By Tyas Herawati Wardani
Jodha mendarat dengan
selamat di depan kamar asramanya. Setelah tingkah mereka sendiri yang cukup
konyol, sekarang mereka berdua justru sama-sama canggung. Jalal jadi irit
bicara, dia hanya mengucapkan salam perpisahan pada Jodha, meninggalkan Jodha
yang masih tersenyum, dan mata Jodha mengikuti langkah Jalal pergi dari tempat
itu.
Tiba-tiba saja ada Amar di
belakangnya yang berbicara dengan sedikit ketus...
Amar –“Apa yang akan
tunanganmu katakan jika dia tahu kau menempelkan tubuhmu pada pria lain?!”
Jodha –“Keadaan yang
memaksa karena aku mengalami sedikit kesialan... Tapi aku dan Jalal hanya
teman...”
Amar –“Kalau dia temanmu
apa dia sudah cerita kalau dia adalah seorang pembunuh?!”
Jodha –“APA!”
Amar –“Itu rahasia umum. Dia
membunuh ayahnya sendiri saat usianya 19 tahun.”
Jodha terkejut dengan
fakta baru itu. Di satu sisi dia tidak percaya Jalal sanggup melakukannya, tapi
di sisi lain dia juga tidak percaya Amar akan berbohong padanya....
Amar –“Dia juga punya
reputasi yang buruk. Dia sering digosipkan bermalam bersama wanita-wanita yang
sedang dekat dengannya. Dan seperti kutukan, setiap wanita yang pernah dekat
dengannya sering terlibat skandal yang memalukan. Aku tidak mau kau mengalami
semua itu. Jauhi dia selagi kau bisa..”
Setelah puas
menjelek-jelekkan Jalal pada Jodha, Amar pergi begitu saja. Meninggalkan Jodha
dengan ribuan pertanyaan dan keraguan. Kalau memang faktanya seperti itu, seharusnya
Jodha segera menjauh dari Jalal. Seharusnya Jodha tidak berhubungan dengan
seorang kriminal. Tapi membayangkan Jalal seorang kriminal, Kenapa gambaran itu
tidak cocok dengan Jalal yang dia kenal. Meski mereka baru dua kali bertemu,
ditambah lagi mereka belum sempat mengobrol hal yang lebih pribadi, tapi Jodha
merasa memiliki keyakinan bahwa Jalal adalah orang yang memiliki prinsip yang
baik dan tidak akan sanggup membunuh orang.
Sebelumnya, Jodha tidak
pernah ragu untuk menjauh dari setiap pria, karena yang diyakininya hati dan
pikirannya masih milik Dev. Tapi kenapa sekarang rasanya berbeda. Kenapa terasa
berat sekali untuk mengacuhkan Jalal. Kenapa dengan Jalal perasaannya mengalir
begitu saja, seperti perasaan pulang ke rumah yang selalu dirindukan. Jodha
merasa kalau dia sudah menunggu munculnya perasaan ini sejak lama. Setelah lama
berpikir, akhirnya Jodha menyerah, dia tidak bisa menemukan jawaban apapun.
Esok harinya, Jodha
memilih kembali tenggelam pada pekerjaannya dengan harapan pikirannya akan
menjauh dari semua kerumitan tadi malam. Tapi keinginannya untuk hanya
memusatkan pikiran pada pekerjaannya sepertinya belum bisa terwujud. Selalu ada
hal lain yang menarik hatinya. Kali ini adalah terlibat dalam sebuah kegiatan
sosial. Tawaran itu datang dalam bentuk
selebaran yang tergeletak begitu saja di meja kerjanya. Isi selebaran itu
adalah tentang ajakan bagi staf Rumah Sakit maupun tenaga medis untuk terlibat
sebagai sukarelawan yang akan menghibur anak-anak panti asuhan. Kegiatannya
dilakukan setiap hari Minggu. Dan Jodha ingin bergabung di dalamnya.
