By Er
Lin..... “Jodhaaaa,,,, apa kau belum siap?”
teriak Sujamal dari ruang tamu.
Sebelum
keluar dari kamarnya Jodha bercermin untuk terakhir kalinya. Selera ibunya
Jalal bagus. Sebuah gaun sederhana bewarna merah dengan bentuk leher shanghai
dan berlengan pendek khas pakaian Tionghoa namun dari pinggang kebawah
membentuk A liner lebar hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas.
“Jodhaaaaa,”
kali ini terdengar teriakan dari Meina.
Jodha
langsung keluar dari kamarnya. “Kenapa sih buru-buru, toh pria itu tidak akan
ada disana. Kalopun ada, dia akan sangat datang terlambat. Mungkin ia datang
ketika ia dan keluarganya sudah berpamit pulang” rutuknya dalam hati sambil
mengerucutkan bibirnya.
“Oke, yuk
berangkat, Jodha sudah lapar,” ucapnya sambil memegang perutnya sendiri saat
ada di depan ibu dan kakaknya.
Meina
tersenyum , “Sudah kangenn calon suami ya?”
Pipi Jodha
langsung merona merah seperti apel, Jodha sendiri juga bisa merasakan pipinya
memanas. Buru-buru dia masuk ke dalam mobil untuk menghindari pembicaraan lebih
lanjut. Dia duduk di belakang dengan manis seperti seorang anak
kecil yg penurut.
Ini untuk
pertama kalinya Jodha kerumah Jalal. Seperti apa rumahnya? Apakah Bella dan
Benazir serta Ruqyah atau mungkin pacar-pacarnya terdahulu sudah pernah diajak
kesana? Mengingat usianya yg sudah 30tahun. Jodha menghela nafasnya,
menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Baru sebentar mobilnya berjalan, Jodha
telah menguap. Tanpa kuasa menahan kantuk ia jatuh tertidur di perjalanan.
Tidurnya
begitu tenang. Matanya mengatup seakan dibubuhi lem tikus. Nafasnya teratur dan
sebagian otaknya beristirahat mengirim fakta dan data.
Jodha
merasa sedang bermimpi manakala bahunya diguncang perlahan. Seseorang berusaha
menariknya kembali ke alam nyata. Ia yakin itu ibunya. Ibunya tidak pernah
membiarkannya benar-benar tidur nyenyak di mobil. Jodha bergumam dalam tidurnya, “Tidur
itu human rights, Bu.....”
Bahunya
tetap digoyang-goyang lembut namun menyebalkan.
“Please...Jalal
juga bakal terlambat datang keacara ini, trust me....”
“He is
here, wake up!” Suara maskulin berbisik mengelitik. Lirih namun efeknya laksana
petir tanpa pertanda. Membuka mata Jodha secara terpaksa, tergagap bangun.
Seketika berhadapan dengan wajah tampan dihiasi rambut lebat bergelombang.
Dekat sekali.
“Impossible,”
desisnya setengah sadar. “Orang ini hantu, atau punya kembaran? Kenapa dia bisa
berpindah dengan cepat? Dan bagaimana....”
“Keluar
sendiri atau ku keluarkan?” intonasi Jalal terdengar mengancam sekaligus geli.
Melihat
Jodha yg masih mematung, tanpa bicara jalal meletakkan tangannya di pinggang Jodha, menggeretnya semudah menggeser boneka berisi dacron.
“Stop!”
jerit Jodha panik. “Aku keluar sendiri!”
Jalal
menahan senyum. “Dasar putri kecil,” katanya dalam hati. Baju merah yg
dipilihnya melekat sempurna di tubuh gadis itu. Jalal menyuruh Abul mali
kerumah calon mertuanya seraya berkata bahwa gauni itu pemberian ibunya. Kalo
dipikir-pikir, aneh juga dia merasa malu mengakui bahwa gau. Itu adalah
pilihannya.
Sebenarnya
yg membuat Jalal agak heran, ternyata tubuh Jodha lebih berisi dari yg dikira.
Ia terpana sama seperti ketika melihat gadis ini dimalam dinner merekan tempo
hari. Wajahn bangun tidur pun tampak segar menenangkan.
