Versi
asli Bag. 61 - 64
By:
Viona Fitri
“Tidak
apa-apa sayang... Semua wanita yang akan menjadi ibu, Mereka akan mengandung
dan merasakan kebahagiaan melahiran seorang bayi. Seorang ibu, akan selalu
menahan rasa sakit demi anak mereka. Dia melakukan apapun demi calon bayi
mereka. Sementara itu, sang suami harus selalu berada di dekatnya untuk menjaga
istri dan calon bayi mereka.” Jodha hanya tersenyum memandang ke arah Jalal.
Ini adalah moment berharga bagi nya. Merasakan sakitnya menjadi seorang ibu.
Tak perduli apapun yang terjadi, seorang ibu akan tetap mempertahankan anak
mereka. Berjuang dengan sekuat tenaga demi melahirkan sang anak ke dunia. Tidak
perduli nyawa yang akan menjadi taruhan nya.
“Kau masih
hamil muda Jodha... Aku tau kau menyembunyikan rasa sakit mu dari ku. Aku
berjanji, akan selalu berada di samping mu saat kau melahirkan anak kita nanti.”
Jalal mencium kening Istrinya dan mendekap erat dalam dekapan nya. Memberikan
kehangatan bagi tubuh ringkih itu.
“Sayang...
Apakah tidak apa-apa kalau kita melakukan aktivitas malam kita? Aku sebenarnya sangat
merindukan mu.”
“Aku juga
merindukan mu sayang... Tapi, aku takut menyakiti mu dan calon bayi kita. Lebih
baik kau istirahatlah, aku ingin kau segar ketika kau terbangun besok pagi.
Kita akan datang ke pesta Surya kan?” tanya Jalal. Jodha memalingkan wajahnya cemberut.
“Hey Jodha
sayang... Aku juga menginginkan mu. Tapi, kita harus tau bagaimana keadaan mu
sekarang. Perbanyaklah istirahat dulu.” Jalal menolehkan wajah Jodha menghadap
nya.
“Tapi aku
pikir, jika kita melakukannya dengan berhati-hati tidak akan masalah kan?”
“Hah
kenapa kau jadi yang memaksa ku Jodha? Apakah itu permintaan dari calon bayi
kita?”
Jodha
memiringkan sedikit kepalanya mencium bibir Jalal. Jodha mulai mengulum lembut
bibir Jalal, tapi Jalal sama sekali tidak merespon aksi Jodha itu. Ia takut,
setelah dirinya semakin bergairah, maka ia tidak akan bisa menahan dirinya lagi.
“Jodha...
Aku tidak ingin menyakiti mu dan calon bayi kita. Mengertilah!” Jalal
melepaskan ciuman Jodha dengan perlahan. “Ya baiklah. Mungkin ketika seorang
istri sedang mengandung, suaminya akan hilang ketertarikan pada nya. Tidak
apa-apa.” kata Jodha dengan ketus.
Jodha
memiringkan badannya membelakangi Jalal. Air matanya menetes begitu saja. Entah
apa sebenarnya yang mengganggu pikiran nya. Yang jelas ia hanya ingin semua
permintaannya di penuhi tanpa harus membahtah nya. Isaknya terdengar pelan,
namun mampu terdeteksi sampai ke telinga Jalal.
“Apakah
kau marah pada ku sayang?” Jalal memeluk tubuh Jodha yang membelakangi nya.
Jalal telah mengetahui Jodha menangis. “Tidak apa-apa. Aku tidak marah pada mu.
Sekarang aku akan segera tidur.” Jodha berusaha melepaskan pegangan tangan
kekar Jalal yang memeluk pinggangnya posesif.
Jalal
membalik kan tubuh Jodha menghadap nya. Dia melihat genangan air yang masih
menggenang di kedua bola mata indah kelinci nya.
Dicium
nya, mata Jodha perlahan sambil tangannya bergerak menuju piyama tidur Jodha
yang berlari. Senyum bahagia terpancar dari wajah Jodha. Ternyata anggapannya salah
tentang suaminya itu. Ia bukan tidak tertarik lagi pada nya, melainkan berusaha
kenyamanan Jodha dan calon bayi nya.