Hari Minggu, semua
sukarelawan berkumpul di aula Rumah Sakit, rencananya dari sana mereka akan
berangkat bersama-sama ke panti asuhan yang dituju. Sukarelawan yang teribat ternyata
cukup banyak hingga diputuskan mereka akan terbagi empat kelompok yang akan
pergi ke empat panti yang berbeda. Tak disangka, diantara para sukarelawan,
Jodha melihat Amar. Sepertinya dia datang di saat-saat terakhir karena Jodha
belum melihatnya saat baru berkumpul tadi.
Pembagian kelompok selesai
dilakukan, dan bukan hal yang mengejutkan lagi bagi Jodha jika ternyata dia
satu tim dengan Amar. Kelompok mereka terdiri dari enam orang dan akan
mengunjungi Blessing Kids Orphanage. Disepakati mereka akan melakukan sebuah
pesta kejutan dan aneka permainan disana. Berbekal macam-macam mainan anak,
belasan bungkus hadiah dan makanan kecil, mereka berangkat. Tidak lupa mereka
membawa dua set kostum boneka badut untuk penyemarak acara.
Sesampainya di panti asuhan
itu, tanpa membuang waktu, mereka berenam menyiapkan semua perlengkapan pesta
sederhana. Jodha menawarkan diri sebagai orang yang memakai kostum badut. Dan
Amar juga. Jodha memilih kostum penguin dan Amar memakai kostum panda. Keduanya
pun menutup seluruh tubuh mereka dari kepala sampai kaki dengan kostum itu. Tidak
bisa lagi mengenali yang mana Jodha atau Amar.
Pestanya cukup
menyenangkan meski sederhana. Bagi anak-anak di panti, bentuk hiburan sekecil
apapun adalah berkah bagi mereka. Semuanya larut dalam keceriaan pesta ditambah
dengan kehadiran penguin dan panda diantara mereka.
Hampir empat jam Jodha
berada di balik kostumnya. Tubuhnya sudah terasa mendidih dan keringat sudah
membasahi seluruh bajunya. Tapi Jodha tidak mengeluh, dia masih ingin terus menghibur
anak-anak panti. Di tengah-tengah acara, salah satu anak berteriak menunjuk ke
luar jendela, ke sebuah mobil yang baru masuk ke halaman gedung panti. Teriakannya
mengundang perhatian anak-anak yang lain. Seperti dikomando, mereka serempak
mendekati jendela dan berteriak-teriak senang memanggil nama “Paman Jalal”
berulang-ulang. Jodha dan teman-temannya bingung akan perubahan tingkah
anak-anak itu.
Kemudian Ibu asuh panti
masuk bersama seorang pria. Jodha menoleh ke arah pintu dan melihatnya. Jodha
melihat Jalal.....Begitu Jalal memasuki ruangan, dia langsung dikerubuti oleh
semua anak yang berebut untuk bersalaman dan memeluk Jalal.
Jalal tidak menyadari
kehadiran Jodha di ruangan itu karena tubuh dan wajahnya tertutup kostum
penguin. Dengan senyum yang terkembang di wajahnya, Jalal dengan sabar meladeni
anak-anak itu, menjawab pertanyaan, memeluk mereka satu persatu bahkan
bergantian menggendong mereka. Jodha tidak percaya orang itu adalah Jalal yang
dikenalnya, yang memiliki wajah dingin dan datar, sedatar tembok. Bisakah orang
bersikap seperti itu dan menjadi pembunuh?
Ibu panti memberi aba-aba pada semua anak
asuhnya untuk tenang. Dia akan membagikan lolipop satu per satu pada semua
anak, hadiah yang dibawa oleh Jalal.... Di sudut ruangan, Jodha hanya diam
memperhatikan. Pikirannya membeku. Dia merasa seperti mengalami deja vu. Dia
pernah melakukan ini...bersama Dev. Sama seperti Jalal, Dev gemar sekali
membawakan lolipop untuk anak-anak panti... Kenapa kebetulan sekali? Kenapa
Jalal bisa melakukan hal yang sama seperti yang Dev lakukan?....
