Versi
Alsi Chapter 9 -12
By
Viona Fitri
'BUGHK....'
Dari atas
pohon besar diatasnya, terjatuh seorang gadis cantik yang langsung ditangkap
oleh Jalal. Mata gadis itu tertutup rapat karena ketakutan. Bibirnya bergerak
tapi tidak bersuara. “Hey monyet hutan, kau sedang apa memanjat di pohon besar
itu? Itu bukanlah makananmu kan?” bisik Jalal di telinga Jodha. Mata Jodha
langsung terbuka lebar dan menjauh dari Jalal. Jodha turun dari kuda yang
ditunggangi Jalal dan memunguti buah-buahannya yang sudah diambilnya tadi satu
persatu.
“Ternyata
pendekar seperti mu, tidak bisa memanjat pohon dengan baik.” Goda Jalal yang
mulai membantu Jodha memunguti buah-buahannya.
“Karna aku
bukan monyet. Jadi aku tidak bisa memanjat dengan baik seperti mereka. Lagi
pula, dahan-dahan pohon itu licin sekali, kalau tidak aku tidak akan
tergelincir seperti tadi.” ucap Jodha membela diri.
“Apa tidak
ada harimau yang lewat dari sini?”
“Tidak
ada. Kalaupun ada, aku pasti akan bertarung melawannya.”
“Kau tidak
takut dengan harimau?”
“Takut?
Untuk apa aku takut pada harimau. Pada singa saja aku tidak takut.” ujar Jodha
sambil menatap Jalal dengan geram.
“Owh
begitu. Kalau begitu kau memang benar-benar pendekar sejati. Kapan kau ingin
bertarung melawanku?”
“Setelah
ilmuku sudah semakin besar, maka aku pasti akan membunuhmu. Kau tidak perlu
khawatir dengan nyawa mu.”
'AUGHK...
HARRK... HARk'
Terdengar
seperti suara harimau yang mulai mendekat ke arah mereka. Mata Jodha membulat
besar dan nafasnya menjadi tidak beraturan. Jodha bersembunyi di belakang
punggung Jalal sambil memegang jubahnya kuat-kuat. Jalal hanya tersenyum
sembali berkata. “Katanya kau tidak takut dengan Harimau. Kenapa bersembunyi?
Keluarlah dan hadapi harimau itu.”
“Aku yakin
Harimau yang akan datang kepada kita adalah harimau yang besar. Aku hanya
benari dengan harimau yang kecil saja.” sahut Jodha dengan gemetaran.
Jalal
merasakan pegangan Jodha di jubahnya semakin kuat. Tiba-tiba seekor harimau
besar berlari dengan lincah menghampiri mereka. Jalal juga menjadi panik karena
kedatangan harimau itu sangat cepat sekali. Untungnya Jalal membawa sebuah
pistol senapan untuk memburunya. “Jodha... Kau tunggu disini dulu. Aku akan
mengambil pistol senapan berburuku di kantung kuda.” Jalal bangkit dan beranjak
mengambil pistolnya.
Harimau
itu sudah semakin dekat dengan Jodha. Jarak mereka hanya berkisar 3 meter lagi.
Jalal mengambil pistol senapannya dan menembakkan kearah Harimau besar yang
sebentar lagi akan segera menyerang Jodha. “Aaaa...” teriak Jodha histeris
sambil menutupi wajahnya.
DOOR....
Bunyi
pistol senapan yang ditembakkan membuat Jodha semakin histeris dan menangis.
Harimau itu tersungkur ke tanah. Jalal segera menghampiri Jodha dan mengusap
punggungnya lembut. “Ya Khuda... Ternyata kau penakut sekali. Bagaimana bisa
menjadi seorang pendekar yang gagah, kalau dengan harimau saja kau takut?”
“Sudah.
Kau selalu saja menghina ku. Sekarang aku mau pulang saja.” Jodha mengambil
buah-buahannya kemudian berlari secepat kilat menuju tempat Bhaisanya.
* * * * *
“Bhaisa...
Lihatlah, aku membawa buah-buahan segar untuk kita.” Jodha mengambilkan satu
buah apel segar dan mengulurkannya pada Bhaisanya. Mereka menggiti apel itu,
sementara Jodha yang memegang apelnya.