Ketika
bibir Jalal sudah memulai aksi nya. Jodha hanya menggeliat dan mendesah
merasakan setiap senti sentuhan suaminya itu. Piyama malam mereka sudah
tersingkap dari tubuh mereka masing-masing.
Jodha
memejamkan mata nya, menikmati desiran hangat yang mulai memasuki tubuh nya.
Kehangatan itu kian menyebar ke seluruh bagian persendian nya. Dirasakan nya,
rasa panas dan hangat di sekitar leher jenjangnya yang mulai rambah oleh Jalal.
Merasakan setiap kecupan-kecupan basah di setiap bagian sensitif nya.
Peluh
mereka mulai berjatuhan deras bagai hujan lebat. Seperti membuat api unggun di
musim salju. Kehangatan itu mulai membuat mereka lebih di mabuk lagi. Jalal
menarik selimut mereka dan tertutuplah peraduan penuh cinta di balik selimut
tebal itu.
* * *
* *
Sinar
mentari pagi tampak sudah mulai memunculkan sosoknya di ufuk timur. Dedauan
yang baru saja ditetesi oleh embun, bersorak kegirangan menyambut sang mentari
pagi dengan senyum kehangatan nya.
Jodha
mulai mengerjapkan matanya untuk membiasakan diri dengan cahaya pagi itu dengan
perlahan. Setelah bayangannya yang semula samar menjadi terang dan jelas,
terlihatlah sosok suaminya yang masih terbuai oleh dunia mimpi nya. Matanya tertutup
rapat-rapat, seakan cahaya yang memantul sejajar ke arah nya, tidaklah
membuatnya terbangun dari mimpi nya. Jodha mencium kedua mata suaminya bergantian,
perlahan namun pasti, mata Jalal mulai membuka.
“Selamat
pagi istri ku. Apakah kau tidur dengan nyenyak semalam?” tanya Jalal dengan
senyum menawannya mengawali hari baru nya. “Tentu. Aku tertidur dengan nyenyak
sekali.” Jodha menarik tubuh Jalal agar segera bangkit dan bergegas.
“Sayang
kita harus bergegas, nanti kita akan terlambat ke pesta Surya. Ayo bangun,
jangan membuang banyak waktu mu lagi, hemm?” Jodha menarik lengan Jalal yang
masih bermalas malasan tiduran di atas ranjang.
“Pestanya belum
di mulai Jodha, jadi kita tiduq saja dulu.” kata Jalal santai.
“Kalau
begitu kau saja yang tidur, aku akan menyiapkan sarapan untuk Ammijan dan kak
Salima.” Jodha beranjak dan mengambil pakaiannya masuk ke dalam kamar mandi.
* * *
* *
Setelah
selesai mandi dan berbenah. Jodha mematutkan dirinya sebentar di depan cermin. “Apakah
Jalal belum bangun juga?” Jodha berjalan menuju tempat tidur yang masih
tertutup oleh selimut. Jodha membuka selimut itu dan hanya ada sebuah guling
yang terbungkus oleh selimut tebal mereka. “Kemana Jalal?” Bathin Jodha.
Jodha
turun menuju lantai bawah. Tampak oleh ekor mata nya, sosok suaminya yang
sedang memasak di dapur. Jodha tersenyum dan menghampiri nya. “Suami ku, kau
sedang memasak untuk apa? Kau kan laki-laki, ini bukan tugas mu.” Ujar Jodha
yang berdiri di samping Jalal.
“Apa hanya
seorang istri saja yang boleh memasak untuk keluarga nya, heem?” tanya Jalal di
iringi senyum maut nya.
“Sebaiknya,
sekarang kau bersiap siaplah dulu. Biar aku saja yang memasak nya.” Jodha mulai
mengambil alih masakan Jalal. “Ya baiklah. Aku akan bersiap siap dulu.” Jalal
mencium pipi Jodha dan bibirnya singkat kemudian cepat-cepat berlalu dari sana
sebelum mendapat omelan Jodha di pagi buta seperti itu.
Pipinya seakan
masih merasakan panas karena ciuman Jalal tadi. “Dia benar-benar aneh sekali.”
Gumam Jodha yang masih tersenyum mengingat ciuman singkat mereka di pagi itu.
