Ditambah
lagi, Varun Chauhan, kekasihnya yang sudah bersamanya selama 2 tahun ini,
beberapa hari yang lalu memberitahu bahwa keluarganya menuntut mahar yang cukup
besar darinya. Dan Jodha harus memenuhinya demi menjaga martabat keluarganya.
Hidup tanpa
seorang ayah, dan menjadi tulang punggung bagi ibu dan neneknya menjadikan
Jodha Aadhya seorang wanita yang kuat. Tidak mudah menyerah apalagi menangis dalam
masalah apapun yang dihadapinya. Jikapun harus frustasi karena pekerjaan atau
masalah pribadinya, sebisa mungkin akan dihadapinya sendiri. Jangan sampai ibu
dan neneknya tahu.
Seperti
masalah mahar yang dituntut oleh keluarga Chauhan ini, Jodha tidak menceritakan
masalah itu pada ibunya karena khawatir ibunya akan sedih. Sebelum ini Jodha
bukanlah gadis yang terlalu ngotot ingin segera menikah meski usianya sudah
hampir 30 tahun. Namun akhir-akhir ini Ibunya sering memintanya untuk segera
memutuskan menikah, alasannya karena Ibunya menginginkan ada seorang pria yang
nantinya bisa diandalkan sebagai pelindung Jodha dan keluarganya. Ibunya
khawatir beban Jodha akan semakin berat mengingat usia nenek dan Ibunya yang
pasti terus menua.
Dan masalah
mahar itu bisa menjadi penghalang terwujudnya keinginan Ibu yang sangat Jodha
hormati. Selama 2 tahun bersama, Jodha merasa sudah cukup baik mengenal Varun. Meski
pria itu bukan pengusaha sukses atau kaya raya, ataupun seorang model tampan, cukuplah
baginya bahwa Varun bisa menerima keadaan keluarganya. Setidaknya itulah yang
disimpulkan Jodha karena Varun juga tidak pernah mengutarakan keberatan apapun
sehubungan dengan masalah itu... selama ini. Di sisi lain, di usianya yang
sudah melewati puncak kepantasan seorang wanita untuk menikah, membuatnya tidak
punya banyak pilihan. Menikah dengan Varun adalah kebutuhan. Bukan lagi saatnya
berkhayal mengalami asmara berbunga-bunga dan hati berdebar-debar.
Dua masalah
itu bertumpuk di otaknya dan membuatnya frustasi dalam sebulan terakhir. Seakan
masih belum cukup memusingkan, masalah lain datang lagi dalam hubungan
cintanya. Semalam dia bertengkar cukup serius dengan Varun. Inti
permasalahannya adalah perbedaan prinsip. Entah setan mana yang mempengaruhi
pikiran Varun, semalam pria itu sedikit memaksa Jodha untuk bersentuhan lebih
dari sekedar ciuman. Padahal Varun tidak pernah menuntut hal itu selam mereka
berpacaran. Memang mereka akan menikah, tapi Jodha tidak bersedia jika harus
melakukannya sebelum mereka menikah. Meski Jodha seorang wanita modern yang
punya karir, seorang feminist, tapi tetap saja dia gadis beragama dan memiliki
aturan moral yang cukup ketat.
Suara ketukan
di mejanya mengejutkan Jodha, “Ya!” ucapnya tersentak. Dia mendongak dari
topangan tangan di dagunya dan melihat Sneyka Bose, sahabat wanitanya di kantor
sedang berdiri di sebelah kiri mejanya, menyengir senang karena berhasil
memergokinya sedang melamun.
“Kau sedang
memikirkan apa?” tanya Sneyka,
“Tidak ada..”
jawab Jodha pendek.
Rupanya Sneyka
tidak percaya pada jawaban Jodha, tanpa permisi dia langsung melihat layar
monitor di depan Jodha, seperti yang dilakukan Jodha satu jam terakhir ini.
Merasa terusik, Jodha berusaha mendorong Sneyka menjauh dari layar dan dari
meja kerjanya.
“Kupikir kau sedang
mempelajari Kamasutra, untuk kau praktekkan dengan Varun setelah menikah.
Ternyata kau hanya sedang menunggu balasan pesan...” goda Sneyka.
“Apa
menurutmu aku wanita cabul yang memanfaatkan fasilitas kantor untuk urusan
pribadi?!...Tolong jangan ganggu aku..Kembalilah ke tempatmu dan bersiap
pulang...” pinta Jodha dengan sedikit menekan.
