>
Jalal senyum-senyum sendiri sambil menatap layar
monitor di ruang kerjanya. Pria kesepian?! Enak saja.. Kaku, kolot dan tidak
bisa menikmati hidup?! Dia menggambarkan aku seperti pria tua berumur 70 tahun
saja. Tunggu sampai kau tahu seperti apa diriku...
Jalal meregangkan otot-otot lengannya yang kaku
gara-gara menghajar tiga preman yang coba mengganggu gadis itu semalam. Rasa
kaku dan nyeri di beberapa bagian yang baru muncul tadi pagi. Untung saja hanya
nyeri yang dirasakan tubuhnya, tidak ada luka serius lain mengingat preman yang
dihajarnya membawa pisau. Dia bukanlah seorang hero dalam sebuah drama yang
akan kebal pada semua senjata dan tidak akan merasa sakit meski mengalami luka
yang berdarah-darah. Ini adalah kehidupan nyata di jalanan Mumbay.
Kemudian Jalal menyandarkan punggungnya ke belakang, mengendurkan
ketegangan yang dirasakannya sejak semalam. Perintah mengumpulkan semua staf
lantai 3 memang berasal dari dirinya. Ide itu muncul semalam setelah dia
mengantarkan Jodha pulang, saat dia duduk termenung dalam mobilnya di luar
apartemen gadis itu sambil sesekali memandang ke atas ke arah jendela kamarnya.
Dia mencemaskan kondisi psikis Jodha setelah mengalami kejadian buruk tadi.
Apakah dia akan bisa tidur nyenyak malam ini? Tidak akan mimpi buruk? Tidak
akan gemetar ketakutan terus-menerus?...Lalu ide itu muncul.. Dengan dalih
mengumpulkan staf lantai 3, pastinya termasuk Jodha, dia akan bisa mengalihkan
pikiran gadis itu dari peristiwa traumatis yang dialaminya. Dia juga punya
alasan untuk menjaganya dan mengawasinya dalam lingkungan yang dia kenal. Entah
kenapa muncul naluri untuk melindungi setiap kali dia mengingat Jodha.
Untung saja semalam dia menemukan Jodha. Semua bermula
dari saat dia keluar dari kantor hampir pukul 9 malam karena pekerjaannya baru
saja selesai. Benar kata adiknya, dia butuh seseorang yang membuatnya rindu
untuk segera pulang dan memberinya alasan untuk lebih menikmati waktunya di
rumah.
Jalanan cukup sepi di beberapa tempat. Tempat yang
masih ramai adalah gedung bioskop dan pusat perbelanjaan. Berhenti di persimpangan
dekat Raghuleela Mall, dia melihat sebuah sepeda motor, merasa seperti pernah
dilihatnya di suatu tempat, menyerobot jalurnya dan berhenti tepat di depan
mobilnya. Dia memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas wajah pengendara
motor itu. Tepat saat orang itu menoleh ke belakang untuk berbicara dengan
wanita yang diboncengnya, Jalal langsung teringat orang itu adalah pacar Jodha.
Tapi wanita yang bersamanya bukan Jodha. Lalu dimana Jodha?...
Sepuluh menit kemudian, dia melewati persimpangan
Ghandi Boulevard, tidak sengaja ujung matanya menangkap gerak-gerik aneh yang
menarik perhatiannya di salah satu sudut. Dia gelindingkan mobilnya
pelan-pelan. Betapa terkejutnya saat dia melihat Jodha, yang berdiri di sana, tubuhnya
hampir tidak kelihatan karena dikelilingi oleh tiga pria bertubuh besar dengan
gelagat yang mencurigakan. Ada dorongan dari dalam dirinya yang mengharuskannya
melakukan sesuatu untuk gadis itu. Lalu semuanya terjadi....