Jodha masih diam mematung,
sama sekali tidak mendengar ada seorang anak yang bersemangat
memanggil-manggilnya. Hingga panggilan yang ketiga, dia baru tersadar dari
lamunannya. Jodha melongok ke bawah karena pandangannya tertutup kostumnya. Di
bawahnya ada seorang anak kecil menyodorkan lolipop untuknya. Anak itu
mengatakan kalau lolipop ini dari pamannya yang tercinta. Dengan tangan
gemetar, Jodha menerimanya. Dipandanginya lolipop itu seakan benda itu adalah
benda paling langka di dunia.
Dadanya rasanya mau
meledak karena tangis yang berusaha ditahannya, tapi Jodha gagal. Dia pun
berlari keluar dari ruangan itu, tidak ingin tangisnya didengar siapapun.....
Amar yang bingung dengan
tingkah Jodha yang tiba-tiba berubah, berlari mengikutinya keluar. Berlari
dengan kostum yang berat itu butuh usaha ekstra keras. Sebenarnya Jodha ingin
berlari lebih jauh agar dia bisa lepas dari sakit dan sedihnya mengingat
kenangannya bersama Dev. Tapi apa daya, tubuhnya tidak punya tenaga lagi. Dia
pun terduduk lemas menyandarkan punggungnya di salah satu sudut gedung panti
asuhan. Dibukanya penutup kepalanya dan segera menghirup udara dalam-dalam
untuk menjernihkan pikirannya.
Sambil menutup kedua
matanya, Jodha berusaha menyimpan kembali kenangannya bersama Dev.
Kenangan-kenangan itu harusnya tidak keluar di saat seperti ini.
Perlahan..pikirannya mulai tenang...tapi tidak dengan detak jantungnya....Detaknya
bertambah cepat hingga rasanya rongga dadanya semakin sesak...
Dan dibalik matanya yang
tertutup, bukan lagi bayangan Dev yang muncul, tapi Jalal.....
Seketikan Jodha membuka
matanya, seakan ketakutan akan apa yang dilihatnya barusan...
Amar yang sudah berhasil menyusulnya,
duduk di sampingnya...
Amar –“Ada apa?...Apa kau
hanya ingin sembunyi dari Jalal?”
Jodha –“ Tidak, aku hanya
merasa sesak di dalam. Aku butuh udara segar...”
Amar –“Apa kau
sakit?....Pasti kostum ini terlalu berat untukmu..”
Jodha –“Tidak, aku juga
pernah memakai kostum seperti ini di Canada. Aku hanya....”
Amar –“Kau haus ya?
Kuambilkan minum....”
Amar bangkit dari duduknya
dan masuk ke dalam lagi untuk mencarikan minum bagi Jodha.
Belum lama Amar pergi, mendadak
Jodha merasa ada orang yang berdiri di sampingnya, awalnya dia kira orang itu
Amar yang sudah kembali dari dalam....Tapi ternyata bukan...
Jodha –“Jalal...!”
Jalal –“Aku sudah mengira
si penguin itu kau.....Ini minumlah, kau pasti haus...”
Jalal menyodorkan sebotol
air minum dan langsung diterima Jodha. Dalam sekali tenggak, isi botolnya sudah
tersisa kurang dari setengahnya.
Jodha –“Terima kasih.....
Darimana kau tahu itu aku?”
Jalal –“Aku melihat
beberapa perawat yang pernah kutemui saat mengantar Ibuku ke Rumah Sakit. Dan
saat melihat ada penguin sedang menempel di sudut ruangan, aku langsung
terpikir itu dirimu. Aku juga tidak tahu darimana datangnya pikiran itu....”
Jodha –“Lalu kau
mengikutiku kesini?”
Jalal –“Ya...Kenapa kau
lari?”
Jodha tidak menjawab,
bersamaan dengan itu pula, Amar datang membawakan air minum yang tadi
dijanjikannya. Meski terkejut melihat Jalal juga disana, tapi Amar tidak
mengacuhkannya. Tetap disodorkannya botol air yang dibawanya meski dia melihat
Jodha sudah memegang sebuah botol. Tampak jelas raut permusuhan di wajah Amar.
Amar –“Ini minumlah....kau
sudah lebih baik?”
Jodha –“Sudah, terima
kasih....Amar, ini Jalal..”