* * *
* *
Makanan
telah terhidang di atas meja makan. Semua menu adalah makanan kesukaan Jalal.
Hamida dan Salima pun juga menyukai menu yang sama dengan Jalal.
“Masakan
ini enak sekali Jodha. Kami semua menyukai nya.” Ucap Hamida memuji.
“Iya Bibi.
Aku suka dengan masakan ini. Di rumah ibu jarang memasak buat kami. Ibu
berangkat sangat pagi sekali. Tapi nenek membuatkan nasi goreng yang lezat
untuk ku.” kata Rahim menimpali.
“Terimakasih
Rahim. Apa kau ingin menambah lagi? Bibi akan membuatkannya lagi untuk mu.”
Jodha tersenyum menatap sosok anak lelaki yang menggemaskan itu.
“Aku akan
belajar memasak dengan mu bi. Aku ingin setiap hari memasak makanan enak
seperti ini untuk keluarga ku.”
“Tentu
saja bibi akan mengajari mu. Tapi setelah kau besar nanti. Sekarang belum waktunya
bagi mu mempelajari nya.”
“Semua
orang memang selalu saja mengatakan ku anak kecil, tapi bagi ku, aku ini sudah
besar. Aku selalu mengalahkan paman Jalal ketika kami bermain petak umpat.
Paman Jalal tidak dapat menemukan ku, katanya karna badan ku yang masih kecil
ini bisa bebas bersembunyi di manapun yang ku inginkan. Aku selalu ketiduran
terkadang kalau bersembunyi di bawah kolong tempat tidur.” Rahim menatap kejam
pada Jalal yang terkekeh mendengarkan nya.
“Rahim kau
tidak boleh banyak bicara ketika sedang makan, kau akan tersedak nanti.” Tegur
Salima.
Setelah
semuanya selesai, mereka segera masuk kedalam mobil yang sudah terparkir di
halaman. Suasana di dalam mobil terdengar suara-suara khas Rahim yang menggema
membuat mereka tertawa. Ada-ada saja ulah Rahim yang selalu mengubah hening
menjadi ramai.
Menempuh
30 menit berkendara, mereka telah sampai di halaman lokasi pesta. Tidak terlalu
kecil dan juga tidak terlalu megah. Pesta yang terlihat sangat sederhana itu,
di kunjungi oleh ratusan orang pengunjung yang merupakan tamu dan kerabat dekat
mereka.
“Jodha
telah datang. Dia terlihat bagia sekali hari ini. Perasaannya untuk ku mungkin
benar-benar sudah hilang dari hati nya.” Bathin Surya yang telah melihat
kedatangan Jalal dan Jodha beserta keluarga mereka yang berjalan sejajar dgn
nya.
“Surya...
Apa kau mau ikut dgn ku menemui Jalal dan keluarga nya? Aku ingin menemui
mereka? Sudah lama aku tdk bertemu dgn Jalal.” ujar Ruqayah penuh harap. Surya
menggangguk lalu berjalan bergandengan dgn Ruqayah menghampiri mereka.
“Jalal...”
suara itu terdengar begitu nyaring terdengar di telinga yang langsung berbalik
ke arah sumber suara itu berasal. Seorang gadis cantik berwajah barbie
menghambur dalam pelukan Jalal. “Mungkin dia itu Ruqayah, sepupu Jalal, yang
pernah ia ceritakan pada ku.” Bathin Jodha. Surya yang sudah berada sangat
dekat Jodha, langsung menarik Jodha dalam pelukan nya. Jodha terkejut karna
pelukan Surya yang mendadak itu. Hampir semua pasang mata memperhatikan Ruqayah
dan Surya yang saling memeluk lawan jenis selain istri atau suami nya. Jalal
menatap tajam ke arah Surya yang mendekap Jodha sangat erat di dada nya.
Sementara Jodha hanya terdiam saja tanpa membalas sama sekali. Rahang Jalal
langsung mengeras. Matanya berubah merah padam. Tatapannya penuh dgn amarah. “Beraninya
kau memeluk istri ku Surya.” Geram Jalal dlm hati nya. Mereka saling melepaskan
pelukan masing-masing.
