re">
Nyonya Dhanjani –“Jodha!...Ada apa? Kenapa kau
seperti kerasukan begini? Apa yang membuatmu terkejut sampai tidak mendengarku?
....Jangan membuatku takut..”
Jodha baru tersadar, Nyonya Dhanjani
mengguncang-gunang tubuhnya dengan sedikit panik..
Jodha –“Ehh..tidak..aku tidak apa-apa...Hanya
baru teringat sesuatu yang penting...”
Untuk menyembunyikan rasa terkejutnya, Jodha
meneruskan kegiatannya yang sempat terhenti. Dia kembali membantu Nyonya
Dhanjani menyiapkan makanan di atas meja. Sikapnya diatur sedemikian rupa
seakan kejadian tadi tidak pernah terjadi. Mungkin Jodha bisa
menyembunyikannya, tapi rasa penasaran itu menggerogotinya dari dalam.
Jalal turun dari kamarnya di atas dan sudah
berganti pakaian. Dia berjalan menuju meja makan karena Ibunya dan Jodha sudah
menunggunya. Jalal sama sekali tidak menyadari perubahan sikap Jodha gara-gara
adegan buka bajunya tadi. Mereka bertiga pun duduk mengelilingi dan mulai
menikmati makan malamnya.
Nyonya Dhanjani –“Jodha, apa kau menyukainya?”
Jodha –“Iya, masakan anda lezat...”
Nyonya Dhanjani –“Sepertinya kau agak
pendiam,apa kau sakit?”
Jodha –“Tidak, aku baik-baik saja..Mungkin aku
agak lelah setelah seharian bekerja..”
Nyonya Dhanjani –“Maaf kalau aku harus menculikmu
tadi...”
Usaha Nyonya Dhanjani untuk mencairkan
ketegangan yang dirasakan Jodha rupanya berhasil, karena Jodha tersenyum sambil
menahan kikikan geli di wajahnya.
Jalal –“Kenapa kau memilih spesialisasi
kardiovaskuler?”
Jalal yang semula diam saja, sekarang mulai
berani ikut mengobrol.
Jodha –“Karena aku suka sekali mendengar suara
detak jantung...Apa kau pernah mendengar detak jantungmu sendiri? Menurutku
suaranya sangat indah, apalagi jika kita merasakannya dalam kesunyian. Bagiku,
jantung adalah pusat kehidupan... Jantung yang berdetak artinya selalu ada
harapan kehidupan..”
Jalal –“Dulu aku hampir kehilangan jantungku,
tapi mungkin Tuhan masih sedikit kasihan padaku. Saat aku yakin aku pasti akan
mati, entah bagaimana keajaiban itu terjadi. Aku mendapatkan kesempatan hidup
kedua, jantungku masih berdetak dalam tubuhku sampai sekarang.”
Jodha sudah sangat ingin menanyakannya. Pertanyaan
itupun sudah ada di ujung lidahnya, tapi dia tidak berani mengutarakannya. Dia takut
menghadapi kenyataan. Dia takut kenyataan akan membuatnya semakin terpuruk. Banyak
kata ‘seandainya’ berputar-putar di kepalanya. Bagaimana seandainya Jalal
memang pemilik baru jantung Dev? Apa yang akan dikatakan Jodha padanya?... Tapi
bagaimana seandainya Jalal bukanlah orang yang selama ini dicarinya...
Bagaimana seandainya Jalal bukanlah penerima donor jantung? Itu artinya Jodha
masih harus mencari lagi.... Lalu kenapa jantungnya sering berdetak cepat saat
ada Jalal di dekatnya?.. Apakah Jodha salah mengenali perasaannya sendiri?...
Apakah Jodha berharap terlalu banyak pada kebetulan-kebetulan yang sering
terjadi?
“Jodha....jodha....jodha....”
Lagi-lagi Jodha tidak mendengar panggilan
Nyonya Dhanjani di telinganya. Pikirannya terlalu jauh mengembara. Pikirannya
terlalu penuh untuk bisa memikirkan yang lain lagi....
Jodha –“Maaf Nyonya D, aku tidak mendengarmu
lagi...”
