Jodha menatap bodoh layar monitornya yang terus
berkedip-kedip selama satu jam terakhir. Matanya terbuka lebar, tapi otaknya
mengembara entah kemana. Berkas-berkas pekerjaannya tersusun rapi di atas mejanya, bukan karena
sudah selasai dikerjakan tapi karena belum disentuhnya sama sekali sejak jam
pertama dia masuk kantor hari ini. Kebisingan di sekitarnya tidak mampu
menerobos masuk alam sadarnya. Dia hanya duduk manis dengan sebelah tangan
menyangga dagunya dan tangan satunya memain-mainkan pena di antara jemarinya.
Sebenarnya dia sudah tidak ingin mengingatnya, tapi
otaknya dengan keras kepala memutar kembali dan kembali semua adegan yang
terjadi semalam, lebih tepatnya insiden tak terduganya dengan seorang pria tak
dikenal yang, entah kenapa, begitu berkesan bagi dirinya. Jodha bahkan bisa
mengingat setiap obrolan, semua perlakuannya, setiap menit yang dilaluinya,
setiap tarikan napasnya bahkan aromanya, seakan pria itu masih ada di dekatnya
saat ini. Bahkan sejak semalam, dia sulit tidur karena pikirannya penuh dengan
ingatannya akan pria itu. Otaknya sudah seperti pita kaset rusak yang hanya
memainkan lagu yang sama berulang kali. Jangankan saat memejamkan mata, saat
matanya masih terbuka yang terlintas selalu saja hal yang sama.
Pagi ini lebih parah lagi, rasa penasarannya akan
sosok pria itu hampir membuatnya mengabaikan semua ajaran moral dan susila
dalam dirinya. Pertemuan pertama mereka di dalam elevator memunculkan dugaan
bahwa pria itu juga bekerja di Golden Building. Andai saja dia tidak punya
pengendalian diri yang kuat, maka Jodha akan berkeliling di setiap lantai
gedung ini untuk mencari pria itu.
Lalu akal sehatnya bertanya pada hatinya, ‘Siapa pria itu hingga mampu menjungkir
balikkan duniamu padahal kau sudah bertunangan?!’...
Plakk...serasa ditampar keras saat dia ingat bahwa dia
wanita yang sudah terikat. Sungguh tidak pantas seorang wanita memikirkan pria
lain selain tunangannya, itu dikategorikan sebagai perselingkuhan, meski tidak
ada hubungan romatis yang terjalin di antara mereka.
Begitu pikirannya mendapatkan pencerahan, Jodha segera
berkonsentrasi kembali pada pekerjaannya. Sudah mendekati akhir bulan, semua
klaim pengeluaran harus sudah diklarifikasi dan masuk akun pembukuan
perusahaan. Jodha hanya punya waktu dua hari untuk merekap laporannya, meski
posisi managernya sedang dinonaktifkan, dia tetap harus menyusun laporannya dan
diserahkan langsung pada Chief Finance. Itu memo terbaru perusahaan yang
diumumkan sesaat lalu.
Target Jodha laporannya harus sudah selesai sebelum
dua hari. Tidak akan lagi dia ijinkan dirinya memikirkan hal yang tidak pantas
dia pikirkan. Meski sudah berkali-kali meyakinkan dirinya, tapi ingatan tentang
pria itu sesekali menyelinap ke dalam pikirannya. Bahkan hal itu berlanjut saat
dia makan siang bersama Varun, tunangannya.
Siang itu, Varun mengajak Jodha makan siang di sebuah
restoran cepat saji di Mumbay.
“Jodha...Kau mendengarku kan?” tanya Varun mengejutkan
Jodha yang lagi-lagi melamun.
“Eh...tentu saja...” jawabnya dengan senyum sedikit dipaksakan.
“Apa kau sedang memikirkan sesuatu?”
“Tidak..” jawabnya berbohong.
Mana mungkin dia menceritakan pada Varun kalau dia
sedang melamunkan seorang pria dan ciuman ‘hampir saja tapi ternyata bukan’ nya
semalam.