“Kau habis
menangis Jodha?” tanya Sujamal. Mata Jodha memang masih terlihat sembab dan air
matanya masih menggenang di pelupuk matanya.
“Tadi ada
seekor harimau besar yang akan menyerangku. Tapi, Jalal menyelamatkanku. Dia
sebenarnya adalah lelaki yg baik. Tapi, entahlah kenapa sampai sekarang dia
tidak membebaskan Bhaisa dari sini.” Jelas Jodha.
“Aku kira
dia sudah terlalu terobsesi untuk menjadi raja penguasa India satu-satunya.
Atau seseorang yg dekat dengannya telah meracuni pikirannya.” Kata Maansing
ikut bicara.
“Sudahlah
kak, kita tdk perlu lagi membicarakan tentangnya. Aku akan berusaha membuatnya
membebaskan kalian dari sini. Tangan kalian sudah sangat luka parah, aku harus
segera melakukan sesuatu agar bisa membebaskan kalian dari sini.” Jodha
meletakkan buah-buahannya & bergegas pergi ke kamar Jalal.
Pisau. Itu
yg terpikir di otaknya untuk membebaskan Bhaisanya dari tali keras itu. “Jalal
pasti tdk akan tau kalau aku masuk kedalam kamarnya. Tapi, dimana letak pisau
dikamar ini. Yang ada hanya pedang saja. Aku kira Jalal tdk mempunyai pisau,
karna dia hanya tau membunuh seseorang dengan pedangnya saja.” Bathin Jodha yg
terus mencari dimana pisau di ruangan itu.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki seseorang yg mulai mendekat memasuki kamar itu. Jodha
mengambil salah satu pedang di sana & bersembunyi di balik meja besar.
Tapi, langkah kaki itu tiba-tiba saja berhenti dan sepertinya malah melangkah
menjauhi kamar. Jodha mengusap dadanya lega.
Di pohon
besar tempat Bhaisanya diikat. Jodha berusaha memutus tali itu tapi tidak
berhasil juga. “Bhaisa, kenapa tali ini susah sekali untuk di potong?” tanya
Jodha heran.
Jodha
membuang pedangnya karna kesal. Pedang itu seperti tidak berguna sama sekali
untuknya. “Kau ingin memotongnya Jodha?” tanya seseorang dari arah belakang.
Jodha berbalik dan menjawab dengan singkat. “Iya.”
Jalal
melihat pedang yang Jodha campakkan tadi. “Kau... Berani-berani nya mengambil
pedang kesayanganku.” runtuk Jalal mengambil sembari pedangnya kembali. “Kenapa
memangnya?” tanya Jodha balik.
“Kau
memang membuatku marah saja. Untungnya kau wanita, kalau tidak aku pasti sudah
akan menghabisimu.”
“Justru
itu, kenapa kau tidak menghabisiku saja, hem?”
“Dasar
wanita keras kepala.” kata Jalal yang langsung berlalu dari sana. Jodha hanya
tersenyum menang menatap kepergiannya.
“Apa yang
sudah kau lakukan padanya Jodha?” tanya Sujamal heran.
“Aku tidak
melakukan apa-apa. Tadi aku memang mengambil pedang itu dari kamarnya. Tapi aku
tidak tau kalau pedang itu adalah pedang kesayangannya.”
“Kenapa
dia tidak pernah bersikap kasar padamu? Apakah dia telah jatuh cinta padamu
Jodha?” tanya Maansing bingung.
“Tidak
mungkin dia jatuh cinta padaku Bhaisa. Dia itu hanya simpati padaku saja. Karna
aku hanya seorang wanita. Ngomong-ngomong bagaimana caranya membebaskan kalian
dari sini? Kita harus segera pergi dan meminta perlindungan paman Pratap Sing.
Bhaisa pasti sudah sangat lelah diikat terus menerus seperti ini, aku akan
berkata pada Jalal, kalau dia harus membebaskan Bhaisa.” Jodha berjalan
melangkah ke kamar Jalal.