Nyonya Dhanjani –“Menginaplah disini kalau kau
memang sangat lelah... di asramamu tidak ada yang akan merawatmu. Atau mungkin
kami bisa memanggil orang tuamu? Mereka juga akan khawatir jika tahu
kondisimu...”
Jodha –“Tidak perlu, orang tuaku ada di
Canada. Terlalu jauh bagi mereka jika harus bolak-balik Canada-India. Aku sudah
dewasa, ditambah lagi aku tinggal di lingkungan Rumah Sakit. Dengan mudah Aku
bisa mendapatka perawatan...Tapi terima kasih sudah mencemaskanku.”
Nyonya Dhanjani –“Kau begitu jauh datang ke
India...apa ada alasan khusus kau memilih kota ini?”
Jodha –“Ada... Aku juga sedang mencari
seseorang.”
Nyonya Dhanjani –“Kau sudah menemukannya?”
Jodha –“Belum...”
Amar –“Aku bisa membantumu mencarinya...kalau
kau mau..”
Jodha –“Tidak perlu... aku tidak ingin
merepotkan siapapun.”
Nyonya Dhanjani –“Jodha..kami sudah
merepotkanmu... Berilah kami kesempatan agar kau mau merepoti kami... Kami
senang jika bisa membantumu..”
Jodha –“Terima kasih.... Ehm, sebaiknya aku
langsung pulang saja... Aku akan istirahat di asrama.”
Nyonya Dhanjani mengalah, dia membiarkan Jodha
pulang meski sebenarnya dia masih ingin mengobrol banyak dengan gadis itu. Bagi
Nyonya Dhanjani, Jodha adalah gadis yang berbeda dari semua gadis muda yang
pernah dikenalnya di lingkungan pergaulan Jalal. Hanya tiga kali pertemuan
termasuk malam ini, Nyonya Dhanjani sudah bisa menilai jika Jodha bukanlah
gadis yang manja, terlalu banyak menuntut ataupun terlalu banyak bertanya.
Jodha cantik, bahkan sangat cantik dengan perpaduan darah barat dan timurnya,
bukannya ditunjukkan, Jodha malah berusaha menyembunyikan pesonanya itu.
Sebagai Ibu yang normal, Nyonya Dhanjani pasti
juga punya harapan putranya bisa mendapatkan gadis sebaik Jodha, tapi dia tidak
akan berharap terlalu banyak. Bahkan mungkin dia tidak tega kalau Jodha harus
disandingkannya dengan Jalal, putranya. Dia tahu bagaimana sifat putranya itu.
Dia sangat dingin, apatis dan sangat pasif bila menyangkut hubungan dengan wanita.
Wanita-wanita yang selama ini dikencaninya hanya tertarik pada jabatan dan
kekayaannya, dan ironisnya Jalal menyadari semua itu. Entah kenapa pilihan
Jalal tetap saja jatuh pada wanita-wanita seperti itu. Itulah kenapa Nyonya
Dhanjani enggan jika Jalal menyukai Jodha, menurutnya Jalal tidak akan bisa
memperlakukan Jodha dengan sepantasnya, dan itu pasti akan menyakiti Jodha.
Cukup jika Jodha mau berteman dengan Jalal saja. Dan syukurlah, sampai saat ini
hubungan keduanya tidak lebih dari seorang teman.
Nyonya Dhanjani melambaikan tangannya
mengantar kepergian Jodha dari teras rumahnya. Jalal sendiri yang mengantar
Jodha pulang. Dalam hatinya, sebenarnya Jalal juga mengkhawatirkan Jodha, tapi
dia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Selama perjalanan, dia hanya terus
bolak-balik menoleh ke samping tempat duduknya untuk memastikan Jodha baik-baik
saja. Gadis yang diperhatikannya hanya diam membisu, wajahnya melihat terus ke arah
luar jendela, membuat Jalal bertanya-tanya apa yang sedang mengganggu
pikirannya hingga dia sangat terusik selama makan malam tadi.
Jalal –“Apa yang kau pikirkan? Apa kau
merindukan tunanganmu?”
Jodha –“Iya...”
Jalal merasa sedikit cemburu, tapi apa mau
dikata, tunangan Jodha yang lebih dulu mendapatkan hatinya.
