Bismilah, semoga part ini gak bikin
bosen
Tidak
pernah terlintas dalam pikiran Jalal, kalau Jodha punya hubungan dengan Tuan
Rasheed Nayak –‘Ini benar-benar
memalukan. Apa Jodha tidak bisa mencari pria lain untuk dirayu Kemarin dia
sudah menyelamatkan bisnisku, tapi hari ini dia akan menghancurkannya... Apa
Tuan Rasheed tidak tahu wanita seperti apa Jodha itu?’—
Jalal –
“Jodha..! Katakan padaku sedang apa kau disini?!”
Jodha juga
sama terkejutnya dengan Jalal. Dia tidak tahu Jalal akan menemukannya disini.
Karena gugup, Jodha sampai berdiri dari kursinya.
Jodha –
“Eh..Tuan Jalal..aku..”
Tuan
Rasheed pun ikut berdiri, dia sepertinya mencium adanya ketegangan diantara
kedua tamunya itu, maka dia mencoba untuk menengahi..
Tuan
Rasheed –“Tuan Jalaluddin, apa kau kenal dengan Nona Jodha?”
Jalal –
“Tentu, dia istriku!”
Untuk
beberapa saat Tuan Rasheed terdiam, dia terkejut atas jawaban Jalal. Namun,
setelah mulai memahami inti permasalahannya, dia tersenyum dan mempersilakan
tamunya duduk.
Tuan
Rasheed – “Ooh, aku mengerti... Duduklah dulu Tuan Jalal, sepertinya kau salah
paham padaku... Jodha, jelaskan padaku, kenapa kau tidak memberitahu kami kalau
kau sudah menikah?!”
Jalal
–“Kami..?”
Tuan
Rasheed—“Iya, aku dan istriku. Sebentar lagi dia datang. Jodha.. duduklah dulu.
Sekarang kau harus menjelaskannya!”
Jodha
tidak sadar kalau ternyata dia masih berdiri. Jodha pun kembali duduk dan Jalal
menempatkan dirinya duduk di sebelahnya.
Tuan Rasheed
–“Tuan Jalaluddin, ini benar-benar kebetulan yang sangat menyenangkan. Kau
suaminya Jodha dan Jodha adalah teman terbaik kami. Tidak ada yang lebih
kuinginkan selain menjalin relasi dengan orang-orang yang sangat kupercaya... Jadi
Jodha, berapa lama kau sudah menikah?”
Jodha
–“Baru seminggu yang lalu..”
Tuan
Rasheed—“Benarkah?!! Kalian pengantin baru rupanya?! Tapi kenapa kalian
terlihat canggung? Tidak tampak sedikitpun kebahagiaan orang yang baru menikah.
Apa kalian dijodohkan?!”
Kata-kata
Tuan Rasheed tepat sasaran dan membuat Jodha kelabakan.
Jodha
–“Tidak!! Maksudku orang tua kami tidak ikut campur dalam pernikahan kami. Ini
murni keputusan kami berdua. Tuan Rasheed, kumohon jangan bertanya apa-apa
lagi, kau membuatku tidak nyaman.”
Jodha mengirimkan
peringatan pada Tuan Rasheed melalui tatapan matanya. Jodha tahu Tuan Rasheed
peduli padanya, tapi dia tidak ingin Tuan Rasheed mengorek terlalu dalam. Jodha
berharap Tuan Rasheed menghormati keinginannya ini meski tak terucapkan.
Tuan
Rasheed –“Tuan Jalaluddin.. jangan salah paham. Hubungan Jodha dan istriku
sangat dekat. Apapun yang terjadi pada Jodha akan berpengaruh pada istriku.
Karena itulah aku sangat peduli pada kebahagiaan Jodha. Ah.. itu istriku
tercinta sudah datang. “
Seorang
wanita cantik mendekat ke arah meja mereka. Dia jelas bukan wanita India.
Rambutnya berwarna coklat terang dan kulitnya putih pucat, tipikal wanita
Eropa. Kehadirannya sangat mencolok di restoran itu. Senyum lebar mengembang di
wajahnya, kedua tangannya direntangkan lebar-lebar lalu memeluk Jodha. Dan
Jodha balas memeluknya. Mereka berpelukan lama untuk melepaskan kerinduan dua
teman lama selayaknya saudara.
Rarisa
–“Maaf ya aku cukup lama di kamar kecil..”
Tuan
Rasheed—“Sayang, kau tidak apa-apa?”
Rarisa
–“Aku tidak apa-apa... sudah mulai terbiasa.... Morning sickness.....”