Tak dapat
lagi menahan tawanya saat melihat sepatu kets yg dikenakan Jodha. Jalal berkata
sambil terkekeh, “Sepatu mu tidak match.” Matanya memandang kebawah dengan
kedua tangan tersembunyi di saku celana.
Jodha
melihat kakinya sekilas lalu menatap kearah rumah yg sepi. “Kemana orang tua
kita?”
Jalal
mengangkat bahu. Entah mengapa dia senang melihat Jodha gelisah. Ia gelisah
disaat aman namun justru berbalik berani saat terancam. Jalal sudah
memperhatikan kebiasaan itu sehingga dia penasaran ingin mengetahui Jodha lebih
dalam.
Disandarkannya
tubuhnya ke mobil orang tua Jodha, bersedekap santai, merasakan keenganan gadis
dihadapannya kian besar. “Mau kemana?” tanyanya melihat Jodha yg berjalan
menuju rumah.
“Mencari
ibu dan kakak.”
“Kau sudah
ditinggal disini, hanya berdua denganku.” Jalal menahan tawa melihat wajah
Jodha mendadak pucat. Jalal berdiri, kembali mengamati gaun yg melekat sempurna
di tubuh Jodha. Memicu angannya sebagai lelaki dewasa mengembara
kemana-mana. Ia terpesona. Gadis ini tanpa melakukan apa-apa bisa membuatnya
berfantasi.
“Di.....
ting.. gal...? Ke mana ? Mobilnya masih ada?” Jodha memicingkan matanya penuh
curiga.
Benarkan,
Jalal tak habis pikir mengapa Jodha selalu enggan bersamanya sementara
perempuan lain jungkir balik untuk menciptakan kondisi seperti ini dengannya. “Mereka
pergi dengan menggunakan mobil orang tuaku. Aku tidak tau kemana.” Jalal
terkekeh, “Memangnya kenapa? Aku tidak mengigit.”
Kok
bisanya dia terkekeh menggoda seperti itu? Jodha meningkatkan kewaspadaan, ia
tak mau tergoda. “Fine...kalo orang tuaku tidak ada disini aku permisi pulang,”
kata Jodha dengan pelan, mencoba melongok apakah kunci mobil kakaknya masih
menggantung. Jodha menahan rasa kaget saat melihat kunci itu tidak ada. Dimana
kuncinya?
“Aku
antar.” Jalal menatapnya dalam.
Jodha
bergerak mundur. Tatapn itu lagi. Dia yakin tatapan itulah yg merontokkan hati
para wanita, termasuk hatinya. Ingin rasanya ia melompat masuk kedalam
dekapannya. “ Tidak usah, aku tidak ingin merepotkan orang lain,” katanya
dengan ketus.
“Aku kan
calon suami mu, “ jawan Jalal denagan santai.
Jodha
tersedak. Ia batuk hingga nyaris kehabisan nafas. Sambil terengah-engah
mengatur nafas Jodha berkata, “Punya suami kayak kamu adalah nightmare.”
Jalal
terkekeh, “Tahu tidak kalo adegan di flim Nightmare itu justru panas dan
bukannya seram?”
Jodha
tidak kalo ada flim yg berjudul Nightmare. Jalal melangkah maju, Jodha bergerak
mundur. Jalal menangkap tangannya, menghentak tubuh Jodha secara mendadak dan
dalam sekejap Jodha telah berada dalam dekapan Jalal.
Tubuh
Jodha menegang, jantungnya berdetak secara tidak teratur apalagi saat hidungnya
merasakan aroma tubuh Jalal yg samar dan lembut. Tangan Jalal bergerak, sebelah
kanan memegang pergelangan tangan Jodha erat. Tangan kirinya membelai lembut
rambut Jodha. Pelukan dan belaian itu terasa tulus, membuat Jodha panik.
Refleks, Jodha menginjak kaki Jalal dengan sekuat tenaga.
“Shit!”
Jerit Jalal sambil melompat mundur. “You are a kind of hell girl,” maki Jalal.
Dia bersyukur Jodha hanya menginjak kakinya, bagaimana kalo Jodha mencolok
matanya? Atau lebih parah lagi Jodha menendang alat vitalnya. Ya ampun, kakinya
seperti kejatuhan jangkar besi besar seberat satu ton. Jalal berdecak kesal.
