Andai mereka tahu pernikahan seperti apa
yang dijalani Jodha dan Jalal....
Menghadapi ketulusan yang ditunjukkan Ny.
Martha, membuat Jodha merasa jadi pembohong besar. Ini kali pertama Jodha
menyesali keputusannya menikah dengan Jalal. Tuan Rudolf dan Nyonya Martha
terus memuji Jodha dan Jalal sebagai pasangan serasi membuat Jodha semakin
merasa bersalah. Niat Jodha menolong Ny.Martha saat itu murni hanya ingin
melindungi keselamatannya bukan untuk menyelamatkan bisnis Jalal. Semoga Jalal
tidak menyalahgunakan kepercayaan mereka, itu harapan Jodha.
Pembicaraan terus berlanjut hingga makan
siang. Keramahan Tuan Rudolf dan istrinya membuat Jodha merasa nyaman mengobrol
bersama mereka. Bertolak belakang jika dia bicara dengan Jalal, selalu diwarnai
dengan perdebatan dan kemarahan. Meski Jalal duduk tepat berdampingan
dengannya, namun mereka tidak saling bertukar pandang apalagi saling menimpali
obrolan.
Untung saja pasangan di depan mereka tidak
menyadarinya. Jika pun mereka menyadarinya, mereka tidak menunjukkannya. Bahkan
saat pulang, Jodha dan Jalal memilih jalan pulang masing-masing.
Dua hari pertamanya di New Delhi telah
dilalui Jodha. Meski sempat ada ketegangan dan masalah, namun semua sudah
terselesaikan.—‘ Semoga tidak ada lagi
masalah pada hari-hari berikutnya’--
itu doa Jodha malam ini.
Keesokan paginya, Jodha memulai aktivitasnya
lebih awal. Setelah jogging dan memasak sarapan, Jodha bergegas untuk
bersiap-siap karena dia akan keluar. Bahkan sebelum Jalal keluar dari kamarnya,
Jodha sudah meninggalkan apartemen.
Kemarin sore motor kesayangan Jodha tiba
dari rumah keluarganya, dikirim melalui jasa kurir sesuai permintaannya pada
ayahnya. Dan sekarang motor itu sudah terparkir di basement apartemen. Dengan
ceria, Jodha menghampiri motornya. –‘Motor
ini akan menjadi teman setiaku setiap hari’—pikir Jodha. Mengenakan helm,
masker debu dan sarung tangan untuk melindunginya dari paparan matahari, Jodha
mulai tancap gas. Dia sudah tidak sabar untuk segera bekerja.
Ya, Jodha akan bekerja, dia lebih memilih
memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang berguna. Menempuh 30 menit berkendara,
Jodha sudah tiba di tempat kerjanya. Sebuah bangunan dua lantai di daerah pusat
perdagangan Palika Bazaar. Di plakat nama yang menggantung di depan pintunya
tertulis Sisterhood Cafe and Bakery.
Hanya orang tua dan kakaknya yang tahu
bahwa sebenarnya usaha itu adalah milik pribadi Jodha dan temannya, Amrita.
Mereka berdua merintis usaha bersama itu sejak sama-sama kuliah di Jerman.
Amrita adalah kakak kelas Jodha. Saat studinya sudah selesai, dia memutuskan
pulang ke New Delhi dan meneruskan bisnis mereka disana. Jodha menanamkan dua
pertiga modal untuk bisnis itu, sedangkan Amrita bertanggungjawab pada
operasionalnya. Dari sanalah Jodha memperoleh penghasilan untuk biaya kuliahnya
hingga dari labanya pun bisa membuat Jodha mandiri secara finansial. Saat libur
kuliah pada musim panas, Jodha biasa meluangkan satu bulan dari seluruh hari
liburnya untuk mengurus usahanya ini. Sekarang karena Jodha sudah tinggal di
New Delhi, dia bisa setiap hari terlibat dalam operasional cafe.
