re">
Jodha –“Tentu saja, Tuan Gerrard ini kan tetangga apartemenmu, dia
tinggal di lantai 4, apa kau tidak tahu?”
Jalal –“Oh iya, tentu saja aku tahu.”
Jalal terpaksa berbohong, daripada dia malu. Padahal yang sebenarnya
adalah Jalal tidak tahu kalau Tuan Gerrard itu tetangganya.
Jalal –“Sejak kapan kalian saling mengenal?”
Tuan Gerrard –“Kami sering berpapasan saat jogging.”
Jalal –“Oh begitukah? Kapan-kapan kita harus jogging bersama..”
Seandainya Jalal mau jujur, sebenarnya dia tidak pernah jogging.
Olahraga rutinnya adalah treadmill dan angkat beban di gym sepulang kantor.
Tapi mulai besok dia akan menemani Jodha jogging. –‘Aku tidak akan membiarkan si Tuan Gerrard ini bermanis-manis mulut
dengan istriku..Apa dia pikir aku tidak tahu kalau keramahannya itu hanya untuk
menarik perhatian Jodha?!..’—kata Jalal dalam hatinya.
Tuan Gerrard –“Maaf aku tidak bisa bergabung dengan kalian. Kebetulan
tadi aku lewat dan tidak sengaja melihatmu, Jodha.. Jadi aku hanya datang untuk
menyapamu. Aku harus kembali ke kantor. Sampai jumpa besok saat jogging..”
Jodha –“Sampai besok, Tuan Gerrard.”
Terbukti, keesokan paginya Jalal diam-diam mengikuti Jodha jogging.
Sebelum Jodha keluar dari kamarnya, Jalal sudah siap dengan setelan joggingnya
dan dilengkapi dengan jaket sporty. Sewaktu Jalal mendengar langkah-langkah
Jodha melewati depan kamarnya, Jalal menunggu beberapa saat. Tujuannya untuk
memberi jarak. Hal ini dilakukannya agar Jodha tidak curiga dan menganggapnya
sengaja mengikutinya. Setelah dirasa selang waktunya cukup, Jalal keluar dari
kamarnya.
Alih-alih turun dengan lift, Jalal memilih lewat tangga darurat. Di luar
apartemen, dia bisa melihat Jodha sudah berlari jauh di depannya. Jalal pun
ikut berlari. Saat berbelok ke jogging track yang berjarak dua blok dari
apartemennya, Jalal mengawasi Jodha yang sedang melakukan gerakan-gerakan
pemanasan. Seorang pria lewat di depan Jodha dan menyapa gadis itu. Lalu
seorang lagi lewat dan menyapanya. Pria lain juga datang dan menyapa Jodha.
Jalal mulai kegerahan melihatnya. Hatinya mulai panas melihat banyaknya pria
yang secara langsung ataupun tidak mencuri-curi pandang ke arah Jodha. Bahkan
ada dua orang pria yang berpapasan dengan Jodha, kemudian berbalik di belakang
Jodha untuk mengikutinya. Jalal tidak akan mendiamkannya lagi.
Jalal –“Jodha..”
Jodha menghentikan langkah larinya dan berbalik mendengar namanya
dipanggil.
Jodha –“Tuan Jalal, kau disini..?”
Jalal –“Iya.”
Jodha –“Rasanya aku belum pernah melihatmu bangun pagi untuk jogging?!”
Jalal –“Mulai sekarang aku akan melakukannya sepertimu. Jogging di pagi
hari.”
Jodha –“Kenapa?”
Jalal –“Untuk melindungimu, tentu saja. Apa kau tidak perhatikan
pria-pria disini memandangmu dengan tidak sopan?!”
Jodha –“Benarkah?! Aku tidak memperhatikannya..”
Jalal –“Kalau begitu pakailah jaketku untuk menutupi tubuhmu.”
