Sekarang Jalal benar-benar bingung.
Masihkah dia percaya pada kata-kata Bhaksi? Atau cerita Rarisa yang bisa
dipercaya? Tapi bisa saja keduanya benar. Atau sebaliknya, keduanya berbohong.
Tapi tidak mungkin.—‘Tidak mungkin Bhaksi
berbohong, aku tahu dia sangat mencintai Shahabuddin, tanpa alasan yang kuat
dia tidak akan membatalkan pertunangannya. Tapi jika cerita Rarisa benar,
berarti Jodha belum pernah berhubungan dengan pria manapun, lalu hubungannya
dengan Shahabuddin itu hubungan seperti apa?’—
Saat ngobrol dengan Tuan Rasheed dan
istrinya, Rarisa, semua cerita terdengar mengalir begitu saja. Sikapnya tidak
ada yang dibuat-buat, ditutup-tutupi ataupun dilebih-lebihkan.—‘Sekarang masalahnya bagaimana harusnya
aku bersikap di depan Jodha. Aku masih berhutang ucapan terima kasih dan dua
permintaan maaf. Aku tidak bisa mengabaikan pertolongannya begitu saja. Tapi
aku juga tidak bisa tiba-tiba bersikap ramah padanya, bisa-bisa dia
menyalahartikan perhatianku. Aarrgghhh...’—Pikiran Jalal terus
berputar-putar, tapi dia tidak menyadari pikirannya berputar di satu titik,
Jodha.
Sudah pukul 11 malam saat Jalal membaca
penunjuk waktu di dashboard mobilnya. Memarkir mobilnya di basement, Jalal
mulai berjalan ke arah lift, saat itulah ujung matanya menangkap sesuatu yang
menarik, motor milik Jodha. Langkahnya berbalik dan dia menghampiri motor itu.
Memandanginya dan tersenyum. –‘Ini motor
Jodha, berarti dia sudah pulang.... Tapi kenapa aku memandangi motor ini?...
Apa istimewanya?...Apa aku sudah gila?..’—Jalal meraba wajahnya yang
tersenyum.
Keesokan paginya, Jalal terbangun lagi
karena mendengar suara obrolan dari arah dapur. Selesai mandi, bercukur dan
berganti pakaian, Jalal bergerak menuju meja makan. Jodha ada disana sedang
membersihkan piring.
Jalal –‘Bibi Meeta, tolong buatkan
secangkir kopi untukku.”
Bibi Meeta –“Baik. Tuan juga ingin
sarapan?”
Jalal –“Kau masak apa?”
Bibi Meeta –“Daging dada ayam panggang
dimasak dengan tomat dan olive oil.”
Jalal –“Aku mau Bibi Meeta....Emmh, Jodha,
apa kau juga keluar pagi ini..?”
Jodha mendongak dari kesibukannya mencuci
piring.
Jodha –“Iya, kenapa?”
Jalal –“Tidak apa-apa.”
Jalal menahan dirinya dari
pertanyaan-pertanyaan lain karena dia ingat perjanjian yang dibuatnya sendiri
untuk tidak pernah mencampuri urusan Jodha. Alhasil dia hanya memperhatikan
Jodha yang masuk ke kamarnya.
Selesai sarapan Jalal bergegas ke kantor.
Saat mobil yang dikendarainya berhenti di sebuah persimpangan, tidak sengaja
dia melihat Jodha juga berhenti di persimpangan yang sama menunggu lampu
berubah hijau. Timbul niatnya untuk membuntuti Jodha. Tadi pagi dia tidak bisa
bertanya pada Jodha tentang rencana kegiatannya pagi ini, tapi dengan
membuntutinya maka dia akan tahu apa yang dilakukan Jodha setiap harinya.
Agar tidak mencolok, Jalal mengatur jarak
mobilnya dan motor Jodha agak sedikit jauh tapi cukup terlihat. Setelah melewati
beberapa tikungan dan persimpangan, akhirnya motor Jodha berhenti di depan
sebuah cafe. Jodha memarkir motornya di pintu masuk samping cafe. Di
belakangnya ada sebuah mobil yang juga baru datang dan memarkirnya di samping
motor Jodha. Seorang wanita yang cukup cantik turun dari dalam mobil.