Berbeda dengan Jalal yang memulai harinya sesuai
dengan rencananya, Jodha tidak memiliki rencana apapun hari Sabtu itu. Jodha
menggeliat malas di atas tempat tidurnya, jarum jam baru menunjukkan pukul 5
pagi. Semalaman Jodha tertidur sangat nyenyak, seperti tidak memiliki beban
apapun.
Awalnya Jodha berencana menikmati pagi akhir pekan ini
untuk bersantai dan menenangkan pikirannya. Kejadian menegangkan semalam tidak
meninggalkan bekas apapun pada keseimbangan metalnya, padahal normalnya seorang
wanita yang mengalami kejadian traumatis seperti itu akan gemetar ketakutan
atau menjadi paranoid. Tapi dia tidak. Apakah itu karena sang penolong itu?
Tapi sepertinya mulai sekarang dia harus menghentikan
pikiran-pikiran apapun yang berkaitan dengan pria misterius itu. Jodha teringat
percakapan dengan Ibunya semalam saat dia baru masuk rumah.
“Jodha, bukankah di telepon tadi kau bilang pergi
nonton bersama Varun. Lalu kenapa kau pulang dengan pria lain?” cecar Ibunya.
“Iya Bu, tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi dia
yang mengantarku pulang.”
“Siapa pria itu? Temanmu? Apa Varun juga mengenalnya?”
Jodha gelagapan, bingung harus menjelaskan seperti apa
pada Ibunya. Jika dia menceritakan insiden yang dialaminya, tak ayal Ibunya
pasti makin cemas, tapi hanya itu satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan
dan kecurigaan Ibunya.
“Eh...pria itu hanya kebetulan menolongku di jalan.
Aku tidak tahu banyak tentang dia, Varun juga tidak mengenalnya. Tapi...”
“Dan kau percaya begitu saja padanya?...Jodha, kau
harus ingat kalau kau sudah terikat, dalam aturan moral kita, seorang wanita
yang sudah terikat tidak selayaknya pergi bersama pria lain. Jangan sampai para
tetangga menggunjingkanmu, apalagi jangan sampai Varun hilang kepercayaannya
padamu. Kau harus menjaga kehormatanmu.”
Jodha tertunduk mendengar semua perkataan Ibunya.
Memang benar semua yang dikatakannya, tidak pantas Jodha percaya begitu saja
pada seorang pria yang baru dikenalnya, yang bahkan tidak dia ketahui namanya.
Lalu semua rencananya untuk menenangkan diri di rumah
buyar saat dia menerima memo broadcast message dari pimpinan HRD yang menginstruksikan
semua staf finance, accounting dan tax masuk kantor hari Sabtu ini karena ada
briefing dadakan.
Dan disinilah dia, berbalas pesan YM dengan seseorang
yang sama-sama harus meninggalkan kehangatan rumah untuk bekerja. Atas
permintaan Chief Finance yang baru, dia akan memindahkan ruang kerjanya ke
lantai 3 sejak hari Senin besok. Ditambah lagi ada beberapa perubahan tata
letak meja staf di lantai itu. Dan yang paling aneh menurut Jodha adalah
sekarang mejanya dipindah hingga persis terletak di depan ruangan Chief itu.
Ruangan yang akan dipakai oleh Chief Finance
sebelumnya adalah meeting room untuk staf finance dan accounting. Kini ruangan
itu disulap menjadi sebuah ruangan kerja lengkap dengan meja kerja besar dan
sofa untuk menerima tamu penting perusahaan. Beberapa orang maintenance dan
buruh lepas bekerja cepat karena mereka harus selesai mendesign ulang ruangan
itu hari ini dan besok.
Seluruh hiruk-pikuk perombakan itu selesai menjelang
sore. Dengan perasaan lelah dan sedikit kesal karena harus merelakan akhir
pekannya di kantor, Jodha bersama Sneyka akhirnya pulang. Turun dari lantai 3,
mereka menuju ke lobi gedung.