Jalal melepas jaket sporty yang dipakainya dan menyuruh Jodha
memakainya. Meski heran, Jodha menurutinya. Jalal membantunya mulai dari
memasukkan kedua tangannya sampai merapatkan ristletingnya hingga ke bawah
leher.
Jodha –“Terima kasih Tuan Jalal, tapi ini kan jaketmu...kau bisa
kedinginan.”
Jalal –“Aku senang kalau kau mau memakainya.”
Jodha memang senang memakainya. Rasanya hangat. Apalagi aromanya. Aroma
maskulin seperti Jalal itu sendiri.
Jodha –“Ayo kita pulang...kau ingin dimasakkan apa untuk sarapan?”
Jalal –“Apapun yang kau masak, pasti akan kumakan, karena masakanmu
pasti enak.”
Jodha –“Waaahh..kau memujiku.”
Jalal –“Aku jarang memuji orang lain, apalagi seorang wanita..”
Jodha –“Kehormatan untukku..”
Mereka mulai berjalan pulang.
Jalal –“Jodha, nanti siang kau ada acara?”
Jodha –“Tidak, kenapa?”
Jalal –“Berarti sekarang kau punya...makan siang denganku...tanpa
Bhaksi...aku akan menjemputmu.”
Jodha –“Baiklah.”
Dengan persetujuan itu, siang harinya Jalal menjemput Jodha di tempat
kerjanya untuk makan siang. Hubungan mereka telah satu langkah lebih dekat.
Diawali dengan makan siang, lalu makan malam yang juga hanya dilakukan berdua,
dilanjutkan obrolan-obrolan santai baik setelah makan malam maupun saat
sarapan. Dengan makin banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama, mereka
mulai bisa memahami kepribadian masing-masing.
Jodha mulai mengerti bahwa sikap keras Jalal baik dalam urusan bisnis
maupun urusan pribadi adalah hasil tempaan kehidupan yang dijalaninya. Tumbuh tanpa
kasih sayang orang tua, membuatnya bersikap skeptis pada ketulusan sebuah
hubungan. Dia tidak percaya cinta, karena dia tidak pernah merasakan cinta.
Tapi yang kini dilihat Jodha bukanlah Jalal yang kejam, sinis dan tidak punya
perasaan. Yang dilihatnya adalah Jalal yang kesepian, yang bisa bersikap hangat
dan bisa melindungi orang-orang yang disayanginya.
Jalal pun semakin terpesona pada kecantikan hati dan wajah Jodha. Dia
salut pada jiwa sosialnya yang tinggi, pada totalitasnya menjalankan misinya membantu
korban-korban kekerasan. Umur Bhaksi dan Jodha sama, tapi sifat mereka jauh
berbeda. Bhaksi lebih impulsif dan ekspresif, masih terlihat banyak sifat gadis
kecil pada dirinya. Bertolak belakang dengan Jodha, dia mempunyai keanggunan,
keluwesan dan kebijaksanaan pola pikir wanita dewasa. Jalal percaya kelebihan
itu bukanlah sengaja dilatih, tapi itu adalah pembawaan alaminya.
Sekarang Jalal bisa mensyukuri keputusannya memilih Jodha sebagai
istrinya. Jalal pun mulai bisa menikmati kehidupan pernikahannya. Menghabiskan
waktu pribadi dengan berjalan-jalan berdua pada malam hari setelah selesai
makan malam seperti saat ini adalah kegiatan favorit Jalal...
Jalal –“Apa kau sudah merasa nyaman di dekatku? Kau tidak takut lagi,
kan?”
Jodha –“Aku tidak pernah takut padamu. Sebelumnya, aku hanya berusaha
menghindarimu, supaya tidak timbul masalah antara kita, itu saja...”
Jalal –“Sekarang kau tidak perlu menghindar lagi, aku tidak akan membuat
masalah denganmu. Aku ingin kau betah tinggal denganku..”