Jodha –“Jalal..sejak kapan kau sering
mengunjungi Blessing Kids?”
Jalal –“Sudah lama. Dulu aku pernah ditampung dan
tinggal di panti itu. Aku dan Ibuku, kami tidak punya tempat tinggal dan uang.
Disana kami tinggal selama 2 tahun, kami diberi makan, tempat untuk tidur dan
perlindungan.”
Jodha –“Kau berumur berapa saat itu?”
Jalal –“Sembilan tahun... Jadi kami berhutang
budi pada panti asuhan itu, dan sekarang aku ingin membalasnya.”
Jodha –“Apa juga kebiasaanmu membawa lolipop
kalau mengunjungi mereka?”
Jalal –“Iya, kenapa?”
Jodha –“Tunanganku juga begitu, dia senang
membawakan lolipop untuk anak-anak panti asuhan.”
Jalal –“Oh... itukah kenapa kau lari
menghindariku saat kita bertemu di Blessing Kids? Kau jadi merindukan
tunanganmu gara-gara melihatku dan lolipop yang kubawa?”
Jodha –“Iya.”
Jodha menjawabnya dengan berat hati, baginya masih
terasa cukup menyakitkan jika mengenang kembali saat-saat kebersamaannya dengan
Dev. Beberapa saat mereka terdiam, bingung harus membicarakan topik apa lagi..
Jalal –“Temanmu Amar sepertinya tidak suka
jika kau dekat denganku... Apa dia punya perasaan padamu?”
Jodha –“Sepertinya begitu... Tapi aku tidak
berani memikirkannya..”
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti letusan yang
sangat keras bersamaan dengan guncangan yang mereka rasakan dari dalam mobil.
Keduanya terlonjak karena terkejut tapi langsung bisa mengontrol diri mereka
masing-masing.
Jodha –“Sepertinya ban mobilmu meletus..”
Jalal –“Kupikir juga begitu.”
Jalal menepikan mobilnya perlahan-lahan,
kebetulan lalu lintas jalan yang mereka lalui tidak terlalu ramai, sehingga
tidak mengganggu kendaraan yang ada di belakang mereka. Jalal turun dari
mobilnya dan memeriksa keempat ban mobilnya. Jodha juga ikut turun.
Jalal –“Ban belakang sebalah kanan yang meletus
tadi..”
Jodha –“Apa kau membawa cadangannya?”
Jalal –“Ada. Tunggu sebentar ya...”
Sambil menunggu Jalal mengutak-atik ban
mobilnya, Jodha mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat mereka
berhenti. Daerah itu cukup sepi, dengan beberapa rumah berbaris di pinggir
jalan. Tapi karena daerah ini bukan di dekat pusat keramaian, jadi tidak
terlihat aktifitas apapun dari penghuni ruma-rumah itu meski waktu belum
menunjukkan tengah malam. Jalan rayanya cukup lebar, tapi kendaraan yang
melewatinya tidak terlalu banyak. Meski agak lengang, tapi untunglah lampu
jalannya cukup terang. Sehingga siapapun yang lewat jalan ini tetap merasa
aman.
Jodha menoleh ke kanan dan ke kiri. Saat
menoleh ke sebelah kiri itulah, ada sebuah kerlip-kerlip cahaya kecil yang
menarik perhatian Jodha. Tanpa sadar, kakinya bergerak melangkah mengikuti arah
cahaya kerlip itu bergerak. Dari pinggir jalan raya, Jodha berbelok masuk ke
sebuah gang yang diapit dua buah rumah di samping kanan dan kirinya. Kakinya
terus berjalan mengikuti arah matanya memandang.
Di balik bangunan rumah itu, ternyata ada sepetak
tanah kosong tak terawat, terlihat dari tingginya rumput liar yang tumbuh
disana. Petak tanah itu sebenarnya cukup luas, sebanding dengan ukuran luas
sebuah lapangan futsal. Tidak ada satupun lampu yang menerangi tanah itu. Hanya
berkas-berkas cahaya dari celah-celah bangunan beberapa rumah yang mengelilingi
keempat sisinya. Selain itu penerangannya juga berasal dari cahaya bintan dan
bulan di langit. Benar-benar tempat yang sunyi yang sudah tidak akan ditemui di
tengah kota.