“Apa kau memikirkan tentang pernikahan kita? Kau tahu,
aku sudah berkali-kali berbicara dengan ayahku untuk merubah keputusannya
meminta mahar 200 ribu rupee untuk pernikahan kita...tapi ayahku tetap
bersikeras...kuharap kau tidak keberatan dengan jumlah sebesar itu... Aku sudah
tidak sabar untuk menikah denganmu..” Varun menjelaskan dengan manisnya.
“Aku juga ingin segera menikah denganmu, tapi
mengumpulkan uang sebesar itu tentu aku butuh waktu sedikit lebih
lama...Kuharap kau bisa bersabar menunggu..” jawab Jodha, sebenarnya siapa yang
berusaha diyakinkannya, Varun atau dirinya sendiri.
Memang tidak semudah yang dibayangkan untuk
mengumpulkan 200 ribu rupee, apalagi uang itu harus disisihkannya dari gaji
bulanannya. Tapi dia tidak punya pilihan, tidak mungkin baginya membatalkan
rencana pernikahan hanya karena masalah mahar. Dia dan Varun saling mencintai
dan tidak terpikir olehnya untuk menikah dengan pria lain.
Jam makan siang sudah hampir selesai, Jodha bangkit
diikuti oleh Varun.
“Eh sayang...kau yang bayar dulu ya, lagi-lagi Ibuku membawa
kartu kreditku untuk berbelanja...” pinta Varun dengan manisnya
“Tentu..” jawab Jodha tanpa keberatan.
“Jangan lupa nanti malam kita nonton film, sepulangmu
dari kantor...” Varun mengingatkan Jodha.
Seperti itulah kencan makan siang mereka. Bagi orang
lain mungkin terlihat hambar, tapi bagi Jodha, ini adalah kencan idealnya.
Tidak perlu hal-hal romantis atau spektakuler seperti dalam drama, karena
baginya hal seperti itu hanya untuk remaja dan bukan untuk wanita dewasa
seperti dirinya. Tidak perlu ada lonjakan perasaan dan kata-kata cinta
memabukkan, karena sebagian besar isinya hanya omong kosong. Cukup hal-hal
normal yang terkesan akrab dan masuk akal untuk dilakukan bersama.
Sisa hari itu dilaluinya dengan mulus, tanpa interupsi
dari ingatannya tentang semalam. Berhasil menyelesaikan satu laporannya, dia
rapikan mejanya dan menutup pekerjaannya. Malam ini dia ingin menikmati akhir
pekannya bersama Varun.
Jam di arloji Jodha menunjukkan pukul 21.15, sudah
kelima kalinya dia melirik jarum jam yang berputar dengan sangat lambat. Jodha
berdiri di sebuah ujung blok di Ghandi Boulevard, menunggu, dengan sedikit tak
sabar, Varun datang menjemputnya. Seusai mereka nonton film di bioskop, Varun
terpaksa meninggalkan Jodha sementara di tempat itu karena harus membantu
ayahnya yang mobilnya mogok di jalan, lima blok dari tempatnya menunggu. Varun
berjanji akan menjemputnya kembali dan mengantarnya pulang usai mengantar
ayahnya.
Jalanan mulai sepi, orang-orang yang lalu lalang pun
mulai berkurang. Angin malam juga mulai terasa dingin dan lembab di kulitnya,
dia hanya berharap malam ini tidak akan turun hujan sebelum dia sampai di
rumahnya.
“Hai, lady...kau sedang menunggu siapa?”
Jodha terlonjak kaget saat seorang pria, ralat, tiga
orang pria tiba-tiba sudah mengelilinginya. Dari tatapannya, mereka sepertinya
bukan orang baik-baik. Pria yang pertama kali bicara tadi mulai mencolek-colek
tangannya... Firasat buruk.
“Ka..kalian mau apa?”
