Berbagai
macam pengandaian muncul di kepalanya. Apa Jodha masih sedih? Tidak mau
mengangkat telponnya sama sekali?... Atau apa telponnya dirampas di tengah
jalan? Lalu gadis itu...Tidak, semoga saja tidak.... Dia tidak berani
membayangkan sesuatu yang buruk menimpa gadis itu.... Apakah dia sedang sakit?
Sedang istirahat? Dan dia tidak mendengarkan suara ponselnya sama sekali?... Apakah Jodha sedang bersama dengan Varun?
Mengingat peristiwa kemarin mungkin saja mereka sedang berbicara ‘dengan tenang’
agar Varun tidak melakukan hal-hal aneh lainnya? ... Tidak mungkin, menurut
perkiraannya Varun masih berada di dalam penjara atas tuntutan menyebabkan
keonaran di tempat umum, sesuai laporannya kemarin.... Lalu dimana Jodha? Di
sudut mana Jodha bersembunyi?...
Jalal
mengusap wajahnya dengan putus asa, tubuhnya berkeringat di dalam ruangannya
yang ber-AC. Campuran antara kesal, cemas, gelisah, marah dan khawatir semua
dirasakannya bersamaan. Dan semua berpusat pada satu wanita. Jodha. Belum satu
bulan Jalal mengenal Jodha, tapi wanita itu sudah mulai menguasai pikiran dan
perasaannya. Wanita itu sudah menjadi pusat dunianya. Wanita itu juga sudah
mengaduk-aduk perasaannya. Kendali emosi yang dilatihnya bertahun-tahun, runtuh
di depan wanita yang bernama Jodha.
Dalam dua
minggu ini, rasanya dia lebih sering menyebut nama Jodha daripada menyebut
namanya sendiri. Ada senyuman setiap kali dia menyebut nama Jodha. Ada
kebahagiaan, getaran perasaan dan masa depan setiap kali dia mengingat Jodha.
Dia menjadi ketagihan untuk lebih sering bersama gadis itu, lebih sering
memandanginya, ingin selalu mendengar suaranya, dan punya lebih banyak
kesempatan untuk menggodanya.
Jalal
menyisir rambutnya dengan jari-jarinya karena frustasi. Bahkan pekerjaannya
yang berhubungan dengan kebijakan penting dan beresiko tinggi jarang yang bisa
membuatnya frustasi seperti ini. Tapi
gadis itu, perasaannya yang disebabkan keberadaan dan, dalam kasus ini ketidak
beradaan gadis itu, mampu menjungkir balikkan dunianya. Perasaan apa ini
namanya? Jalal belum mampu mendefinisikannya. Apakah ini hanya sekedar
kepedulian? Atau ketertarikan? Atau mungkinkah dia terobsesi pada gadis itu?
Masalahnya, semua itu dirasakannya.
Sejak pertama
kali dia mengenal Jodha, dia mulai melakukan hal-hal konyol untuk menarik
perhatian gadis itu. Beberapa hal yang dilakukannya, hanya berdasarkan dorongan
hati saja, tidak ada pertimbangan lain. Awalnya dia pikir itu rasa penasaran
saat berhadapan dengan seorang gadis yang bersikap jual mahal dan sok acuh.
Tapi dia makin tertantang meski gadis itu hampir terang-terangan menolaknya.
Dan kini dia merasa makin terikat dengan semua hal yang berhubungan dengan
Jodha.
Pekerjaannya
terbengkalai. Beberapa laporan yang masuk tidak disentuhnya. Jalal hanya
tertunduk di atas mejanya, matanya menatap layar ponsel yang diletakkan di
depannya, berharap ada keajaiban yang akan membuat ponselnya berdering.
Dan terjadi,
ponsel itu berdering. Benar-benar berdering. Bahkan Jalal juga tidak mempercayai
penglihatannya, karena itu dia hanya bengong
beberapa detik menatap bodoh layar ponsel yang berkedip-kedip itu. Lalu saat
kesadaraannya pulih, dan menyadari yang menelpon adalah orang yang
dirindukannya, dia langsung mengangkat ponselnya, dan pertanyaan pertamanya
adalah,
“Kau
dimana?!”