Jawabannya
ditujukan pada Jodha yang membalas dengan menganggukkan kepala.
Jodha—“Selamat
ya atas kehamilanmu. Tuan Rasheed sudah memberitahuku.”
Rarisa—“Dan
siapa tuan tampan yang satu ini?”
Pertanyaan
itu ditujukan langsung pada Jalal.
Jalal
–“Perkenalkan nama saya Jalaluddin akbar.”
Jalal
berdiri dan sedikit membungkukkan badannya untuk memperkenalkan diri.
Rarisa—“Senang
bertemu dengan anda. Panggil saja aku Rarisa.”
Rarisa
duduk berdekatan dengan suaminya berseberangan dengan Jodha dan Jalal.
Tuan
Rasheed –“Sayang, kau pasti tidak akan percaya ini.. Jodha tersayang kita
termyata sudah menikah. Dan pria tampan ini adalah suaminya.”
Mulut
Rarisa membulat. Perasaannya campur aduk antara senang dan tak percaya.
Rarisa
–“Jodhaaa...kau jahat sekali!! Kenapa kau tidak mengundang kami..?! Ya Tuhan...
Oh ya, maafkan aku Tuan Jalaluddin, selamat atas pernikahanmu ya..?”
Jodha –
“Maafkan aku karena tidak mengundang kalian. Kami hanya mengadakan pesta
sederhana saja. Hanya untuk keluarga dan tetangga.”
Rarisa –“
Tetap saja kau harus mengundang kami. Meski kau hanya akan menikah di kantor
sipil, aku tetap akan datang. Sekarang kau membuatku sedih. Persahabatan kita
selama tiga tahun ini sia-sia saja. Kau sudah tidak menganggapku saudara
lagi..”
Jodha
tersenyum geli melihat ekspresi Rarisa yang dilebih-lebihkan. Jodha tahu Rarisa
hanya bercanda. Temannya yang satu ini tidak akan pernah sungguh-sungguh marah
padanya.
Jodha
–“Maafkan aku ya..?! Jangan marah lagi.. Aku tidak pernah melupakanmu.”
Rarisa
–“Kalau begitu ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu dan menikah secepat
ini?! Seingatku, terakhir kali kita bertemu 3 bulan yang lalu, kau belum punya
pacar...”
DEG.
Pertanyaan yang sangat ingin dihindari Jodha. Kali ini Jodha tidak berbohong,
hanya tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.
Jodha
–“Tidak ada yang istimewa. Kami bertemu, merasa cocok, lalu kami menikah,
begitu saja...”
Jodha
berharap senyum yang ditampilkannya untuk Rarisa dan suaminya terlihat tulus,
agar mereka tidak curiga dan percaya pada jawabannya.
Rarisa
–“Kau tahu Tuan Jalal, sudah lama aku dan suamiku bertanya-tanya pria seperti
apa yang bisa mencuri hati temanku yang cantik ini. Dia ini sangat pemilih.
Ratusan pria menyukainya, karena dia ini seperti magnet bagi kaum pria. Tapi
tidak satupun yang bisa menggerakkan hatinya. Aku sempat berpikir apa Jodha
punya kelainan, tapi itu tidak mungkin, selama aku bersama dengan dia, Jodha
tidak pernah bersikap macam-macam. Jodha dulu sering mengatakan kalau dia belum
menemukan pria yang tepat, dan sekarang kau menemukannya.. Aku senaaaang
sekali..”
Jalal
mendengarkan setiap kata yang diucapkan Rarisa, meski wanita itu terkesan
banyak bicara, tapi Jalal bisa mengenali kejujuran dari matanya –‘Berarti tadi aku sudah salah menuduh
Jodha. Dari cerita Rarisa, berarti Tuan Rasheed bukanlah termasuk korban rayuan
Jodha. Lalu siapa sebenarnya Jodha? Kenapa semua yang diceritakannya bertolak
belakang dengan yang pernah diceritakan Bhaksi?—‘
Tuan
Rasheed –“Tuan Jalal, kau pria yang sangat beruntung. Jodha adalah gadis yang
sangat baik dan sangat hebat. Istriku ini sangat mengidolakan istrimu. Karena
itulah jika anak pertama kami ini perempuan, kami akan memberinya nama Jodha,
seperti nama istrimu.”
Jodha
–“Benarkah Rarisa?! Kehormatan besar bagiku kau menamai anakmu seperti
namaku..”
Rarisa—“Aku
ingin anakku juga memiliki sifat-sifat terbaik dari dirimu. Cantik, anggun,
pemberani dan tangguh.”