Selama tiga tahun Sisterhood Cafe and
Bakery buka, omzet penghasilannya cukup memuaskan. Menjajakan aneka roti dan
kue serta menu sarapan dan makan siang sederhana, cafe itu mampu menarik banyak
pelanggan. Sebagian besar pelanggannya adalah karyawan dan ibu rumah tangga di
sekitar cafe. Asalkan Jalal tidak membutuhkannya untuk menemui koleganya, Jodha
akan bekerja di cafe mulai pagi sampai jam 2 siang, setelah itu dia bisa
melakukan hal lain yang menjadi tujuan hidupnya.
Tujuan hidupnya adalah membantu orang lain
terutama wanita dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Karena itulah dia
aktif menjadi sukarelawan di Sisterhood Shelter, sebuah yayasan nirlaba untuk
membantu dan mengurus wanita dan anak-anak korban kekerasan dan pelecehan
seksual. Sebenarnya nama cafe-nya terinspirasi dari nama shelter ini. Jodha
terlibat aktif di shelter ini sejak lima tahun lalu atas ajakan seorang teman
yang dianggapnya sebagai Dewa Penyelamatnya. Jodha bekerja bersama
sukarelawan-sukarelawan lain yang terdiri dari berbagai bidang profesi mulai
dari dokter, psikiater, pengacara, bahkan ibu rumah tangga biasa. Sebagian
besar korban pemerkosaan takut atau bahkan lebih parahnya lagi ditolak oleh
keluarga mereka sendiri, untuk tujuan itulah shelter ini didirikan. Selain
menampung, mereka juga memberikan konsultasi kejiwaan dan pelatihan
kewirausahaan agar para korban mampu bangkit dari masalahnya. Selama lima
tahun, Sisterhood Shelter telah menampung dan membantu para korban, hal yang
belum mampu dilakukan pihak pemerintah.
Ini adalah hari ketiga Jodha bekerja.
Masalah datang dan pergi di cafe maupun di shelter. Seperti malam ini, ada
masalah yang cukup berat di shelter. Seorang wanita hamil korban pemerkosaan
akan melahirkan. Masalah timbul karena proses persalinan yang sulit, wanita itu
mengeluarkan banyak darah. Para sukarelawan yang menemaninya di rumah sakit kesulitan
mencari donor darah. Setelah beberapa jam, semua masalah bisa teratasi. Namun
imbasnya, Jodha pulang saat sudah agak larut. Dia tadi sempat menelpon Bibi
Meeta memberitahukan keterlambatannya.
Jodha jarang pulang selarut ini. Meski agak
sedikit takut, Jodha melarikan motornya sedikit lebih kencang karena jalanan
yang dilaluinya juga mulai sepi. Dilengkapi helm, masker dan sarung tangan,
Jodha berkendara membelah dinginnya malam.
Saat melewati sebuah jalan kecil yang
diapit toko-toko yang sudah tutup di kanan kirinya, Jodha menangkap bayangan
sebuah mobil yang dikenalnya. Disana, di antara bayangan gelap gedung di
dekatnya, terparkir mobil yang mirip dengan mobil Jalal. Jodha pun berhenti.
Bukan karena curiga apa yang dilakukan Jalal pada malam seperti ini, tapi dia
hanya memastikan bahwa itu benar mobil milik Jalal, begitulah dia mencoba
meyakinkan pikirannya sendiri.
Masih dengan motor yang menyala, Jodha
berputar mendekat untuk bisa melihat lebih jelas. Dari jarak lima meter, Jodha
bisa membaca nomor plat mobilnya. Cocok, itu adalah mobil Jalal. Jodha
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya. Saat akan menekan gas lagi,
Jodha mendengar teriakan seorang wanita. Jodha menjadi waspada. Pelan-pelan dia
mematikan motornya dan menuntunnya untuk mencari sumber asal suara.