Jodha memucat....Keringat dingin mulai meluncur di
wajahnya...Jantungnya mulai berdetak tak beraturan.... Tubuhnya lemas.... Dia
mundur selangkah, tapi buntu, di belakangnya sudah ada pria yang lain
menghalangi. Dia sendirian, jangankan melawan, melarikan diri saja dia tidak
akan punya kesempatan....Otaknya serasa menciut karena ketakutan yang teramat
sangat...
Matanya membelalak lebar menatap ketiga orang itu
bergantian. Tenggorokannya tercekat...tak bisa berteriak... meski berteriak
sekuat tenaga, masih adakah orang yang mau menolongnya?....Tidak ada satupun
orang atau kendaraan yang lewat....
Jodha makin terpojok....Mereka memepetnya ke dinding
sebuah toko yang sudah tutup....Dia hanya bisa berpegangan pada tali tas
bahunya...’Ya Tuhan, hanya kau yang bisa menolongku sekarang.’ Doa Jodha dalam
hati sambil memejamkan matanya rapat-rapat, berharap ada dewa penolong yang
datang.
“Sayang, apa kau sudah lama menungguku?”
Terdengar suara seorang pria beberapa langkah di
belakangnya. Deg. Seketika Jodha langsung membuka matanya....’Varun?!....Syukurlah....Tunggu..tunggu, itu
bukan suara Varun, tapi...’ hati Jodha bertanya-tanya.
Jodha masih membelakangi suara itu, tapi dia bisa
mendengar langkah-langkah tegap sepasang kaki yang mendekat....Dia belum berani
menoleh... Lima...Empat...Tiga....Dua langkah lagi semakin dekat....Lalu sebuah
tangan kekar merangkul pundaknya...
“Hhhk..” tubuh Jodha menegang...Dia tersentak karena
sentuhan itu. Saat dia menarik napas karena terkejut, saat itu pulalah aroma
yang sangat dikenalnya terhirup oleh indera penciumannya...
Pelan-pelan, dengan kecepatan satu langkah per lima
detik, Jodha menoleh ke arah kanannya, tempat pria itu berdiri dengan mantap
merangkul pundaknya.
Bola mata Jodha hampir keluar karena dia terlalu lebar
membelalakkannya, namun disambut dengan sebuah senyuman di wajah pria yang
seharian ini menguasai akal sehatnya.
‘Pria ini...apa
dia sudah tahu situasi apa yang kuhadapi?...Apakah karena itu dia memanggilku
sayang? Itu semua pura-pura kan?’ Jodha berusaha bertanya dengan isyarat
matanya, karena mulutnya tak berani bersuara...Tapi pria itu masih tersenyum
seolah-olah ini pertemuan biasa yang dilakukannya setiap hari...
“Sayang, ayo kita pulang.” Ajak pria itu. Tangannya
yang merangkul pundak Jodha menekan dan membalikkan tubuhnya.
Belum sempat melangkah, jalan mereka kembali diblok
oleh dua dari tiga pria tadi.
“Tunggu dulu, Tuan... Tidak semudah itu...” kata salah
satu pria itu sambil meletakkan tangannya di dada pria penolong Jodha.
Ketiga preman yang mencegat Jodha, kesemuanya memiliki
badan yang besar, tapi pria penolongnya ini juga memiliki badan yang tak kalah
besar. Hanya saja jumlah mereka yang tak seimbang. Karena itulah mereka dengan
mudah mengintimidasinya.
“Apakah ada masalah?” tanya pria di sebelah Jodha,
berpura-pura bodoh.
“Berikan semua milikmu, maka kau bisa pergi!!”
“Apa yang kami miliki yang kau inginkan?” tanyanya
lagi. Jodha yang berdiri di sebelahnya hanya bisa diam gemetaran, tubuhnya
makin mengkerut ketakutan.
“Gelangnya, anting, dompet kalian.” Perintah salah
satu preman sambil tangannya menunjuk ketiga barang yang dimaksud.
“Baik, kami akan berikan....Sayang, lepas gelang dan
antingmu!” katanya pada Jodha.
“Tapi...”
“Lepaskan saja...” kata pria itu lebih menekankan
kata-katanya.
