By Sally Diandra..... Jodha merasa sudah siap bertemu dengan Jalal yang pagi itu sudah dipindah ke ruang ICU, sebelum menemui Jalal, Jodha bertanya dulu pada perawat yang jaga diruang ICU “Bagaimana keadaan suamiku, suster... namanya Jalal” suster jaga itu iba melihat Jodha yang terlihat kuyu “Aku prihatin sama kamu, Jodha... yang kuat dan sabar ya” Jodha mengangguk pelan “Suamimu saat ini mengalami cedera kepala berat, ada perdarahan hebat di otaknya namun sayangnya lokasi perdarahannya itu tidak mungkin dilakukan operasi, Jodha” Jodha terperangah sambil menutup mulutnya dengan tangannya, Jodha tau bagian mana yang tidak mungkin bisa dilakukan operasi, bila dipaksakan pun resikonya akan terlalu besar dibandingkan kemungkinannya untuk berhasil, jadi hanya obat obatan dan alat alat penujang hidup saja yang bisa mereka lakukan sebagai satu satunya jalan untuk membuat Jalal tetap hidup dalam keadaan koma. “Hanya keajaiban dan doamu saja, Jodha yang bisa dia harapkan... kami telah berusaha semaksimal mungkin, kamu harus kuat yaa...” Jodha mengangguk lemah “Aku mau lihat suamiku dulu, suster”, “Silahkan... Apa perlu aku temani?”, “Tidak usah, terima kasih, aku bisa sendiri”
Jodha segera berjalan kearah Jalal, dari mulut ruangan ICU yang sepi sudah terdengar suara monitor juga bunyi dari berbagai alat diruangan tersebut, tempat tidur Jalal ada diujung ruangan tersebut, begitu Jodha sampai disana, dilihatnya Jalal sedang tertidur lelap, Jodha segera menutup tirai yang membatasi setiap tempat tidur, dilihatnya didada suaminya tertempel berbagai macam kabel untuk mengetahui irama jantung, pernafasan SPO2, juga selang infus yang terpasang ditangannya plus masker oksigen yang menempel pada wajahnya.
Lama Jodha memandangi wajah Jalal, laki laki yang sangat dicintainya itu, diraihnya tangan Jalal, digenggamnya erat lalu diciuminya bertubi tubi tangan Jalal sambil menangis “Aku tahu saat ini kamu sedang tidak sadar tapi aku yakin kamu pasti bisa merasakan kehadiranku, mendengar suaraku, aku mohon bangunlah Jalal, kamu tidak boleh seperti ini, kamu tidak boleh meninggalkan aku, kamu harus hidup, demi aku demi anak kita... kamu tahu saat ini aku sudah hamil, Jalal... ini anakmu, anak kita, kamu harus hidup Jalal, kamu harus melihat anak kita, aku sangat mencintai kamu, Jalal... aku mohon jangan tinggalkan aku” kembali Jodha menangis, tanpa Jodha sadari diujung mata Jalal tiba tiba mengalir setetes air mata, Jodha hanya bisa berharap adanya keajaiban yang bisa membangunkan Jalal dari komanya.
Sekitar pukul 7 pagi, ibu Meinawati, ibu Hamida dan kak Salima datang menemui Jodha dirumah sakit, karena yang menjenguk hanya diperbolehkan dua orang saja di ruang ICU, ibu Meinawati, ibu Hamida dan kak Salima bergantian untuk melihat kondisi Jalal “Kenapa bisa begini, Jodha?” ibu Hamida tidak bisa menahan tangisnya “Dari keterangan saksi mata yang melihat, tadi malam saat hujan deras, ada sebuah truk yang remnya blong bu, truk itu menabrak motor Jalal persis ditikungan ketika Jalal berbelok mau kearah rumah sakit, semalam Jalal mau menjemput aku, tapi ternyata...” ibu Hamida memeluk Jodha erat, ibu mertua dan menantu itu saling menumpahkan kesedihan mereka satu sama lain “Kita berdoa saja, Jodha... semoga Jalal segera sembuh, dia bisa segera bangun, ibu yakin, dia pasti akan sembuh, semangat hidupnya sangat luar biasa, apalagi dia juga sangat mencintai kamu, dia pasti akan bangun untuk kamu, Jodha” Jodha hanya menganggukkan kepalanya “Aku berharap juga demikian, bu” tak lama kemudian ibu Meinawati dan kak Salima bergantian menjenguk Jalal.
