Rarisa—“Aku
ingin anakku juga memiliki sifat-sifat terbaik dari dirimu. Cantik, anggun,
pemberani dan tangguh.”
Rarisa
terharu atas kata-katanya sendiri. Dia menghapus setetes air mata yang muncul
di ujung kelopaknya. Tuan Rasheed merangkulkan sebelah tangannya di pundak
istrinya.
Rarisa
–“Maafkan aku, emosiku sering naik turun karena kehamilan ini...”
Jodha
–“Aku mengerti..”
Tuan
Rasheed –“Tuan Jalal, istriku ini memiliki ikatan emosional dengan Jodha. Aku
bisa mengerti, karena Jodha adalah penyelamat hidupnya..”
Jalal
–“Benarkah..?”
Jalal
menjadi tertarik pada pernyataan terakhir Tuan Rasheed.
Tuan
Rasheed –“Benar, itulah yang mengawali persahabatan mereka...”
Jodha
–“Tuan Rasheed, sudahlah... tidak perlu membesar-besarkan masalah itu.”
Rarisa
–“Tidak, Jodha. Bahkan sampai sekarangpun aku belum berhenti bersyukur bahwa
Tuhan mengirimmu untuk menyelematkanku. Aku tidak bisa bayangkan jika
seandainya kau tidak menolongku. Kau adalah Dewi Penyelamat hidupku.”
Jodha
hanya diam dan tersenyum. Kemudian dia menoleh ke arah Jalal untuk melihat
reaksinya. Secara bersamaan Jalal juga menoleh ke arahnya, tapi dia tidak
tersenyum.
Jalal
–“Apakah Jodha menyelamatkanmu dari seekor ular?”
Rarisa
–“Ular?? Ular apa??”
Jalal
–“Yah, apakah kau hampir digigit seekor ular dan Jodha yang menyelamatkanmu?”
Rarisa
–“Bukan.. Jodha menyelamatkanku saat aku dirampok.”
Jalal
–“Benarkah?? Kapan itu terjadi?”
Rarisa
–“Kira-kira tiga tahun lalu, saat itu kami masih sama-sama tinggal di Jerman.”
Jalal –“Di
Jerman??!”
Rarisa
–“Benar, Jodha kan kuliah di Jerman, sedangkan aku masih tinggal disana sebelum
aku menikah dengan suamiku ini.”
Sekali
lagi Jalal salah perhitungan, Jodha ternyata pernah kuliah. Dia pikir Jodha
hanyalah gadis manja yang hanya tertarik pada urusan belanja dan tidak tertarik
pada pendidikan. Satu lagi hal baru yang berkaitan dengan Jodha yang membuatnya
mulai menghargainya.
Jalal
–“Lalu bagaimana ceritanya?”
Rarisa
–“Saat itu aku baru pulang kerja, belum terlalu malam. Karena ada penutupan
jalan utama yang biasa aku lewati, terpaksa aku melewati jalan yang asing
bagiku, jalannya sepi dan agak kumuh. Saat itulah, tiba-tiba aku dihadang dua pria.
Awalnya mereka melucuti tas yang kubawa, tapi kemudian aku juga diseret-seret.
Aku tidak bisa melawan, cuma bisa berteriak berharap ada yang datang menolong.
Saat aku sudah putus asa, datanglah Jodha menyelamatkanku. Bisa kau bayangkan,
gadis seanggun ini ternyata punya kemampuan bela diri. Seorang diri dia
menghajar dua orang itu.”
Tuan
Rasheed –“Meski aku hanya tahu dari cerita Rarisa, tapi tetap saja aku takut
membayangkan seandainya Jodha tidak datang tepat waktu untuk menolong Rarisa.
Jika terjadi sesuatu padanya...”
Tuan
Rasheed menghela napas berat dan dia mempererat rangkulan di pundak istrinya.
Cintanya yang sangat besar untuk istrinya membuatnya takut akan segala
kemungkinan yang bisa menyakiti istrinya.
Beberapa
saat lalu, Jalal sempat tidak memikirkan lagi kejadian semalam. Tapi dia merasa
menemukan petunjuk baru. Jalal tersenyum penuh arti, dia mulai
menghubung-hubungkan cerita Rarisa dengan sang penolongnya semalam. Pembicaraan
mereka disela saat pelayan restoran datang untuk mencatat menu pesanan mereka.
Jalal
–“Jadi Jodha, ternyata kau mempunyai kemampuan bela diri. Kau merahasiakannya
dariku. Kalau begitu semalam...”
Jodha
membalas perkataan Jalal dengan sebuah lirikan sebal.