Dengan tangan gemetar, Jodha melepaskan gelang dan
anting dari telinganya. Dengan berat hati diserahkannya kedua perhiasan itu
beserta dompetnya pada preman-preman yang memalak mereka. Pria di sebelahnya
juga mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan diserahkan juga pada
mereka.
“Ayo, sayang...” ajaknya lagi, ingin segera lepas dari
mereka.
“Mobilmu juga!” pria yang sedari tadi diam berdiri di
belakang Jodha, akhirnya juga ikut bicara.
“Jangan sentuh mobilku!” Jodha terkejut dengan naiknya
nada bicara pria di sebelahnya, sepertinya dia mulai kehilangan kesabaran
hingga mengatakan itu dengan menekankan setiap katanya dengan jelas.
Jodha melirik takut ke sampingnya. Pria yang tangannya
masih merangkul pundaknya itu, tubuhnya lebih tinggi darinya hingga dia harus
sedikit mendongak. Dari samping, Jodha bisa melihat samar-samar otot-otot leher
pria itu tertarik menegang, rahangnya mulai mengeras dan sorot matanya
menyipit, seperti orang yang sedang mengumpulkan kekuatan dan siap bertarung.
Atmosfer di sekitar mereka berlima mulai meningkat
panas. Ketiga preman sepertinya juga mulai ancang-ancang menunjukkan kekuatan
mereka. Lalu....
Salah satu preman mengeluarkan pisau lipat dari balik
punggungnya dan mengacungkannya ke dada pria calon korbannya itu. Jodha
menjerit tertahan dan mundur selangkah karena ngeri dan takut melihat kilatan
pisau yang teracung .... tapi pria di sebelahnya tidak.
Dia tetap berdiri menantang mereka.
Entah siapa yang memulai atau apa yang memicu, dalam
sekejap keempat pria itu terlibat dalam pertarungan.... Jodha yang terlambat
bereaksi, sempat terjebak di tengah-tengah, tapi kemudian dirasakannya sebuah
tangan menarik dan mendorongnya ke pinggir, menjauh dari pukulan, tendangan dan
sabetan pisau.
Seperti orang tolol, Jodha hanya sanggup berdiri
diam...bingung tak tahu harus berbuat apa....menjerit minta tolong? Suaranya masih
tertahan di kerongkongannya, tak mau keluar... Melarikan diri? Tidak mungkin
dia meninggalkan pria yang menolongnya.... Menolong? Lebih tidak mungkin lagi,
dengan cara apa dia akan menolong... Dia hanya bisa berdiri di pojok,
melindungi tubuhnya sendiri dari kemungkinan kena salah pukul.
Sempat ada beberapa kendaraan lewat, tapi begitu
melihat ada perkelahian, mereka cepat-cepat tancap gas menjauh. Pejalan kaki
yang hendak lewat jalan itu langsung berputar balik memilih jalan lain. Tak
seorang pun terpikir untuk melerai apalagi menolong.
Pria penolongnya itu ternyata mampu bertarung sehebat
itu. Jodha yakin kemampuan beladiri seperti itu tidak mungkin hanya didapat
dari bermain game online. Kemampuan di level itu pasti hasil dari latihan keras
selama bertahun-tahun....
Satu per satu preman-preman itu roboh tersungkur ke
beton trotoar. Sumpah serapah keluar di antara suara erangan dari mulut mereka.
Pria misterius itu merapikan bajunya yang berantakan karena duel tadi.
Dirampasnya kembali dompet miliknya dan milik Jodha serta perhiasan yang tadi
sempat ada di tangan mereka.
“Ini! Untuk mengobati luka kalian.” Dikeluarkannya
uang 100 rupee dari dompetnya dan dimasukkan ke saku pakaian salah satu preman.
“Ayo kuantar pulang.” Perintahnya pada Jodha dan berjalan
menduluinya.
Jodha bergegas menyusul langkahnya.
“Hey.....Kenapa kau memberi mereka uang?”
“Untuk mengobati luka atau untuk membeli makanan.
Terserah mereka.”
