Versi
asli Bag. 10 - 12
By:
Viona Fitri
Sesampainya
di halaman rumah Jalal, Hamida keluar dari mobilnya lalu memasuki Rumah Jalal
yang diikuti dengan Jalal di belakangnya sambil menggeret Koper milik Hamida.
Hamida duduk
di sofa yang disusul oleh Jalal yang membawakan segelas Jus untuk ibu tercintanya.
”Ibu, minumlah ini. Ibu pasti sangat haus sekali!” kata Jalal sambil
menyodorkan minuman kepada Ibunya.
Hamidan
lalu meminumnya dan meletakkan gelas bekas Jus tadi di atas meja. Hamida ingin
ke Agra karna ada suatu hal yang harus di bicarakan dengannya.
“Jalal, ibu
ingin bertanya sesuatu padamu. Tapi ibu harap kamu akan menjawabnya dengan
Jujur!” kata Hamida tegas sambil menatap langsung ke manik mata Jalal.
Jalal seperti
mendapat firasat yang kurang menyenangkan karena perubahan nada suara ibunya
yang terlihat tegas dan bersungguh - sungguh.
“Jalal apa
kamu yang telah membuat perusahaan Tuan Bharmal bangkrut? Apa kau juga yang
sudah membuat mereka hidup dalam sebuah rumah sederhana yang tidak sebanding
dengan rumah mereka dulu?” tanya Hamida.
“Benar ibu.
Yang ibu katakan semuanya memang benar. Bukan kah seharusnya ibu senang? Ibu
selalu berkata padaku bahwa ibu sangat menginginkanku menjadi seorang pengusaha
ternama di India ini? Lalu bagaimana dengan perasaan ibu saat ini? Anakmu ini
sangat membanggakan kan bu?” Puji Jalal pada dirinya sendiri.
“Sekarang
katakan pada ibu dimana rumah mereka?”
“Ibu...
Sebenarnya ada apa ini, aku benar-benar tidak mengerti sama sekali. Kalau ibu
akan kesana baik lah, aku akan mengantar ibu menemui Tuan Bharmal, tapi tidak
untuk saat ini. Ibu beristirahatlah dulu, aku lihat ibu sangat kelelahan hari
ini. Aku juga akan pergi ke kamar untuk beristirahat.” Jalal berlalu dari sana
menuju ke kamarnya.
Jalal
termenung sambil memikirkan pertanyaan ibunya yang sangat mencurigakan. Ada apa
sebenarnya dengan keluarga tuan Bharmal? Mengingat tuan Bharmal, Jalal jadi
teringat pada Jodha saat pertemuan mereka yang tidak di sengaja itu. Muncul
berbagai perselihan karna sikap Jodha yang keras kepala tidak mau memaafkannya.
Jalal juga mengingat, saat Jodha menangis di hadapannya hanya karna memohon
untuk tidak menyakiti keluarganya.
* * *
* * * * *
Keesokan
paginya, setelah selesai Sholat subuh, Jalal langsung masuk ke ruangan kerjanya
dan membuka Laptopnya sambil memperhatikan dengan teliti data - data yang masuk
kedalamnya.
Hamida
memanggil Jalal dari ruang tamu “Jalal...” teriak Hamida. Jalal langsung
menutup layar Laptopnya dan menghampiri Ibunya.
“Ada apa
ibu?” tanya Jalal pada Hamida. ”Cepat ganti pakaianmu, kita akan segera pergi
ke rumah tuan Bharmal. Bukan kah kau sudah berkata begitu semalam pada ibu?”
Jalal
hanya mengangguk lalu memasuki kamarnya juga mengganti pakaiannya. Jalal benar-benar
merasa aneh dengan ini semua. Tidak biasanya Ibunya bersikap seperti itu pada
seseorang. Tapi mau tidak mau Jalal akan melakukan apapun untuk ibunya itu.
Jalal dan
Hamida masuk ke dalam mobil. Mereka sebentar lagi akan sampai di rumah tuan
Bharmal. Hamida terlihat begitu gelisah, apalagi mengingat perkataan Gulbadan
kalau saat ini Bharmal tengah sakit keras.
Sesampainya
di depan rumah Jodha. Hamida dan Jalal langsung turun dan mengetuk pintu sebuah
rumah papan yang kecil dan sederhana sekali. 'Klik...' terdengar suara pintu
terbuka.
Terlihat
sinar kegembiraan di wajah Hamida begitu melihat seorang wanita paruh baya yang
seusia dengannya membukakan pintu itu. Dia adalah Meinawati ibu Jodha. Hamida
langsung memeluk Meinawati dengan perasaan sedih bercampur haru.