Dari hari ke hari kondisi Jalal belum menunjukkan perubahan yang signifikan, belum ada respon sekecil apapun dari tubuhnya, Jalal terus berjuang antara hidup dan mati namun kondisinya terus menurun bahkan ketika hidungnya tak mampu bernafas dengan baik, sang dokter langsung memberikan ventilator serta menyumpal mulut Jalal dengan ETT (endp tracheal tube) untuk menjaga jalan nafasnya agar tetap lapang dan bisa bernafas dengan baik. Jodha tidak tahan melihat semua ini, alat alat itu sungguh menyiksa Jalal pikir Jodha, apalagi ketika dokter memasukan selang melalui hidungnya dengan NGT (naso gastrik tube) untuk memberikan makanan cair yang langsung masuk kedalam lambung, Jodha tidak tahan melihatnya, ingin rasanya Jodha menjerit membangunkan Jalal dan mencabut semua alat alat penunjang hidupnya itu dan kembali lagi seperti dulu tapi semua itu hanya impian Jodha, Jodha tidak tahu kapan Jalal akan sembuh dan sehat seperti sedia kala, setiap hari, setiap malam Jodha selalu berdoa pada Tuhan YME.
Hingga akhirnya satu minggu kemudian ketika kondisi Jalal tidak kunjung membaik, tiba tiba bibi Maham Anga memanggilnya “Jodha, aku perlu bicara denganmu, empat mata!” Jodha menuruti perintah bibi Maham Anga, tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk berdua ditaman belakang rumah sakit “Jodha, seperti kamu tahu saat ini kondisi Jalal semakin hari semakin menurun, kak Hamida bingung dia hanya bisa pasrah dengan kondisi Jalal, namun aku punya solusinya” Jodha mencoba mencari keseriusan diwajah bibi Maham Anga “Aku tidak akan menyakitinya, Jodha... bagaimanapun juga Jalal itu adalah keponakanku sendiri, aku sangat menyayanginya, aku ingin yang terbaik untuknya dan aku juga ingin membahagiakan kakak iparku, aku yakin kamu pasti juga ingin membuat ibu mertuamu bahagia bukan?” Jodha menganggukkan kepalanya “Lalu apa yang mau bibi lakukan untuk menyembuhkan, Jalal?” bibi Maham Anga tersenyum sinis kearah Jodha “Aku akan membawanya ke Singapura, aku yakin Jalal bisa segera sembuh begitu dirawat disana dan rencana ini sudah aku katakan ke kak Hamida, dia setuju bahkan seluruh keluarga besar kami semuanya setuju tapi...”
“Tapi apa, bibi?” Jodha merasa ada sesuatu yang buruk yang akan dia dengar “Tapi dengan satu syarat, Jodha!” sesaat Jodha terhenyak dengan ucapan bibi Maham Anga “Syarat apa, bibi?” bibi Maham Anga menatap Jodha dengan tatapan matanya yang tajam “Aku minta satu syarat dari kamu, Jodha... aku akan membawa Jalal ke Singapura, aku akan menyembuhkan dia dengan berbagai macam cara dan berapapun biayanya, semuanya akan aku lakukan agar keponakanku itu sembuh! tapi dengan satu syarat! kamu harus menjauhinya mulai sekarang juga! kamu harus berjanji padaku untuk tidak mendekati Jalal lagi, kamu harus membuang semua yang berhubungan dengan Jalal dan kamu tidak usah mendekati satupun anggota keluarga kami, tidak itu kak Hamida atau Salima atau yang lain dan tidak boleh ada satupun anggota keluargaku yang mengetahui tentang perjanjian ini! hanya aku dan kamu yang mengetahuinya, hanya kita berdua, Jodha” Jodha terdiam membisu sambil bergidik menatap kearah bibi Maham Anga yang sedang mengutarakan pendapatnya “Dan ingat Jodha, kalau kamu sampai melanggar perjanjian kita ini, nyawa Jalal yang jadi taruhannya! begitu kamu melanggar, aku tidak segan segan langsung menghentikan semua upayaku menyembuhkan Jalal dan semua itu menjadi tanggung jawabmu!”