Rarisa
terharu atas kata-katanya sendiri. Dia menghapus setetes air mata yang muncul
di ujung kelopaknya. Tuan Rasheed merangkulkan sebelah tangannya di pundak
istrinya.
Rarisa
–“Maafkan aku, emosiku sering naik turun karena kehamilan ini...”
Jodha
–“Aku mengerti..”
Tuan
Rasheed –“Tuan Jalal, istriku ini memiliki ikatan emosional dengan Jodha. Aku
bisa mengerti, karena Jodha adalah penyelamat hidupnya..”
Jalal
–“Benarkah..?”
Jalal
menjadi tertarik pada pernyataan terakhir Tuan Rasheed.
Tuan
Rasheed –“Benar, itulah yang mengawali persahabatan mereka...”
Jodha
–“Tuan Rasheed, sudahlah... tidak perlu membesar-besarkan masalah itu.”
Rarisa
–“Tidak, Jodha. Bahkan sampai sekarangpun aku belum berhenti bersyukur bahwa
Tuhan mengirimmu untuk menyelematkanku. Aku tidak bisa bayangkan jika
seandainya kau tidak menolongku. Kau adalah Dewi Penyelamat hidupku.”
Jodha
hanya diam dan tersenyum. Kemudian dia menoleh ke arah Jalal untuk melihat
reaksinya. Secara bersamaan Jalal juga menoleh ke arahnya, tapi dia tidak
tersenyum.
Jalal
–“Apakah Jodha menyelamatkanmu dari seekor ular?”
Rarisa
–“Ular?? Ular apa??”
Jalal
–“Yah, apakah kau hampir digigit seekor ular dan Jodha yang menyelamatkanmu?”
Rarisa
–“Bukan.. Jodha menyelamatkanku saat aku dirampok.”
Jalal
–“Benarkah?? Kapan itu terjadi?”
Rarisa
–“Kira-kira tiga tahun lalu, saat itu kami masih sama-sama tinggal di Jerman.”
Jalal –“Di
Jerman??!”
Rarisa
–“Benar, Jodha kan kuliah di Jerman, sedangkan aku masih tinggal disana sebelum
aku menikah dengan suamiku ini.”
Sekali
lagi Jalal salah perhitungan, Jodha ternyata pernah kuliah. Dia pikir Jodha
hanyalah gadis manja yang hanya tertarik pada urusan belanja dan tidak tertarik
pada pendidikan. Satu lagi hal baru yang berkaitan dengan Jodha yang membuatnya
mulai menghargainya.
Jalal
–“Lalu bagaimana ceritanya?”
Rarisa
–“Saat itu aku baru pulang kerja, belum terlalu malam. Karena ada penutupan
jalan utama yang biasa aku lewati, terpaksa aku melewati jalan yang asing
bagiku, jalannya sepi dan agak kumuh. Saat itulah, tiba-tiba aku dihadang dua pria.
Awalnya mereka melucuti tas yang kubawa, tapi kemudian aku juga diseret-seret.
Aku tidak bisa melawan, cuma bisa berteriak berharap ada yang datang menolong.
Saat aku sudah putus asa, datanglah Jodha menyelamatkanku. Bisa kau bayangkan,
gadis seanggun ini ternyata punya kemampuan bela diri. Seorang diri dia
menghajar dua orang itu.”
Tuan
Rasheed –“Meski aku hanya tahu dari cerita Rarisa, tapi tetap saja aku takut
membayangkan seandainya Jodha tidak datang tepat waktu untuk menolong Rarisa.
Jika terjadi sesuatu padanya...”
Tuan
Rasheed menghela napas berat dan dia mempererat rangkulan di pundak istrinya.
Cintanya yang sangat besar untuk istrinya membuatnya takut akan segala
kemungkinan yang bisa menyakiti istrinya.
Beberapa
saat lalu, Jalal sempat tidak memikirkan lagi kejadian semalam. Tapi dia merasa
menemukan petunjuk baru. Jalal tersenyum penuh arti, dia mulai
menghubung-hubungkan cerita Rarisa dengan sang penolongnya semalam. Pembicaraan
mereka disela saat pelayan restoran datang untuk mencatat menu pesanan mereka.
Jalal
–“Jadi Jodha, ternyata kau mempunyai kemampuan bela diri. Kau merahasiakannya
dariku. Kalau begitu semalam...”
Jodha
membalas perkataan Jalal dengan sebuah lirikan sebal.
Rarisa
–“Semalam kenapa?”