Kerlip cahaya kecil yang Jodha ikuti tadi,
bergerak-gerak mengitari sebuah pohon yang cukup besar yang tumbuh di sisi
selatan tanah itu. Tidak hanya satu, tapi belasan cahaya kecil disana. Rupanya
yang Jodha lihat tadi adalah kunang-kunang. Jodha tetap berdiri di tempatnya,
memperhatikan gerak-gerik kunang-kunang itu, sambil meresapi ketenangan dan
kesyahduan tempat yang tidak sengaja ditemukannya ini.
“Kau melihat apa?”
Jodha sampai tidak menyadari kehadiran Jalal
di sebelahnya.
Jodha –“Kunang-kunang...”
Tanpa menoleh, Jodha menjawab pertanyaan
Jalal. Matanya seakan terhipnotis oleh kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang itu.
Jodha –“Di rumah masa kecilku di Andhra
Pradesh, aku dulu sering melihat kunang-kunang. Mungkin sudah dua puluh tahun
berlalu sejak aku terakhir melihatnya. Sejak ayahku bertugas di kantor atase
perdagangan, kami sering berpindah-pindah rumah tapi kami selalu tinggal di
tengah kota, jadi aku tidak pernah lagi melihat kunang-kunang. Di kota sudah
terlalu terang dengan cahaya lampu. Aku masih ingat, setiap kali aku melihat
kunang-kunang bersama ayahku, dia selalu menyanyikan lagu Moon River untukku..
apa kau tahu lagu itu?”
Jalal –“Aku tahu..”
Jodha mulai menyenandungkan liriknya dengan
suara pelan...
Moon river,
wider than a mile
I’m crossing
you in style some day.
Oh, dream
maker, you heart breaker,
Wherever
you’re going I’m going your way.
Tak disangka, Jalal juga ikut-ikutan
bersenandung bait berikutnya dengan suaranya yang rendah....
Two drifters
off to see the world.
There’s such
a lot of world to see.
We’re after
the same rainbow’s end
Waiting
‘round the bend,
My
huckleberry friend,
Moon river
and me.
Jodha tersenyum menoleh pada Jalal, sama-sama
menikmati lagu yang hanya mereka sendiri saja yang tahu dalamnya kenangan
masing-masing yang menyertai lagu itu.
Jalal –“Kau beruntung punya seorang ayah yang
sangat mencintaimu..”
Jodha –“Apa kau tidak?!”
Jalal –“Tidak.... Sejak kecil yang mencintaiku
hanya ibuku. Dulu hidup kami sangat sulit. Setiap kali kami merasa terpuruk dan
tidak memiliki jalan keluar, ibuku akan menghiburku dan menyanyikan lagu itu
untukku. Berharap lagu itu memberi impian kehidupan yang lebih baik bagi masa
depan kami.”
Jodha –“Dan semuanya terwujud bukan?”
Jalal –“Benar...Jodha, kenapa kau masih mau
berhubungan denganku dan Ibuku?”
Jodha – “Memangnya kenapa? Apa kau tidak
suka?”
Jalal –“Bukan begitu. Aku yakin teman-temanmu
pasti sudah cerita padamu, soal reputasiku atau skandal-skandalku..”
Jodha –“Ya, Amar yang pernah cerita padaku
soal dirimu..Apakah itu benar?”
Jalal – “Kalau kau percaya maka kau akan
menganggapnya benar, begitu kan yang biasa terjadi?!”
Jodha –“Benar, tapi anehnya aku tidak
mempercayai semua itu. Aku pernah sekali salah menilai kepribadian seseorang.
Saat itu yang kulihat hanya yang ditampakkan di luarnya. Dan aku seratus persen
salah. Dari pengalaman itu, aku belajar untuk tidak menilai seseorang secara
sepihak saja.”
Jalal –“Apakah dia tunanganmu?”
Jodha menarik napas panjang sekali sebelum
menjawab pertanyaan itu..
Jodha –“Iya.”