Lalu dia
hanya diam mendengarkan sambil mengerutkan dahinya. Dan sebelum dia mengantongi
ponselnya kembali, dia berkata singkat, “Aku akan kesana!”
Tiga puluh
menit perjalanan dari kantor menuju tempat Jodha terasa sangat lama. Berulang
kali dia harus menahan diri untuk tidak berkendara melebihi batas kecepatan.
Menjejakkan
kaki di lantai marmer Rumah Sakit, Jalal langsung berjalan cepat meliuk-liuk di
antara padatnya pengunjung dan pasien pada siang hari itu. Dia tahu tempat yang
ditujunya, dia hanya tidak sabar untuk sampai disana.
Berbelok di
sudut, Jalal langsung bisa melihat Jodha sedang terduduk lemas dengan punggung
agak membungkuk di salah satu bangku yang terletak di depan ruang ICU Mother
Theresa Hospital.
Langkah Jalal
melambat, mendekat ke arah Jodha tanpa bermaksud mengejutkannya. Dan seperti merasakan
kehadirannya... Jodha berdiri dan langsung memeluknya....
Ini sama sekali di luar dugaannya... Dia sama
sekali tidak mengantisipasi perlakuan yang sangat istimewa ini... meski dia tidak
menampik karena terlalu sering memimpikannya tiap malam...
Jodha
memeluknya seperti seseorang yang hampir tenggelam dan saat berhasil meraih
sebuah pelampung, dia akan berpegangan erat-erat... Jalal tersenyum, merasa
tersanjung jika Jodha menganggapnya sepenting itu... Perlahan tangannya
mengusap lembut punggung Jodha dengan gerakan naik turun. Dia berharap hal
sederhana yang dilakukannya bisa menenangkan perasaan gadis itu, apapun masalah
yang sedang dihadapinya.
“Sssst....
tenanglah... ceritakan padaku apa yang terjadi...”
Meski Jalal
menikmati kehangatan pelukan itu, tapi dia tidak boleh egois saat ini... Yang
dibutuhkan gadis itu bukan hanya sekedar pelukan. Jalal lalu memapahnya untuk duduk
kembali.
“Aku tidak
tahu Ibuku sakit, dia juga tidak mengeluh sama sekali, tapi itu memang
kebiasaannya....dia menyimpan semua pikirannya sendiri.... dan itu menggerogoti
kesehatannya... Tadi pagi dia pingsan... tubuhnya dingin sekali, aku juga tidak
bisa merasakan napasnya.... Aku takut sekali... aku belum siap kehilangan
dirinya....”
Jodha diam mengatur
napas... dia sudah menahan semuanya dari tadi... Tidak tahu kepada siapa dia
akan meminta bantuan. Satu-satunya kontak yang ada di ponselnya hanya Jalal, terpaksa, tapi juga
merasa lega, akhirnya dia putuskan untuk menghubungi pria itu.
“Sekarang
bagaimana keadaannya?”
“Aku tidak
tahu... Dokter belum memberitahu...Dan Ibuku masih di dalam...”
“Tenanglah,
Ibumu pasti baik-baik saja. Dia wanita yang kuat sepertimu... Dia pasti akan
sehat karena dia masih ingin melihat putrinya menikah, bukan?!”
Jodha
mengangguk sambil menahan senyum... Jalal selalu mengatakan hal-hal tepat yang
mampu membuatnya tersenyum...
Jodha kembali
terdiam, meski masih merasa takut tapi dia kini lebih tenang daripada tadi
sebelum Jalal datang. Kehadiran Jalal disampingnya memberikan efek yang luar
biasa pada pikiran dan perasaannya.