Sebagai jawabannya, Jodha hanya tersenyum.
Jalal –“Ehhmm....kau cantik sekali malam ini... Kalau boleh jujur, aku
lebih suka melihatmu berpakaian seperti ini daripada pakaian yang kau pakai
saat bekerja.”
Malam ini Jodha memakai sackdress polos selutut tanpa lengan berwarna
pastel.
Jodha –“Tapi aku lebih suka memakai jeans, t-shirt dan cardigan.
Membuatku merasa aman dan nyaman, terutama tidak menarik banyak perhatian..”
Jalal –“Aku mengerti maksudmu. Tenang saja, aku akan mengusir semua pria
yang punya niat buruk padamu. Percayalah, aku bisa
melindungimu.....Omong-omong, aku tidak pernah melihatmu memakai shalwar?”
Jodha –“Aku tidak suka memakainya!”
Jalal –“Kenapa?”
Jodha –“Ada kenangan buruk saat aku memakainya terakhir kali.”
Jalal –“Kau mau menceritakannya padaku?”
Jodha –“Belum saatnya..”
Jalal –“Jodha, apapun yang terjadi padamu di masa lalu yang membuatmu
takut, percayakan saja padaku, aku akan mengatasinya untukmu..”
Jodha –“Kau akan kecewa saat mengetahuinya. Dan kau pasti menyesal sudah
menanyakannya.”
Jalal –“Tidak akan!”
Jodha –“Kalau begitu kau tanggung sendiri...”
Jalal menyentuh bahu Jodha untuk menghentikan langkahnya dan sedikit
menariknya sampai mereka berhadapan....
Jalal –“Aku menantikan saat kau bisa membuka hatimu untukku, saat kau
bisa menceritakan masa lalumu yang masih kausimpan ini, dan saat kau mau
berbagi kesedihan dan rasa sakitmu padaku..”
Jodha tak bisa menjawab. Dia hanya memandang Jalal. Mata mereka saling
bertatapan. Banyak hal yang ingin mereka ungkapkan, tapi tidak ada kata yang
keluar. Ada hasrat yang ingin mereka lepaskan, tapi ada tembok tinggi yang
masih membentengi hati mereka masing-masing. Perlahan-lahan tanpa mereka
sadari, seakan ada magnet di antara mereka yang menarik tubuh mereka untuk
sama-sama bergerak mendekat....
Jodha –“Jangan..!”
Tangan Jodha menahan dada Jalal, maksudnya untuk mempetahankan jarak
antara mereka. Tapi telapak tangannya justru merasakan detak jantung Jalal yang
berpacu cepat. Merasakan dada kokoh di balik kemeja yang dipakainya. Jodha
langsung menarik tangannya yang seakan terasa panas terbakar. Jodha tahu, jika
dia tidak menghentikan yang akan terjadi ini, maka mereka berdua akan berakhir
dengan bercumbu disini. Dan Jodha belum siap untuk itu....
Jodha –“Jangan, Tuan Jalal...! Tolong ingat kesepakatan kita. Kau sudah
setuju kita tidak akan melakukan kontak fisik dan kau sudah menyanggupi untuk
tidak jatuh cinta padaku..”
Jalal menarik napas panjang, berusaha menenangkan hasratnya...
Jalal –“Baiklah, jika itu maumu..”
Mereka melanjutkan langkah mereka dalam diam hingga tiba di apartemen.
Jalal langsung masuk ke dalam kamarnya. Tapi dia belum ingin tidur.
Hanya duduk di pinggir tempat tidurnya, termenung dan berpikir.
Menimbang-nimbang langkah selanjutnya. Haruskah dia berhenti, meninggalkan dan
melupakan semua perasaannya, karena itu yang diinginkan Jodha. Atau haruskah
dia tetap maju, menuruti keinginan hatinya, berjuang untuknya, tapi dia harus
siap dengan resiko patah hati, karena Jodha mungkin akan mendorongnya menjauh.