Tapi rupanya
Sneyka masih belum puas menggoda sahabatnya itu. Ditatapnya Jodha untuk mencari
jawaban disana dan, “Matamu merah?..Kau menangis?..Apa kau ada masalah dengan
Varun? Kalian bertengkar?..Jodha, kau bisa menceritakannya padaku.” Kali ini
Sneyka tidak lagi bercanda, dia mulai khawatir pada Jodha. Ditariknya sebuah
kursi dan dia duduk di dekat meja Jodha. Kedua tangannya menggenggam tangan
kiri Jodha.
~Menangis?...Aku menangis?!~ tanya Jodha
dalam hati, dia bahkan tidak sadar dirinya sendiri menangis, tapi dia merasakan
ada air mata di ujung kelopaknya saat jarinya menyentuh matanya. ~Bagaimana bisa aku menangis?... Mana mungkin hal remeh ini membuatku menangis?. Ini masalah kecil,
seharusnya aku lebih kuat dan tidak menyerah pada airmata.. Tapi semakin
kutahan, air mata ini malah keluar. Ya Tuhan..~ Jodha kewalahan mengusap airmata yang terus
keluar. Dia ingat masih berada di kantor, dan sebagai karyawan yang
profesional, tidak selayaknya dia mencampurkan urusan pekerjaan dan pribadinya.
Lalu Jodha merasakan pelukan di pundaknya. Sneyka tidak bicara, tapi rangkulan
tangannya sudah cukup mewakili dukungannya. Dibiarkannya sahabatnya itu menangis
agar hatinya lebih lega, baru setelah itu mereka bicara.
Setelah
isaknya reda, Jodha mulai bercerita “Aku memang bertengkar dengan Varun, tapi
itu masalah sepele. Yang lebih membuatku sedih adalah nenekku sedang sakitdan
aku butuh biaya tambahan. Aku mengandalkan insentif perusahaan, tapi point
evaluasiku belum dikeluarkan oleh Tuan Rashed...Bagaimana ini?! Aku sudah
mengirim pesan sejak pagi, tapi tidak ada balasan satupun. Asistennya bilang
Tuan Rashed masih berada di lokasi proyek baru...”.
Jodha sengaja
tidak menceritakan semuanya, terutama penyebab pertengkarannya dengan Varun.
Karena baginya itu benar-benar masalah pribadi, bahkan terlalu pribadi untuk
diceritakannya pada sahabatnya sendiri.
Sneyka
menepuk-nepuk punggung Jodha, bermaksud menenangkan perasaan sahabatnya itu. “Mungkin
Tuan Rashed belum sempat membaca pesanmu. Kita tidak bisa apa-apa karena
sekarang sudah jam pulang kantor. Besok pagi, coba kau langsung ke ruangannya...ya?!”
Jodha mengangguk setuju atas saran Sneyka. Memang benar yang dikatakan
sahabatnya, sekarang sudah saatnya pulang, dia tidak bisa memaksa orang lain
bekerja di luar jam kantor hanya demi kepentingannya. Besok, dia akan
mengirimkan pesan lagi, atau bahkan langsung menyerahkannya ke ruangannya.
Pesan yang
dikirimkan oleh Jodha, sebenarnya sudah terbaca oleh yang dituju. Pesan yang
dikirm via Yahoo Messenger itu muncul di
akun grup perusahaan yang beranggotakan
para staf yang bekerja di Golden Tower. “Jodha Aadhya” pria itu membaca nama
yang tertera sebagai pengirim. Hanya saja si penerima pesan itu merasa bingung
karena merasa tidak mengenal si pengirim pesan apalagi memahami isinya. Karena
itu pesan tersebut diabaikannya dan dia melanjutkan pekerjaannya sendiri.
Dia baru
bekerja di Golden Road, Pvt sejak seminggu yang lalu. Tawaran posisi sebagai
Chief Finance Officer cukup menantang baginya, diikuti dengan gaji yang cukup
fantastis. Perpaduan itu yang akhirnya mempengaruhi keputusannya untuk memilih
bekerja di perusahaan yang berkantor pusat di Golden Tower, gedung 20 lantai milik
Golden Road itu sendiri. Sebelumnya dia bekerja sebagai Senior Finance
Consultant di perusahaan pertambangan di Afrika Selatan.
Keputusannya itu
juga atas permintaan Bibi dan adiknya, dua anggota keluarganya yang masih
tersisa. Mereka ingin kembali ke negara kelahirannya, setelah 15 tahun ada di luar
negeri.
“Tuan Rashed,
apa anda masih butuh laporan yang lain?” tanya seorang wanita dari ambang pintu
ruangannya.
