Versi
asli Bag. 29 - 31
By:
Viona Fitri
Jodha
membantu Jalal agar terbaring lagi. Hatinya juga miris menahan sakit yang luar
biasa melihat kondisinya sangat rapuh seperti itu. Seakan semua tdk lebih dari
apa yang ada di mimpikannya.
“Jalal kau
tidak perlu berpikir aku akan meninggalkan mu. Aku telah bersumpah untuk selalu
setia padamu saat pernikahan kita. Bagaimana aku bisa melanggar sumpahku itu?”
tanya Jodha yang terlihat begitu sedih. Matanya berkaca kaca seakan air matanya
akan menetes. Tapi ia mencoba untuk membendungnya, walau tidak ada yang tau
bagaimana susahnya membendung air yang mengalir itu.
“Jodha.....
Aku benar-benar tdk bisa membayangkan jika benar mimpi itu akan menjadinyata.
Kau pergi dengan pria lain, aku menangis Jodha saat itu, aku memanggil mu, tapi
kau tdk mau berpaling melihat ku. Lalu kau semakin lama semakin menjauh hilang
dari pandanganku bersama pria itu.” suara Jalal benar-benar terdengar getir
mengucapkan kalimat itu. Pandangannya menjelajah seluruh isi ruangan
kalau-kalau pria itu sudah datang dalam hidupnya.
“Jalal
sudahlah... Sekarang aku mohon padamu, kau harus tidur. Itu hanya mimpi saja.”
kata Jodha sambil mengelus rambut gondrong dan bergelombang suaminya.
Akhirnya
Jalal pun tertidur lelap di dlm selimut hangat yang membalut badannya. Wajahnya
terlihat sangat berbeda dari biasanya. Dalam tidur pun ia tdk melepaskan tangan
Jodha dari genggamannya.
* * *
* * * *
Suara
bunyi ayam berkokok pada subuh menjelang mentari pagi, membangunkan Jodha dari
tidurnya. Ia segera melangkah ke dapur dan membuatkan makanan untuk Jalal. Hari
ini adalah hari pertama ia bisa bangun di pagi hari. Jodha tersenyum senang
sambil menambahkan bumbu cintanya dalam masakan sederhananya.
“Hari ini,
aku akan membuat Jalal terkejut. Aku akan membuatkan makanan special untuknya.
Aku harap dia menyukainya.” kata Jodha berharap pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba
dirasakannya sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang dan memcium rambutnya
lalu menuju pipinya tapi tidak menciumnya. Ia malah berbisik di dekat telinga
Jodha dengan mesra.
“Kau sudah
bangun Jodha. Kenapa tidak membangunkan ku?” tanya Jalal seraya membalikka
tubuh Jodha menghadap padanya.
“Jalal...
Kau kurang tidur semalam. Aku tidak ingin mengganggu tidur mu. Sekarang kau
sholat lah dulu baru kita akan sarapan bersama.” kata Jodha sambil melepaskan
tangan Jalal dari pinggangnya.
“Baiklah,
tapi apa tidak bisa kau memberiku morning kiss dulu? Atau aku saja yang akan
memberikanmu morning kiss. Kau sudah terlalu banyak menciumku semalam. Jadi
sekarang apa aku boleh mencium mu?”
“Tidak
boleh Jalal, kau belum mandi. Aku bisa-bisa akan mual begitu kau mencium mu.
Dan lagi, kumismu itu benar-benar aneh sekali. Apa kau tidak berpikir untuk
mencukurnya?”
“Hah....
Kau ini memang selalu saja berusaha menjauh dari ku. Apa hanya kau saja yang di
perbolehkan untuk mencium ku? Lalu kalau begitu kapan aku akan dapat
kesempatan?” tanya Jalal dengan kesalnya lalu meninggalkan Jodha yang masih
tersenyum melihat kelakuan Jalal yang sangat seperti anak-anak sekali.
Makanan
telah terhidang di atas meja, tapi Jalal tidak datang juga untuk segera turun
dan sarapan bersamanya. Jodha merasa heran dengan sikap Jalal ada apa lagi
dengannya. “Apa Jalal marah padaku karna hal tadi? Aku harus meneimuinya
sekarang” kata Jodha pada dirinya sendiri.
Jodha
menyusuri anak tangga menuju lantai atas tempat kamar Jalal berada. 'Krek....'
bunyi pintu kamar terbuka. Jalal menatap ke arah siapa yang datang lalu
memalingkan wajahnya lagi. Jodha datang mendekat ke arah Jalal dan duduk di
samping. Jodha melihat wajah Jalal yang terlihat sedang marah padanya.