Jalal yang memarkir mobilnya agak jauh,
masih bisa melihat dengan jelas. Dia melihat Jodha tersenyum pada wanita yang
baru datang itu. Senyuman yang biasa diberikan untuk sahabat. Kemudian keduanya
masuk ke dalam cafe dari pintu samping.
Selama satu setengah jam, Jalal berdiam
diri di dalam mobilnya mengamati cafe itu. Dia menunggu Jodha keluar dari sana.
Dia semakin penasaran. Jalal sudah merasa jenuh menunggu –‘Wanita manapun bisa menghabiskan setiap hari dalam hidupnya hanya untuk
bergosip. Harusnya aku sudah bisa menduga, Jodha pasti hanya mengisi waktunya
dengan hal-hal seperti ini’—Akhirnya Jalal memutuskan untuk pergi. Dia
menyesal sudah menghabiskan waktunya hanya untuk mengikuti Jodha.
Di kantor, Jalal mulai berkonsentrasi
menyelesaikan pekerjaannya hingga waktu makan siang tiba. Seorang temannya
datang siang itu sambil membawa sekotak kue cupcakes aneka topping untuk
dipamerkan pada Jalal.
Vishant –“Jalal, istirahatlah dulu. Aku
bawakan makan siang.”
Jalal –“Aku tidak tertarik. Aku sangat
sibuk. Kau makan saja sendiri.”
Vishant –“Cobalah dulu, rasanya enak
sekali. Semua teman kita sudah mencobanya, tinggal kau yang belum.”
Jalal –“Tinggalkan saja disana. Akan
kumakan nanti.”
Vishant –“Ayolah, cobalah sekarang. Kau
tidak akan menyesal..”
Agar temannya berhenti memaksa, Jalal pun
bersedia mencicipi kue yang disodorkannya.
Vishant –“Enak, kan?! Akan terasa lebih
enak kalau kau bisa bertemu dengan pembuatnya..”
Jalal –“Maksudmu?”
Vishant –“Kabarnya, pembuat kue ini sangat
cantik. Aku sih belum pernah bertemu dengannya. Aku mengetahuinya dari teman.
Karena itulah, aku membeli kue ini, berharap sang pembuat kue mau menemuiku
atau mungkin mau berkencan denganku. Tapi kuenya ternyata enak, jadi aku tidak rugi
membelinya.”
Jalal geleng-geleng kepala mendengar ide
konyol temannya ini. Pikiran teman-teman prianya memang tidak jauh dari urusan
mengejar wanita cantik.
Jalal –“Memangnya dimana kau membeli kue
ini?”
Vishant –“Tulisannya ada di tutup kotaknya.
Kalau tidak salah Sisterhood Cafe and Bakery. Tempatnya di daerah Palika
Bazaar.”
Jalal memperhatikan tulisan di tutup
kotaknya. Dia ingat, nama dan logonya sama dengan nama cafe yang tadi dimasuki
Jodha. Alamatnyapun sama. Pikirannya langsung tertuju pada Jodha –‘Jangan-jangan Jodha.....’—
Bergegas Jalal memacu mobilnya. Dia akan
menemui Jodha. Dia tahu Jodha ada di cafe itu, dia tidak tahu apa yang
mendasari pikirannya hingga dia bisa seyakin itu. Saat temannya menyebut ada
seorang wanita cantik di cafe itu, dia tidak bisa mengelak kalau yang ada
dipikirannya hanya Jodha. Dia belum pernah mengenalkan Jodha pada
teman-temannya. Jangan sampai Jodha membuatnya malu di depan teman-temannya.
Dengan gerakan kasar, Jalal memarkir
mobilnya di depan Sisterhood cafe. Dia membanting pintu mobilnya dan berjalan
dengan tergesa-gesa memasuki cafe. Di dalam cafe penuh sesak dengan pengunjung.
