“Aaaaaahhhhh.....”
Jeritan
itu sontak mengejutkan Jalal dan Tuan Rudolf. Keduanya bergegas keluar ruangan
menuju ke arah sumber suara. Sebagai tuan rumah, Tuan Rudolf berlari di depan
dan Jalal mengikutinya. Sepertinya dia yakin darimana asal jeritan itu. Mereka
berlari menuju ke sebuah rumah kaca yang bangunannya terletak terpisah di
samping rumah. Saat masuk ke dalamnya, mereka sama-sama terkejut.
Jalal
melihat Jodha disana, di samping seorang wanita setengah baya yang tergeletak
di lantai dan pingsan. Jodha berlutut di samping wanita itu dan sepertinya
tidak menyadari kedatangan Jalal dan Tuan Rudolf...
Jodha –
“Nyonya, tetaplah sadar... kumohon...”
Tuan
Rudolf – “Martha... Martha... Ya Tuhan... apa yang terjadi.... Martha..”
Tuan
Rudolf mengguncang dan memeluk tubuh wanita itu. Sepertinya dia adalah
istrinya.
Jodha –
“Tuan, tolong segera angkat tubuhnya dan bawa dia keluar dari sini..”
Tuan Rudolf
– “Apa yang sudah kau lakukan pada istriku!!”
Jodha –
“Tidak ada waktu untuk penjelasan sekarang. Tolong angkat dia dan segera
panggil dokter!!”
Tuan
Rudolf tersadar dan menuruti perkataan Jodha. Dia membopong tubuh istrinya
masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di dalam kamar. Seorang dokter segera
datang dan memberikan pertolongan pada wanita itu.
Jalal yang
sejak tadi tidak bersuara, rupanya sedang mati-matian menahan amarahnya yang
mulai memuncak. Dia tidak menyangka, berani-beraninya Jodha merusak semua
rencananya! Tanpa berpamitan pada Tuan Rudolf yang sedang menemani istrinya,
Jalal menarik dan menyeret Jodha keluar. Jodha tidak membantah ataupun melawan
saat Jalal terus menyeretnya hingga mereka sampai di mobil Jalal yang terparkir
di halaman. Membuka pintu penumpang, Jalal mendorong Jodha masuk dan membanting
pintunya.
Dengan
kasar, Jalal menyalakan mobilnya dan melajukannya ke jalan raya. Jodha sudah
bersiap menghadapi kemarahan Jalal yang pertama setelah mereka menikah.
Wajahnya tidak menampakkan rasa takut sama sekali.
Jalal –
“Aarrggghhhhh...”
Jalal
memukul-mukulkan tangannya pada kemudi dengan frustasi.
Jalal –
“Sudah kubilang jangan membuat masalah. Apa kau tidak paham sama sekali apa
yang kukatakan?”
Jodha –
“Aku tidak merasa melakukan hal yang salah.”
Jalal –
“Kau TIDAK MERASA?? Apa kau tidak lihat hasil perbuatanmu tadi?!”
Jodha –
“Aku tidak menyangka kalau dia akan pingsan. Sepertinya dia juga punya penyakit
asma... lalu kambuh...”
Jalal –
“Apa kau tidak pernah berpikir sebelum melakukan sesuatu?”
Jodha –
“Kejadiannya tadi sangat cepat.. jadi aku tidak sempat berpikir...”
Jalal –
“Apa yang sebenarnya kau katakan padanya sampai membuatnya pingsan??”
Jodha –
“Aku tidak mengatakan apa-apa! Aku hanya berusaha menolongnya..”
Jalal –
“Menolongnya dengan cara apa?! Kau sudah menghancurkan semua rencana yang
kususun. Ingatlah, tujuanku menikahimu adalah untuk mendapatkan kepercayaan
calon klienku. Tapi kau melakukan hal bodoh dan merusak semuanya. Tidak
pernahkah sekalipun dalam hidupmu kau melakukan hal yang benar?? Apakah
hidupmu hanya untuk menghancurkan hidup
orang lain?!!”
Jodha diam
saja mendengar semua tuduhan dan kata-kata kasar Jalal. Dia menyadari ada
sebagian kata-kata Jalal yang memang benar.
Jodha –
“Terserah.. Apapun yang kukatakan kau tidak akan percaya. Meski Tuan Rudolf
memanggil polisi sekalipun untuk mengusutnya, aku yakin aku tidak bersalah.”