Rarisa
–“Semalam kenapa?”
Jalal
–“Bukan apa-apa, tolong lanjutkan ceritanya.”
Rarisa
–“Kejadian itu sempat membuatku takut keluar rumah. Tapi lama-lama aku sadar
kalau aku tidak bisa dikalahkan oleh rasa takutku. Aku mengikuti saran Jodha
untuk berlatih bela diri. Akhirnya ada yang bisa kusyukuri dari pengalaman
buruk itu, aku bisa kenal dengan Jodha. Mulai saat itulah kami berteman. Dia
menginspirasiku.”
Jodha
–“Wanita kan tidak bisa selalu bergantung pada pria untuk melindunginya.
Ironisnya, para prialah yang lebih sering ingin menyakiti wanita.”
Rarisa –“Benar,
apalagi untuk wanita-wanita cantik seperti kami, justru kecantikan kami menjadi
boomerang bagi diri kami sendiri. Aku senang saat banyak pria kagum melihatku,
tapi saat kekaguman itu melewati batas, kita tidak pernah menduga kapan mereka
mulai berbuat nekat.”
Jodha
(mencibir) –“Huh, kau terlalu percaya diri menyebut dirimu sendiri cantik.”
Rarisa
–“Memang begitu kenyataannya, kalau aku tidak cantik, suamiku tidak akan
memperhitungkan aku sebagai calon istrinya dulu.”
Semuanya
tertawa, bahkan Jalal juga tertawa karena lelucon itu. Pramusaji menyela
obrolan mereka, menu pesanan mereka telah terhidang di meja.
Jalal
–“Jodha, katakan padaku, apakah selain mampu beladiri, kalian juga membawa
senjata di dalam tas kalian? Atau jangan-jangan ada pistol terselip di pinggang
kalian..?!”
Jodha
terkejut karena tiba-tiba Jalal melemparkan pertanyaan itu langsung padanya.
Pertanyaan yang lucu bagi Tuan Rasheed, karena hanya dia yang tertawa terbahak.
Sebelum Jodha sempat menjawab, Tuan Rasheed dan Rarisa sudah menimpalinya.
Tuan
Rasheed –“Kalau terlalu banyak menonton film, Tuan Jalal.”
Rarisa
–“Benar, fantasimu terlalu berlebihan. Jangan-jangan kau juga membayangkan kami
memakai sabuk senapan di balik rok kami..?!”
Jalal
tersenyum malu disindir seperti itu. Tapi dia tidak tersinggung. Baru pertama
kali Jodha melihat Jalal bisa bersikap santai seperti ini, karena selama ini
dia hanya melihat Jalal yang selalu bersikap formal, dan nada bicaranya selalu
penuh perhitungan dan kehati-hatian.
Rarisa
–“Dalam komunitas kami, tidak ada yang membawa senjata tajam, kami hanya
membawa sebuah stik kayu dan Pepper spray.”
Jalal
–“Stik dan Pepper spray? Untuk apa itu?”
Jodha
sudah berharap Rarisa tidak akan terpancing menjawab pertanyaan Jalal tadi.
Tapi kini semuanya sudah terbongkar. Jalal pria yang cerdas, dia pasti bisa
menyatukan potongan-potongan cerita ini dan menghubungkannya dengan kejadian
semalam. Jodha menunduk semakin dalam, dia tidak mau menatap Jalal, tapi dia
merasa Jalal sedang menatapnya. Rarisa masih terus saja berceloteh.
Rarisa –“Stik digunakan untuk memukul, tapi tidak sampai membunuh. Misalnya
untuk memukul tengkuk di bagian yang tepat, penjahat akan roboh pingsan. Kami
tidak ingin menjadi kriminal gara-gara membunuh.”
Jalal
–“Lalu Pepper spray?”
Rarisa
–“Pepper spray untuk melemahkan lawan. Saat disemprotkan ke mata, akan
menyebabkan rasa terbakar, menyebabkan lawan lengah karena umumnya mereka sibuk
memegangi mata mereka, saat itulah kita bisa menendang tulang kering mereka,
lalu kesempatan kami untuk lari.”
Jalal –
“Mmmhh...sangat kreatif.”
Rarisa
sangat bersemangat menjelaskannya, bahkan tangannya ikut bergerak-gerak
memperagakan gerakan memukul.
Rarisa
–“Jadi kau jangan berani macam-macam dengan kami ya..”
Jalal
–“Jangan khawatir, aku percaya karena aku sudah menyaksikan langsung..”
Jodha tahu
jawaban itu merujuk pada dirinya.