Jalal
menarik Jodha mendekat ke arah nya. Ruqayah tersenyum menatap gadis cantik yang
berada di samping Jalal. “Apakah dia adalah istri mu Jalal?” tanya Ruqayah
dengan sumringah.
Jalal
tidak menyahut, hanya Jodha yang tersenyum menangguk sebagai jawaban. “Kau
cantik sekali. Nama ku Ruqayah. Aku dan Jalal adalah sepupu, kami adalah teman
masa kecil. Ku harap kau tidak cemburu pada ku. Owh iya nama mu siapa, boleh
aku tau?” tanya Ruqayah sopan.
“Jodha.
Kau juga sangat cantik. Beruntung Surya mempunyai istri secantik diri mu. Jalal
sudah pernah bercerita banyak tentang diri mu pada ku.” jawab Jodha. Mereka
berdua saling bertukar senyuman. Tangan Jalal yang menggandeng jemari Jodha, terasa
meremasnya keras. Jodha menoleh ke arah Jalal yang terlihat tenang. Tapi sinar
matanya mulai berubah padam.
“Bibi
Ruqayah, bibi Jodha saat ini sedang hamil. Aku akan mendapatkan seorang teman
baru. Lalu, bibi... kapan akan memberikan ku teman baru?” tanya Rahim yang
menarik narik baju pengantin Ruqayah.
Ruqayah
berjongkok sejajar dengan Rahim. Hal yang pertama dilakukannya adalah mencubit
ke dua pipi mungil anak lelaki yang ada di hadapannya ini. “Kau sudah seperti
orang dewasa saja Rahim. Kita sudah lama tidak bertemu, waktu bibi sakit kau
kemana? Kata mu, kita ini sahabat?”
Rahim
menepuk keningnya dan berkata. “Ya ampun bibi. Aku benar-benar lupa. Jadwal ku
sangat padat di rumah. Nenek terus saja mengajari ku membaca dan berhitung.
Bahkan aku sudah seperti seorang presiden saja, selalu di sibukkan oleh banyak
permasalahan. Padahal aku telah bilang pada nenek, bahwa aku masih kecil.
Seharusnya aku hanya bermain dan memakan permen sepanjang hari.”
Ruqayah
hanya mengangguk kemudian mencium kening Rahim. Surya terlihat terkejut begitu
mengetahui kenyataan ini. Jodha hamil. Kata-kata itu selalu melayang layang di
pikiran nya. Benarkah Jodha sudah sangat mencintai suami nya, yang dulunya adalah
musuh dalam hidup nya?
Jodha
seperti bergidik ngeri memperhatikan sorot mata tajam Jalal yang menatap nya. “Jalal...
Jalal... Kau kenapa?” tanya Jodha di dekat telinga Jalal. Kata-katanya sangat
pelan dan hampir tak terdengar.
Hamida,
Salima, Rahim, Ruqayah dan Surya meninggalkan mereka menuju tempat hidangan.
Sekarang hanya ada Jalal dan Jodha yang masih ada di halaman utama pesta. “Jalal...”
kata Jodha lirih. Jodha tertunduk tidak berani menatap mata Jalal yang tajam
menembus jantung nya. Air matanya sedikit menetes. Jodha memeluk Jalal erat
tanpa memperdulikan banyaknya pasang mata yang memperhatikan mereka. “Kau
kenapa? Tolong jangan marah pada ku.” Jodha terisak di dada Jalal. Sementara
Jalal hanya terdiam tanpa membalas pelukan Jodha yang semakin erat pada nya.
“Kenapa
bertanya pada ku Jodha? Kenapa kau mau di peluk oleh nya? Apakah kau masih
mencintai nya?” bisik Jalal di telinga Jodha. Kata itu terdengar lembut, tapi
maksudnya benar-benar langsung mengenai sasaran nya.
Jodha
merenggangkan pelukannya dan menatap tak percaya pada Jalal. Secara tidak
langsung, Jalal telah tidak mempercayai nya. Padahal sekarang, Jodha tengah
mengandung anak nya. Tidak mungkin, ia mencintai lelaki lain selain suami nya.
