By Sally Diandra..... Beberapa
hari kemudian ketika Salima sudah kembali ke Singapura, Salima tidak tahu
alasan apa yang akan dia katakan ke ibunya yang selalu cemas dengan kondisi
Jodha, ketika Salima memasuki kamar Jalal, dilhatnya ibunya sedang berbincang
bincang dengan bibi Maham Anga sementara Jalal masih terlelap dalam komanya,
perlahan Salima memasuki kamar Jalal, ibu Hamida langsung mengetahui
keberadaannya “Salima ... Bagaimana?” ibu Hamida sangat penasaran dengan berita
yang dibawa Salima.
Salima hanya tersenyum dan
duduk disebelah ibu Hamida, sebenarnya Salima tidak tahu bagaimana caranya
mengatakan kebenaran tentang Jodha pada ibunya, ingin rasanya Salima tidak
menjawab pertanyaan ibunya “Bagaimana, Salima? Kok kamu diam saja? Bagaimana
Jodha? Dia tidak apa apa, kan?”
Bibi Maham Anga yang berada
disana segera mengernyitkan dahinya, dirinya langsung penasaran begitu kakak
iparnya ini menyebut nama Jodha didepannya “Ada apa dengan Jodha, kak?” bibi
Maham Anga pura pura tidak tahu tentang kondisi Jodha. “Aku sendiri tidak tahu
Maham, aku hanya merasa aneh, Jalal sudah 2 minggu lebih berada disini tapi
kenapa Jodha tidak segera menyusul kemari? Padahal Salima sudah memberinya
tiket pesawat, aku takut kalau ada apa apa dengan dia.”
Bibi Maham Anga tersenyum
sinis “Kak, tidak usah berharap banyak dengan Jodha, maaf aku lupa
mengatakannya padamu.” ibu Hamida dan Salima langsung kaget dan menatap Maham
Anga tajam “Ada apa dengan Jodha, Maham? Kamu tahu sesuatu tentang dia?” Maham
Anga mengangguk membenarkan kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya “Dia
mengembalikan ini ke aku” Maham Anga mengeluarkan sebuah tiket dan
diserahkannya ke ibu Hamida, Salima terperanjat “Ibu, itu tiket yang aku
berikan ke Jodha!” ibu Hamida langsung membuka tiket tersebut “Kenapa dia
mengembalikannya padamu, Maham?”, “Aku sendiri tidak tahu, kak ... mungkin
karena aku yang berangkat terakhir, jadi hanya aku yang bisa dia temui”, “Apa
alasannya dia mengembalikan tiket itu, bibi?” kali ini Salima ikut angkat
bicara “Aku tidak tahu, Salima ... Dia hanya mengatakan kalau dia tidak mau
ikut ke Singapura, katanya dia tidak tahan melihat kondisi Jalal yang seperti
mayat hidup seperti itu”, “Tapi kenapa ketika aku menanyakan ke temannya yang
bernama Rukayah, Jodha malah pamit mau ke Singapura?” ibu Hamida langsung
membelalakkan matanya “Apa katamu Salima? Jodha pergi ke Singapura?”, “Iya, ibu
... Rukayah bilang kalau Jodha sudah tidak bekerja disana lagi, dirumah sakit
itu, dia mau menyusul Jalal ke Singapura”, “Lalu kenapa tiket ini diberikannya
ke kamu, Maham?” ibu Hamida sangat penasaran dengan perlakuan Jodha karena
biasanya Jodha tidak seperti ini “Aku tidak tahu kak Hamida, bisa saja kan tau
tau dia membatalkan niatnya ke Singapura malah pergi ke tempat lain, mungkin
Jodha memang benar benar tidak tahan melihat kondisi Jalal, bisa jadi dia
merasa kalau Jalal sudah tidak punya harapan lagi jadi dia meninggalkan Jalal
begitu saja”, “Tapi aku tidak percaya, Maham ... Jodha itu sangat mencintai
Jalal, tidak mungkin Jodha menyerah begitu saja, mereka berdua itu saling
mencintai satu sama lain, Maham” Maham Anga hanya mengendikkan bahunya “Semua
kemungkinan bisa saja terjadi, kak ... kita tidak benar benar tahu bagaimana
perasaan Jodha yang sebenarnya”, “Tapi aku tetap tidak percaya, bibi ... kalau
Jodha seperti itu” bibi Maham Anga mengangkat kedua tangannya keatas “Haaah aku
tidak tahu apa apa tapi yang pasti dia telah mengembalikkan tiket itu, itu
sudah pertanda kan kalau dia tidak bisa menerima kondisi Jalal?”