Tidak ada tempat duduk kosong. Jalal mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat
itu mencari keberadaan Jodha.Dia tidak bisa menemukannya di antara pengunjung
di sana. Seorang wanita datang menghampirinya, sepertinya karena melihatnya
yang tampak kebingungan..
Amrita –“Selamat datang, Tuan. Anda ingin
membeli apa?”
Jalal –“Aku mencari Jodha.”
Amrita –“Maaf, Jodha tidak bisa menemui
anda sekarang. Dia sedang sibuk. Saya juga bisa membantu anda.”
Jalal –“Apa dia sibuk mengobrol dengan
tamunya?”
Amrita –“Tidak, dia sedang...apa maksud
perkataan anda.”
Jalal –“Katakan saja dimana Jodha, atau aku
akan mencarinya sendiri!!”
Amrita –“Tuan, kontrol sikap anda!!
Memangnya anda siapa berani memaksa Jodha menemui anda!!”
Jalal –“Aku suaminya!”
Amrita –“Oh Ya Tuhan....Anda Tuan
Jalaluddin Akbar? Maafkan saya tidak megenali anda. Jodha ada di dapur. Silakan
lewat sini.”
Amrita membawa Jalal masuk ke dalam dapur.
Di dalam, terlihat beberapa orang sedang sibuk bekerja di atas konternya
masing-masing. Dentingan suara logam alat memasak yang beradu mendominasi
ruangan itu. Dia masih belum melihat Jodha.
Amrita –“Jodha, suamimu datang.”
Amrita harus sedikit berteriak memanggil
Jodha, untuk mengimbangi kebisingan suara-suara di dalam dapur. Lalu muncullah
Jodha.... Dia muncul dari balik konter, sepertinya dia baru selesai
mengeluarkan seloyang kue dari oven di bawahnya...Dia mengenakan celemek dan
tutup kepala putih seperti semua pekerja di dapur itu. Wajahnya sedikit
berbalur tepung.
Jodha terkejut mengetahui Jalal ada disana,
tapi dia bisa menutupinya dengan baik.
Jodha –“Tuan Jalal...Sedang apa kau
disini?”
Jalal –“Kau sendiri sedang apa disini?”
Jodha –“Aku sedang bekerja.”
Jalal –“Apa maksudmu? Untuk apa kau
bekerja?”
Amrita –“Tuan Jalal, tenang dulu, maksud
Jodha adalah dia bukan hanya bekerja disini, dia kan juga pemilik tempat ini..”
Jodha –“Amrita!!”
Jalal –“APA?!”
Jodha dan Jalal berteriak bersamaan.
Amrita –“Uups, sepertinya aku terlalu
banyak bicara. Maaf, Jodha..”
Jalal –“Sebaiknya kau menjelaskan semuanya
padaku, Jodha.”
Jodha –“Aku tidak berkewajiban menjelaskan
apa-apa padamu.”
Amrita –“Jodha, sebaiknya kau bicarakan
dengan suamimu di tempat yang lebih nyaman. Kalau disini kau akan menghambat
pekerjaan yang lain..”
Amrita mencoba menengahi apa yang terlihat
seperti pertengkaran suami istri di tempat umum. Semua mata yang ada di dalam
dapur memperhatikan Jalal dan Jodha, tapi keduanya tidak menyadarinya.
Mendengar interupsi dari Amrita, Jodha baru sadar kalau perdebatannya dengan
Jalal pasti menjadi tontonan yang lain. Dia pun mengajak Jalal keluar dari
tempat itu.
Mereka keluar ke arah pintu masuk cafe yang
berada di samping gedung. Tempatnya cukup sepi karena hanya karyawan yang
keluar masuk dari sana. Tempat itu juga berfungsi sebagai tempat parkir khusus
karyawan. Jodha duduk di lantai yang posisinya lebih tinggi daripada lantai
yang lain. Jalal pun ikut duduk di sebelahnya.