Jodha
merasakan kehangatan mengalir dalam tubuhnya saat Jalal diam-diam menggenggam
tangannya yang gemetar. Ini kedua kalinya, tanpa kata-kata, Jalal mampu
memberikan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Mungkin
karena tenaga yang sudah terkuras habis, begitu Jodha menyandarkan kepalanya
pada lekukan bahu Jalal, dia langsung tertidur. Ternyata disana adalah tempat
yang paling nyaman yang pernah diimpikannya. Terasa ringan saat memiliki
seseorang di samping kita sebagai tempat untuk bersandar sekali-kali,
menitipkan beban hidup dan mempercayakan rahasia yang tidak semua orang
mengetahuinya.
Entah berapa
lama Jodha tertidur, ada sesuatu dalam mimpinya yang membuatnya tiba-tiba terjaga.
Seingatnya tadi dia tertidur di bahu Jalal, saat bangun dia hanya menemukan jas
milik Jalal di bawah kepalanya.
Jodha berdiri
dan celingukan ke kanan dan kiri mencari Jalal. Untunglah tak berapa lama Jalal
muncul dan berjalan tenang ke arahnya.
“Kau dari mana?”
“Menemani
Ibumu... Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan... “
“Kenapa tidak
membangunkan aku?”
“Putri Tidur terlihat
paling cantik saat tertidur. Sayang sekali kalau harus kuganggu dengan sebuah
mantra ciuman...”
“Jangan
bercanda. Dimana Ibuku...?”
“Ke arah
sini...”
Jalal
menunjukkan jalan pada Jodha ke sebuah ruang perawatan VVIP yang berada di
sebelah kanan koridor panjang Rumah Sakit. Dia lalu membuka salah satu pintunya
untuk Jodha.
Gadis itu
langsung menghambur masuk menemui Ibunya yang sedang terbaring di ranjang
perawatan. Diperhatikannya wajah Ibunya sudah tidak terlihat pucat, napasnya
juga sudah normal tanpa bantuan selang pernapasan, meski tubuhnya masih
terlihat lemah.
Jodha menarik
napas lega karena sudah berhasil melalui saat paling menakutkan dalam hidupnya.
Ibu dan neneknya adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Dia bekerja dan
bertahan menghadapi segala masalah, semua demi mereka.
“Maafkan Ibu,
Jodha...”
“Aku yang
minta maaf, Bu... Aku tidak tahu Ibu sedang sakit... Seandainya aku tahu, aku
akan langsung mengantar Ibu ke dokter tadi malam...”
“Tidak,
Nak... Ibu sudah tidak apa-apa sekarang.”
“Jangan
menyimpan semuanya sendirian, Bu. Katakan saja semuanya padaku... Sebenarnya
,masalah apa yang Ibu pendam?”
“ Tidak ada,
Jodha. Sudah tidak ada masalah... Apa kau sudah mengucapkan terima kasih pada
Jalal? Dia menemani Ibu tadi? Kau beruntung punya teman sebaik dia...”
Jodha baru
sadar kalau Jalal masih berdiri di belakangnya. Saat namanya disebut, pria itu
maju dan berdiri di samping Jodha sambil tersenyum lembut.
“Sebaiknya
anda istirahat, Nyonya Aadhya.. Tadi kita sudah terlalu lama mengobrol...”
Saran Jalal mengingat kondisi Nyonya Aadhya yang belum pulih sepenuhnya.
“Kalian
mengobrol apa?” tanya Jodha penasaran
“Itu rahasia
antara kami berdua. Benar kan Nyonya?” balas Jalal dengan nada bersekongkol.
Jodha hanya
mengerutkan dahi menyadari munculnya persekutuan terselubung antara Ibunya
dengan Jalal.
Jalal dan
Ibunya saling melempar senyum misterius.
Jalal sudah
kembali ke kantor dan bersikeras akan datang lagi dua jam kemudian, sedangkan
Ibunya sudah kembali berisitirahat atas saran dokter demi kesembuhannya. Jodha menyempatkan
diri menelpon Neneknya di rumah, untuk memastikan keadaannya. Hal berikut yang
harus dilakukannya adalah menyelesaikan urusan administrasi Rumah Sakit.