Dikamarnya,
terdengar suara Jalal tengah berbicara dengan seseorang yang berada didalam
sana. Jodha bersembunyi di balik tenda kamar Jalal dan menempelkan telinganya
ke tenda untuk mendengar apa yang sedang mereka bicarakan didalam.
“Hahaha...
Sekarang pasti kita akan segera mendapatkan Amer Syarifuddin. Aku telah membuat
nyawa Jodha terselamatkan berulang kali. Bahkan dia juga sudah mengatakan
padaku, bahwa aku adalah orang yang lembut. Aku yakin dia pasti akan menerima
lamaranku karena kebaikanku.” kata Jalal terbahak.
Syarifuddin
tersenyum dan menanggapi perkataan Jalal barusan. “Anda hebat yang mulia. Saya
yakin, tuan putri dari Amer itu akan menerima lamaran anda, dan kemudian
menikah dengan anda. Jadi katakan pada saya, apa yang akan anda lakukan jika
Putri itu menjadi ratu anda?”
“Kenapa
kau masih bertanya lagi Syarifuddin? Aku pasti akan menjadikannya dasi di
istana ku. Dia akan ku jadikan pelayan setia ratu Ruqayah.”
Syarifuddin
tercengang dan bertanya lagi. “Gadis secantik dewi itu akan anda jadikan
seorang dasi Yang Mulia? Apakah anda tidak akan rugi tidak bisa menikmati
kemolekan tubuhnya?”
Jalal
terkekeh dan berbalik menatap tajam ke arah Syarifuddin. “Kenapa memangnya
kalau aku ingin menjadikannya seorang dasi? Apa kau keberatan dengan
keputusanku? Atau jangan-jangan kau telah jatuh hati pada tuan Putri Amer itu?”
Syarifuddin
tercekat, dan menjawabnya sembari menunduk takut. “Tidak Yang Mulia. Aku tidak
merasa keberatan dengan keputusanmu. Itu memang sudah seharusnya yang dia
lakukan menjadi seorang dasi, melayani semua penghuni Harem.”
“Bagus
kalau kau mengerti itu. Dia memang benar-benar bodoh sekali Syarifuddin. Apakah
aku benar-benar ingin melukai tanganku sendiri demi menyelamatkannya? Tidak
mungkin. Itu tidak mungkin terjadi.”
* * * * *
Di balik
tenda Jalal, air mata Jodha mulai menetes deras. Benar dugaannya, bahwa Jalal
hanya berpura-pura perhatian dan peduli terhadapnya. Semua itu hanya
dilakukannya, semata-mata untuk mendapatkan Amer menjadi daerah kekuasaan
Mughal. Jodha memang harus bisa menerima kenyataan yang ada. Dia harus menikah
dengan Jalal demi keselamatan Bhaisanya dan rakyat Amer. Mereka harus tetap
bertahan hidup walaupun harus merenggut segala kebahagiaannya.
Jodha
tanpa izin langsung memasuki kamar Jalal dengan kepala tertunduk. Syarifuddin
segera pergi dari sana meninggalkan mereka mereka berdua. “Ada apa?” tanya
Jalal lembut. Jodha semakin marah dengan nada suara Jalal yang dibuat selembut
mungkin padanya. Tangan Jodha menggempal membentuk sebuah bogeman yg ingin
segera ia lampiaskan pada pria iblis dihadapannya. Tapi, Jodha menahan segala
amarahnya begitu bayangan Bhaisanya kembali berkelebat dlm memori ingatannya.
“Aku ingin
kau membebaskan Bhaisa ku. Aku akan memenuhi semua permintaan mu. Kalau kau
ingin membunuhku, itu lebih baik dari pd aku harus mati secara perlahan di
Istanamu.” Ungkap Jodha ketus. Kepalanya masih tertunduk dengan linangan
kristal bening yg masih terus saja mengalir tdk ingin berhenti.
“Kau
menangis lagi, hah? Kenapa semua wanita selalu cengeng sekali. Aku kira setelah
kau membunuh prajuritku dgn sangat kejam waktu itu, kau benar-benar seorang
pendekar yg tdk kenal ampun. Tapi, semua anggapanku itu salah semua.” Ujar
Jalal yg dibarengi dgn senyum tipis di bibir indahnya.