Sampai di lobi gedung, langkah Jodha terhenti. Ada
satu pemandangan di depannya yang cukup mengusik hatinya tanpa dia tahu alasannya
kenapa. Disana, dua puluh langkah tepat di seberangnya, dia melihat pria itu,
pria yang dua malam berturut-turut menjadi penyelamatnya dan telah mencuri
kedamaian mimpi-mimpinya, sedang berdiri berhadapan dengan seorang gadis cantik
yang jauh lebih muda darinya. Dan yang paling mengusiknya adalah pria itu
tersenyum, dengan sangat manisnya, karena sesuatu yang dikatakan gadis itu.
“Jodha, kau melihatnya kan?! Pria itu, kau masih
ingat?! Pria yang menggodamu di dalam lift. Jadi benar, dia juga bekerja di
gedung ini...” Sneyka mencengkeram lengan Jodha dan mengguncangnya seirama
dengan kata-katanya yang penuh semangat saat melihat pria yang sama yang
dilihat Jodha.
Hanya saja dia tidak tahu perasaan Jodha campur aduk
saat melihat pria itu disana. Ditambah lagi dia tidak sedang sendiri.
Sneyka menarik lengan Jodha tanpa menyadari perubahan
raut mukanya. Ditariknya tubuh Jodha hingga tiba tepat di hadapan pria itu.
Tepat saat pria itu menoleh ke arah Jodha.
“Jodha, bagaimana keadaanmu? Semalam kau bisa tidur?
Kau tidak trauma gara-gara kejadian semalam, kan?” tanya pria itu pada Jodha
yang belum mengedipkan matanya sama sekali.
Pertanyaan itu sukses membuat Sneyka, yang berdiri di
sampingnya, membelalak tak percaya dengan mulut terbuka lebar.
“Jodha, kau sudah kenal dia? Apa yang terjadi
semalam?” jika Sneyka bermaksud membisikkan pertanyaan itu, percuma saja,
seluruh lantai lobi bisa mendengarnya.
Guncangan Sneyka pada lengan Jodha cukup keras,
berhasil mengalihkan pandangannya yang terlalu lama terpaku pada pria di
depannya ini.
“Semalam tidak terjadi apa-apa, hanya saja, Tuan ini
sudah menolongku. Sayangnya aku belum tahu namanya.....” Jawab Jodha untuk
pertanyaan temannya itu, tapi matanya tidak beralih dari menatap pria di
depannya.
“Sebentar lagi kita akan sering bekerja bersama. Dan
saat itu kau akan tahu namaku...” jawab pria itu berteka-teki.
Saat mata Jodha tidak sengaja melirik ke arah samping,
dia perhatikan tangan gadis muda pendamping pria itu menggamit lengan bawahnya.
Dan Jodha tidak tahan berlama-lama melihatnya. Setelah mengucapkan permisi
dengan sopan, ganti dia menarik lengan Sneyka pergi dari tempat itu dengan
langkah-langkah lebar.
Jalal memperhatikan punggung Jodha yang makin menjauh.
Perasaannya lega tanpa bisa dijelaskan melihat Jodha tidak terpengaruh apapun
berkaitan dengan insiden semalam.
“Kakak, dia siapa? Kenapa dia memandangku seperti itu?”
tanya Monita membuyarkan lamunannya.
“Kau akan segera mengenalnya.” Jawabnya pendek
“Apa dia alasan kau senyum-senyum tanpa alasan tiga
malam kemarin?” selidik adiknya.
“Hmmm...” jawabnya tidak jelas.
“Kau ingin kakakmu ini lebih betah di rumah kan? Tidak
lama lagi keinginanmu akan terwujud...”
“Benarkah?!” tanya Monita tak percaya.
“Jadi, aku harus bergerak cepat kan?! Langkah pertama
aku harus mengejarnya. Kau tidak marah kan kalau harus naik taksi?” tanya Jalal
tanpa menunggu jawaban. Dia memesan taksi untuk adiknya lalu melesat pergi mengejar
langkah Jodha.