“Tidak ada.
Kau boleh pulang.” Jawab pria yang ditanya.
“Selamat
malam, Tuan.” Wanita itu menutup kembali pintu ruangan di depannya.
Pria yang
dipanggil Tuan Rashed tadi, kembali berkonsentrasi menganalisa laporan-laporan
di depannya. Sesekali dia mencatat sesuatu di buku jurnalnya. Banyak hal yang
harus dipelajarinya tentang perusahaan ini sebelum dia bisa memutuskan kebijakan-kebijakan
finansial yang dibutuhkan demi kemajuan perusahaan. Keinginan Dewan Direksi
untuk mengekspansi usaha hingga keluar benua, membutuhkan pemikiran dan
persiapan yang matang, bukan hanya sekedar modal yang besar. Dan itulah
kelebihan yang dimiliki dirinya.
Bukan
perasaan tinggi hati ataupun kelebihan percaya diri, tapi pengalaman dan
kemampuannya sudah terbukti dimanfaatkan oleh perusahaan besar yang sebelumnya
mempekerjakan dirinya dan mempercayakan seluruh keputusan financial penting di
tangannya. Dan hasilnya semua keputusannya mendatangkan keuntungan yang jauh
lebih besar dari yang dibayangkan.
Langit sudah
gelap, jam kantor sudah lama berakhir, tapi dia belum merasa lelah. Pikiran dan
tenaganya masih sesegar tadi pagi. Hanya saja cambang yang baru tumbuh di
wajahnya membuatnya merasa sedikit gatal,sesekali tangannya menggaruk dan
mengusap dagunya. Namun matanya tak pernah lepas dari layar monitor.
Konsentrasi penuh. Begitulah dirinya.
Dua jam berlalu
hingga akhirmya dia selesai memeriksa semua laporan yang ada, barulah dia bisa
sedikit merasa santai. Disandarkan punggungnya ke sandaran tinggi kursi yang
didudukinya, kedua tangannya diangkat dan diletakkan di belakang kepalanya. Saat
itulah, tanpa diminta pikirannya melayang pada sebuah kejadian unik. Kejadian
tak terduga yang membuat dahinya berkerut dan bibirnya mengerucut kesal.
Peristiwa itu
bermula saat kemarin malam dia bermaksud mengunjungi seorang kenalannya yang
tinggal di sebuah gedung apartemen di daerah pinggiran Mumbay. Saat itu dia
baru saja pulang dari kantor dan masih mengenakan kemeja kerjanya. Apartemennya
ada di lantai lima, karena itulah dia menuju elevator yang akan membawanya ke
atas.
Tidak berapa
lama, pintu elevator terbuka dan di dalamnya dia melihat ada seorang
gadis. Awalnya dia tidak dapat melihat
jelas wajah gadis itu karena saat dia melangkah keluar, wajahnya setengah
menunduk. Mungkin karena rambut yang jatuh menutupi wajahnya atau mungkin
karena tergesa-gesa, gadis itu berjalan tepat ke arahnya dan menabrak tubuhnya.
Otomatis dia berusaha menahan tubuh gadis itu yang limbung dan hampir terjatuh.
Saat itulah tanpa sengaja sebelah tangannya menyentuh bagian dada gadis itu.
Gadis itu menjerit. Wajahnya terangkat memandang dirinya dan dia mengacungkan
jari telunjuk tepat ke depan wajahnya sambil meneriakinya. “Dasar Cabul!”
Dia membeku.
Bukan karena kecantikan gadis itu, tapi karena kata-kata kasar yang ditujukan
pada dirinya. Belum pernah ada satupun wanita yang menyebut dirinya cabul meski
dia sudah berulang kali berkencan dengan puluhan wanita berbeda. Sebutan itu
membuatnya marah, tapi sebelum dia sempat membalasnya, gadis itu sudah lebih
dulu pergi meninggalkannya. Seperti angin kencang, langsung datang menerjang
dan pergi tanpa berbekas. Menyisakan keharuman rambutnya yang masih melekat di
jasnya saat mereka bertabrakan.
Memang, hal
yang paling berkesan dari gadis itu adalah rambutnya yang berwarna hitam legam
dan keharumannya yang sesegar hutan Alpen. Sayang sekali, dia tidak sempat
berkenalan dengan gadis itu karena ada sedikit kesalah pahaman yang terjadi
antara mereka.
Sambil
mematikan komputernya, pria itu masih tersenyum. Semoga saja dia beruntung bisa
bertemu lagi dengan gadis berambut hitam itu. Lain kali mereka bertemu, akan
dia pastikan gadis itu menarik kembali kata-kata kasarnya dan meminta maaf
padanya.