“Sudah
jangan basa basi lagi. Sekarang katakan apa mau mu? Tapi setelah itu bebaskan
Bhaisa ku?” ucap Jodha dgn pedas.
“Jodha...
Kau benar-benar ingin tau apa yang aku minta padamu?” tanya Jalal dengan
seringai iblisnya. Matanya menatap tajam ke dalam manik mata Jodha. Sejenak,
ritme nafas Jodha menjadi tidak beraturan dengan tatapan tajam Jalal yang
sangat dekat dengannya. “Katakan saja Jalal! Tapi setelah itu... Ingatlah
janjimu untuk membebaskan Bhaisaku. Aku benar-benar tidak tau terbuat dari apa
hatimu itu. Benar-benar kejam dan iblis sekali.” jawab Jodha ketus.
Jalal
menarik kepala Jodha dan mencium bibirnya singkat. PLAK... Sebuah tamparan
telah mendarat telak di pipi Jalal. “Kau gila atau bagaimana? Kau kira aku
wanita murahan yang bisa kau sentuh kapan saja. Menjijikkan sekali peringai mu
itu.” bentak Jodha keras. Jalal memegang pipinya yang mulai panas karena tamparan
Jodha tadi. Rahangnya seketika mengeras dan giginya bergemeletuk. “Dasar gadis
tidak tau diri. Sudahku selamatkan berulang kali nyawamu tapi kau melakukan ini
pada malaikatmu? Baiklah dengarkan aku baik-baik. Aku akan menikahimu dan
menjadikan ratu di istanaku. Tapi kau harus ingat, kalau kau hanya akan menjadi
dasi bagi ratu ku dan juga semua penghuni harem. Setelah itu, Amer akan menjadi
daerah kekuasaan Mughal. Kau mau menerima pernikahan ini atau tidak, aku tidak
akan peduli. Yang jelas aku akan menikahimu. Dan sekarang juga, agar kau puas.
Maka aku akan membebaskan Bhaisamu. Ingat Jodha... Tamparan ini adalah tamparan
pertama kalinya dalam sejarah hidupku. Sebelumnya, tidak ada yang pernah berani
menamparkan dengan kasar sepertimu. Lihat bagaimana caraku membalas
perbuatanmu.” Kata Jalal dengan keras. Bahkan mungkin Bhaisanya juga mendengar
sentakan Jalal tadi. Jalal keluar sambil menyuruh pada Algojonya membebaskan
Sujamal dan Maansing.
* * * * *
Jodha
tersenyum lega dan memeluk keduanya. Setelah kematian ayah mereka, sekarang
mereka hanya hidup bertiga. Tidak ada yang akan bisa mendengar setiap keluh
kesah yang mereka alami. Dulu, Bharmal yang selalu mendengar setiap curahan
hati anak-anaknya. Tapi sekarang, semua penderitaan itu harus di pendam seorang
diri dalam hidupnya.
“Bhaisa...
Aku senang kalian bisa bebas.” ucap Jodha penuh haru. Air matanya juga ikut
menetes mengiringi ucapannya itu. Tapi kali ini, air mata itu bukanlah air mata
bahagia, melainkan air mata kesedihan. Bagaimana tidak? Setelah Bhaisanya
terbebas, maka berarti Jodha harus menikah dengan Jalal.
Ketika
sebuah pernikahan hanya di landasi dengan suatu keinginan tertentu saja, makam
bagaimana rumah tangga mereka akan berjalan layaknya rumah tangga sungguhan.
Semuanya mungkin memang telah takdir dari dewa untuk dirinya. Tapi Jodha masih
belum percaya jika semuanya berjalan secepat ini. Kenyataan takdir akan
merenggut semua kebahagiaannya. Menjadi dasi dalam istana suaminya sendiri, itu
bukanlah hal yang mudah. Setiap seseorang memang belum tentu menginginkan jabat
yang berpredikat tinggi, tapi mereka hanya ingin di hargai menjadi seorang
manusia.
“Kau
kelihatannya bahagia sekali Jodha karena kami telah bebas. Coba katakan pada
kami, apa yang kau katakan pada Jalal sehingga dia mau membebaskan kami.” tanya
Maansing sembari merenggangkan pelukannya.