“Bagaimana kau tahu mereka butuh uang?”
“Karena aku pernah hidup di jalanan.”Jawaban terakhir
itu sama sekali tak diduga. Langkah Jodha sampai terhenti karena tak percaya
dan tak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Cepat masuk!.” Pria itu sudah membukakan pintu mobil
untuk Jodha.
“Eh...tidak usah, aku sedang menunggu seseorang
disini.” Jodha menjelaskan dengan setengah hati.
“Oke..sampaikan salamku pada ketiga orang tadi kalau
mereka datang lagi.” Jawabnya acuh...
Tanpa menunggu lagi...
“Aku ikut.” Teriaknya ketakutan dan melesat masuk ke
dalam mobil.
Jodha salut pada pria ini, dalam situasi menegangkan
seperti ini, dia tetap berprinsip pada norma kesopanannya sebagai seorang pria,
seperti saat ini, dia membuka dan menutup pintu mobil untuk Jodha sebelum dia
sendiri masuk.
“Ehm..terima kasih sudah menolongku tadi...apa kau
kebetulan lewat di sekitar sini?”
“Ya.”
“Boleh aku bertanya?” pria itu diam tidak mengiyakan
atau melarang.
“Kenapa kau baru melawan saat mereka akan mengambil
mobilmu?... Kemampuan bela dirimu hebat, sepertinya kau bisa melawan mereka
dari awal saat mereka mengambil perhiasan dan dompet kita....Maksudku, aku
sudah ketakutan kalau mereka akan melukai kita berdua karena kupikir kau juga
takut saat mereka mengancam...” Jodha tidak meneruskan kata-katanya...
“Mobil ini sudah bersamaku hampir 10 tahun. Kuanggap
mobilku ini temanku yang paling setia. Orang menikah saja dianggap hebat kalau
bisa saling setia selama itu....jadi pasti aku akan melindungi mobil ini karena
kalau bukan aku, siapa yang akan melindunginya....mobil ini kan tidak bisa
melindungi dirinya sendiri....” kata pria itu panjang lebar.
“Tapi aku juga kan tidak bisa melindungi diriku
sendiri, kalau kau langsung menghajar mereka kan aku tidak perlu ketakutan
lama-lama...” kata Jodha pelan
“Nona Jodha Aadhya, apa kau pikir ini adegan Bollywood
Movie?...Apa kau pikir aku bisa menghajar orang seenaknya?...Apa kau pikir aku
tidak takut terluka?...Bagaimana kalau ternyata komplotan mereka lebih
banyak?!... Atau bagaimana kalau mereka lapor polisi atas tindak penyerangan,
malah aku berbalik jadi penjahatnya kan?!...Jadi, aku butuh alasan yang tepat
untuk menghajar mereka. Tidak mungkin kan demi dirimu?! Aku tidak punya hak dan
kewajiban untuk melindungimu....”
Jodha terdiam, semua perkataan pria itu benar. Dia
terlalu memikirkan dirinya sendiri. Mungkin ini efek yang tersisa dari
ketegangan tadi, hingga Jodha mencerocos tak karuan...
“Kau juga, kenapa kau suka sekali berdiri sendirian di
tempat gelap seperti itu?”
“Eh...sudah kubilang, aku sedang menunggu seseorang.”
“Pacarmu?”
“Tunanganku.”
“Berarti tunanganmu bukan pria baik-baik.”
“Hey...” balas Jodha tersinggung.
“Kalau dia menghormati wanita, dia tidak akan
membiarkan tunangannya menunggu, apalagi di tempat sepi, malam-malam,
sendirian... Apa kau tahu aturan penting saat berkencan?”
“Adakah?” tanya Jodha setengah penasaran.
“Ya Tuhan, kau ini lugu sekali. Ada tiga aturan
penting...Pertama, pria yang harus menjemput dan mengantarkan sang wanita
sampai ke rumah. Kedua, pria yang membayar semuanya. Ketiga, jangan biarkan
pasanganmu merasa bosan setiap acara kencan kalian. Apa pacarmu selalu
melakukan ketiganya?”