Jalal –
“Sekarang aku yakin, keputusanku menikahimu adalah keputusan terburuk dalam
hidupku.”
Setelah
itu, mereka berkendara dalam diam. Benar-benar diam. Tidak ada musik dari radio
mobil, apalagi obrolan. Sesampainya di New Delhi, Jalal menurunkan Jodha di
apartemen, sedangkan Jalal terus melajukan kendaraannya, entah kemana.
Jodha naik
ke apartemennya dengan langkah lunglai. Dia juga tidak menduga, tindakannya
untuk menolong justru menimbulkan masalah yang lebih besar. Tapi Jodha tidak
peduli, jika Jalal benar-benar marah padanya dan memutuskan tidak
membutuhkannya lagi, Jalal bisa menceraikannya kapan saja. Jodha sudah menuruti
keinginan Jalal untuk menikah, meski akhirnya bercerai secepat ini, dia rasa
Jalal tidak akan menuntut lagi kepemilikan pabrik.
Jodha
mengunci diri di dalam kamarnya. Meski terjaga sampai larut, Jodha tidak
mendengar kedatangan Jalal – ‘Mungkin
Jalal tidak pulang... Dia bisa saja menginap di hotel.. Aku hanya berharap
istri Tuan Rudolf baik-baik saja.—
Jalal
sengaja tidak pulang ke apartemennya semalam. Dia tidak ingin bertemu ataupun
melihat wajah Jodha. Dia masih sangat marah dan frustasi. Akhirnya dia putuskan
menginap di hotel. Awalnya, keputusannya mengenalkan Jodha pada Tuan Rudolf
adalah demi kelancaran bisnisnya, namun justru berbalik menyerangnya seperti
boomerang. Tuan Rudolf pasti tidak akan mau mempertimbangkan proposalnya lagi,
dan bisa lebih buruk jika Tuan Rudolf memanfaatkan pengaruh kuatnya untuk
menutup akses Jalal ke sejumlah proyek potensial. Alhasil, dia akan butuh waktu
bertahun-tahun lagi untuk membangun kepercayaan klien-kliennya.
Pagi ini
Jalal terbangun di sebuah kamar hotel. Meski waktu sudah menunjukkan pukul
sembilan, tapi Jalal masih enggan untuk bersiap ke kantor. Setelan yang
dikenakannya adalah setelan kemarin karena memang dia tidak bersiap untuk
menginap di luar. Dia sudah menghubungi sopirnya agar segera mengantarkan
setelan baru dari kamar apartemennya.
Satu jam
kemudian, Jalal sudah berganti pakaian dan siap berangkat ke kantornya. Saat
hendak melangkahkan kakinya keluar dari kamar hotelnya, ponselnya berdering. Di
layarnya terlihat nama Tuan Rudolf. Sesaat Jalal ragu menjawabnya, namun cepat
atau lambat dia pikir dia harus menghadapinya.
Jalal – “Selamat
siang Tuan Rudolf.”
Tuan
Rudolf – “Tuan Jalal, syukurlah akhirnya aku bisa menghubungimu. Beberapa kali
aku menelpon kantormu dan sekretarismu mengatakan kau belum tiba di kantor.”
Jalal –
“Benar, saya masih ada urusan di luar kantor.”
Jalal mencoba
mencari alasan, tapi dia juga penasaran untuk urusan apa Tuan Rudolf
repot-repot mencarinya.
Tuan
Rudolf – “Begini Tuan Jalal, aku menghubungimu untuk mengundangmu bertemu.
Bukan hanya aku, istriku juga ingin bertemu denganmu. Ajaklah istrimu juga. Kami
ingin membicarakan hal yang terjadi kemarin.”
Jalal –
“Begitu rupanya. Baiklah, saya akan datang ke villa anda siang ini.”
Tuan
Rudolf – “Tidak perlu. Kami ada di kota New Delhi, saat ini kami di Tamra
Restaurant. Bagaimana kalau anda kemari... Oh ya, jangan lupa ajak istrimu
juga.”
Jalal –
“Baiklah, saya segera kesana.”