Beruntung mobilnya diparkir di depan gedung, membuat
Jalal tidak perlu bersusah payah turun ke basement. Dia berhasil menyusul Jodha
yang sedang berdiri di halte bus. Jalal turun dan mendekati Jodha.
“Ayo kuantar pulang.” Ajaknya dengan nada tegas tak
mau dibantah.
Jalal membukakan pintu mobilnya untuk Jodha.
Gadis itu celingak-celinguk melihat ke bagian dalam
mobil, seperti mencari sesuatu atau seseorang.
“Kau mencari siapa?”
Pertanyaannya mengejutkan gadis itu, yang langsung
menoleh ke arahnya dengan gugup.
“Tidak mencari siapa-siapa...”
“Kalau gadis yang bersamaku tadi..”
“Sudah, kau tidak perlu menjelaskan apa-apa.” potong
Jodha sambil menggerakkan tangannya memberi isyarat agar Jalal berhenti bicara,
“Dan juga berhentilah bersikap baik padaku. Aku ini sudah bertunangan....Kau
jangan dekat-dekat padaku lagi. Aku tidak ingin tunanganku salah paham. Lagipula
aku tidak mengenalmu...”
“Namaku...”
“Jangan! Biarkan saja tetap seperti ini. Terima kasih
karena sudah beberapa kali menolongku. Cukup sampai di sini saja. Kita hanyalah
dua orang yang kebetulan bertemu di jalan.” Jodha mengatakannya dengan pelan,
seakan dia sendiri merasa berat mengungkapkannya. Kalau bukan karena ingat
peringatan Ibunya semalam, dia pasti masih penasaran ingin mengenal pria itu
lebih dekat.
Jalal tidak berkata apa-apa. Dia juga tidak berusaha
menahan gadis itu yang menghentikan sebuah bus dan langsung naik.
Diperhatikannya terus bus yang membawa gadis itu pergi hingga lenyap dari
pandangan.
Minggu siang yang cukup berangin di Mumbay, Jodha
menemani Ibunya ke pusat perbelanjaan. Pada hari-hari biasanya, dia selalu
menikmati aktivitas bersama seperti ini, tapi untuk kali ini dia tidak
bersemangat sama sekali. Langkah-langkahnya dipaksakan hanya untuk mengekor di
belakang Ibunya. Apa yang membuatnya tidak punya gairah pada hari Minggu ini,
Jodha sendiri juga tidak tahu.
Beberapa kali Ibunya memergokinya sedang melamun.
Berkali-kali itu pula Jodha harus memikirkan macam-macam alasan agar Ibunya
tidak terus-menerus mencecarnya dengan pertanyaan yang sama, ‘Apakah kau baik-baik saja?’ pertanyaan
itulah yang dilontarkan oleh Ibunya tiap kali dia melihat Jodha menatap kosong
ke suatu tempat.
Andai dia mau jujur pada dirinya sendiri, maka Jodha sudah
mememiliki jawaban dari kegamangan hatinya. Sudah berulang kali dia berusaha
menghalau wajah pria itu dari pikirannya, tapi semakin keras dia berusaha,
sosok itu makin jelas muncul dalam benaknya tanpa pernah dia minta. Rasanya
lebih mudah memikirkannya daripada mencoba untuk tidak memikirkannya. Wajah
pria yang terlarang untuk dia lamunkan di saat dia sudah terikat rencana
perikahan dengan pria lainnya.
Apakah rasa penasaran yang menguasai dirinya? Disebabkan
ketidak tahuannya akan siapa pria itu sebenarnya, latar belakangnya ataupun
niat pria itu padanya. Ataukah pesona pria itu yang tidak mampu ditolaknya.