“Lihatlah
Maansing, Jodha sampai menangis karena terlalu bahagia hari ini. Kami selalu
berharap, kau akan tetap bahagia selamanya Jodha.” Timpal Sujamal.
Jalal
menghampiri mereka dan berpura-pura tersenyum hangat pada mereka. Ia memeluk
Sujamal dan Maansing bergantian. Sujamal dan Maansing, hanya berpikir sendiri
dalam bathin mereka. Entah apa yang sedang terjadi pada raja Mughal yang kejam
itu.
“Aku
senang sekarang kalian sudah bebas. Dan aku juga mempunyai kabar bagus untuk
kalian.” ujar Jalal menatap ke arah Jodha. Sementara Jodha tertunduk merenungi
nasib yang sebentar lagi akan menimpa dirinya.
“Berita
apa itu Jalal. Kelihatannya kau sangat gembira sekali ingin segera
memberitahukan berita itu.” tanya Sujamal ingin tau.
“Raja
Mughal, Jalalludin Muhammad Akbar akan segera menikahi putri Amer, Jodha Bai.”
Jalal berkata dengan keras sambil tersenyum bangga pada dirinya sendiri.
Maansing dan Sujamal terheran dan saling pandang mencari kebenaran dari
kata-kata Jalal tadi.
“Jodha
telah mengakui perasaannya padaku. Dan aku pun juga mempunyai perasaan yg sama
dgnnya. Jadi untuk menjalin hubungan kekerabatan kita lebih akrab lagi, maka
aku memutuskan untuk menikahi Jodha secara resmi. Dia akan menjadi ratu di
kerajaan Mughal.”
“Bhaisa...
Aku mohon maaf tidak mengatakan hal ini sebelumnya pd Bhaisa. Aku benar-benar
mencintai Jalal. Dia telah berulang kali menyelamatkan nyawaku. Aku ingin
membangun rumah tangga bersamanya.” Jodha angkat bicara. Jalal tersenyum senang
& mencium pipi Jodha sekilas untuk membuktikan bahwa mereka saling mencinta
& akan hidup bahagia. Seandainya tdk ada kedua Bhaisanya, mungkin saja
Jodha sudah mendaratkan beberapa kali bogeman dahsyatnya pada Jalal. Jodha
tersenyum hambar padanya.
Entah
bagaimana cara Jodha mengekspresikan kesedihannya. Hanya memendamnya jauh di
lubuk hati yang paling dalam. Menyembunyikan segala rasa sakit dan penderitaan
yang kian mendekat padanya. Kehidupan bukan lagi hal yang indah baginya. Mimpi
mungkin adalah hal yang akan menjadikan dirinya sebagai seorang Wonder Women
yang harus selalu siap menghadapi uji coba dalam kehidupannya. Saatnya telah
datang, untuk mengatakan pada dunia bahwa dia adalah wanita tangguh dan tahan
banting. Tak peduli seberapa berat beban yang akan menimpanya, dengan tetap
mengingat sang dewa maka ia akan selalu berada dalam lindungannya. Bukan air
mata yang harus menetes, melainkan sebuah senyum manisnya yang harus melengkung
dibibir indahnya. Buktikan bahwa dia adalah seorang pendekar yang hebat, kuat,
gagah, tangguh dan tegar. Cinta mungkin tidak memihak padanya, tapi dewa yang
selalu memberikan cintanya pada Jodha.
“Jodha...
Kau jangan berbohong pada kami. Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Kalau
kau tidak mencintainya, maka katakan saja. Kami akan selalu melindungimu. Kau
harus bahagia Jodha.” Jelas Sujamal sambil memegang pundak Jodha. Maansing juga
memberikan wejangan pada Jodha. “Ketahuilah Jodha.... ketika kau sudah menikah
dan mempunyai suami. Maka kau harus tinggal bersamanya selamanya. Kau tidak
bisa kembali ke Amer lagi apapun yang terjadi pada pernikahanmu. Sebuah rumah
tangga harus dilandasi dengan cinta. Bukan dengan keinginan tertentu ataupun
paksaan dari pihak tertentu. Karna setelah kau menikah, kau harus bisa menjadi
istri yang selalu patuh pada suamimu. Kau di wajibkan untuk selalu menaati
semua perintahnya.”