“Jalal....
Apa kau marah padaku?” tanya Jodha dengan berhati-hati. “Tidak, aku tidak marah
padamu. Bukankah seseorang tidak berhak memaksakan dirinya pada orang lain?”
tanya Jalal sambil memasang sepatunya.
“Kau salah
paham Jalal. Aku bilang, kau mandi dulu baru mencium ku. Aku bukannya tidak mau
memenuhi tugas ku. Tapi saat ini aku masih belum siap. Mengertilah Jalal, aku
tidak bermaksud apa-apa padamu.” kata Jodha lembut.
Jodha
mengambil dasi Jalal yang ada di lemari lalu memasangkannya dengan sangat
berhati-hati. Jalal melihat mata Jodha yang menyimpan ketakutan dalam dirinya.
Apa dia merasakan tidaknyaman dengan dirinya saat itu? Dia benar-benar
ketakutan dengan sosok pria yang ada di hadapannya.
“Jodha kau
tidak perlu takut padaku. Aku tidak marah padamu. Tapi kenapa kau selalu saja
menghindar dari ku? Apa kau masih menyimpan rasa dendammu pada diri ku?” tanya
Jalal pada Jodha.
Jodha
mendongak menatap Jalal yang memandangnya dengan lekat. Ada rasa penasaran yang
amat ingin di ketahuinya segera di bola mata hitamnya itu.
“Aku tidak
menyimpan dendam lagi padamu. Aku ingin melupakan semua itu. Kita sudah berumah
tangga sekarang, jadi kita harus saling menyayangi kan?”
Jalal
menatap Jodha dengan penuh haru. Serasa sesak dalam hidupnya mulai tersingkir.
Kabut tebal yang menghalangi mereka seakan semakin menipis dan menghilang. Tapi
ada satu hal yang masih menghalangi mereka. Pertanyaannya adalah “Apakah mereka
saling mencintai jika selalu sering merasakan luka?”
Luka juga
merupakan salah satu bentuk dari cinta. Kau bisa merasakan luka seperti orang
yang kau cinta, hanya ketika kalian telah sudah saling mencinta. Mungkin banyak
luka yang mendera hatimu kala itu. Tapi kau tau, semuanya akan kembali normal
seiring berjalannya waktu. Kau mungkin iri dengan keindahan dan kebersamaan
yang melekat di warna-warninya pelangi, kau berharap hidupmu bisa berwarna
seperti mereka. Tapi cinta mengajarkanmu untuk terluka dan menerimanya. Ketika
cinta itu datang dan melengkapi hari mu, kau akan bisa merasakan perasaan yang
lebih indah dari pelangi dan saat itu kau akan terbang jauh ke angkasa sana.
“Aku juga
sudah melupakan semua itu Jodha. Aku ingin kita memperbaiki hubungan kita. Owh
ya, hari ini aku harus segera berangka pagi menuju kantor. Terimakasih telah
memasangkan dasi ku.” kata Jalal lalu berdiri dari duduknya dan mencangking tasnya
yang berukuran sedang.
Jodha juga
bangkit dan mendekat ke arah Jalal. Dia sedikit berjinjit lalu mencium kening
Jalal lembut. Jalal hanya tersenyum lalu berlalu dari sana.
Menempuh
30 menit berkendara, Jalal sudah sampai di kantornya dan tersenyum ramah pada
setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Akhir-akhir ini Jalal memang sangat
berbeda, ia terkesan sangat ramah dan baik. Tidak seperti dulu yang angkuh dan
tamak dengan kekuasaan tanpa memperhatikan bagaimana kehidupan dari beberapa
perusahaan yang telah di kalahkannya.
Di ruangannya,
Jalal terlihat sangat teliti membaca berkas tentang laporan keuangannya.
Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Maansing dengan seorang wanita cantik
bersamanya.
Jalal
menatap wanita yang di samping Maansing sambil mencoba mengingat sesuatu
tentangnya. Setelah keras berfikir, barulah Jalal ingat dengan wanita yang di
bawa Maansing itu.
“Benazir....
Kau temannya Ruqayah kan? Bukankah sekarang kau sudah bekerja di Delhi?” tanya
Jalal yang terlihat senang dengan kehadiran Benazir. Sejak kecil, Jalal,
Ruqayah, dan Benazir selalu bermain bersama. Mereka sangat akrab sejak kecil
dan tidak pernah bermusuhan sama sekali. Tapi kali ini Benazir mempunyai maksud
tertentu dalam hidup Jalal.
“Tuan,
saya permisi dulu. Salam....” Maansing kemudian keluar dari ruangan Jalal.