“Kau tidak
percaya pada Jalal? Apakah selama aku menjadi istri mu semua terlihat masih
kurang? Aku sedang mengandung saat ini. Aku benar-benar tidak percaya kau
bertanya seperti itu pada ku.” Air matanya jelas telihat oleh Jalal. Jodha
menangis sesegukan dan berlari ke arah mobil. Jalal hanya menatapnya tapi tidak
ingin mengejar nya.
* * *
* *
Jalal
terlihat memberi sebuah kado pada sepasang pengantin itu. “Ruqayah, selamat
atas pernikahan mu. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian kelak.” ucap
Jalal di barengi kado dengan kado yang di bawa nya.
“Jalal
selamat juga atas pernikahan mu. Kata Rahim saat ini Jodha sedang mengandung.
Aku benar-benar bahagia mendengar nya. Owh iya Jalal, tadi Kak Salima dan Bibi
Hamida berkata, kalau mereka akan tinggal di sini sampai besok pagi. Setelah
itu mereka akan ikut pulang bersama ku Ke Delhi.”
“Baiklah.
Tolong jaga Ammijan dan Kak Salima. Ruqayah... Maaf aku harus segera pulang.
Jodha harus segera beristirahat.”
Ruqayah
menggangguk. Ketika Jalal melewati Surya, sejenak ia melirik ke sosok lelaki
itu dan menatapnya sinis kemudian berlalu dari sana. Ruqayah hanya diam
memperhatikan hal itu. Sepertinya mereka mempunyai masa lalu yan belum harus di
ketahui oleh Ruqayah.
* * *
* *
Jodha
masih terisak di mobil nya. Kata-kata Jalal masih terekam jelas dalam setiap
kalimata nya. Matanya sudah sangat sembab. Mengingat bayi yang ada dalam
kandungan nya, Jodha mencoba tegar menghadapi segala nya. Pintu mobil terbuka.
Jalal langsung masuk dan menancapkan gas menyusuri jalanan malam yang petang
itu. Mereka hanya hing tanpa kata. Sesekali hanya terdengar sesegukan Jodha
yang mulai mereda. Bahkan tidak sedikit pun Jalal menoleh ke arah Jodha.
Sesampainya
di rumah. Jalal memarkirkan mobilnya di garasi dan turun terlebih dahulu.
Sementara Jodha hanya menatap nanar kepergian Jalal. Jodha juga turun dan duduk
di sofa ruang tamu.
“Dia
benar-benar marah pada ku. Aku tidak ingin membuat kemarahannya semakin
memuncak. Lebih baik, aku tidur disini saja.” Jodha membaringkan tubuhnya di
atas sofa. Tak sehelai selimut pun yang menutup membungkus tubuhnya dari dinginnya
angin malam.
Jalal
belum bisa di kamar nya. Ia membalik ke kanan dan kiri tidak jelas. Matanya sulit
sekali untuk terpejam. Biasa nya, Jodha yang berada di sampingnya menghangatkan
tubuhnya dari dinginnya udara malam. Tapi... Dimana Jodha? Kenapa dari tadi
Jodha belum ke kamar juga. Apakah Jodha tidur di dalam mobil?
Jalal
turun hendak menuju garasi, tapi matanya menangkap sosok istrinya yang sudah
tertidur di atas sofa ruang tamu. Jalal berjalan lebih dekat menatap Jodha. Dia
seperti sangat lelah sekali hari ini.
Tanpa
berpikir dua kali, Jalal segera membopong tubuh ringkih Jodha ke kamar mereka.
Di tariknya selimut untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai di tusuk oleh
dinginnya udara malam. Sementara Jalal, tidur di sofa di samping sudut kamar.
* * *
* *
Keesokan
pagi nya, Jodha terbangun dan mendapati dirinya sudah berada di kamar nya. “Pasti
Jalal yang sudah mengangkat ku ke kamar ini.” Bathin Jodha.
Jalal
keluar dari kamar mandi dengan setelan jas kerja nya. Ia sempat melirik Jodha
sekilas dan berjalan menuruni anak tangga. “Dia masih marah dengan ku” kata
Jodha pada dirinya sendiri.
Jodha
mengambilkan dasi dan tas kerja Jalal yang ada di ruang kerja. Di lihatnya Jalal
duduk di sofa ruang tamu sambil memasang sepatu nya. Jodha menghampirinya dengan
seuntai senyuman nya.