Jodha
tersenyum dan menjawab dengan begitu antusias. “Tentu saja Bhaisa. Setelah aku
menikah dengan Jalal nanti... Maka aku tidak akan pernah kembali ke Amer lagi.
Aku juga akan meninggal disana.”
“Apa
maksudmu Jodha?” sergah Maansing.
“Bhaisa...
Jika aku sudah menikah dengan Jalal, maka aku harus tinggal di Agra bersamanya.
Melayani suamiku, dan semua penghuni istana. Aku juga akan meninggal di sana.
Karena setelah seorang wanita bersuami, maka ia akan menetap dimanapun suaminya
itu tinggal.” Terang Jodha.
“Tidak
usah khawatir dengan Jodha. Aku akan menjaganya dengan baik. Dia akan menjadi
ratu Mughal. Aku sangat mencintainya, tidak mungkin aku membuatnya menderita.”
kata Jalal santai.
Maansing
dan Sujamal tersenyum. Mereka masih tidak habis pikir dengan keputusan Jodha
untuk segera menikah secepat ini. Biasanya Jodha selalu menolak para pangeran
yang datang untuk melamarnya, meski para pangeran itu terbilang tampan dan
berkekuasaan tinggi. Mungkin angin yang berhembus membuat Jodha merubah
pikirannya untuk segera menikah.
“Kalau
begitu kapan kau akan melangsungkan pernikahanmu?” tanya Sujamal dengan
sumringah sejuta semangat baru menghampirinya, begitu mendengar adiknya akan segera
menikah.
“Segera.
Kami akan segera melangsungkan pernikahan di Amer dua hari lagi. Aku sudah
tidak sabar untuk segera membawa Jodha ke Agra.” jawab Jalal cepat.
“Aku...
Aku akan menikah dengannya dua hari lagi Bhaisa. Aku mohon doa dan restu darimu.
Doakan semoga pernikahanku akan membawa kebahagiaan bagi kita.” Jodha menyentuh
kaki Sujamal dan Maansing bergantian. Mereka tersenyum dan meletakkan tangan
mereka di atas kepala Jodha.
“Doa kami
selalu menyertaimu Jodha. Semoga dewa memberkati pernikahanmu. Kami akan
bahagia jika kau bahagia. Kami sangat menyayangimu.” Ujar Sujamal. Maansing
mengangguk. Jodha tersenyum dan memeluk mereka kembali. Ini adalah pelukan
terakhir mereka. Kebersamaan mereka akan segera berakhir setelah ini. Jodha
harus menempuh jalan hidupnya sendiri. Meniti hidup yang sebenarnya melalui
ikatan suci pernikahan.
* * * * *
Hari
pernikahan yang telah di tetapkanpun tiba. Jodha tampak sedang dirias oleh
pelayannya dengan polesan-polesan make up yang terlihat menyatu dengan warna
kulit Jodha yang putih. Ia hanya memperhatikan bayangannya melalui refleksinya
di cermin. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi. Matanya tampak kosong tanpa
bayangan. Tidak seperti layaknya seorang pengantin pada pernikahan pada
umumnya. Mereka yang menikah dilandasi dengan perasaan cinta, maka akan
terlihat begitu ceria dan bersinar. Bahkan cahaya matahari pun akan kalah
tanding dengan pancaran sinar kebahagiaan yang mewarnai pipi mereka. Tak ada
kesenduan dalam hidup mereka.
Tapi Jodha
terlihat sebaliknya. Ia hanya terdiam seribu kata. Tak sedikitpun keluar
kata-kata dari bibir indahnya. Hatinya terasa memboncah terasa tergoncang hebat
bagai gempa besar yang tengah melanda.
“Tuan
putri kau terlihat cantik sekali. Tetapi kau begitu terlihat sangat tenang saat
ini. Maaf... Apakah anda tdk menyetujui pernikahan ini? Seluruh bangsa Rajput
juga sangat menentang pernikahan ini, termasuk Raja Pratap Sing. Ia tidak hadir
dlm pernikahan anda. Padahal anda adalah keponakannya.” jelas si pelayan dengan
sopan.
~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~