Mungkin Jodha tidak merasakan hal yang
sama seperti yang ia rasakan.
Saat masih berkutat pikirannya, tiba-tiba Jalal mendengar
langkah-langkah cepat di luar kamarnya. Kebetulan saat itu pintu kamarnya tidak
tertutup rapat, jadi dia bisa melihat siapa yang sedang berjalan tergesa-gesa
pada malam selarut ini....Jodha...—‘Mau
pergi kemana dia?’— Jalal berusaha memanggilnya tapi Jodha sudah menutup
pintu depan. Tanpa berpikir panjang, Jalal langsung menyambar kunci kontak
mobilnya.
Dia berusaha mengejar Jodha. Di lorong, Jodha sudah tak terlihat. Jalal
langsung masuk ke dalam lift, memencet tombol ke basement. Keluar dari lift di
basement, Jalal masih sempat melihat bagian belakang motor Jodha yang dilarikan
sangat kencang. Jalal pun memacu mobilnya dengan kencang. Jalan raya sangat
sepi karena sudah larut. Jalal hampir bisa menyusul motor Jodha, saat kemudian
dilihatnya banyak orang berkerumun di jalan di depannya. Bahkan tampak juga
beberapa mobil polisi. Jodha berhenti dan turun dari motornya. Jalal juga
memarkir mobilnya sembarangan demi bisa menyusul Jodha.
Setengah berlari, Jalal mengejar Jodha. Berhasil, Jalal berhasil
menangkap lengannya dan menariknya untuk berbalik menghadapnya. Jodha
terkejut...
Jodha –“Tuan Jalal, kau disini?”
Jalal –“Kau mau kemana?”
Jodha –“Tidak ada waktu...kau tunggu disini...aku harus menyelamatkan
gadis itu...”
Jalal –“Gadis yang mana?”
Jodha tidak menjawab pertanyaan Jalal, dia langsung lari menyeruak
kerumunan orang-orang. Jalal penasaran. Diperhatikannya orang-orang itu
menunjuk-nunjuk ke arah yang sama. Ke atas jembatan. Akhirnya Jalal bisa
melihat dengan jelas. Ada seorang gadis yang naik ke atas pagar jembatan, dari
gelagatnya dia seperti ingin bunuh diri.
Jalal kembali melangkah menyusul Jodha. Di depannya, beberapa polisi
berusaha menghadang orang-orang yang berusaha merangsek mendekat ke tengah
jembatan. Polisi melarang semua orang mendekat, tapi membiarkan Jodha masuk.
Jalal terus memanggil-manggil Jodha, tapi Jodha tidak menghiraukannya. Polisi
juga menghadang langkah Jalal yang ingin mengikuti Jodha. Jadi dia hanya bisa
menunggu dengan perasaan tegang karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya
dilakukan Jodha disini.
Dari pembicaraan orang-orang di sekitarnya, Jalal tahu bahwa dugaannya
benar. Gadis yang berdiri di atas pagar jembatan itu berusaha bunuh diri. Tidak
ada pihak keluarga yang bisa dimintai pertolongan untuk membujuknya
mengurungkan niatnya. Kedatangan polisi dan warga yang menontonnya justru
membuatnya semakin ketakutan. Jalal melihat Jodha perlahan-lahan mendekati
posisi gadis itu berdiri. Dia terlihat sedang mengajak bicara gadis itu.
Sesekali gadis itu menoleh ke arah Jodha. Dia terlihat sangat ketakutan. Jodha
mengulurkan tangannya untuk meminta gadis itu turun. Dengan tangan gemetar,
gadis itu berusaha menyambut uluran tangan Jodha, tapi gerakannya justru
membuat keseimbangannya hilang.