Memang aneh, sebelumnya Jodha tidak pernah tertarik dengan tipe pria seperti
dia. Pria dengan penampilan maskulin dan memiliki kepribadian menonjol yang
bisa dipastikan selalu menjadi pusat perhatian di antara para wanita. Sebelum
mengenalnya pun Jodha akan mundur teratur karena dia yakin tidak bisa bersaing
dengan wanita-wanita cantik yang lain demi mendapatkan pria seperti itu. Namun
berbeda dengan dia.
Sikap tenang yang ditunjukkannya saat mengalahkan
preman-preman jalanan itu, mengirimkan rasa aman dan terlindungi pada diri
Jodha. Di samping pria itu dia bisa merasa kuat dan berani menghadapi apapun,
padahal saat itu dia sedang berada pada situasi yang mencekam. Sense of humour-nya
bukanlah sikap yang dibuat-buat untuk merayu seorang gadis, tapi pembawaan yang
sudah melekat pada dirinya. Entah kenapa dia merasa klop dengan semua itu.
Padahal itulah yang hasrusnya dirasakannya bersama Varun, tapi tidak.
Varun belum pernah membuatnya tersentuh ataupun
berdebar bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Jodha sendiri juga heran kenapa
dia jadi lebih sering membanding-bandingkan Varun dengan pria itu?
Jodha menghela napas dengan berat. Entah sudah berapa
lama waktu yang dilewatinya untuk melamun. Dia teringat Ibunya. Diteolehkannya
kepala ke kana dan kiri mencari keberadaan Ibunya di antara rak-rak dan lemari
bahan makanan di supermarket itu. Entah bagaimana secara tidak sengaja
pandangannya jatuh pada sepasang pria dan wanita yang berdiri saling memeluk
pinggang di depan etalase sebuah outlet perhiasan 20 m dari tempatnya berdiri.
Perutnya seperti ditonjok dengan keras. Bagaimana tidak? Pria itu Varun... Dan
siapa wanita di sebelahnya?...
Kaki Jodha bergerak dengan sendirinya hendak mengikuti
ke mana Varun pergi, tapi panggilan Ibunya dari balik punggungnya
menahannya. Terpaksa Jodha menoleh dan
menghampiri Ibunya membawa kantong-kantong belanja. Saat dia menoleh lagi,
Varun sudah tidak terlihat disana. Dengan setengah berlari Jodha menuju ke
tempat dimana tadi Varun terlihat, tapi meski dia sudah melihat ke segala
penjuru di lantai itu, Varun tetap tidak terlihat dimanapun.
‘Apa tadi aku
salah lihat?...Tidak mungkin! Aku yakin itu Varun...’ Jodha berperang dengan pikirannya sendiri. Lalu dia
mencoba menghubungi Varun dengan ponselnya, tapi tidak dijawab. Dicobanya lagi
beberapa kali, hasilnya sama saja.
Jodha mengerutkan keningnya, berpikir keras,
menduga-duga apa yang disembunyikan Varun darinya. ‘Apa dia berselingkuh dariku?’
“Jodha, kau dari mana saja?” suara Ibunya
mengejutkannya.
“Ibu...aku tadi ...melihat seseorang yang kukenal.
Saat berusaha kukejar, dia sudah tidak terlihat lagi.” Jelas Jodha di antara
napasnya yang berat.
“Bukan pria yang pernah mengantamu pulang itu kan?”
selidik Ibunya.
“Bukan Bu...” jawab Jodha lemah, ‘Andai saja memang
dia... Entah apa aku masih akan bertemu dia lagi...’
Terlihat dari wajahnya yang berkerut, Ibunya seperti
masih menyimpan rasa penasaran, tapi tidak diutarakannya. Alih-alih dia
mengajak Jodha pulang. Ada perasaan yakin dalam hatinya bahwa putri
satu-satunya ini sedang memiliki masalah berat dalam hatinya.