Jalal –“Dia pria yang sangat beruntung bisa
mendapatkan hati dan perhatianmu. Andai saja aku yang lebih dulu bertemu
denganmu sebelum dia...”
Jodha tahu maksud perkataan itu, tapi dia
tidak ingin berkata apa-apa. Dia juga belum ingin menceritakan tentang Dev pada
Jalal. Belum saatnya.
Mereka masih berdiri berdampingan cukup dekat.
Sama-sama memandang di kejauhan. Pada kunang-kunang yang tak henti terbang
mengelilingi sebuah pohon. Entah bagaimana mulanya, mungkin juga karena suasana
yang mendukung, tangan mereka tidak sengaja saling bersentuhan ringan. Lalu tak
disangka, Jalal meneruskan ketidaksengajaan itu menjadi sebuah genggaman
hangat. Digenggamnya tangan Jodha. Ketika Jodha tidak memprotes tindakan itu,
Jalal semakin mempererat genggamannya meski posisinya tetap seperti semula, di
samping tubuhnya.
Jalal –“Meski kita baru saling mengenal, tapi
anehnya aku seperti sudah lama mengenalmu. Tidak perlu banyak bicara, namun seakan
aku sudah mengerti apa yang kau mau. Terima kasih sudah menjadi temanku...”
Jodha mulai merasakannya. Efek dari genggaman
tangan Jalal. Kehangatannya mulai merambat dari ujung jari tangan ke seluruh
tubuhnya. Hingga mencapai dadanya. Perlahana jantungnya mulai berdetak sedikit
cepat. Detakan cepat yang mulai terbiasa dirasakan Jodha akhir-akhir ini. Benar
dugaannya, jantungnya selalu berdetak cepat setiap ada Jalal di dekatnya.
Seperti memberi sinyal kehadirannya pada Jodha. Di tempat itu hanya ada mereka
berdua, jadi tanda-tanda itu tidak mungkin salah lagi.
Beranikah Jodha menanyakannya sekarang? Agar
dia tidak penasaran lagi?
Jodha –“Jalal...boleh aku bertanya?”
Jalal –“Apa?”
Jodha –“Tanda parut di dadamu itu bekas
jahitan operasi, kan? Kapan itu terjadi?”
Jalal –“Kalau tidak salah bulan Agustus
2006... Tapi yang aku ingat pasti saat itu hari Sabtu minggu kedua, karena pada
pagi harinya aku berjanji pada Ibuku akan mengajaknya menonton film di bioskop.
Janji yang tidak bisa kutepati gara-gara insiden itu.”
Jodha –“Apa yang terjadi?”
Jalal –“Aku berkelahi dengan ayahku untuk
melindungi Ibuku. Dia menancapkan pisau ke dadaku. Kata Ibuku, pisau itu
menancap cukup dalam sampai hampir mengenai jantungku. Ibuku yang tahu soal itu
karena aku koma selama 2 bulan. Saat sadar, sudah ada bekas jahitan itu
disana.”
Jodha tidak mungkin salah dengar. Waktu
kejadiannya sama dengan saat Dev meninggal, tapi....tapi bukan Jalal....
Jodha –“Jadi... kau tidak sampai menerima
jantung orang lain...?”
Jalal –“Rasanya tidak...jantungku sepertinya
baik-baik saja saat itu...”
Jodha –“Tidak mungkin!.... Tidak mungkin!”
Jodha menggeleng-gelengkan kepala dengan
cepat, seakan cara itu bisa merubah alur ceritanya. Tapi tidak bisa. Faktanya
Jalal bukanlah penerima jantung Dev. Lalu kenapa jantungnya berdetak cepat
untuk Jalal? Kenapa semuanya salah?
Jalal –“Jodha..ada apa?”
Jodha –“Ayo kita pulang.”
Jodha berjalan mendahului Jalal menuju mobil.
Dia langsung masuk dan tetap diam. Jalal yang tidak mengetahui apa yang
dipikirkan Jodha, juga hanya bisa diam. Yang bisa dilakukannya saat ini
hanyalah mengantar Jodha pulang. Mungkin besok setelah suasana hati Jodha
membaik, dia bisa menanyakannya soal ini.
************