Gadis itu jatuh meluncur dari atas jembatan, tercebur ke dalam sungai di
bawahnya. Semua orang yang melihat kejadian itu berteriak. Tak terkecuali
Jalal. Lalu Jalal tiba-tiba merasakan firasat buruk....Jangan-jangan Jodha....
“JODHAAA......” Jalal berteriak sekuat tenaga saat dilihatnya Jodha ikut
terjun ke sungai.
“Jangan...jangan...jangan...jangan...jangan...Ini tidak boleh
terjadi!...Jodha tidak boleh mati!..”
Jalal kalut, dia berlari ke pagar
jembatan, masih terus meneriakkan nama Jodha. Dicobanya memfokuskan
penglihatannya ke permukaan sungai untuk mencari keberadaan kedua gadis itu
....NIHIL.... Tidak tampak Jodha ataupun gadis itu. Jalal tidak akan menunggu
lagi. Dia mengambil ancang-ancang untuk terjun ke bawah menyelamatkan Jodha.
Tepat saat orang-orang di sekelilingnya berteriak “Itu mereka...mereka
selamat.” Jalal melihatnya, tampak kepala keduanya menyembul dari balik air.
Seketika itu juga perasaannya lega, rasanya aliran darahnya kembali normal.
Bergegas Jalal bergerak mengitari jembatan dan turun ke pinggir sungai.
Jodha sudah berhasil naik ke tepian sungai, basah kuyup, sambil memapah tubuh
gadis yang diselamatkannya. Jodha menyerahkan gadis itu ke tangan paramedis
yang sudah siap sejak tadi, untuk mendapatkan perawatan.
Jalal yang sudah tidak sabar, mendahului seorang paramedis yang hendak
merawat Jodha. Saat dia sudah di depan Jodha, Jalal langsung memeluknya.
Mendekapnya dengan sangat erat. Dia tidak peduli semua mata memandang mereka,
karena mereka tidak merasakan saat kehidupan hampir direnggut darinya. Itulah
yang dirasakannya saat melihat Jodha terjun dari jembatan tadi, seakan nyawanya
sendiri yang terlepas. Tadi bahkan dia lupa caranya bernapas.
Mulai sekarang dia tidak akan melepaskan Jodha, istrinya. Meski dia
harus menelan harga dirinya, meski dia harus membayar kompensasi ratusan juta
dolar karena telah melanggar perjanjian pernikahan mereka, dia tidak peduli.
Konsekuensi yang harus ditanggungnya jika kehilangan Jodha, terlalu besar,
seberharga kehidupan itu sendiri.
Jalal –“Jodha...aku mencintaimu...aku tidak peduli apa yang
kaupikirkan... Yang bisa kurasakan saat ini...hanya cinta...Aku tidak peduli
meski kau membunuhku...aku akan tetap mencintaimu..”
Lama mereka terdiam dalam posisi itu. Tubuh mereka tidak pernah sedekat
itu, kehangatan saling mengalir dalam tubuh mereka. Detak jantung mereka
seirama. Orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka, tidak mereka
perhatikan. Jalal tidak peduli seandainya ada wartawan yang memberitakan
dirinya, biar saja dunia tahu, Jalal sedang memeluk istrinya di tengah
keramaian.Pada saat ada seorang paramedis yang menawarkan selimut untuk Jodha,
barulah Jalal melepaskan pelukannya, menerima selimut itu dan melilitkannya ke
tubuh Jodha.
Jodha –“Tuan Jalal, bajumu ikut basah.”
Jalal –“Jangan pedulikan, kau lebih kedinginan.”
Jodha –“Aku harus melihat kondisi gadis itu sebentar, kau tunggu
disini.”
Jalal –“Tidak, aku ikut.”
Jodha menghampiri ambulance yang akan membawa gadis itu ke Rumah Sakit,
memeluknya dan membisikkan kata-kata motivasi di telinganya. Paramedis juga
hendak memeriksa Jodha, tapi dia menolaknya. Setelah ambulance itu pergi, Jalal
mengajak Jodha pulang.