Jalal agak
sedikit heran, karena nada bicara Tuan Rudolf berlawanan dengan yang diduganya
sebelumnya. Jika mengingat yang terjadi kemarin, harusnya dia masih memendam
marah. Namun tadi tidak begitu. Meski hingga tadi pagi Jalal belum menemukan
cara untuk mengantisipasi masalah yang terjadi kemarin, tapi dia sudah mempersiapkan diri seandainya
Tuan Rudolf menuntut secara hukum maka dia juga sudah menyiapkan pengacara.
Walau hanya berbicara di ponsel, tapi Tuan Rudolf lebih terdengar lega dan
gembira saat berbicara di telepon tadi.
Setelah
check out, Jalal langsung menuju mobilnya yang diparkir di basement. Membelah
kemacetan New delhi, Jalal melajukan mobilnya ke tempat yang mereka sepakati.
Sambil memegang kemudi, dia menghubungi Jodha, bagaimanapun itu permintaan Tuan
Rudolf. Seandainya bisa, dia tidak ingin mengajak Jodha. Saat Jodha mengangkat
ponselnya di seberang sana, dengan sangat singkat Jalal memerintahkan –
“Datanglah ke Tamra Restaurant sekarang juga.” Hanya begitu saja, tanpa salam
pembuka atau penutup, dan langsung dimatikan.
Sesampainya
di pintu masuk Tamra Restaurant, Jalal menyerahkan mobilnya pada petugas valet.
Lalu dia melangkah ke dalam dan memberitahu bagian reservasi bahwa dia ditunggu
Tuan Rudolf Bernardt. Pramutamu itu mengerti dan mengawal Jalal menuju meja
Tuan Rudolf. Suasana di dalam restauran masih agak lengang karena belum masuk
waktu makan siang. Restauran ini adalah bagian dari hotel sekelas bintang lima
yang menyajikan pilihan menu dari Asia dan Eropa. Interior restauran adalah
perpaduan gaya minimalis, modern dan elegan.
Saat
melihat kedatangan Jalal, Tuan Rudolf dan istrinya tersenyum dan berdiri
menyambutnya.
Tuan
Rudolf – “Tuan Jalal, senang sekali akhirnya anda datang. Ini istri saya,
Martha, kemarin aku belum sempat mengenalkannya padamu.”
Jalal –
“Nyonya Martha, selamat siang. Apa anda sudah sehat?”
Nyonya
Martha – “Syukurlah, saya sudah sehat. Tapi dimana istri anda? Kenapa anda
datang sendiri? Apakah suamiku lupa memberitahu kalau kami juga ingin bertemu
istrimu?”
Jalal –
“Tuan Rudolf sudah memberitahu, sebentar lagi dia akan menyusul. Kami tadi
memiliki urusan yang berbeda jadi tidak bisa datang bersama-sama.”
Nyonya
Martha – “Syukurlah, karena keadaan yang sedikit kacau kemarin aku jadi tidak
bisa menyambut kalian dengan layak.... Kuharap kejadian kemarin tidak
menimbulkan kesalahpahaman antara kita.”
Jalal –
“Oh tidak... karena itulah saya...”
Nyonya
Martha – “Ohhh... dia datang...”
Belum
sempat Jalal menjawab, tiba-tiba Nyonya Martha berteriak senang. Arah
tatapannya melewati punggung Jalal, senyumnya ditujukan pada seseorang di
belakang Jalal. Penasaran, Jalal pun menoleh ke belakang.
Ternyata
Jodha...
Jodha baru
datang dan berjalan mendekat ke arah meja mereka. Nyonya Martha berdiri
menyambutnya, dan langsung memeluk Jodha seakan dia sudah menunggu-nunggu saat
ini.
Jodha yang
tiba-tiba dipeluk juga terkejut. Bahkan untuk beberapa saat dia tidak bereaksi
apa-apa. Tapi setelah Nyonya Martha mengatakan sesuatu, Jodha mulai paham apa
yang terjadi...
Nyonya
Martha – “Kau... penyelamat hidupku..”
Jodha –
“Anda terlalu berlebihan.”
Nyonya
Martha – “Tidak, seluruh rasa terima kasihku belum sepadan dengan apa yang
sudah kau lakukan untukku.”
Jalal –
“Aku tidak mengerti. Sebenarnya apa yang terjadi kemarin?”
Tuan
Rudolf – “Apakah istrimu tidak menceritakan semuanya?”
Jalal –
“Eh... belum... kami... tidak sempat membahasnya.”