Meinawati
mempersilahkan mereka masuk dan duduk di rumahnya yang sangat sederhana itu.
Jodha keluar dari dapur sambil membawa 3 Gelas teh untuk para tamu dan ibunya.
“Jodha
duduklah disini. Lihatlah siapa yang datang bertamu ke rumah sederhana kita ini?”
kata Meinawati sambil menarik tangan Jodha dan menduduk kan Jodha disampingnya.
Jodha
mendongak melihat para tamunya. Tapi kemudian pandangannya terfokus pada
seorang Pria berambut godrong dan berkumis tebal khasnya. Jodha langsung
berdiri dari duduknya sambil berkata dengan nada tidak suka. ”Ibu, kenapa pria
itu ada datang kemari? Bukankah dia yang sudah menghancurkan keluarga kita?
Lalu untuk apa dia datang ke rumah kita ini, apakah dia hanya ingin menambah
beban penderitaan pada kita. Tak bisakah dia tidak mencampuri urusan keluarga
orang lain? Aku sendiri bahkan tidak ingin melihat pria sombong ini menginjak
kan kakinya di rumah kita.“
Meinawati
menyuruh Jodha untuk kembali duduk dan bersikap sopan pada tamunya. Tapi Jodha
sama sekali tidak mengindah kan perintah ibunya itu. Melihat kelakuan Jodha
yang seperti ini, Meinawati merasa tidak enak hati dengan Hamida. ”Duduk Jodha!
Apa kamu tidak mendengar perintah ibu?”
Mendengar
perintah ibunya dengan nada membentak seperti itu, Jodha lalu beringsut duduk
disamping Meinawati masih dengan tatapan Sinisnya pada Jalal.
Hamida
mulai membuka pembicaraan dengan menyanyakan bagaimana kondisi ayah Jodha saat
ini. ”Meinawati, bagaimana dengan kondisi suamimu? Apakah dia sudah mulai
membaik?” Meinawati ingin menjawab pertanyaan Hamida barusan, namun Jodha telah
mendahui sebelum Meinawati berkata sedikit pun.
“Nyonya,
ayahku sedang sakit keras saat ini. Aku kira putramu itu sudah menceritakan
semuanya pada Anda. Seharusnya Nyonya tanyakan saja hal itu pada putra Anda.”
Mendengar
itu Hamida langsung melihat kearah Jalal yang saat itu sedang memendelikkan
matanya pada Jodha. Tapi Jodha seperti tidak takut akan tatapan yang
seakan-akan mematikan itu.
“Jalal,
kamu keterlaluan sekali nak. Kamu benar-benar tamak akan kekuasaan. Ya benar
memang ibu menginginkan kamu menjadi pengusaha ternama di India. Tapi tidak
dengan menghancurkan hidup orang seperti ini. Sekarang kamu minta maaflah pada
Meinawati dan keluarganya “
Jalal
hanya menggeleng. Hamida menatap Jalal dengan marah. Tapi Jalal tidak
menghiraukan hal itu. Dia tidak ingin martabat dan kehormatannya jatuh di
hadapan orang lain.
“Dia
memang sombong. Sekalipun dia yang bersalah, tapi dia tidak mau meminta maaf atas
perbuatannya itu. Sekarang aku tidak ingin melihat wajahnya lagi lebih lama.
Kalau dia mengerti ucapanku maka dia akan pergi dari sini!“ Kata Jodha sambil
menatap kearah Jalal.
Jalal
sudah berdiri hendak pergi dari sana, tapi kemudian Hamida menghentikannya untuk
tidak berperilaku tidak sopan seperti itu pada tuan rumah. Sementara Meina
malah memarahi Jodha yang terlalu kasar pada para tamunya.
“Jalal,
minta maaflah pada mereka sekarang. Kau benar-benar membuat ibu malu dan kecewa.
Ibu tidak pernah mengajarkan padamu untuk bersikap tidak sopan seperti ini. Kau
telah berjanji akan menjaga ibu selamanya, tapi lihat apa yang telah kau
lakukan benar-benar sangat menyakiti perasaan ibu,“ Kata Hamida dengan suara
yang bergetar menahan tangis.
Mendengar
perkataan ibunya yang bergetar seperti itu Jalal kembali lagi dan melihat mata
Ibunya yang sudah berkaca-kaca namun air matanya masih terbendung disana.
“Ibu...
Maafkan aku! aku tidak bermaksud untuk menyakiti hati ibu. Tapi, aku tidak bisa
mendengarkan penghinaan ini lebih lama lagi. Semua orang sangat memuji-muji
namaku. Tapi gadis itu telah sangat menjatuhkan martabatku.”