Ibu Hamida hanya terdiam
sambil terus memandangi tiket tersebut, rasanya sangat tidak mungkin kalau
Jodha berbuat seperti yang dituduhkan oleh adik iparnya tapi semua bukti bukti
menunjukkan kebenarannya, tak terasa pipinya basah oleh air mata, ibu Hamida
tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya nanti kalau Jalal sadar dan
mengetahui kebenaran tentang Jodha, ibu Hamida tidak bisa membayangkannya.
Satu bulan berlalu, kondisi
Jalal tetap belum membaik, tim dokter yang menangani Jalal mencoba mengurangi
pemberian obat penenang untuk memulai proses membangunkan Jalal “Lalu apakah
dengan pengurangan itu, Jalal bisa segera bangun dari komanya, dok?” bibi Maham
Anga sangat prihatin dengan kondisi Jalal “Belum tentu, nyonya ... semuanya
tetap butuh proses dan reaksi dari tubuh pasien sendiri, kami terus berupaya
untuk membangunkannya, mari nyonya kami permisi dulu”, “Silahkan silahkan ...
terima kasih, dok ...”
Tepat pada saat itu Rukayah
muncul dirumah sakit “Selamat siang, bibi ...” bibi Maham Anga langsung menoleh
“Iya, kamu siapa ya?”, “Dia anakku Maham!”, tiba tiba dari arah belakang
terdengar suara dari si empunya suara, seorang laki laki separuh baya dengan
tubuh yang tidak begitu tinggi dan perutnya yang buncit “Abdul? Apa kabar?”
Maham Anga mengenali laki laki itu sebagai kolega bisnisnya “Baik baik saja,
Maham dan kenalkan ini Rukayah anakku, dia bilang kalau dia teman keponakanmu
Jalal” Rukayah tersenyum sambil melingkar lengannya diperut ayahnya yang buncit
“Lebih tepatnya teman istrinya Jalal, papa”, “Oooh ... Jadi kamu temannya Jodha?
Oh iya iya ... Aku ingat, kamu juga perawat kan? Yang dirumah sakit itu?”
Rukayah langsung melebarkan senyumannya “Daya ingat bibi ternyata masih tajam,
betul saya perawat yang bekerja dirumah sakit dimana Jodha juga bekerja, apakah
Jodha ada?” saat itu bibi Maham Anga menyambut tamunya itu dipintu kamar Jalal,
bibi Maham Anga langsung menggelengkan kepalanya “Sampai hari ini dia belum
sampai juga disini, Rukayah ... Apakah kamu tahu kemana dia berada?” Rukayah terkejut
mendengar pertanyaan bibi Maham Anga “Aku kira Jodha sudah ke Singapura, bibi
... Makanya aku kesini untuk menemuinya dan menengok Jalal juga”, “Haah tak
tahulah, maunya apa anak itu, bukannya menemani dan merawat suaminya, dia malah
kabur menghilang begitu saja, aneh kan? Mau enaknya saja dia itu!” Rukayah bisa
melihat adanya kebencian diwajah bibi Maham Anga “Aaah sudahlah ...ayo masuk,
kamu mau menengok Jalal kan? Ayoo mari mari masuk” tak lama kemudian Rukayah
dan ayahnya masuk ke dalam kamar Jalal.
Sementara itu tepat satu
bulan ditempat Jodha, sedikit demi sedikit ibu Meinawati mulai membangun
kembali bisnis cateringnya, melalui Moti, teman teman Moti dirumah sakit juga
anak anak kos yang ngekos dirumah Moti yang menjadi langganan tetapnya, ibu
Meinawati bisa kembali menjalankan usahanya dan merebut hati konsumennya. Jodha
pun ikut sibuk membantu usaha catering ibunya, selain membantu memasak, Jodha
juga sibuk memasarkan dan mengenalkan usaha catering ibunya ini di kota Jogja,
hal ini tentu saja bisa membuatnya sedikit demi sedikit melupakan kesedihannya
terpisah dari Jalal, meskipun ketika malam tiba ketika Jodha teringat kembali
dengan Jalal, perasaan menyesak didada karena terpisah dari Jalal selalu datang
menghantuinya dan membuatnya menangis.