Jalal
–“Bukan apa-apa, tolong lanjutkan ceritanya.”
Rarisa
–“Kejadian itu sempat membuatku takut keluar rumah. Tapi lama-lama aku sadar
kalau aku tidak bisa dikalahkan oleh rasa takutku. Aku mengikuti saran Jodha
untuk berlatih bela diri. Akhirnya ada yang bisa kusyukuri dari pengalaman
buruk itu, aku bisa kenal dengan Jodha. Mulai saat itulah kami berteman. Dia
menginspirasiku.”
Jodha
–“Wanita kan tidak bisa selalu bergantung pada pria untuk melindunginya.
Ironisnya, para prialah yang lebih sering ingin menyakiti wanita.”
Rarisa –“Benar,
apalagi untuk wanita-wanita cantik seperti kami, justru kecantikan kami menjadi
boomerang bagi diri kami sendiri. Aku senang saat banyak pria kagum melihatku,
tapi saat kekaguman itu melewati batas, kita tidak pernah menduga kapan mereka
mulai berbuat nekat.”
Jodha
(mencibir) –“Huh, kau terlalu percaya diri menyebut dirimu sendiri cantik.”
Rarisa
–“Memang begitu kenyataannya, kalau aku tidak cantik, suamiku tidak akan
memperhitungkan aku sebagai calon istrinya dulu.”
Semuanya
tertawa, bahkan Jalal juga tertawa karena lelucon itu. Pramusaji menyela
obrolan mereka, menu pesanan mereka telah terhidang di meja.
Jalal
–“Jodha, katakan padaku, apakah selain mampu beladiri, kalian juga membawa
senjata di dalam tas kalian? Atau jangan-jangan ada pistol terselip di pinggang
kalian..?!”
Jodha
terkejut karena tiba-tiba Jalal melemparkan pertanyaan itu langsung padanya.
Pertanyaan yang lucu bagi Tuan Rasheed, karena hanya dia yang tertawa terbahak.
Sebelum Jodha sempat menjawab, Tuan Rasheed dan Rarisa sudah menimpalinya.
Tuan
Rasheed –“Kalau terlalu banyak menonton film, Tuan Jalal.”
Rarisa
–“Benar, fantasimu terlalu berlebihan. Jangan-jangan kau juga membayangkan kami
memakai sabuk senapan di balik rok kami..?!”
Jalal
tersenyum malu disindir seperti itu. Tapi dia tidak tersinggung. Baru pertama
kali Jodha melihat Jalal bisa bersikap santai seperti ini, karena selama ini
dia hanya melihat Jalal yang selalu bersikap formal, dan nada bicaranya selalu
penuh perhitungan dan kehati-hatian.
Rarisa
–“Dalam komunitas kami, tidak ada yang membawa senjata tajam, kami hanya
membawa sebuah stik kayu dan Pepper spray.”
Jalal
–“Stik dan Pepper spray? Untuk apa itu?”
Jodha
sudah berharap Rarisa tidak akan terpancing menjawab pertanyaan Jalal tadi.
Tapi kini semuanya sudah terbongkar. Jalal pria yang cerdas, dia pasti bisa
menyatukan potongan-potongan cerita ini dan menghubungkannya dengan kejadian
semalam. Jodha menunduk semakin dalam, dia tidak mau menatap Jalal, tapi dia
merasa Jalal sedang menatapnya. Rarisa masih terus saja berceloteh.
Rarisa –“Stik digunakan untuk memukul, tapi tidak sampai membunuh. Misalnya
untuk memukul tengkuk di bagian yang tepat, penjahat akan roboh pingsan. Kami
tidak ingin menjadi kriminal gara-gara membunuh.”
Jalal
–“Lalu Pepper spray?”
Rarisa
–“Pepper spray untuk melemahkan lawan. Saat disemprotkan ke mata, akan
menyebabkan rasa terbakar, menyebabkan lawan lengah karena umumnya mereka sibuk
memegangi mata mereka, saat itulah kita bisa menendang tulang kering mereka,
lalu kesempatan kami untuk lari.”
Jalal –
“Mmmhh...sangat kreatif.”
Rarisa
sangat bersemangat menjelaskannya, bahkan tangannya ikut bergerak-gerak
memperagakan gerakan memukul.
Rarisa
–“Jadi kau jangan berani macam-macam dengan kami ya..”
Jalal
–“Jangan khawatir, aku percaya karena aku sudah menyaksikan langsung..”
Jodha tahu
jawaban itu merujuk pada dirinya.