Jodha
menggeleng tak percaya saat pihak Rumah Sakit memberitahu bahwa semua tagihan
pengobatan untuk Ibunya telah dilunasi, bahkan ada kelebihan deposit yang bisa
digunakan untuk biaya rawat jalan. Dia tahu siapa yang sudah melakukan
semuanya, masalahnya, harga dirinya tidak mengijinkannya untuk berhutang budi
pada orang lain.
Jodha kembali
ke kamar perawatan Ibunya, dan disana muncul lagi satu masalah dalam bentuk
Varun.
“Mau apa kau
disini?!” bentak Jodha saat melihat pria itu duduk di samping ranjang Ibunya.
Dilihatnya
Ibunya juga sudah bangun dan sepertinya mereka sempat mengobrol tadi.
“Jodha....”
Ibunya mencoba menengahi, dia tahu putrinya masih menyimpan kemarahan pada
mantan tunangannya itu.
Varun
berdiri, dia terlihat kusut, tapi dibandingkan kemarin, sepertinya dia sudah
bisa mengontrol kegilaan emosinya.
“Bagaimana
kau bisa keluar secepat ini?!”
“Ayahku
membayar jaminan... Aku bisa bebas tapi masih di bawah pengawasan ketat.... Aku
ingin menemuimu dan ingin minta maaf padamu... Saat aku pergi ke rumahmu,
Nenekmu memberitahu kalau Ibumu sakit... Jadi aku langsung kesini... Jodha....”
wajah Varun terlihat memelas, tapi Jodha tidak ingin tertipu lagi.
“Aku masih
bisa memintamu dengan baik-baik untuk cepat pergi dari sini. Jadi tolong...
sebelum aku berubah pikiran dan menelpon polisi...!” pinta Jodha dengan nada
tegas.
Varun tidak
mengatakan apa-apa, dia hanya mengangguk lemah dan mengucapkan salam pada
Nyonya Aadhya juga pada Jodha, yang tak dibalas oleh Jodha.
Jodha
berpindah ke dekat Ibunya dan merapikan letak selimut di kakinya.
“Varun bicara
apa saja, Bu?”
“Dia bilang
dia menyesal telah menyakiti perasaanmu...dia juga bilang dia masih
menyayangimu..”
“Dan Ibu
percaya?”
“Dia terlihat
bersungguh-sungguh saat mengatakannya...”
Jodha tidak
berkomentar lagi, dia memaksakan sebuah senyum di wajahnya dan meminta Ibunya
kembali berisitirahat. Sebenarnya dia ingin membantah, tapi dia takut akan
berimbas buruk pada kesehatan Ibunya. Karena itulah, dia putuskan untuk
mengalah dan memikirkan langkah selanjutnya nanti, setelah Ibunya benar-benar
sehat.
Nyonya Aadhya
dirawat total selama 3 hari. Dalam kurun waktu itu, Jalal sering menemani Jodha
berjaga di Rumah Sakit. Kehadiran Jalal di sampingnya mampu memberikan rasa
nyaman dan aman, tanpa Jodha sadari, dia juga sering merindukannya saat Jalal
tidak ada. Bahkan pria itu juga yang mengantar Ibunya pulang dari Rumah Sakit.
“Jodha... Ibu
ingin bicara sebentar..” ujar Ibunya begitu mereka sudah kembali di rumah.
“Tentang apa,
Bu?” tanya Jodha sambil lalu, dia sedang merapikan baju di lemari Ibunya.
“Tentang
perasaanmu....”
“Maksud Ibu?”
“Pria itu
juga butuh kepastian, sama seperti wanita... Kau pasti sulit percaya jika hanya
berdasar kata-kata, karena itu kau harus memberikan kesempatan padanya untuk
membuktikan kesungguhan dari semua yang dikatakannya... Jika di tengah
perjalanan, kau sakit hati, marah atau melakukan kesalahan, itu adalah bagian
dari prosesnya...”
“Menurut Ibu,
aku harus memaafkannya?!”
“Ya...
Kebencian tidak membawa kebaikan apapun..”
Apa Ibu sungguh-sungguh memintaku untuk
memaafkan semua kesalahan Varun? Benarkah? Apa aku tidak salah dengar? Dengan
kata lain Ibu ingin aku kembali bersama Varun?!... Sanggupkah aku melakukannya?