Jalal –“Jangan salah pengertian, aku hanya
ingin tahu tapi aku tidak akan mencampuri urusanmu....Jadi, kau pemilik tempat
ini, sejak kapan?”
Jodha –“Sejak cafe ini dibuka, kira-kira 3
tahun yang lalu.”
Jalal –“Bukannya kau studi di Jerman?”
Jodha –“Benar, aku hanya menanamkan modal
sedangkan temanku tadi yang menjalankannya. Karena sekarang aku tinggal di kota
ini, jadi tiap hari aku akan bekerja disini...Kenapa? Kau pasti bertanya-tanya
darimana aku mendapatkan uang untuk modal, iya kan?! Lalu kau menyangka aku
mendapatkannya dari puluhan pria yang kurayu, benar kan?!”
Jalal –“Kalau begitu jelaskan yang
sebaliknya.”
Jodha –“Sebagian uangnya dari uang saku
yang diberikan ayahku yang bisa kusimpan dan sebagian lainnya dari hasil kerja
part time-ku selama di Jerman.”
Jalal –“Kenapa kau masih harus bekerja?
Kukira ayahmu mampu menjamin kehidupanmu..”
Jodha –“Aku tidak mau menjadi gadis manja.”
Saat mereka berdua sedang berbicara,
seorang pria tiba-tiba datang menghampiri Jodha. Di depan Jodha, pria itu
mengulurkan sebuket mawar untuk Jodha. Jalal dan Jodha terkejut dan sontak
berdiri dari posisi duduk mereka. Jalal
yang merasa tidak mengenal pria yang baru datang itu, hanya diam menunggu
reaksi Jodha.
Jodha –“Tuan Virindra, apa ini?”
Tuan Virindra –“Ini bunga untuk anda,
terimalah...”
Jodha –“Aku tidak bisa dan juga aku tidak
mau. Tuan, maafkan aku..Tolong berhentilah menemuiku. Aku sudah menikah dan dia
adalah suamiku, Tuan Jalal.”
Tuan Virindra –“Oooh!!”
Tuan Virindra salah tingkah, tidak
menyangka kalau dia akan berhadapan langsung dengan suami Jodha. Mungkin
gara-gara melihat tampang Jalal yang kelihatan sangar, Tuan Virindra sepertinya
sedikit menciut nyalinya.
Tuan Virindra –“Oh, maaf Tuan. Aku tidak
tahu kalau Jodha sudah menikah.”
Jalal –“Sekarang kau tahu! Cepat pergi dari
sini dan jangan menemui istriku lagi!!”
Tuan Virindra –“I..iya...Maaf Jodha...Maaf
Tuan...”
Pria itu pergi meninggalkan Jodha dan Jalal
dengan agak terbirit-birit, sambil membawa bunga yang batal dia persembahkan
untuk Jodha.
Jodha berpaling lagi pada Jalal..
Jodha –“Terima kasih Tuan Jalal, maaf tadi
aku memanfaatkanmu. Itu satu-satunya cara agar dia tidak pernah kembali lagi.”
Jalal –“Berarti kita impas, kau pernah
menolongku, hari ini aku yang menolongmu. Jadi, sekarang kita teman?”
Karena tidak menduga, cukup lama Jodha
terdiam. Dalam hati dia berpikir –‘Kenapa
Jalal bersikap baik seperti ini? Apa dia tulus ingin berteman denganku? Atau
dia hanya bermain tarik ulur saja dengan perasaanku?—‘
Jodha –“Apa kau yakin?”
Jalal –“Bagaimanapun kita sudah menikah.
Dengan berteman, kita tidak perlu melalui setiap hari dengan kebencian, kan?
Apa kau tidak lelah tiap hari bertengkar denganku?”
Jodha –“Kau yakin alasannya hanya itu? Kau
tidak akan macam-macam denganku, kan?”
Jalal –“Untuk soal itu, kau bisa percaya
padaku. Aku tidak akan macam-macam denganmu...Jadi, kita berteman?”