Jodha memarkir motornya di sebuah cerukan
gelap antar gedung agar tidak ada yang melihat. Mengendap-endap dia celingukan
mencoba mencari wanita yang berteriak tadi. Saat itulah terdengar teriakan yang
kedua. Langkah Jodha menjadi yakin menuju asal suara. Di sebuah gang buntu dan
gelap terdengar suara beberapa orang.
Menempelkan tubuhnya di tembok, Jodha
mencoba mengintip ke balik tembok untuk melihat apa yang sebenarnya sedang
terjadi... hanya mengandalkan penerangan dari sinar bulan, Jodha bisa melihat
siluet beberapa orang. Tiga orang pria berbadan cukup besar mengepung seorang
pria dan wanita yang tubuhnya bersembunyi di balik sang pria...
--‘Berarti
wanita itu yang tadi menjerit’--...Jodha beringsut semakin mendekat.....suara-suara
mereka makin jelas terdengar...
“Serahkan semua barang kalian!”
“Jangan mengancamku..!”
“Turuti saja mereka...aku takut..”
“CEPAT..!!”
“TIDAK..!!”
Jodha masih bersembunyi....semakin
tegang...telinganya waspada mendengarkan suara sekecil apapun...pandangannya
diedarkan ke sekelilingnya...berharap ada orang lain yang bisa
menolong...Tangannya merogoh ke dalam tasnya. Digenggamnya sebuah botol spray
dan stik berukuran 15cm di depan dadanya...
Lalu....BUGH...
Wanita itu menjerit histeris....
BUGH...BUGH....
Suara pukulan...terjadi perkelahian...tiga
lawan satu...sekelebat, Jodha melihat kilatan belati...wanita itu terus
menjerit....Jodha yakin harus menolong mereka...Dia maju, mengangkat stik di
tangan kanannya sekuat tenaga dan mengayunkannya ke tengkuk salah satu
penjahatnya, dan orang itu jatuh tersungkur...pingsan...lainnya terkejut karena
serangan mendadak ini...menoleh bersamaan ke arah Jodha...satu orang mencoba
menyerangnya....Jodha mengangkat tangan kirinya yang menggenggam botol spray
dan menyemprot matanya...orang itu mengerang sambil menutupi
matanya....kesempatan...Jodha menendang perutnya sekuat tenaga...hingga orang
itu terjerembab ke belakang.....
Tersisa satu lagi, tapi sepertinya sudah
dihajar habis-habisan oleh Jalal...
Kesempatan untuk segera lari...
Jodha mendesak pria itu – “Tuan, cepat bawa
temanmu pergi dari sini!”—
Pria itu berusaha bertanya pada Jodha
–“Siapa kau?!”—
Jodha bersikeras –“CEPAT LARI!”—
Tanpa menunggu lagi, Jodha segera lari ke
arah tempat motornya diparkir..... Terdengar suara kaki berlari di belakangnya
–‘Akhirnya dia ikut lari.—‘ ....—“Hei,
Tunggu..!”—pria itu masih memanggil Jodha.... Jodha menoleh sebentar ke
belakang tapi mempercepat larinya...
Sesampainya di tempat motornya disembunyikan, Jodha langsung menaikinya dan
tancap gas meninggalkan tempat itu .....
—‘Syukurlah..Jalal
tidak mengenaliku...Semoga dia tidak akan pernah tahu..’—
Jodha memacu motornya secepat mungkin. Dia
ingin segera sampai di apartemen. Kalau bisa, dia harus sampai sebelum Jalal,
agar Jalal tidak curiga. Sepuluh menit kemudian Jodha sudah sampai di basement
apartemen. Celingukan dia mencari keberadaan mobil Jalal, tidak ada. Berarti
Jalal belum datang. Memarkir motornya, Jodha mempercepat langkahnya menuju lift
naik ke lantai apartemennya. Pelan-pelan Jodha memutar kunci, lalu bergegas
masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
Jodha mulai mengatur napas, dia sudah aman
disini. Dia ingin membersihkan tubuhnya yang penuh keringat karena berlari-lari
tadi. Saat membuka cardigan yang dipakainya, Jodha baru sadar kalau lengan
bawahnya tergores. Beruntung lengannya terlindung. –‘Mungkin saat orang itu menyerang... aku sempat melihat dia memegang
belati’—Jodha mencoba mengingat perkelahian tadi yang membuatnya terluka. Karena
lukanya ringan, Jodha hanya membersihkannya dan membalutnya dengan band-aid.