“Sekarang
kau tinggal memakai dasi... Aku akan memasangkan nya.” Jodha mulai melingkarkan
dasi di kerah baju Jalal. “Kau masih marah pada ku Sayang? Aku minta maaf...”
Jodha memeluk erat Jalal yang terdiam bagai patung menatap nya. Tidak ada
balasan sama sekali dari Jalal. Biasa nya, ia akan memeluk Jodha lebih erat
lagi, dari pada Jodha.
“Huek...”
Jodha menutup mulutnya dan berlari ke arah kamar mandi yang terletak
bersebelahan dengan dapur. Jalal yang tadinya hanya diam, lekas berlari dan
memijat tengkuk belakang Jodha. “Kau tidak apa-apa?” tanya Jalal Khawatir.
“Tidak.
Kau pergilah ke kantor. Aku baik-baik saja.” Jodha masih memegang perutnya yang
terasa akan mengeluarkan semua isi nya. “Kita ke Dokter...” Jalal menarik
lengan Jodha dan menuntun nya. “Tidak perlu. Kau pergilah ke kantor. Kau tidak
perlu memikirkan ku lagi. Aku masih bisa menjaga diri ku dengan baik.” Jodha
lalu pergi meninggalkan Jalal yang masih terlihat khawatir pada nya.
“Sepertinya
sekarang dia yang marah dengan ku. Tapi itu bukan salah ku. Sudah tau dia
bersuami, kenapa mau di peluk oleh lelaki lain?” kata Jalal kesal dan langsung
menuju garasi mobil nya.
* * *
* *
Sesampainya
di kantor, seperti biasa Maansing selalu menyambut kedatangan Jalal dan
memberitahukan Jadwal kantor Jalal hari ini. Jalal memasuki ruangan yang di
dampingi oleh Maansing bersama nya.
Semua
file-file dan berkas penting yang siap di tanda tangani sudah menumpuk di meja
kerja Jalal. “Tuan, itu adalah File-file penting yang harus anda tanda tangani.”
kata Maansing memberi tahu. Jalal mengangguk, lalu mengambil file satu persatu dan
mencantumkan tanda tangannya di sana.
Sudah saatnya
istirahat kantor, tapi file di atas meja kerja Jalal seperti masih banyak dan
tdk berkurang juga. “Maansing, aku akan menyiapkannya besok.” kata Jalal
kemudian berlalu dari sana. Maansing mengangguk.
* * *
* *
Jalal
melajukan mobilnya menuju toko bunga. Ia ingin memberikan bunga itu sebagai
tanda permintaan maaf nya.
“Jodha
pasti menyukai bunga ini. Aku harus minta maaf pada nya. Dia sedang mengandung
anak kami, dia tdk boleh bersedih terus menerus.”
Di rumah
nya, Jodha sedang duduk dgn lutut yang di tekuk dan wajahnya yang di
tenggelamkan di balik lutut nya. Ia mengingat sifat dingin Jalal pada nya.
Bukan sekali ini saja Jalal melukai hati nya, tapi ia tetap berusaha bertahan
demi anak mereka.
Jalal
sudah sampai di halaman rumah dan mulai mencari Jodha. “Kemana Jodha? Biasanya dia
ada di kamar nya. Tapi tdk ada sama sekali di sana. Apa Jodha pergi karna marah
pada ku?” Tanya Jalal.
Pikirannya
mulai di liputi oleh ketakutan akan istrinya itu. Dadanya mulai bergemuruh
hebat mencari hatinya yang sudah ia titipkan pada Jodha. Kemana perginya Jodha?
Jalal
membuka satu persatu ruangan di rumah nya, tapi tak kunjung bertemu juga dengan
Jodha. Hanya tinggal kamar dapur satu-satunya yang belum ia buka. ‘Klik...’
pintu dapur terbuka. Benar, di sana terlihat tubuh Jodha yang sedang meringkuk
di sudut ruangan. Ia seperti berusaha menahan tangis nya. Tapi, nafasnya yang
tersenggal dan sesegukan, menandakan tangisnya yang sudah mulai ia redam.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~