Demi kebaikan Ibuku?!
“Aku tidak
mau lagi disakiti seorang pria seperti ayah menyakiti keluarga ini, Bu..”
“Dia bukan
ayahmu. Tidak semua pria sama seperti ayahmu.. Harta belum tentu berpengaruh
sama pada semua orang.”
Jodha
memikirkan dalam-dalam ucapan Ibunya, sebelum dia meyakinkan keputusannya lagi.
“Ibu, apa
sungguh itu yang kau inginkan?!”
“Ibu yakin
kau akan bahagia dengannya, Jodha...”
“Baiklah,
Bu...Aku akan coba bicara dengannya lagi..”
Setelah
pembicaraan itu, Jodha lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Hanya
berjalan mondar-mandir dalam keheningan. Dia menimbang-nimbang berat dan
ringannya pilihan yang harus dijalaninya. Ibu
benar, Varun memang tidak seperti ayah, tapi kebohongan yang dilakukannya
sangat menyakitkan.. Di sisi lain, batalnya rencana pernikahanku dengannya
ternyata membuat Ibu sangat sedih bahkan sampai sakit. Dan aku tidak ingin
kejadian ini terulang lagi. Mungkin sudah saatnya aku mengalah, mengendurkan
sedikit prinsip hidupku, bertahan demi kebahagiaan Ibu.
Lalu
pikirannya melayang pada Jalal, pria yang beberapa hari terakhir selalu ada
untuknya. Pria impian sekaligus pria yang harus dijauhinya. Apalagi sekarang,
Ibunya ingin dia kembali pada Varun, berarti sudah saatnya dia harus memberikan
batasan yang tegas mengenai hubungan mereka. Jalal adalah pimpinannya, dan dia
adalah karyawannya. Kenapa rasanya sangat
berat?! Kenapa aku tidak rela hanya menganggap Jalal sebagai pimpinanku...
Kenapa juga hati ini rasanya hancur hanya dengan memikirkannya saja?! Kenapa
rasanya semua ini tidak tepat?! Apa yang terjadi denganku?! .... Aku sudah
sering menolak ajakan kencannya, tapi saat itu aku...masih berharap dia akan
mengajakku berkencan lagi.... Tapi sekarang... Bagaimana aku menahan diri saat
harus berpapasan dengannya tiap hari di kantor?
Dan pada saat
itu, ponselnya berdering, ralat ponsel milik Jalal berdering. Aku harus segera mengembalikan ponsel ini,
pikirnya.
Jodha
menjawabnya, “Ya... Kita harus bicara...”
Hanya itu
yang dia katakan sebelum menutup telponnya. Jalal akan datang menjemputnya 15
menit lagi. Mereka akan bicara di luar. Maka Jodha segera bersiap-siap berganti
pakaian dan membersihkan diri.
Saat masih sibuk
merapikan dirinya di dalam kamar, Jodha mendengar suara Jalal sudah ada di
ruang tamu. Rupanya Ibunya yang membukakan pintu. Tidak berapa lama terdengar
suara mereka berdua sedang mengobrol. Jodha mengerutkan kening. Tidak salah
lagi, mereka berdua mengobrol. Ibunya
bisa mengobrol, layaknya dua orang teman yang lama tidak bertemu. Setahu Jodha,
Ibunya tidak pernah mengobrol dengan Varun. Paling tidak, berbeda dengan
caranya mengobrol bersama Jalal.
Jodha keluar
dari kamar dan dilihatnya mereka berdua sama-sama tersenyum ke arahnya.
Ibunya
melambaikan tangan dengan bersemangat sekali saat Jodha berpamitan, seakan dia
bahagia sekali melihat mereka. Jodha sama sekali tidak mengerti jalan pikiran
Ibunya, bukankah Ibunya ingin dia kembali pada Varun?! Tapi kenapa dia suka
hati mengijinkan putrinya pergi bersama pria lain?!