Sekarang hanya ada Jalal dan Benazir di ruangan itu. Benazir menatap Jalal
dengan tatapan ramahnya tapi ada yang berbeda dari raut wajah Benazir kali ini.
Entah apa perubahannya yang jelas sangat berbeda pandangannya dari sebelumnya.
“Silahkan
duduk Benazir. Owh ya bagaimana kabar mu? Aku rasa kita sudah sangat lama tidak
bertemu.” kata Jalal sambilm menghampiri Benazir yang duduk di sofa di dalam
kantornya.
“Aku
baik-baik saja Jalal. Aku dengar dari Ruqayah bahwa sekarang kau sudah menikah.
Apakah itu benar Jalal?” tanya Benazir yang menatap Jalal dengan tatapan datar
tanpa ekspresi. Benazir dulu pernah mempunyai perasaan dengan Jalal, tapi karna
Jalal hanya menganggapnya sebagai teman saja, Benazir mulai mencari cara untuk
mendapatkan Jalal bagaimana pun caranya. Apalagi saat ini, ia sudah mendengar
kabar tentang pernikahan Jalal dengan seorang wanita cantik berdarah Amer itu.
“Iya
Benazir itu benar, aku akan memperkenalkanmu dengan istriku jika aku mempunyai
waktu luang nanti. Tapi, apakah kau akan tinggal lama di Agra, atau hanya untuk
beberapa hari saja?”
“Aku akan
tinggal lama di sini Jalal. Aku bahkan sudah menyewa sebuah apertement untuk
tempat tinggalku beberapa bulan kedepan. Setelah aku menyelesaikan misi ku,
maka aku akan kembali lagi ke Delhi.”
“Ini
adalah kabar yang sangat menggembirakan Benazir. Kita bisa saling menceritakan
pengalaman hidup kita selama kita tidak bersama seperti dulu lagi.” kata Jalal
sembari menyunggingkan senyum hangatnya pada Benazir.
* * *
* * * * *
Sementara
itu di rumah, Jodha yang sedang bersantai di ruang tamunya segera melangkah ke
arah pintu begitu mendengar bunyi pintu dan bel yang berdering. Jodha membuka
pintu dan melihat seorang petugas pos yang berusia paruh baya berdiri di
hadapannya sambil menyordorkan sebuah kado yang berukuran sedang pada Jodha.
“Nona, ada
sebuah kiriman untuk anda. Kami tidak mengetahui siapa pengirimnya. Tapi kami
nememukan alamat rumah anda dari secarik kertas yang menempel di atas kado ini.”
kata petugas pos dengan ramah.
“Terima kasih
tuan” kata Jodha sambil melihat kado misterius itu. “Sama-sama nona” Petugas
pos itu langsung pergi dari sana. Sementara Jodha terlihat penasaran dengan isi
kado itu. Jodha kemudian menutup pintu dan duduk lagi di tempat duduknya semula
sambil membuka kado itu perlahan.
Jodha
membuka kado itu dan melonjak tak percaya. Kado itu berisi tentang foto Jalal
yang tengah tidur bersama seorang wanita cantik. “Apa ini Jalal? Apa yang sudah
kau lakukan? Apa ini yang kau lakukan ketika kau mabuk dan pulang larut
semalam. Aku sudah mulai menaruh kepercayaan padamu, tapi kau menghancurkannya
begitu saja. Kau selalu berkata padaku untuk tidak menjalin hubungan dengan
pria lain selain suami ku. Tapi kau telah lebih dari sekedar itu.” Jodha
menangisi kenyataan yang terjadi padanya. Foto itu benar-benar seperti nyata
tanpa editan sama sekali. Apakah benar semua itu?
Jodha
menyimpan foto-foto itu dalam lemari pakaiannya yang terletak di sebelah lemari
Jalal. Hatinya miris tergores pedang yang tajam yang membuatnya kembali
merasakan luka. Luka lama yang belum sembuh sepenuhnya, kini kembali terkoyak
dan berdarah lagi.
Jodha
meringkuk di depan pintu lemarinya sambil memeluk lututnya. “Apakah kau hanya
berpura-pura perhatian selama ini padaku Jalal? Kenapa melakukan ini padaku?”
Tanya Jodha pada dirinya sendiri sambil terisak menyandar di pintu lemari.
* * *
* * * *
Jam sudah
mulai menunjukkan pukul 17.30 WIB. Jodha kini sudah menghapus air matanya.