Jalal –“Ayo kita pulang.”
Jodha –“Motorku?”
Jalal –“Aku akan membayar orang untuk mengantarnya.”
Jalal membawa Jodha masuk ke mobilnya, setelah mengurus motor Jodha,
Jalal segera melajukan mobilnya, membawa Jodha pulang.
Jalal –“Selain kedinginan, tubuhmu tidak ada yang terluka?”
Jodha –“Tidak, aku baik-baik saja.”
Jalal –“Kau tadi nekat sekali, apa kau tidak memikirkan keselamatanmu
sendiri?”
Jodha –“Tidak, fokusku adalah menyelamatkannya. Yang lain tidak
penting.”
Jalal –“Apa kau kenal gadis itu?”
Jodha –“Namanya Radha, tapi nasibnya tidak seindah namanya. Sejak tiga
bulan lalu dia tinggal di Sisterhood Shelter. Dia sedang hamil. Kekasih yang
menghamilinya meninggalkannya. Keluarganya sendiri mengusirnya karena dia
hamil. Salah satu temanku yang menemukannya di Rumah Sakit saat dia dirawat
karena percobaan bunuh diri yang pertama.
Jalal –“Kenapa kau sangat peduli padanya, sampai-sampai membahayakan
dirimu sendiri.”
Jodha –“Aku pernah berada pada posisinya. Aku juga pernah mengalami
masalah yang berat hingga membuatku ingin bunuh diri.”
Seketika Jalal menoleh ke samping, memandang Jodha. Jawabannya
benar-benar di luar perkiraan, sangat mengejutkan, tapi wajahnya tetap terlihat
datar. Tidak tampak kesedihan apalagi air mata. Hanya saja pandangan matanya
kosong, menerawang, sepertinya ingatannya sedang kembali ke masa lalu.
Untunglah Jalal tetap sigap mengemudi, meski beberapa detik tadi dia sempat
kehilangan fokus.
Jalal tidak berkomentar apapun, masa lalu Jodha saat ini tidak penting,
yang terpenting adalah membawa Jodha pulang secepatnya agar dia tidak menggigil
kedinginan. Jika Jodha bersedia menceritakannya, Jalal akan mendengarkan, jika
tidak, dia juga tidak akan memaksa. Asalkan Jodha tetap bersedia bersamanya,
hanya itu yang dibutuhkannya.
Di apartemen, Bhaksi dan Bibi Meeta sudah menunggu. Jalal tadi menelpon
mereka saat berkendara. Bibi Meeta sudah menyiapkan air hangat untuk Jodha
mandi sesuai perintah Jalal. Bhaksi yang sudah cemas menunggu, langsung
mengantar Jodha ke kamarnya. Setelah mandi air hangat, Jodha langsung berbaring
di tempat tidurnya. Jalal menengoknya sebentar untuk melihat keadaannya,
sebelum akhirnya Jodha tertidur karena kelelahan.
Keesokan paginya, Bhaksi dan Jalal heran karena Jodha belum keluar dari
kamarnya meski sudah siang. Itu bukan kebiasaan Jodha. Karena khawatir, Bhaksi
menegtuk pintu kamar Jodha. Karena tidak ada jawaban, Bhaksi langsung
membukanya dan masuk. Awalnya, dia pikir Jodha masih terlelap, tapi setelah
diperhatikannya dengan benar, wajah Jodha terlihat pucat dan nafasnya berat.
Coba diraba keningnya, benar dugaannya. Jodha demam. Bhaksi langsung berteriak
memanggil Jalal.
Bhaksi –“Kak Jalal, cepat kemari!!”
Dengan tergopoh-gopoh, Jalal ikut masuk ke kamar Jodha.
Jalal –“Ada apa!!”
Bhaksi –“Kak.. Jodha pingsan!!... cepat panggil dokter!!”
******************