Jodha tidak
bisa menduga Jalal akan membawanya kemana. Dia juga tidak peduli. Dia percaya
pada Jalal, itu saja. Selama perjalanan, Jodha tidak banyak bicara. Dalam
otaknya dia sibuk menyusun kata-kata yang harus disampaikan pada Jalal yang
tidak akan terlalu menyakitkan, setidaknya bagi seorang pria. Tapi dia tidak menemukan apapun. Sejujurnya,
dia belum pernah menolak cinta seorang pria, dia hanya terbiasa menjauh.
Tiba-tiba
Jodha merasa hentakan kecil saat mobil Jalal berhenti, ketika dia memutar
kepalanya barulah dia sadar mereka ada di mana. Ternyata Jalal membawanya ke bukit
di pinggir Danau Powai. Jalal pernah membawanya kesini beberapa hari yang lalu
saat dia menangisi pengkhianatan Varun.
Mereka keluar
dari mobil dan berjalan ke arah pinggir danau. Jalal terlihat cukup santai
berdiri sambil memandang ke arah kejauhan. Bertolak belakang dengan Jodha yang
berdiri gelisah di sampingnya.
“Akhirnya aku
bisa menikmati kencan denganmu, meski sejujurnya ini bukan kencan yang
kuinginkan. Saat kau bilang kau ingin bicara, aku tidak ingin kita bicara di
tempat umum yang ramai pengunjung....”
“Ini bukan
kencan.” Balas Jodha kaku.
“Benarkah?
Kalau begitu apa?”
Jodha menelan
ludah dengan susah payah, berusaha melegakan tenggorokannya yang seperti
tersumbat.
“Begini...
jujur saja aku tidak pandai berkata-kata, tapi aku harus tetap mengatakan
ini...”
“Ya..”
“Kita...
Aku... tidak bisa berhubungan lagi denganmu... dalam bentuk apapun...”
Jalal
terdiam, mencoba memahami maksud sesungguhnya dari kata-kata Jodha barusan.
“Maksudmu?!”
“Dengar.. aku
tidak tahu bagaimana cara mengatakannya dengan baik, tapi... aku tidak ingin
ada salah paham... intinya... aku tidak
akan pernah berkencan denganmu.... tidak akan pernah....!”
“Kenapa?!”
“Karena aku
akan kembali bersama Varun, jadi....”
“APA?!” Jalal
membelalak marah, jelas sekali dia tidak terima penolakan Jodha.
“Aku akan kembali
bersama Varun, demi kesehatan Ibuku, lagipula itu pilihan yang logis...”
“Kenapa kau
lebih memilih dia daripada AKU?!” tanya Jalal marah sambil menunjuk-nunjuk
dadanya sendiri.
“Karena
Ibuku...”
“Apa itu yang
kau inginkan?!” potong Jalal.
“Tidak peduli
apa yang kuinginkan. Aku tidak boleh hanya memikirkan kebaikanku sendiri..”
“Tapi apa itu
yang KAU inginkan...?!” tanya Jalal makin menekankan setiap kata dalam
pertanyaannya.
“Ya...” jawab
Jodha pelan. Sangat pelan bahkan mungkin hanya dirinya sendiri yang mendengar.
Kedua tangan
Jalal mengepal erat di samping tubuhnya. Dia marah, sangat marah. Kemarahan
yang lebih tertuju pada dirinya sendiri. Rahangnya mengeras dan dadanya naik
turun dengan cepat.
“Kenapa?
Kenapa kau tidak memilihku?” Jalal menatap lurus ke dalam mata Jodha, mencari
kebenaran di dalam jiwanya, “Apa karena aku belum pernah mengatakan ‘aku
mencintaimu’? Sekarang akan kukatakan ‘aku mencintaimu’... Aku berusaha
menahannya selama ini, karena aku tidak ingin kau merasa tertekan, aku ingin
kau merasa nyaman bersamaku... Aku tidak ingin kau merasa terpaksa...”