Rarisa
–“Oh ya Jodha, sebelum aku lupa lagi... ini cek untuk donasi Sisterhood
Shelter.”
Rarisa
menyerahkan selembar cek pada Jodha.
Jodha
–“Terima kasih.”
Jalal
–“Untuk siapa?”
Jodha
–“Sisterhood Shelter, kami sukarelawan disana.”
Jalal
–“Sejak kapan?”
Jodha
–“Sudah cukup lama.”
Hidangan
mereka telah habis, dan mejapun sudah dibersihkan. Rupanya Rarisa mulai
terlihat kelelahan.
Rarisa
–“Jodha, aku minta maaf ya, aku tidak bisa menemanimu mengobrol lebih lama,
kehamilan ini membuatku jadi pemalas, sekarang aku sangat mengantuk. Sayang,
aku mau ke kamar dulu ya..”
Jodha
–“Tidak apa-apa, aku juga harus pergi, aku akan mengantar cek ini.”
Tuan
Rasheed –“Aku antar ya, sayang. Tuan Jalal tolong tunggu sebentar, kita belum
membicarakan detail kesepakatan kita. Aku akan ke atas mengantar istriku ke
kamar. Jodha, terima kasih ya.”
Rarisa
–“Jodha, besok kau kesini lagi ya, masih banyak yang ingin kuceritakan.”
Jodha
–“Akan kuusahakan.”
Tuan
Rasheed mengantar Rarisa ke atas, sedangkan Jalal tetap duduk di tempatnya.
Jodha berpamitan tanpa suara pada Jalal. Dan Jalal pun hanya membalas dengan
anggukan kepalanya.
Jodha
berjalan menuju motornya yang diparkir di basement. Saat dia sudah bersiap naik
ke atas motornya, seseorang memanggilnya...”Jodha”...
Jodha
menoleh, ternyata Jalal sedang berjalan menghampirinya. Jalal berdiri tepat di
depan motornya, kakinya mengapit roda depannya, menghalanginya untuk bergerak
maju. Jodha mengangkat alisnya bertanya...
Jodha
–“Ada apa?”
Jalal
–“Kenapa kau menolongku semalam?”
Jodha
–“Aku tidak menolongmu, aku menolong wanita yang bersamamu..”
Jalal
–“Mengenai wanita itu....”
Jodha
–“Stop! Kau tidak perlu menceritakan apa-apa padaku. Ingat perjanjiannya, kita
tidak saling mencampuri urusan masing-masing.”
Jodha
mengacungkan telapak tangannya yang terbuka ke depan Jalal untuk menghentikan
penjelasan Jalal selanjutnya.
Jalal
–“Berarti kau tidak membenciku lagi sekarang?”
Jodha
–“Aku masih membencimu, tapi aku akan lebih menyesal jika tidak menolong
kalian.”
Jalal
–“Kalau begitu terima kasih.”
Jalal
menawarkan tangannya untuk dijabat, tanda berdamai. Awalnya Jodha ragu menjabat
tangan Jalal, beberapa detik dia hanya menatap tangan yang terulur ke arahnya.
Jalal masih menunggu, dia tidak berniat menarik tangannya, akhirnya dengan
terpaksa Jodha membalas jabatan tangannya.
Jalal
mengambil masker debu yang ada di genggaman Jodha, lalu memasangkannya menutup
hidung dan mulut Jodha. Wajah Jalal berada sangat dekat dengan wajah Jodha,
karena Jalal harus mengikatnya di belakang kepala Jodha, tangannya menyeberangi
pundak Jodha. Spontan Jodha sedikit menarik tubuhnya. Lalu Jalal juga meraih
helm yang digantungkan di kemudi motor dan memasangkannya menutup kepala Jodha.
Bahkan dia mengikatkan tali helmnya di bawah dagu Jodha. Jodha tertegun dan
terpaku. Hanya bola matanya yang bergerak-gerak mengikuti semua gerakan tangan
Jalal.
Jalal
–“Hati-hati di jalan. Dan jangan pulang terlalu malam..”
Jodha
–“Iya...”
Jalal
menepuk-nepuk tas bahu yang dibawa Jodha.
Jalal
–“Apa kau tidak lupa membawa stik dan Pepper spray-nya?”
Jodha
–“Tidak.”
Jalal
–“Sampai bertemu di rumah.”
Lalu Jalal
meninggalkan Jodha yang masih terdiam, kembali masuk ke restoran. Jodha
menghembuskan napas yang dari tadi ditahannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan
berpikir keras atas tingkah Jalal barusan—‘Apa
maksudnya?’—
**************