Tapi, pandangannya sudah sangat berbeda dari sebelumnya. Dia terlihat kosong
dan menghanyutkan. Matanya tidak lagi bercerita tentang kehidupannya, seakan
hanya takdir yang mengalir disana. Tak peduli sudah seberapa besar ia berusaha
melupakan isi kado itu, tapi tetap saja rasanya itu sangat sulit untuk di
lupakan begitu saja.
Kau
mungkin pernah mencoba untuk melupakan sesuatu yang menyakitkan hati mu. Semua
usahamu sudah kau keluarkan dengan sangat, tapi kau tak bisa menghentikan suara
gemuruh petir dari atas langit, kau hanya bisa berharap agar suara itu cepat
berhenti dan menjauh dari kehidupan mu. Kau tidak bisa mengerti takdir yang
sedang kau jalani dalam hidup, tapi kau bisa terus melangkah tanpa menghiraukan
pikiran dan hatimu yang terus berontak dengan keputusan sang pencipta.
Kini Jalal
sudah sampai di halaman rumah dan memarkirkan mobilnya di garasi. Pandangannya
menuju ke arah kamar yang tertutup rapat. Tidak biasanya Jodha menutup pintu
kamar kalau Jalal belum pulang. Dan lagi, sedari tadi Jalal tidak melihat Jodha
menyambutnya. Jalal membuka pintu kamar dan mendapati Jodha yang sedang duduk
di atas tempat tidur sambil menyilakan kedua kalinya tanpa pandangan yang
jelas.
“Jodha...
Aku sudah pulang. Kenapa kau tidak menyambutku. Apa kau baik-baik saja?” tanya
Jalal yang langsung duduk di samping Jodha. Ada perubahan di mata Jodha yang
indah itu. Dia hanya terdiam tanpa kata, dia benar-benar hanya seperti orang
yang kehilangan raganya.
“Jodha....
Kau sakit?” Jalal menempelkan punggung tangannya di kening Jodha. Suhu badannya
tidak tinggi, masih normal seperti biasanya. Tapi ada apa sebenarnya? Apa yang
terjadi padanya?
“Setidaknya,
bicaralah sesuatu padaku Jodha. Kau benar-benar membuatku khawatir.” melihat
kondisi Jodha yang menghanyutkan seperti itu, Jalal jadi teringat pada mimpi
buruknya. Mungkin, pria itu sudah mulai masuk dalam kehidupannya dan akan
menghancurkan hubungannya dengan Jodha.
“Apa pria
itu sudah datang Jodha? Apa dia ingin membawamu pergi menjauh dariku? Dimana
dia sekarang Jodha? Ayo katakan padaku?” Jalal bertanya dengan tidak sabar dan
mengguncang tubuh Jodha.
“Pria
siapa yang kau maksud, Jalal? Tidak ada pria yang akan menghancurkan hubungan
kita. Tapi kau dan juga wanita itu yang sudah menghancurkan semua hubungan
kita. Kau selalu saja melarangku untuk tdk menjalin hubungan dengan pria lain
selain dirimu, tapi kau.... Apa yang telah kau lakukan padaku?”
“Apa
maksudmu Jodha? Aku tdk mengerti sama sekali. Wanita.... Wanita mana yang kau
maksud?”
“Teruslah
berpura-pura tidak tau Jalal. Dan teruslah berpura-pura peduli padaku. Sekarang
aku tdk akan tertipu olehmu lagi.” kata Jodha sambil mendorong dada Jalal dan
turun menuruni anak tangga menuju dapur dan mengunci pintu kamar pembantu yang
ada di sana. Jalal datang dan mengetuk pintu itu dengar keras. Tapi tdk ada
tanda-tanda pintu akan terbuka. Dia hanya mendengar suara tangis dari dlm sana.
Akhirnya, emosinya mengalahkan segalanya dan sudah berada di ubun-ubun. Jalal
mendobrak pintu itu dan langsung masuk ke dlmnya.
“Jodha,
ada apa? Aku tdk mengerti apa yang terjadi padamu. Aku pulang dan langsung
melihatmu bersikap dingin padaku.” tanya Jalal berteriak marah. Jodha terlihat
sangat ketakutan dan menghentikan tangisnya. Tapi suaranya sedikit tersenggal
karna itu.
“Jalal....
Tolong katakan padaku, apa yang kau lakukan ketika kau pulang larut malam dan
mabuk itu. Apa yang kau lakukan di luar sana?”
“Aku tidak
melakukan apa-apa Jodha. Memangnya apa yangku lakukan?”
“Berkatalah
dgn jujur Jalal. Tolong jgn bohongi aku lagi....”
“Aku sudah
berkata jujur padamu, tapi kau tidak mau percaya padaku.”
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~