Setelah berganti pakaian, Jodha duduk
bersandarkan bantal di tempat tidurnya. Saat itulah dia mendengar pintu
apartemen dibuka. – ‘Jalal pulang’—
pikirnya. Terdengar langkah kaki Jalal. Anehnya, langkah kakinya menuju depan
kamar Jodha, dan berhenti...Jodha menahan napasnya, mematikan lampu kamar.
Beberapa saat dalam keheningan, lalu langkah kaki Jalal bergerak menjauh dan
terdengar pintu lain dibuka dan ditutup.
Jodha menghembuskan napas lega, tidak
berani menduga-duga. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan tak berapa
lama kemudian, Jodha pun terlelap.
Jika Jodha bisa terlelap, tidak bagi
Jalal....
Jarum jam di mejanya sudah menunjukkan
pukul 3 pagi, tapi matanya masih nyalang menatap langit-langit kamarnya. Jalal
sudah mencoba berulang kali memejamkan matanya, tapi otaknya tidak mau
berkompromi, bayangan gadis yang menolongnya tadi muncul dan muncul lagi. Ya,
Jalal yakin penolongnya adalah seorang gadis atau wanita. Ditambah lagi
suaranya, meski teredam oleh masker yang dipakainya, Jalal merasa mengenal
pemilik suara itu.
Suara gadis itu terdengar lagi, membuat
Jalal terjaga. Jalal tidak yakin dia sedang bermimpi atau ini nyata, karena dia
merasa tidak tertidur sama sekali. Ternyata matahari sudah bersinar cukup
tinggi, menerangi seluruh kamarnya. Setengah sadar, Jalal turun dari tempat
tidurnya dan beranjak ke dapur. Disana sudah ada Bibi Meeta dan gadis
itu...maksudnya Jodha. Sepertinya mereka baru selesai sarapan.
Jalal duduk di meja makan dan meminta
secangkir kopi pada Bibi Meeta. Jodha sepertinya sudah selesai urusannya di
dapur dan dia kembali masuk ke kamarnya. Mata Jalal tidak putus mengikuti semua
gerak-gerik Jodha. Selembar band-aid yang tertempel di lengan Jodha tak luput
dari pengamatannya –‘Dia
terluka...mungkin semalam’—
Jalal –“Bibi Meeta, apa Jodha semalam
pulang larut?”
Bibi Meeta –“Sepertinya begitu, Tuan. Saat
saya masuk kamar pukul 10, Nyonya Jodha belum pulang..”
Jalal –“Apa Jodha setiap hari sarapan
disini?”
Bibi Meeta –“Iya, Tuan. Apa Tuan ingin
sarapan juga?”
Jalal—“Iya, tapi aku harus mandi dulu..”
Saat Jalal selesai mandi, ternyata Jodha
sudah akan pergi. Dia mendengar Jodha berpamitan pada Bibi Meeta. –‘Siapa sebenarnya Jodha?... Dan bagaimana
bisa gadis seperti itu bisa mengusik pikiranku?’—
Selesai mandi, Jalal menikmati sarapannya,
tapi pikirannya melayang kembali pada peristiwa semalam.
Kemarin sore, salah satu mantan pacarnya, Monica, mendatanginya
di kantornya. Terakhir mereka berhubungan adalah tiga bulan yang lalu.