“Jalal... ini
bukan soal perasaan lagi... tapi ini tentang... kepantasan...” jawab Jodha
membuat Jalal makin tidak mengerti, “Aku dan Varun ada di level yang sama,
sedangkan kau jauh di atasku... Kau tidak akan tahu rasanya menahan malu karena
dosa yang dilakukan salah satu keluargamu. Kau tidak akan tahu bagaimana
rasanya berjuang untuk hidup, tanpa punya satupun orang yang bisa kau andalkan....”
“Jadi ini
semua tentang itu? Kau yang berhasil menjadi pejuang dalam kehidupanmu,
menganggap perjuangan orang lain tidak ada artinya dibandingkan dirimu.... Kau
pikir aku terlahir dengan semua kekayaan ini? Lalu kau menganggapku tidak tahu
arti perjuangan hidup? Baiklah, kuberitahu... Ayahku bunuh diri saat usiaku 10
tahun, Ibuku menyusul setahun kemudian karena dia tidak kuat menjalani hidup
dalam kemiskinan. Saat kau masih bermain dengan bonekamu, aku sudah mulai
bekerja paruh waktu sebagai buruh cuci kain... Saat kau hanya perlu memikirkan
tentang prestasimu di sekolah, aku sudah melakukan dua macam pekerjan paruh
waktu dalam sehari... Saat kau sibuk dengan ulang tahun ke 17 mu, aku sudah
bekerja penuh waktu di negara asing tanpa punya jaminan apa-apa....Saat kau
bermimpi tentang cinta pertamamu, yang bisa kupikirkan hanyalah makanan apa
yang bisa kubawa pulang untuk adik dan bibiku. Dan sekarang, saat aku meraih
hasil kerja kerasku, apa aku tidak boleh
menikmatinya? Apa aku harus melepas semuanya lalu menjadi orang miskin agar kau
mau menerima perasaanku?!... Tidak! Aku tidak akan melakukannya. Dengan
hartaku, aku bisa melakukan banyak hal untuk kebaikan....”
“Jalal, aku
tidak tahu kalau....” Jodha menutup mulutnya, tertegun dan tak percaya akan apa
yang baru saja didengarnya...
“Kau memang
tidak tahu, karena kau memang tidak pernah ingin tahu.... Kau hanya berpegangan
pada penilaian dangkalmu bahwa aku orang kaya yang hanya suka bermain-main,
tidak tahu arti bekerja keras atau menjaga harga diri... Kau bukan hanya
meremehkan aku, tapi kau merendahkan nilai-nilai hidupku karena kau menganggap
nilai hidupmu lah yang paling benar....”
Mata Jodha
berkaca-kaca, dia merasa bersalah pada Jalal. Kenapa jadi seperti ini? Andai
dia tahu perjuangan berat pria itu, dia tidak akan mengatakan hal yang menyinggung
perasaan seperti tadi. Andai saja dia bisa menarik kata-katanya, karena
sepertinya semua yang diucapkannya berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Selama ini
aku lah yang berusaha keras mengenal siapa dirimu dan apa kebiasaanmu. Aku
bahkan membayar orang untuk menyelidiki latar belakang keluargamu, bukan
sebagai alat untuk mengancammu seperti yang pernah kau tuduhkan padaku, tapi
agar aku tidak salah langkah saat mendekatimu. Aku memindahkan ruanganku di
lantai 3 agar aku bisa melihatmu setiap hari, aku mulai hapal kebiasaanmu minum
teh hijau setiap jam 2, saat kau mulai merasa ngantuk. Aku tahu kau tidak suka
menghiasi mejamu dengan bunga yang baru dipetik, tapi kau menyukai semua benda
yang bermotif bunga. Kau juga paling tidak suka kalau ada yang meminjam pena
kesayanganmu... Bagaimana? Aku sudah terlihat cukup bodoh di matamu? Melakukan
hal-hal konyol demi seorang wanita yang didekatinya, tapi wanita itu
terus-menerus membuang muka.... Tapi tenanglah, semua kegilaan ini sudah
berakhir. Akan kupenuhi keinginanmu. Kupastikan mulai detik ini aku tidak akan
merecokimu dengan hal-hal kecil. Aku tidak akan mengganggumu. Aku juga tidak
akan merayumu agar kau merubah keputusanmu....”