Tuan
Rudolf – “Sebenarnya begini ceritanya...”
Sementara
Tuan Rudolf mulai menceritakannya, ingatan Jodha juga merunut kembali awal mula
semua yang terjadi kemarin...
Jalal dan Tuan Rudolf meninggalkan Jodha
duduk sendirian di ruangan itu. Awalnya Jodha tidak keberatan, namun ketika ada
tuntutan harus ke kamar kecil, terpaksa Jodha bangkit dari kursinya dan mencari
letak kamar kecil sendiri karena tidak terlihat seorangpun di dalam rumah itu.
Ternyata tidak susah mencarinya, karena letaknya ada di ujung koridor dari
ruang duduk tadi.
Saat keluar dari kamar kecil, ada sebuah
pemandangan yang menarik perhatiannya. Sebuah rumah kaca. Terlihat dari
tempatnya berdiri, rumah kaca itu sangat indah, ditumbuhi berbagai macam
tanaman dan bunga, termasuk white lily favoritnya. Karena rasa penasarannya,
Jodha berbelok di koridor dan berjalan mendekati rumah kaca itu.
Saat masuk ke dalam, Jodha melihat punggung
seorang wanita sedang sibuk menggaruk-garuk tanah di dalam pot.
Jodha – “Halo, selamat siang.. Boleh saya
masuk dan melihat-lihat?”
Nyonya Martha – “Silakan.”
Jodha – “Perkenalkan nama saya Jodha, saya
datang kesini bersama suami saya, Tuan Jalal, mereka sedang membicarakan
masalah bisnis.”
Nyonya Martha – “Namaku Martha.”
Mendadak Jodha mendengar suara yang
mencurigakan. Suara yang khas dan cukup menakutkan. Matanya mencari-cari ke
segala arah. Dan disanalah, di bawah tumpukan pot, terlihat ekornya sedikit menyembul.
Nyonya Martha tidak sadar bahwa ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka
berdua. Agar Nyonya Martha tidak panik, Jodha belum merasa perlu
memperingatkannya. Segera dia mencari alat di dekatnya untuk menangkap binatang
itu. Sebuah sapu dan pot. Perlahan, dengan gagang sapu, Jodha menarik ekor
binatang itu hingga akhirnya seluruh panjang tubuhnya terlihat. Itu adalah ular
derik yang cukup berbisa dengan panjang tubuh seukuran ular dewasa. Saat
tubuhnya ditarik, ular itu mendesis semakin keras. Saat itulah Nyonya Martha
melihatnya dan spontan menjerit....
Dengan sigap, Jodha memerangkap kepala ular
itu dan mengaitnya dengan gagang sapu. Gerakannya sangat cepat saat dia
memindahkan pegangan tangannya dari sapu ke kepala ular. Begitu kepalanya bisa
dipegang, Jodha langsung memasukkannya ke dalam pot dan menutup potnya dengan
plastik lebar yang kebetulan ada disana lalu mengikatnya.
Setelah memastikan ular itu tidak bisa
keluar, Jodha kemudian menoleh untuk memeriksa keadaan Nyonya Martha. Ternyata
Nyonya Martha sudah tersungkur di lantai. Nafasnya tersengal-sengal. Tangan
yang kanan memegangi lehernya, sedang yang kiri memegang dadanya. Jodha
berusaha menahan tubuh Nyonya Martha dan mencoba untuk mendudukkannya. Agar
Nyonya Martha bisa lebih mudah bernapas, Jodha mencoba menyelonjorkan kedua
kakinya dan menyandarkan punggungnya.
Jodha – “Nyonya, tenangkan dirimu... Jangan
panik.... tarik napas yang dalam... kau harus tetap sadar.... apa kau menderita
asma? Dimana inhaler-mu?”
Nyonya Martha tidak dapat merespon pertanyaan
Jodha. Matanya terlihat semakin terpejam dan tubuhnya mulai limbung. Jodha
menjadikan tubuhnya sendiri sebagai sandaran. Dia menepuk-nepuk pipi Nyonya
Martha untuk membuatnya sadar. Saat itulah Jalal dan Tuan Rudolf menghambur
masuk...
Setelah
selesai bercerita, Tuan Rudolf memandang istrinya seakan dia meminta
persetujuan untuk sesuatu yang akan dikatakannya...