“Tentu.” Jawab Jodha dengan dagu terangkat angkuh,
meski dalam hati dia tahu itu bohong.
“Kau bohong.” Jodha ketahuan.... “Contohnya malam ini.
Berapa lama kau sudah menunggu disana? Kenapa harus di tempat seperti itu?
Dan...kenapa kau belum menelponnya sekarang?”
Jodha teringat, dia belum menghubungi Varun sama
sekali. Sejujurnya dia bahkan tidak terpikir soal itu. Dia terlalu sibuk
berdebat dengan pria di sebelahnya ini.
Jodha sedang merogoh-rogoh isi tasnya mencari
ponselnya saat merasakan mobil itu berhenti... Tangannya berhenti mencari...
Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu dimana mereka berada
sekarang.
“Sudah, kau telepon saja dari rumahmu. Kita sudah
sampai.” Ujarnya
Jodha sama sekali tidak memperhatikan jalan, dia tidak
tahu kemana pria ini membawanya. Anehnya, jauh di bawah alam sadarnya, dia
percaya penuh pada pria di sebelahnya, yang bahkan belum dia ketahui
asal-usulnya, akan membawanya ke tempat aman. Dan tempat itu adalah rumahnya....
Pria itu sudah memarkir mobilnya, lagi-lagi tepat
posisinya, di depan lobi gedung apartemen Jodha. Pria itu pun sudah membukakan
pintu mobil untuknya saat Jodha masih sibuk merapikan tas dan rambutnya.
Jodha turun dan berdiri canggung di sebelahnya, ada
hal yang ingin ditanyakannya tapi dia butuh sedikit waktu untuk mengatasi
kegugupannya.
“Ehm...hey...kau sudah mengantarku pulang dua kali.
Tapi aku belum tahu namamu.”
“Bukannya kau sudah memberiku
nama...Hey...Hey...begitu kan kau memanggilku?!” jawab pria itu bercanda.
Jodha malu pada sikapnya. Dipikir-pikir lagi, pria
misterius ini justru tingkah lakunya lebih sopan dari dirinya yang seorang
wanita.
“Itu kan karena aku tidak tahu namamu. “ jawab Jodha
tidak enak hati.
Pria itu hanya tersenyum misterius dan mempersilakan
Jodha berjalan lebih dulu, seperti malam sebelumnya.... Hal yang sama terulang
lagi. Jodha yang berjalan di depan...merasa salah tingkah, bibirnya kering, hatinya berdebar lebih cepat
dari biasanya.... Kebisuan ini justru lebih mengganggu daripada tadi saat
mereka berdebat di dalam mobil....
Angin malam yang dingin meniupkan udara sejuk pada
tubuhnya yang meremang hangat. Entah bagaimana Jodha merasa seolah-olah mata
pria itu memandangi sekujur tubuhnya di balik punggungnya, mengirimkan getar-getar
aneh yang dirasakannya dari ujung kaki hingga wajahnya. Tangan pria itu yang
tadi sempat merangkul pundaknya, cengkeraman hangatnya pun masih terasa.
Di depan pintu apartemennya, Jodha berhenti dan
mengetuk pintu....
“Kau sudah tahu namaku...jadi siapa namamu?” tanya
Jodha
“Hey?” jawabnya jahil.. “kenapa kau penasaran sekali?
Apa kau ingin menyebut namaku dalam mimpimu?”
Mulut Jodha bergerak-gerak lucu karena jawaban pria
itu...
“Apa kau juga bekerja di Golden Building?”
“Kau akan segera tahu..” balasnya penuh teka-teki.
Jodha ingin bertanya lagi, tapi tertahan saat Ibunya
membukakan pintu.
“Selamat malam Nyonya, saya mengantarkan putri anda
pulang...” kata pria itu pada Ibunya dengan penuh hormat.
Setelah mengatakan itu, dia mengangguk dan berbalik
pergi. Sekali lagi Jodha dibuat penasaran oleh pria itu...
*************