Pria itu
keluar dari ruangannya dan menutup pintu di belakangnya. Sebagai salah satu
petinggi perusahaan, ruangan kerjanya berada di lantai delapan belas. Pada jam
selarut itu, seluruh ruangan di lantai itu telah gelap, hanya menyisakan lampu
penerangan sepanjang lorong ke pintu elevator. Ditekannya tombol B1 yang
langsung mengarah ke Basement gedung, tempat mobilnya diparkir.
Seperti
dugaannya, di basement pun hanya mobilnya yang masih terparkir disana.
Membuktikan bahwa dia orang terakhir yang masih bekerja di gedung ini. Meski
dia pulang larut, tapi dia tetap masuk kerja tepat waktu keesokan paginya.
Hidupnya adalah untuk bekerja. Dia hanya mengijinkan dirinya sendiri
bersenang-senang saat akhir pekan, itupun kalau dia ingin.
Pihak
perusahaan sebenarnya sudah menyediakan mobil sedan mewah lengkap dengan sopir
pribadi sebagai fasilitas untuk dirinya, namun ditolaknya. Dia lebih memilih
mengendarai sendiri Range Rover hitam miliknya pribadi. Bagi dirinya, mobil
adalah cerminan kepribadiannya. Ada rasa puas dan intim saat dia duduk dan
mengendarai mobilnya sendirian seperti malam ini. Baginya saat-saat seperti ini
terasa lebih menenangkan dan menyenangkan dibandingkan menghadiri pesta. Bukan
berarti dia tidak punya teman kencan, tapi ada saat dalam hidupnya dia
menikmati kesendiriannya. Ada saatnya dia malas untuk menjalin hubungan ataupun
bermanis-manis mulut demi seorang wanita.
Lama tinggal
di Johannesburg, dia sempat merasa bingung saat berkeliling di jalan-jalan kota
Mumbay. Baginya kota ini sudah banyak berubah dibanding 15 tahun yang lalu, yang
paling tampak perubahahannya adalah jalanan kota ini yang semakin parah
kemacetannya. Karena itulah, dia memilih tinggal di sebuah apartemen di
pinggiran kota Mumbay yang lingkungannya jauh lebih tenang. Agar dia, adik dan
Bibinya juga merasa lebih nyaman tinggal di kota ini.
Sesampainya
di apartemen, beberapa lampu utama sudah dipadamkan. Biasanya pada jam segitu,
adik dan Bibinya sudah tidur. Setelah melepaskan sepatu dan menyimpan tas kerja
di dalam kamarnya, dia berjalan ke arah meja makan. Pada saat sedang mencuci
tangan di wastafel dapur, dia mendengar suara pintu dibuka.
“Kakak...baru
pulang?” Monita, adiknya berjalan keluar dari kamarnya.
“Kenapa belum
tidur?” tanya pria itu.
“Aku menunggu
kakak. Apa pekerjaanmu di kantor seberat itu, sampai harus pulang larut setiap
hari?” sindir adiknya. Disiapkannya hidangan di meja untuk makan malam
kakaknya.
“Tidak juga,
tapi aku suka bekerja. Apa lagi yang bisa kupikirkan selain bekerja?,” dia menjawab
sambil menyendok seporsi nasi lemak dan kuah kari ke atas piringnya
“Kau harus
segera mencari istri supaya ada yang kau rindukan setiap hari untuk bisa
membuatmu pulang lebih cepat dari kantor. Itu karena kau tidak pernah sekalipun
mendengarku, padahal aku satu-satunya adikmu..”goda adiknya.
"Mana ada wanita yang akan kurindukan selain adik dan Bibiku?"
"Kalau kau memang merindukanku, kenapa kau jarang meluangkan waktu bersama kami?" jawab adiknya cemberut.
"Karena sebentar saja aku meluangkan waktu bersamamu, kau pasti akan langsung mengoceh tentang keinginanmu memiliki kakak ipar. Tidak akan ada wanita yang akan menyukaiku sebagai diriku." katanya dengan suara lebih pelan.
Monita yang
tidak suka pada jawaban kakaknya menyanggah “Tapi pasti ada seorang wanita di
luar sana yang akan membuatmu menyerah dan jatuh cinta. Saat itu terjadi, aku
yang akan bersorak paling keras.” Jawabnya sambil meninggalkan kakaknya yang
masih menikmati makan malamnya, masuk kembali ke dalam kamarnya.
*************