Setetes air
mata jatuh di wajah Jodha, diikuti tetes yang kedua, lalu tetes-tetes
berikutnya hingga kini wajahnya basah oleh air matanya sendiri. Tidak ada suara
yang mampu dikeluarkannya. Juga tidak ada isak. Tapi penyesalan itu ada, dia
menyesal atas keputusannya... dan kini dia akan kehilangan seseorang yang telah
melakukan banyak hal untuknya tanpa pernah dia hargai. Tidak... harusnya tidak
seperti ini kejadiannya.
“Satu
pertanyaan terakhir... andai kau bertemu denganku lebih dulu, apa kau akan
memilihku?... Sepertinya tidak, ini semua karena aku hanya pria kaya bodoh
tanpa tujuan hidup yang jelas, bukan begitu?!” kata-kata Jalal terdengar sangat
getir di telinga Jodha, dan dia tidak tahan mendengarnya lagi. Air mata makin
deras menuruni wajahnya, membuat pandangannya kabur. Wajah Jalal yang terluka
hanya tampak samar-samar di pelupuk matanya. Ya Tuhan, apa yang sudah
kulakukan?!
Jodha ingin
minta maaf, tapi dia bahkan lupa cara untuk mengejanya karena begitu penuhnya
isi hati dan pikirannya dengan penyesalan.
Pembicaraan
itu berakhir disana. Jalal masuk ke dalam mobil. Dia meninggalkan Jodha yang
masih berdiri di luar. Jodha berharap dia masih bisa memperbaiki kekacauan yang
baru dibuatnya. Tapi sepertinya Jalal sudah tidak mau bicara lagi. Kesempatan
itu sudah tertutup. Terpaksa Jodha juga masuk ke dalam mobil, dan...pulang.
Entah
bagaimana caranya mereka melewati perjalanan pulang yang panjang dan sepi. Saat
tiba di apartemennya, Jalal hanya menitipkan salam untuk Ibunya, dan langsung
pergi. Sekali lagi meninggalkan Jodha dalam kekosongan. Seperti lubang menganga
yang akan terus menghisapnya dalam kesedihan.
Nyonya Aadhya
menyambut Jodha yang pulang dengan langkah gontai dengan wajah berseri-seri.
“Jodha,
bagaimana? Apa Jalal senang? Kenapa dia tidak ikut masuk? Apa kau tidak
mengundangnya ke sini?” rentetan pertanyaan Ibunya makin membingungkan Jodha.
“Kenapa dia
harus senang, Bu?” tanya Jodha lemah.
“Bukankah
kalian tadi membicarakan tentang perasaan kalian? Kau tahu, Jalal itu pria yang
sangat baik... Dia bahkan meminta ijin pada Ibu untuk menyukaimu, kau bisa
bayangkan itu? Biasanya anak muda selalu bertingkah semaunya sendiri, tapi dia
begitu menghormatimu dan ingin membangun kepercayaan antara kita bertiga.”
“Meminta
ijin? Jadi maksud Ibu, pria yang...”
“Iya, Jodha.
Jalal adalah pria yang tepat untukmu. Dia sangat bertanggung jawab. Ibu tidak
melihat ada kepura-puraan dalam sikapnya. Dia selalu terlihat
bersungguh-sungguh terutama saat menceritakan tentang dirimu.”
“Lalu yang
Ibu katakan tentang kesalahan...”
“Jalal
menceritakan tentang perkenalan awal kalian saat dia belum mengatakan siapa
dirinya yang sebenarnya. Dia bilang dia merasa bersalah sampai saat ini karena
membohongimu... Dia khawatir kau masih marah gara-gara itu... Jadi, bagaimana
Jodha? Apa kalian bersenang-senang tadi?”
Jodha
terduduk lunglai di sofa, tubuhnya terasa sangat lemas bahkan otaknya pun ikut
tumpul. Pandangannya kosong. Masih adakah
yang lebih buruk dari ini?
“Oh Ibu...aku
sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku...”
****************