Keputusan Jalal mengakhiri hubungan mereka rupanya tidak bisa diterima dengan
baik oleh Monica. Tapi Jalal tidak peduli. Beberapa kali Monica menghubunginya
atau langsung mendatanginya ke kantor, Jalal tidak pernah menanggapinya. Sikap
Monica yang tidak mau menyerah, sangat mengganggu Jalal.
Kedatangan Monica untuk kesekian kalinya itu tidak lain untuk
merayu Jalal. Demi mendapat ketenangan dan bisa lepas dari gangguan Monica,
Jalal menyetujui ajakan keluar Monica untuk terakhir kalinya. Dalam hati Jalal berjanji
–‘Aku bersumpah ini terakhir kalinya aku berurusan dengan wanita ini. Dia harus
tahu kalau aku tidak akan pernah tunduk pada siapapun, terutama wanita.’—
Mereka keluar berkendara dengan mobil Jalal. Di dalam mobil, Monica
terus-menerus merengek pada Jalal, membuat Jalal semakin sebal karenanya.
Setelah berputar-putar tak tentu arah, akhirnya Jalal menepikan
mobilnya di pinggir jalan. Jalal tidak memperhatikan kalau jalan yang
dipilihnya sangat sepi dan gelap. Merasa sesak di dalam mobil hanya mendengar
ocehan Monica, Jalal keluar menghirup udara malam. Ternyata Monica
mengikutinya, menggelayuti lengan Jalal, gadis itu terus mencari kesempatan
merayunya. Jalal tetap berjalan, lalu tiba-tiba tiga orang pria menghadang
jalannya. Jalal tahu apa tujuan mereka bertiga, untuk merampoknya, tapi Jalal
tidak gentar. Sayangnya wanita di sebelahnya mencicit, berteriak dan menempel di balik punggungnya karena
ketakutan,membuat Jalal tidak bebas bergerak.
Karena Jalal tidak mau menuruti kemauan mereka, ketiga orang itu
mulai menyerang bersamaan. Dan datanglah bantuan yang tidak diduga....
Awalnya Jalal mengira penolongnya adalah
seorang pria. Wajahnya tertutup helm dan masker. Tapi setelah memperhatikan
baju yang dikenakannya apalagi suaranya, ternyata dia wanita. Dua penjahat itu
roboh dikalahkan seorang wanita. Jalal geleng-geleng kepala –“Tuan tidak
apa-apa?”—Jalal tersentak dari lamunannya, rupanya tingkah lakunya membuat
heran Bibi Meeta.
Jalal – “Tidak apa Bibi Mehta...Ehm,
masakannya lezat. Terima kasih.”
Selesai sarapan, Jalal segera berangkat ke
kantornya. Jalal berharap semoga hari ini dia bisa konsentrasi bekerja setelah
semalam terjaga, karena ada satu janji temu dengan seorang klien yang harus
dihadirinya.
Mendekati waktu makan siang, Jalal meluncur
ke tempat pertemuan yang telah mereka sepakati di The Crowne Plaza Hotel’s
Restaurant. Calon klien Jalal kali ini adalah seorang pengusaha muda yang cukup
berpengaruh dalam bisnis real estate. Visi misinya menyandingkan keindahan
natural dan modern yang eco-friendly pada setiap proyeknya telah diakui dunia.
Dan Jalal ingin terlibat dalam salah satu proyeknya.
Saat tiba di restoran, Jalal memberitahu
pada pramutamu tentang janjinya dengan Tuan Rasheed Nayak. Kemudian Jalal
dipandu ke arah meja Tuan Rasheed. Berjalan mendekat, Jalal melihat kalau Tuan
Shaheed duduk berhadapan bersama seorang wanita, dan dari arahnya hanya
terlihat punggung wanita itu. Tapi saat Jalal sudah di depan meja mereka, dia
sangat terkejut.
Ternyata wanita itu adalah Jodha....
Jalal – “Jodha.. apa yang kau lakukan
disini?!”.......
********************