“You are a
kind of expert liar,” balas Jodha tenang.
Jalal
melotot, Jodha kembali balas melotot. Para orang tua tergopoh-gopoh keluar dari
dalam rumah. mendekat kearah mereka.
“Kami akan
makan di luar.” Kata Jalal datar sambil melangkah pergi sebelum para orang itu
ingin tahu dan bertanya.
Jodha
berdiri terdiam, matanya memicing penuh kesal saat menyadari semua keluarganya
keluar dari rumah Jalal.
Jalal
berbalik ketika menyadari Jodha masih berdiri ditempatnya. Dengan gemas
ditariknya tangan Jodha. Beberapa menit kemudian Jodha sudah berada di samping Jalal, duduk tenang di mobiol mewah pria itu.
Jalal
membawa Jodha kesebuah restorant yg berkonsep fine dining yg tidak terlalu
ramai. Tempat makan itu berada di rooftop sebuah gedung pencakar langit yg
menyuguhkan hamparan lampu ibu kota di bawahnya. Hampir seluruh dinding terbuat
dari kaca sehingga penggunjung tak perlu mengkhawatirkan angin kencang yg
bertiup liar di ketinggian.
Jalal dan
Jodha sama-sama memegang buku menu.
“Mau pesan
apa?” tanya Jalal sambil melihat menu nya sendiri.
Jodha
menelusuri semua daftar makanan eropa yg ada di dalam
daftar buku menu. Dia menutup menu itu perlahan. Saat ini dia hanya ingin makan
semangkok Bakso yg di bubuhi dengan bawang goreng yg banyak dan
juga di tambah dengan beberapa ceker ayam, sebuah menu yg tak tercantum
disana. “Aku tidak lapar,” jawab Jodha sambil menjauhkan buku menunya. “Aku
yakin kau juga tidak lapar, kau baru saja makan dengan Ruqyah kan?” gumamnya
dalam hati.
“Baik,
kita minum saja, aku juga tidak lapar. Aku selalu kenyang setiap melihat kamu,”
Jalal berusaha untuk bercanda. Jalal berpikir itu bisa membuat Jodha tersenyum
tapi tidak bagi Jodha. Kata-kata Jalal barusan justru membuatnya semakin merasa
kesal.
“Perfect,
kalo berumah tangga keuangan kita pasti aman karna tidak perlu keluar biaya
makan untukmu.” Pertahanan Jodha untuk bersikap kalem dan tenang mulai berada di tapal batas.
Jalal
tersenyum geli. “Artinya kau senang menjadi istriku, tidak perlu repot masak
dan menyediakan makanan.” Jalal mulai mengaduk minumannya menggunakan sedotan.
Jalal
bukan tak menangkap kekesalan Jodha. Dia berpengalaman menghadapi bahasa tubuh
berbagai macam wanita. Jodha menunjukkan dengan jelas betapa gadis itu sangat
kesal kepadanya, dan Jalal pun tau apa penyebabnya.
“Aku tau
kau saat ini sedang marah.” kata Jalal yg lebih memilih bersikap dewasa
ketimbang ikut-kutan ngambek seperti anak kecil. “Well, ceritakan apa yg
membuatmu marah dan kesal?”
“Kesempatan!”
pikir Jodha, dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. “Sebaiknya hubungan
kita dihentikan saja sebelum menjadi lebih buruk.”
Kening
Jalal berkerut. “Lebih buruk gimana?”
“Kita
tidak cocok,” ucap Jodha dengan mengacuhkan pertanyaan Jalal.
“Tidak
cocok gimana?”
“Aku masih
terlalu muda untuk menikah,” kata Jodha.
“Terlalu
muda gimana?”
Jodha
mendelikkan matanya. “Kenapa sih kau selalu membuat pernyataanku menjadi
pertanyaan?”
Jalal
tersenyum jahil. “ Apa yg terlalu muda? Kau sudah 25tahun, bukan gadis di bawah umur. Beda usia lima tahun dengan laki-laki itu ideal untuk
sebuah pernikahan, apanya yg tidak cocok? Dan apa buruknya kalo kita menuruti
kemauan orang tua setelah bertahun-tahun lamanya meraka melakukan segalanya
untuk kita?” Jelas Jalal dengan panjang lebar.