Sesampainya di
rumah, setelah membersihkan diri, Jodha mengunci dirinya dalam kamar. Kembali
dia mencoba menghubungi Varun. Dia juga mengirimkan lebih dari sepuluh pesan,
tapi tidak satupun yang direspon. ‘Sepertinya
Varun sengaja mengabaikanku...’ tuduhnya dalam hati, ‘Aku tidak bisa mendiamkannya saja. Aku tidak akan mengalah terus.
Sudah cukup buruk dia menelantarkan aku di jalan setelah menonton bioskop
kemarin. Besok...besok..dia harus menjelaskan semuanya padaku...’
Keesokan paginya, suasana hatinya masih buruk.
Berpengaruh juga pada penampilannya.Rambutnya hanya disanggul asal-asalan di
atas tengkuknya, wajahnya juga hanya disapu bedak tipis dan lipstick warna
nude. Setelan kerjanya dipilih tanpa pikir panjang, blus lengan pendek warna
hitam dengan rok A line juga berwarna hitam. Tampilannya lebih mirip untuk
menghadiri acara pemakaman.
Baru lima detik dia menghempaskan tubuhnya di kursi
kerjanya, pimpinan HRD sudah datang dan memberikan pengumuman pada seluruh staf
lantai 3 untuk berdiri dan berkumpul untuk menyambut dan berkenalan dengan
Chief Finance yang baru. Dengan tubuh yang teras berat, Jodha bangkit dan ikut
berbaur dalam barisan penyambutan.
Berbeda dengan dirinya yang memasang wajah ditekuk
malas, teman kerja di sampingnya justru sangat bersemangat.
“Aku sudah tidak sabar melihat wajah Chief yang baru.
Kalau dia setampan rumornya, aku bersedia melakukan apa saja untuknya...” kata
Sneyka sambil terkikik sendiri.
“Kuharap kita
tidak berdiri terlalu lama. Ini konyol. Apa kita sedang menunggu rombongan
pawai lewat?” Jodha mencibirnya.
Sepertinya saat dia berbicara, dia tidak memperhatikan
ada yang datang. Karena tiba-tiba saja Sneyka terpekik kegirangan,
“Jodha..Jodha lihat! Ternyata dia! Aku sudah menduga dia bukan orang biasa!
Oooww tampannya..”
Jodha menoleh dengan bingung. Dan... memang DIA...
“Semuanya perkenalkan. Ini Tuan Jalal Rashed. Chief
Finance Golden Road.” Ucap pimpinan HRD memperkenalkan pria itu.
‘JALAL
RASHED?!!!’ Oh...Tidaaak...’ Jodha
mengerutkan wajahnya dengan lucu mengetahui fakta terbaru yang baru
diterimanya.
Dia melihat pria itu menyalami satu per satu staf yang
menyambutnya. Jodha menundukkan wajahnya dalam-dalam dan perlahan beringsut
lebih ke belakang, berharap pria itu tidak melihatnya. Lalu...
BRAAKK... PYAARR...
Mustahil ada yang tidak mendengar kegaduhan itu.
Spontan saja semua orang sudah mengerubunginya. Jodha jatuh terduduk setelah
tersandung kabel dan tangannya menyenggol sebuah vas bunga di atas meja. Semua
itu salahnya sendiri yang mengendap-endap hendak bersembunyi. Sekarang justru
dia yang menjadi tontonan.
Sebuah tangan terulur untuk menolongnya. Tanpa pikir
panjang dia gapai tangan itu sebagai penyangganya untuk berdiri. Di
tengah-tengah usahanya, secara otomatis dia menoleh untuk melihat orang yang
menolongnya, “Terima ka....” Dia terpaku. Mulutnya terbuka namun belum
menyelesaikan kata-katanya.
“Kau tidak apa-apa Jodha?”
“Tidak apa-apa, Sir...”
“Panggil saja Jalal.” Jawab pria itu tersenyum tanpa
canggung sedikit pun.
********