Amar –“Aku sudah pernah
melihatnya di majalah. Semua orang juga sudah tahu siapa dia!”
Jawaban Amar sangat ketus,
bahkan uluran tangan Jalal untuk berkenalan juga tidak digubrisnya. Namun Jalal
tidak berkomentar apa-apa, dia cukup mengenali tanda-tanda rivalitas pada sikap
yang ditunjukkan oleh Amar.
Jalal –“Jodha, ada pesan
dari Ibuku untukmu, dia ingin mengundangmu makan malam...”
Jodha –“Eh..iya..”
Amar –“Sebaiknya kau
menjaga sikapmu pada Jodha. Apa kau tidak tahu Jodha sudah memiliki tunangan? Jangan
sampai Jodha juga ikut terseret ke dalam skandalmu!”
Jalal terkejut atau tidak,
dia tidak menunjukkannya, hanya sedikit mengangkat alisnya. Jodha memperhatikan
tidak ada perubahan ekspresi yang muncul di wajahnya, Jalal tetap datar.
Jalal –“Aku masuk dulu.”
Jalal melangkah pergi
meninggalkan Jodha dan Amar berdua.
Amar –“Jangan terima
undangannya!”
Jodha –“Aku juga ingin
begitu, tapi undangan ini dari Ibunya, sangat tidak sopan jika aku
menolaknya..”
Amar –“Semakin lama kau
terlibat dengan orang itu, kau bisa mendatangkan masalah untuk dirimu sendiri.
Aku mengkhawatirkanmu...”
Jodha –“Terima kasih. Akan
kupertimbangkan saranmu...”
Jodha tidak bisa
meyakinkan Amar kalau dia tidak punya perasaan apa-apa pada Jalal, karena dia
bahkan tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri. Jodha sudah terlibat dalam
masalah besar, masalah yang melibatkan perasaannya...
Kegiatan sosial itupun
berakhir. Pada saat Jodha dan timnya mengemasi perlengkapan mereka, Jodha tidak
melihat Jalal dimanapun, padahal mobilnya masih terparkir di halaman. Tapi
tidak mungkin bagi Jodha untuk mencari Jalal, alasan apa yang akan dia katakan,
hanya sekedar berpamitan? Rasanya terlalu dibuat-buat...
Hingga beberapa hari,
Jodha masih bingung apakah dia akan menerima undangan Nyonya Dhanjani atau
tidak. Jika dia menerimanya, itu berarti dia memang belum bisa melepaskan
pikirannya dari Jalal karena makan malam itu juga pasti melibatkan Jalal. Jika
dia menolaknya maka Nyonya Dhanjani akan tersinggung. Kenapa Jodha sulit
melepaskan bayangan Jalal? Apakah dia penasaran akan masa lalu Jalal setelah
apa yang dikatakan Amar bahwa Jalal adalah seorang pembunuh? Masalahnya, jauh
di dalam lubuk hatinya, Jodha percaya Jalal adalah orang baik dan bertanggung
jawab. Jika sampai ada berita seperti itu, pasti ada sebabnya. Sebagai orang
baru di Delhi, Jodha tidak bisa mengorek informasi dari siapapun, dia tidak
mengenal siapapun disini, karena itulah satu-satunya cara mendapatkan kebenaran
adalah dengan bertanya langsung pada yang bersangkutan.
Suatu sore, Nyonya
Dhanjani mendatangi Jodha di ruangannya..
Nyonya Dhanjani –“Kau
belum memutuskan kapan akan makan malam denganku, karena itu aku menjemputmu.
Malam ini kita makan bersama di rumahku!”
Jodha –“Nyonya D, ini
terlalu mendadak...Aku belum bersiap-siap.”
Nyonya Dhanjani –“Tidak
masalah, kau tidak perlu tampil resmi, karena kita hanya makan malam di
rumahku, bertiga saja..”
Jodha –“Baiklah, sebentar
lagi pekerjaanku selesai..”
Nyonya Dhanjani –“Aku
tunggu di mobil.”
