."
"Siap Abah." Zahira pun bergegas menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Tak lupa ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tasnya. Wajah sumringat terukir pada paras ayu Zahira.
Zahira dan Abah bergegas menuju kebun untuk memetik daun teh.
"Mang Ujang. Itu Zahira?" tanya rekan kerja Abah.
"Iya. Ini Zahira." Abah menatap Zahira.
"Pulang kapan?"
"Tadi sore, Mang." Zahira menimpali.
"Makin cantik aja Neng Zahira."
Zahira hanya tersenyum ramah disertai anggukan. Tak lama mereka sampai di kebun teh. Zahira membantu abahnya memetik teh. Ada kebahagiaan tersendiri ketika Zahira membantu abahnya memetik daun teh. Menghirup udara sejuk dapat menenangkan pikirannya dari berbagai pelajarannya di asrama. Zahira sangat menyukai kebun teh, maka dari itu ia selalu ikut dengan abahnya ketika sedang memetik daun teh di kebun semenjak ia kecil.
Keranjang Ujang sudah terisi penuh. "Abah, keranjangnya sudah penuh. Aza nunggu di sana, yah?" Zahira menunjuk sebuah pohon rindang tak jauh dari tempatnya sekarang.
Sang Abah mengangguk dan bergegas menuju penampungan daun teh.
Zahira duduk di bawah pohon itu dan ia mengeluarkan mushaf dari dalam tasnya. Zahira pun sibuk dengan hafalannya. Terdengar suara mengaduh tak jauh dari Zahira terduduk. Zahira pun terusik mendengar aduhan seseorang. Ia beranjak dari duduknya dan menatap sekitar. Pandangannya tertuju pada seseorang yang terjatuh dari tempatnya saat ini. Zahira menghampiri orang tersebut.
"Bapak tidak apa-apa?" tanya Zahira melihat orang tersebut sedang membersihkan pakaiannya. Ia membantu orang itu berdiri.
"Tidak. Hanya sedikit kotor pakaianku." Orang itu masih membersihkan pakaiannya.
Melihat tangan orang itu kotor, Zahira segera mengeluarkan air minum dari dalam tasnya. "Mungkin Bapak butuh ini." Zahira menyodorkan botol minumannya pada orang itu.
Orang itu pun mengangkat kepalanya dan menatap sosok gadis berhijab yang tengah menyodorkan botol air mineral padanya. Orang itu tersenyum sambil menerima bantuan Zahira. "Terima kasih," ucapnya.
Zahira hanya tersenyum tipis.
"Zahira ..." teriak Ujang.
"Iya, Abah. Zahira di sini." Zahira melambaikan tangannya pada Ujang.
Ujang pun menghampiri Zahira. "Pak Hisyam." Abah merasa heran melihat Hisyam bersama putrinya.
"Pak Ujang." Hisyam menatap Ujang dengan senyum ramah.
"Bapak sedang apa di sini?" tanya Ujang.
"Kebetulan sedang jalan-jalan pagi sambil menikmati udara pagi di kebun, jadi aku ke sini. Tapi aku tak memperhatikan jalan, sampai aku tak tau ada tanah licin dan aku terpeleset. Untung ada gadis ini yang menolongku." Hisyam menatap Zahira dengan senyum ramah.
"Dia putriku, Zahira." Ujang memperkenalkan Zahira pada Hisyam.
Zahira hanya menangkupkan tangan tan mengangguk. Hisyam pun mengangguk pada Zahira. "Oh, ini Putrimu?" tanya Hisyam.
Ujang mengangguk dan tersenyum. "Za, kamu masih ingat dengan Pak Hisyam pemilik kebun teh ini?" Ujang mengingatkan Zahira.
"Masih, Abah. Dan kalau nggak salah, Pak Hisyam punya anak laki-laki bernama Akbar yang dulu sering ikut ke sini," tebak Zahira.
Zahira teringat ketika ia kecil sering ikut abahnya ke kebun dan saat itu keluarga Hisyam sedang liburan di Bandung. Tak sengaja Zahira bertemu dengan Akbar di kebun teh. Dan mereka saling bertengkar karena masalah mainan.
"Ini Zahira yang biasa kau bawa waktu kecil ke kebun, Jang?" tebak Hisyam.
"Benar, Pak." Ujang mengangguk.
"Kau sudah besar, Nak. Bagaimana kuliahmu?"
"Alhamdulillah, sedang libur, Pak." Zahira menunduk.
Hisyam mengangguk. Melihat Zahira, Hisyam teringat Akbar. Zahira terdidik dengan tangan kesabaran Ujang, sehingga Zahira tumbuh menjadi gadis baik, sopan dan pintar. Sedangkan ia mendidik putranya dengan kesenangan sehingga putranya menjadi sombong, malas dan tidak mau di atur.
"Ini botol minummu. Terima kasih untuk bantuannya." Hisyam mengembalikan botol minum Zahira.
Zahira menerima botol itu dan mengangguk.
***