Jalal mengulurkan tangannya untuk
bersalaman. Awalnya Jodha menahan diri, setelah 5 detik berlalu, Jodha membalas
uluran tangan itu sambil tersenyum. Jalal pun tersenyum.
Jodha –“Sekarang kita teman.”
Hubungan yang cukup aneh. Jalal dan Jodha
sudah menikah, tapi hubungan pertemanan mereka justru baru saja dimulai. Saat
mereka sama-sama sedang meresapi ketenangan, mendadak ada seorang wanita yang
berteriak di dekat mereka..”Jadi kau yang bernama Jodha!”
Jodha –“Benar, aku Jodha. Dan anda siapa?”
Devika –“Aku Devika, kekasih Tuan Virindra
yang ingin kau rebut dariku.”
Jodha –“Oh, aku mengerti. Tapi tolong
dengarkan aku dulu. Jangan salah paham, aku tidak...”
PLAKK!!...
Kejadiannya berlangsung sekedipan mata,
tiba-tiba saja gadis itu sudah berdiri di depan Jodha, dan menamparnya. Jodha
tidak sempat menghindar. Ditampar sekeras itu, Jodha hanya terdiam, sambil
memegang pipinya yang mulai terasa panas dan perih.
Jalal –“Apa yang kau lakukan?!”
Jodha –“Jangan, Tuan Jalal....”
Jodha menahan lengan Jalal yang sepertinya
bersiap maju ke arah gadis itu. Jodha tidak ingin Jalal berbuat kasar pada
gadis itu meski dia telah menamparnya. Gadis itu pun tidak menyangka ada yang
membela Jodha.
Jalal –“Jodha, apa kau hanya diam saja
ditampar seperti itu?!”
Jalal pernah melihat mantan-mantan
kekasihnya saling tampar di depannya karena memperebutkan dirinya, tapi kali
ini, dia sedikit tidak rela ada yang menampar wanita yang berstatus istrinya
tanpa alasan yang jelas.
Jodha –“Nona Devika, sungguh, aku tidak
pernah sekalipun merayu kekasihmu. Dia yang datang sendiri padaku. Kalau kau
tidak percaya, tanyakanlah pada suamiku.”
Jalal –“Kau perlu tahu, aku sudah mengusir
pacarmu tadi!”
Devika –“Beraninya kau menghina kekasihku!”
Jodha –“Percayalah, aku tidak akan merayu
kekasihmu karena aku sudah menikah. Dan dia suamiku. Kau lihat sendiri kan,
suamiku lebih tampan dari kekasihmu, jadi untuk apa aku ingin merayu
kekasihmu?!”
Jalal tersenyum dalam hati dipuji seperti
itu. Untung dia bisa mengontrol ekspresi wajahnya, jadi wajahnya tetap terlihat
datar-datar saja.
Jodha –“Apa kau sangat mencintai Tuan
Virindra?”
Devika –“Tentu saja! Untuk apa aku
memperjuangkannya kalau tidak mencintainya.”
Jodha –“Dan apakah kau yakin kekasihmu juga
sangat mencintaimu?”
Devika –“Tentu saja aku yakin!”
Jodha –“Kalau begitu kau tidak perlu
melabrakku seperti ini. Kalau kau percaya Tuan Virindra mencintaimu maka kau
tidak perlu merasa terancam karena aku. Kau harus percaya diri. Percaya bahwa
dirimu layak untuk dicintai.”
Devika –“Bagaimana caranya? Apa kau tahu?”
Jodha tersenyum mendengar pertanyaan itu.
Perlahan dia berjalan mendekati Devika. Jalal hendak menahannya, tapi dirungkan
niatnya itu setelah menangkap isyarat mata dari Jodha.
Jodha berbicara sambil menggenggam kedua
tangan Devika.
Jodha –“Cintailah dirimu sendiri dan
orang-orang yang menyayangimu. Kekasihmu bukanlah pusat duniamu, masih ada
teman dan keluargamu yang juga butuh perhatianmu. Nikmatilah hidupmu. Bukan
hanya pacarmu yang bisa memberikanmu cinta.