“Jodha, apakah kamu tidak
mencoba untuk melamar pekerjaan dirumah sakit seperti yang ditawarkan Moti?”
siang itu ketika Jodha sedang membantu mengepak catering tiba tiba ibu
Meinawati bertanya tentang pekerjaan Jodha “Untuk sementara ini, aku ingin membantu
ibu dulu dan lagi kalau aku mulai bekerja dirumah sakit, lalu perutku semakin
membesar kan jadi berabe”, “Yaaa ibu hanya merasa, apa nggak eman eman ijazah
perawatmu itu”, “Tenang ibu, aku sudah menyiapkan semuanya, mungkin setelah
anakku ini lahir, aku akan kembali bekerja, yang penting sekarang kita besarin
dulu usaha ibu disini, aku akan membantu ibu semaksimal mungkin, selain itu
kita kan juga harus mempersiapkan kelahiran anakku ini” diusapnya perutnya yang
belum begitu membuncit.
Di Mount Elizabeth Hospital
Singapura, setelah tim medis mengurangi pemberian obat penenang pada Jalal,
mereka mulai melakukan proses uji neurologis pada Jalal, pada saat tahap
pertama uji tersebut Jalal mampu mengedipkan matanya meskipun masih dalam
kondisi koma “Aaah ibu lihat! Jalal berkedip!” Salima sangat senang sekali
ketika melihat Jalal merespon tindakan tim dokter “Iya, Salima ... Dokter apa
itu artinya, dok?”, “Ini baru tahap awal, nyonya ... Tapi hal ini bisa menjadi
tanda bahwa pasien akan bangun dari komanya tapi kapan waktunya, kita tidak
tahu” salah satu dokter yang menangani Jalal mencoba memberikan penjelasan ke
ibu Hamida “Ya Allah ... Mudah mudah saja anakku bisa segera bangun dari
komanya”, “Aamiin ... Kita semua berharap demikian, bu ... Ibu yang sabar ya,
yang kuat, aku yakin Jalal pasti segera sembuh!” Salima mencoba menguatkan
ibunya dan dirinya sendiri.
Dua bulan kemudian, ketika
ibu Meinawati mencari tahu tentang penjualan rumahnya ke pak Birbal, tanpa
diduga ibu Meinawati mendapatkan kabar yang kurang menyenangkan “Soal rumah,
ibu tidak usah khawatir mungkin dalam waktu dekat pembelinya sudah sepakat
dengan harga yang ibu ajukan, ibu sabar saja, semoga bisa langsung deal”, “Iya
pak Birbal, terima kasih untuk bantuannya, semuanya saya percayakan pada anda
pak Birbal”, “Terima kasih, bu ... Oh iya, ini kemarin saya mendapat titipan
surat” sesaat ibu Meinawati terdiam “Titipan surat apa ya, pak?”, “Saya
sendiri tidak tahu, ibu ... Suratnya tidak saya buka tapi yang jelas
pengirimnya itu namanya ibu Maham Anga” ibu Meinawati langsung terperanjat
“Maham Anga? Bilang apa dia, pak? Apa dia datang ke rumah kami?”, “Iya,
betul, bu ... Saya kira waktu itu, salah satu orang yang mau melihat dan
membeli rumah ternyata bukan dan dia menitipkan surat ini ke saya untuk Jodha,
apa saya kirimkan saja ke alamat ibu?”, “Iya iya ... Kirimkan saja surat
itu, pak ke sini, kami tunggu, terima kasih, pak Birbal dan satu lagi pak,
kalau ada yang bertanya tentang kami terutama tentang Jodha, tolong jangan katakan
dimana kami berada saat ini”, “Baik, bu ... akan selalu saya ingat”, “Sekali lagi terima kasih, pak Birbal”
bu Meinawati benar benar penasaran dan bertanya tanya kira kira apa isi surat
yang dikirimkan oleh Maham Anga untuk Jodha? Apakah surat itu akan membuat
Jodha menjadi semakin sedih? Entahlah ...... TBC-->Chapter 14