Jodha
melongo, kekesalannya semakin memunjak. Dia tidak mengerti bagaimana Jalal bisa
berkata seperti itu dengan santai disaat dia masih menikmati kebersamaanya
dengan wanita lain diluar. Dia lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dan
berbicara setengah berbisik. “Sekarang aku akan berdiri dan keluar dari sini
dengan tenang dan damai. Dan kau tetap menikmati pesanan yg dari tadi belum
datang itu sampai selesai. Jangan SMS, jangan menelpon, jangan membuntuti,
jangan pernah memikirkan aku lagi.”
Jalal
menggigit bibirnya menahan tawa sambil mengangguk, menatap punggung Jodha yg
berjalan tergesa menuju pintu luar. “Kita pulang bersama,” kata jalal seraya
langsung berdiri mengikuti Jodha dengan tetap menjaga jarak.
Setelah
berada di luar, Jalal langsung meraih pergelangan tangan jodha. Menariknya
hingga tubuh Jodha dengan mudah berbalik menghadapnya. Jalal menghela nafasnya
sebentar, “Tidak ada yg terjadi tadi saat di apartemennya Ruqyah, aku hanya mengantarnya
lalu memasakannya makananan” Jalal seakan mengerti kata-kata itu yg ingin Jodha
dengar darinya. “Bukankan sudah pernah aku bilang bahwa aku hanya menganggap
dia seperti adik ku sendiri. Aku juga tau dia mengirimkan mu sebuah pesan dan
foto kan? Aku sengaja tidak menjelaskannya pada mu dari tadi, aku ingin melihat
seperti apa jika kau sedang merasa cemburu.” Jelas Jalal sambil tersenyum dan
menatap Jodha dengan intens.
Airmata yg
dari tadi coba Jodha tahan akhirnya keluar juga. Dia kesal kenapa Jalal selalu
saja memperlakukannya seperti anak kecil, dia bahkan dengan sengaja membiarkan
dirinya merasa cemburu dengan semua pikiran kotor yg telah Ruqyah berikan
padanya.
“Kau
cengeng sekali,” ucap Jalal sambil menghapus airmata yg membasahi pipi Jodha
Jodha
semakin menangis histeris saat mendengar perkataan Jalal. Membuat semua orang
yg berjalan kaki disekitar mereka melihat kearah mereka terutama kearah Jalal,
mata mereka seakan memberikan pertanyaan kepada Jalal, “Apa yg telah kau
lakukan pada gadis itu?”
Merasakan
tatapan yg seakan menunduhnya membuat Jalal menjadi. Salah tingkah, Jalal
membalas tatapan itu dengan menggoyang-goyangkan tangannya seakan memberikan
jawaban “Aku tidak melakukan apa-apa.”
“Kau,,,kau
kenapa menangis? Baiklah, baiklah aku minta maaf. Sekarang berhentilah lah
menangis, semua orang melihat kearah kita.” kata Jalal berusaha menenangkan
Jodha.
“Aku
traktir es cream, mau??” Bujuknya lagi. Tapi justru membuat Jodha semakin
menangis histeris. Jalal menggaruk kepalanya yg tidak gatal karna frustasi, dia
tidak tau bagaimana lagi cara membuat Jodha berhenti menangis.
“Aku ingin
makan bakso,” ucap Jodha tiba-tiba meski masih terdengar isak tangisnya.
Jalal
tersenyum geli, dia lalu meraih tubuh Jodha kedalam dekapannya. “Baiklah, aku
akan mentraktir mu dua mangkos bakso,” ucapnya sambil membelai rambut Jodha.
Pelukan
Jalal yg hangat dan menenangkan itu semakin membuat Jodha takut akan kehilangan
Jalal. Sebagai seorang wanita, dia tidak ingin Jalal memberikan perhatiannya
kepada wanita lain meskipun itu kepada Ruqyah.
Jalal
melepaskan pelukannya lalu menuntun Jodha masuk kedalam mobilnya. Dari kejauhan
ada sepasang mata yg memperhatikan mereka sejak dari tadi. Dia tersenyum licik,
“Kemesraan kalian akan berakhir sebentar lagi,” gumamnya
Bersambung
FanFiction
Pelabuhan Terakhir Bagian yang lain Klik
Disini