Devika mulai mencerna semua penjelasan
Jodha. Dia yang awalnya datang dengan kemarahan membabi buta, sekarang dia
sudah mulai tenang.
Jodha –“Dan ini tips dariku. Jika kekasihmu
masih merayu wanita lain lagi, maka dia tidak layak untukmu. Carilah pria lain.
Pria yang akan memperjuangkan cintamu. Pria seperti itulah yang pantas kau
perjuangkan.
Devika –“Kau benar, selama ini hanya aku
yang sibuk mengejar-ngejar Tuan Virindra, tapi dia, menolehpun tidak. Dia tidak
pernah menghargaiku.”
Jodha –“Kau jauh lebih berharga daripada
yang kau pikirkan.”
Devika meresapi penjelasan Jodha. Mungkin
dia bimbang, tapi Jodha bisa melihat ada sedikit keyakinan yang mulai timbul di
hatinya. Keyakinan bahwa dia tidak akan menyesal seandainya dia meninggalkan
kekasihnya yang sudah mengacuhkannya.
Devika –“Terima kasih..... dan maaf karena
sudah menamparmu tadi. Pasti rasanya sakit.”
Jodha –“Nanti juga sembuh.”
Devika –“Aku harus pergi...Tuan, maaf aku
sudah menampar istrimu tadi. Kumohon maafkan aku. Tadi aku emosi.”
Jalal –“Kalau Jodha sudah memaafkanmu, aku
tidak bisa bilang apa-apa.”
Kemudian Devika pergi. Kali ini dia pergi
dengan tersenyum, bertolak belakang dengan saat dia datang tadi. Jodha dan
Jalal kembali hanya berdua.
Jalal –“Aku tidak pernah bisa memahami
jalan pikiran wanita. Sebentar marah-marah, lalu menangis, tiba-tiba sudah
tertawa lagi.”
Jodha –“Jalan pikiran wanita dan pria tidak
jauh berbeda. Hanya saja para wanita lebih bebas mengekspresikannya.”
Jalal –“Apa kau juga pernah melakukannya?
Maksudku melabrak wanita yang menjadi sainganmu?”
Jodha –“Aku tidak pernah melakukannya. Aku
belum pernah jatuh cinta tapi aku juga tidak ingin jatuh cinta.”
Jalal –“Tapi kenapa kau tadi diam saja?
Kenapa tidak menamparnya balik?”
Jodha –“Untuk apa? Aku bisa mengerti
posisinya. Dia sedang putus asa karena orang yang dicintainya menyukai wanita
lain. Aku hanya ditampar saja, bukan hal yang besar. Wanita lain bisa melakukan
hal yang lebih nekat dari itu.”
Dalam hati, Jalal merasa heran sendiri
dengan tingkahnya. Tidak biasanya dia peduli pada apa yang dilakukan orang lain
terutama wanita. Dan sekarang dia mulai peduli pada istrinya. Menyebut kata
‘istrinya’ masih terasa aneh, tapi cukup enak didengar di telinganya.
Membuatnya tersenyum. Tapi senyumnya kembali memudar saat melihat pipi Jodha
yang mulai memerah bekas tamparan tadi.
Jodha –“Tuan Jalal, aku harus masuk
sekarang.”
Jalal –“Iya, masuklah, aku juga harus
pergi. Hanya sebentar, aku akan segera kembali kemari. Kau jangan kemana-mana
dulu.”
Setelah berkata seperti itu, Jalal pergi
meninggalkan Jodha. Sebenarnya Jodha ingin tahu kemana Jalal akan pergi, lalu
kenapa juga dia diminta menunggunya, tapi pertanyaannya tertahan di
kerongkongan. Dia tidak akan melanggar janji yang sudah mereka sepakati. Urusan
Jalal adalah urusan Jalal. Jodha hanya berharap Jalal tidak melakukan hal-hal
yang tidak diharapkan....
*******************