Lama mereka terdiam dengan pikiran mereka masing masing, Jodha bagaikan makan buah simalakama, Jodha dalam sebuah dilema yang besar, dari dasar hatinya yang paling dalam Jodha ingin sekali Jalal segera sembuh akan tetapi untuk mewujudkan hal itu, Jodha harus mengorbankan cintanya pada Jalal, sementara kalau Jodha tetap disisi Jalal, Jodha tidak bisa memprediksi kapan Jalal akan sembuh, selain itu biaya yang dikeluarkan juga akan semakin banyak, Jodha benar benar bingung, hatinya kacau balau tidak karuan, ingin rasanya Jodha menjerit, Jodha tidak kuasa dengan semua ini, Jodha benar benar merasa tersudut pada sebuah kenyataan yang dialaminya.
“Kapan bibi akan membawa Jalal ke Singapura?” tiba tiba suara Jodha mulai terdengar, bibi Maham Anga segera menoleh “Secepatnya, Jodha... begitu kamu menyetujui perjanjian kita, kamu bisa menandatanginya dalam hitam diatas putih lalu kami segera membawa Jalal berobat ke Singapura, bagaimana? kamu sudah memutuskannya?” Jodha mengangguk lemah “Baiklah, aku bersedia bibi...” bibi Maham Anga langsung memandang Jodha dengan bola matanya yang berbinar binar “Bagus, Jodha! Sebuah keputusan yang tepat! besok kamu bisa menandatangani surat perjanjian kita dan kami akan segera membawa Jalal ke Singapura!” Jodha hanya bisa pasrah menuruti kemauan bibi Maham Anga, Jodha tahu kalau Jalal pasti tidak akan menyetujui hal ini tapi mau bagaimana lagi? ada sebuah harga yang mahal harus dia bayar agar Jalal bisa segera sembuh, Jodha telah mengorbankan semua cinta dan harga dirinya demi kesembuhan suaminya yang tercinta.
Beberapa hari kemudian, setelah Jalal dibawa ke Singapura, Jodha segera mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai perawat dirumah sakit tempatnya bekerja selama ini “Kenapa kamu harus mengundurkan diri, Jodha?” Rukayah tidak bisa mengerti akan keputusan Jodha “Aku harus mengurusi suamiku, Rukayah... aku tidak mungkin akan bisa bekerja seperti biasa sementara Jalal berada di Singapura, aku harus menemaninya, untuk itulah aku mengundurkan diri” Rukayah akhirnya bisa menerima keputusan Jodha “Baiklah kalau keputusanmu sudah bulat, aku harap Jalal bisa segera sembuh tapi jangan lupa kabari aku ya” Jodha menganggukkan kepalanya kemudian memeluk Rukayah erat “Aku akan sangat merindukanmu, Rukayah...” bisik Jodha lemah dengan mata berkaca kaca “Ada apa, Jodha? Kita pasti akan bertemu lagi, aku yakin itu, suatu saat nanti aku pasti akan mengunjungi kamu disana, ayooo... jangan bersedih” Jodha hanya bisa menahan sesak didadanya, disimpannya rapat rapat semua perjanjiannya dengan bibi Maham Anga, tidak ada seorangpun yang tahu kecuali ibu kandungnya sendiri.
“Jodha semuanya sudah siap?” Jodha menganggukkan kepalanya “Sudah ibu, semua barang barangku yang ada dirumah kontrakan sudah aku jual semua, aku hanya membawa baju baju saja”, “Kenapa kita harus pindah, kak? Kenapa ibu harus menjual rumah ini?” Shivani adik Jodha belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus pindah meninggalkan kota kelahirannya “Kita harus melakukannya, Shivani... kasihan kakakmu dan lagi kita harus tetap bersama sama dalam suka dan duka, bukan begitu Jodha?”, “Iya, ibu... Oh iya aku sudah bicara dengan pak Birbal untuk mengurus semua penjualan rumah ini, kalau ada apa apa nanti dia yang akan memberitahu kita, ibu”, “Baiklah kalau begitu, kamu sudah memberithau Moti kan, kalau hari ini kita pindah?”, “Sudah ibu, dia sudah menyiapkan semuanya, untuk sementara kita menumpang dirumah Moti dulu sambil mencari cari rumah untuk kita tinggali bersama disana”, “Ibu akan selalu mendukungmu, Jodha... Ibu tahu kalau semua ini berat untuk kamu tapi percayalah, nak... suatu saat nanti kamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu yakin itu!” Jodha menganggukkan kepalanya sambil tersenyum “Aamiin... Ayooo kita berangkat!”
Sejak hari itu Jodha, ibu Meinawati dan Shivani meninggalkan kota kelahiran mereka, kota yang penuh kenangan yang tidak akan Jodha lupakan selama lamanya karena dikota inilah cinta Jodha tertinggal disini........ TBC-->Chapter 12