Nyonya Dhanjani
benar-benar menunggu di mobilnya. Beberapa menit kemudian, Jodha turun
menyusulnya. Mobil yang mereka naiki langsung bergerak menyusuri jalan-jalan
kota menuju kediaman Nyonya Dhanjani dan Jalal. Jodha berpikir seandainya Jodha
harus pergi sendiri ke rumah Jalal, bisa-bisa dia tersesat di tengah-tengah
kota Delhi ini. Karena jalan yang harus mereka lewati banyak sekali
persimpangannya.
Hanya butuh waktu empat
puluh lima menit untuk sampai di rumah Nyonya Dhanjani. Rumah yang cukup mewah
dengan gerbang besar di bagian depan. Rumahnya berlantai dua, dengan teras yang
cukup lebar. Ada taman kecil hanya sekedar untuk mempercantik lanskap bangunan
itu sendiri. Nyonya Dhanjani menuntun Jodha masuk. Di dalam rumah, Jalal sudah
menunggu mereka. Pakaian yang dikenakannya cukup santai, kemeja polo dan celana
jeans. Jalal hanya mengangguk pada Jodha sebagai pengganti ucapan salam.
Interior rumahnya cukup minimalis,
tidak terlalu banyak pajangan dan lukisan. Pantas saja Nyonya Dhanjani merasa
kesepian, pikir Jodha, rumah sebesar ini hanya ditempati mereka berdua. Jodha
mengikuti langkah Nyonya Dhanjani ke dapur. Disana dia membantu wanita itu
mempersiapkan hidangannya...
Jodha –“Kenapa anda tidak
meninggalkan pesan saja? Daripada harus menjemputku.”
Nyonya Dhanjani –“Aku
lebih baik menjemputmu langsung, kau tidak akan punya kesempatan menolakku...”
Jodha –“Apakah keinginan
anda terbiasa dituruti?”
Nyonya Dhanjani –“Tidak
juga, malah dulu aku biasa menuruti keinginan orang lain. Hanya saja sekarang
aku terlanjur menyukaimu, jadi aku tidak ingin kau menjauh dariku dan
putraku..”
Jodha –“Anda tidak sedang
ingin menjodohkan aku dan Jalal, kan?”
Nyonya Dhanjani –“Tentu
saja tidak, mana aku berani. Jalal mengatakan kau sudah bertunangan. Meski
tidak begitupun, aku tidak akan bisa memaksakan pilihanku pada Jalal. Aku hanya
melihat kehadiranmu di dekat Jalal membuatnya sedikit lebih santai, karena itu
aku hanya berharap tetaplah menjadi temannya. Jalal tidak punya banyak teman,
dia punya musuh lebih banyak...”
Nyonya Dhanjani mengatakan
itu semua dengan nada yang cukup datar, atau mungkin dia menutupi semua
perasaannya. Jodha dan Nyonya Dhanjani mulai menyiapkan meja makan. Pada saat
Jodha membawa sebuah mangkok berisi masakan kari...Uppss... tidak sengaja dia
bertabrakan dengan Jalal. Beberapa tetes kuah kari membasahi baju Jalal.
Jodha –“Astaga, maafkan
aku..”
Jalal –“Tidak apa, aku
akan mengganti bajuku.”
Yang dimaksud Jalal dengan
mengganti baju adalah melepas bajunya di depan Jodha dan Nyonya Dhanjani di
ruang makan, barulah Jalal pergi ke kamarnya untuk mengambil baju yang baru.
Saat Jalal membuka baju di
depannya, Jodha terkesiap melihatnya. Kali ini bukan pemandangan tubuh Jalal
yang kekar yang membuatnya tak bisa bicara,... tapi bekas luka jahitan yang membentang
di dadanya.... Jodha tidak berkedip,... jantungnya berdegup sangat kencang...
bahkan telinganya sampai mendengung mengetahui fakta yang baru saja
ditemukannya..... Berarti Jalal pernah dioperasi di bagian dada...Apakah
jantungnya?....Apakah dia pemilik baru jantung Dev?.....Apakah itu sebabnya
jantung Jodha sering berdetak cepat bila kebetulan ada Jalal di dekatnya?.....
********************