Rarisa
–“Oh ya Jodha, sebelum aku lupa lagi... ini cek untuk donasi Sisterhood
Shelter.”
Rarisa
menyerahkan selembar cek pada Jodha.
Jodha
–“Terima kasih.”
Jalal
–“Untuk siapa?”
Jodha
–“Sisterhood Shelter, kami sukarelawan disana.”
Jalal
–“Sejak kapan?”
Jodha
–“Sudah cukup lama.”
Hidangan
mereka telah habis, dan mejapun sudah dibersihkan. Rupanya Rarisa mulai
terlihat kelelahan.
Rarisa
–“Jodha, aku minta maaf ya, aku tidak bisa menemanimu mengobrol lebih lama,
kehamilan ini membuatku jadi pemalas, sekarang aku sangat mengantuk. Sayang,
aku mau ke kamar dulu ya..”
Jodha
–“Tidak apa-apa, aku juga harus pergi, aku akan mengantar cek ini.”
Tuan
Rasheed –“Aku antar ya, sayang. Tuan Jalal tolong tunggu sebentar, kita belum
membicarakan detail kesepakatan kita. Aku akan ke atas mengantar istriku ke
kamar. Jodha, terima kasih ya.”
Rarisa
–“Jodha, besok kau kesini lagi ya, masih banyak yang ingin kuceritakan.”
Jodha
–“Akan kuusahakan.”
Tuan
Rasheed mengantar Rarisa ke atas, sedangkan Jalal tetap duduk di tempatnya.
Jodha berpamitan tanpa suara pada Jalal. Dan Jalal pun hanya membalas dengan
anggukan kepalanya.
Jodha
berjalan menuju motornya yang diparkir di basement. Saat dia sudah bersiap naik
ke atas motornya, seseorang memanggilnya...”Jodha”...
Jodha
menoleh, ternyata Jalal sedang berjalan menghampirinya. Jalal berdiri tepat di
depan motornya, kakinya mengapit roda depannya, menghalanginya untuk bergerak
maju. Jodha mengangkat alisnya bertanya...
Jodha
–“Ada apa?”
Jalal
–“Kenapa kau menolongku semalam?”
Jodha
–“Aku tidak menolongmu, aku menolong wanita yang bersamamu..”
Jalal
–“Mengenai wanita itu....”
Jodha
–“Stop! Kau tidak perlu menceritakan apa-apa padaku. Ingat perjanjiannya, kita
tidak saling mencampuri urusan masing-masing.”
Jodha
mengacungkan telapak tangannya yang terbuka ke depan Jalal untuk menghentikan
penjelasan Jalal selanjutnya.
Jalal
–“Berarti kau tidak membenciku lagi sekarang?”
Jodha
–“Aku masih membencimu, tapi aku akan lebih menyesal jika tidak menolong
kalian.”
Jalal
–“Kalau begitu terima kasih.”
Jalal
menawarkan tangannya untuk dijabat, tanda berdamai. Awalnya Jodha ragu menjabat
tangan Jalal, beberapa detik dia hanya menatap tangan yang terulur ke arahnya.
Jalal masih menunggu, dia tidak berniat menarik tangannya, akhirnya dengan
terpaksa Jodha membalas jabatan tangannya.
Jalal
mengambil masker debu yang ada di genggaman Jodha, lalu memasangkannya menutup
hidung dan mulut Jodha. Wajah Jalal berada sangat dekat dengan wajah Jodha,
karena Jalal harus mengikatnya di belakang kepala Jodha, tangannya menyeberangi
pundak Jodha. Spontan Jodha sedikit menarik tubuhnya. Lalu Jalal juga meraih
helm yang digantungkan di kemudi motor dan memasangkannya menutup kepala Jodha.
Bahkan dia mengikatkan tali helmnya di bawah dagu Jodha. Jodha tertegun dan
terpaku. Hanya bola matanya yang bergerak-gerak mengikuti semua gerakan tangan
Jalal.
Jalal
–“Hati-hati di jalan. Dan jangan pulang terlalu malam..”
Jodha
–“Iya...”
Jalal
menepuk-nepuk tas bahu yang dibawa Jodha.
Jalal
–“Apa kau tidak lupa membawa stik dan Pepper spray-nya?”
Jodha
–“Tidak.”
Jalal
–“Sampai bertemu di rumah.”
Lalu Jalal
meninggalkan Jodha yang masih terdiam, kembali masuk ke restoran. Jodha
menghembuskan napas yang dari tadi ditahannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan
berpikir keras atas tingkah Jalal barusan—‘Apa
maksudnya?’—
**************