Tuan
Rudolf – “Istriku memang punya penyakit asma. Tapi sudah lama tidak kambuh,
jadi dia tidak sering lagi membawa inhaler-nya. Rupanya saat melihat ular itu
memicu kepanikannya. Untunglah anda tidak ikut panik dan tahu cara menangani
pasien asma. Aku berhutang budi padamu, Nyonya Jodha. Seandainya kau tidak
disana atau terlambat sampai disana, tidak bisa kubayangkan apa yang akan
terjadi pada istriku.”
Jodha –
“Aku senang bisa menolong istri anda. Gejala sesak napas pada Nyonya Martha
sesuai dengan ciri sakit asma, karena itulah saya mendesak anda memindahkan
Nyonya Martha dari rumah kaca. Karena kadar udara di dalam rumah kaca bisa
membuat semakin sesak napas.”
Nyonya
Martha – “Kau seorang wanita tapi kau sangat berani. Biasanya kami wanita hanya
bisa menjerit kalau melihat ular. Tapi kau bisa berpikir dengan cepat
menghadapi ular itu. Aku tidak pernah berhadapan langsung dengan ular apalagi
memegangnya. Aku bahkan tidak tahu kalau disana ada ular. Apa kau pernah
menangani ular sebelumnya?”
Jodha –
“Belum pernah.”
Nyonya
Martha – “Lalu darimana anda belajar menghadapi ular seperti itu?”
Jodha –
“Aku belajar dari seorang teman.”
Nyonya
Martha – “Apakah temanmu seorang pawang ular?”
Jodha
tertawa pelan mendengar pertanyaan Nyonya Martha.
Jodha –
“Bukan, temanku seorang aktivis penyayang binatang. Dia bekerja di lembaga
konservasi satwa. Dia juga mengajarkan padaku untuk tidak membunuh binatang
apapun, kecuali memang sudah sangat terpaksa. Karena itulah aku hanya
memasukkan ular itu ke dalam pot.”
Nyonya
Martha – “Sampai sekarang aku masih terkesan dengan kecekatanmu. Suamiku, kalau
kau melihatnya sendiri kau pasti juga akan terkagum-kagum. Tidak bisa
kubayangkan dibalik kecantikanmu, kau memiliki kekuatan yang besar.”
Jodha –
“Anda terlalu melebih-lebihkan. Saya hanya melakukan apa yang harus dilakukan.
Sama seperti cerita seorang anak sanggup menggendong ibunya yang bobotnya dua
kali bobotnya sendiri saat harus menyelamatkannya dari sebuah bencana.”
Nyonya
Martha – “Aku beruntung sekali mengenalmu. Kau wanita hebat. Maukah kau
berteman denganku?”
Jodha –
“Dengan senang hati.”
Tuan
Rudolf – “Dan untuk mengukuhkan pertemanan yang baru kita jalin, aku ingin
menjalin kerja sama dengan suamimu. Aku menyetujui proposal yang kau ajukan
kemarin, Tuan Jalal.”
Jodha
hampir melupakan kalau Jalal juga ada disana. Karena Jalal tidak bersuara sama
sekali selama Tuan Rudolf bercerita tadi. Sekarang Jalal sudah tahu cerita
sebenarnya, tapi Jodha tetap tidak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya
itu. Saat Jodha menoleh, ternyata Jalal juga sedang memandang dirinya. Spontan
Jodha memalingkan wajahnya ke depan lagi.
Jalal –
“Terima kasih, saya pastikan akan bekerja sangat baik dan anda tidak akan
menyesal.”
Tuan
Rudolf – “Jujur saja, saya enggan bekerja sama dengan anda karena reputasi anda
sebelumnya. Kemudian anda datang dengan mengenalkan istri anda. Saat itu saya
masih curiga anda berusaha membodohi saya. Tapi mempertimbangkan apa yang telah
dilakukan istri anda pada istri saya, membuat saya yakin, siapapun suaminya
pasti akan merasa bangga.”
Nyonya
Martha – “Benar, wanita baik seperti Nyonya Jodha pasti bisa menuntun suaminya
pada kebaikan. Anda sangat beruntung menikahinya, Tuan Jalal.”
Jodha
tersenyum kecut mendengar pujian Nyonya Martha dan suaminya. Andai saja mereka
tahu yang sebenarnya....
*****************************