Hamida
mengambil tangan Jalal dan memperlihatkan jari manis Jalal yang melingkar
cincin disana. ”Kau tau ini Jalal? Jodha juga mempunyai cincin yang sama denganmu
seperti ini. Tapi tidak mengerti apa arti cincinmu ini?” kata Hamida. Jalal
hanya menggeryitkan alisnya yang tampak sangat polos dan tidak mengerti apa-
apa akan hal itu.
“Saat itu
kau masih sangat kecil Jalal. Tuan Bharmal yang memberikan cincin ini padamu.
Karna dia menginginkan anak pertamanya seorang laki-laki. Dan cincin yang
melingkar di jari putri tuan Bharmal itu adalah cincin pemberian dari Almarhum
ayahmu pada putri pertama mereka. Kalian sudah ditakdirkan untuk hidup bersama
nak. Kami, telah membuat kesepakatan untuk menjalin hubungan keluarga ketika
kalian sudah dewasa nanti. Dan sekarang kalian berdua sdh sama-sama dewasa.
Perjodohan ini tlh di sepakati oleh ayahmu juga. Tolong mengertilah akan hal
ini, Jalal.”
Jodha
langsung terkejut begitu mendengar penuturan dari Hamida. Tetapi berbeda dgn
Jalal sepertinya dia begitu senang mendengar kabar itu.
“Jadi
kapan aku bisa menikah dan hidup bersamanya selamanya?” tanya Jalal pada ibunya
tapi Pandangannya melihat ke arah Jodha yg msh tidak percaya dgn hal itu.
“Jadi itu
karna cincin ini? Karna aku memakainya oleh karna itu akan akan di nikahkan
dengannya. Kalau begitu aku akan melepas cincin ini dan membuangnya jauh-jauh
agar aku terbebas darinya.” Jodha hendak melepas cincin itu tapi Meinawati
menghentikannya.
“Jodha,
bknkah kau sudah berjanji untuk selalu memakai dan menjaga cincin itu? Knp
sekarang kau ingin melepasnya Jodha?” tanya Meinawati.
“Ibu,
kenapa ibu tidak mengerti juga? Aku membencinya bu, aku tdk bisa hidup seatap
dgn seseorang yang tlh menghancurkan keluarga kita. Dia mungkin terlihat senang
dgn pernikahan ini, tapi apa yg akan terjadi setelah aku menjadi istrinya nanti?
Bagaimana dgn nasibku selanjutnya?”
Meinawati
menatap dalam ke manik mata Jodha. Ada sebuah beban yg sangat berat untk di
pikulnya saat ini. Tp mereka telah menyepakati perjodohan itu sejak mereka
masih bayi. Ia akan tdk pernah bisa untuk melanggar janjinya itu sendiri.
“Ibu,
sekarang aku mengerti knp ibu melarang Surya mendekatiku?”
Jodha
bertanya dengan air mata yang yang mengalir deras dari sudut matanya. Meinawati
juga ikut bersedih dengan kesedihan putrinya saat itu.
“Jodha...
Kau harus tau nak, ketika seseorang telah berjanji, maka perkataannya itu sudah
di pegang oleh dewa. Bagaimana bisa ibu melanggar janji ibu pada dewa?
Percayalah, Jalal akan membahagiankan hidupmu,[ Nak!” kata Meinawati sembari
menghapus air mata yang menggenang di sudut matanya.
“Ibu? Apa
nasibku selanjutnya akan berada di tangan Jalal? Aku membencinya... Bukankah
ibu pernah berkata bahwa dalam setiap rumah tangga harus dilandasi dengan rasa
Cinta? Lalu apa memang begini takdir dari dewa untukku?”
“Jodha,
bibi Mohon padamu maafkanlah Jalal. Dia sebenarnya adalah orang yang berhati
lembut sekali. Tapi terkadang dia juga bisa marah, dan ketika itu emosinya mengalahkan
segalanya. Jadi, tolong maafkanlah Jalal!” Hamida memohon pada Jodha sambil
menangkupkan tangannya di depan dada.
“Nyonya
tidak perlu memohon padaku seperti ini. Aku akan menanyakan hal ini pada ayahku,
Ayahku sudah ku anggap seorang dewa dalam keluarga kami. Apapun yang ayahku katakan
nanti, Aku akan menuruti semua perkataannya. Dan aku yakin ayah pasti tidak
akan setuju dengan hal ini!” Jodha menurunkan tangan Hamida yang memohon
padanya. Lalu mengajak Hamida menemui ayahnya yang diikuti Jalal menguntit di
belakang ibunya.
Terdengar
suara pintu dibuka. Bharmal melihat kearah pintu dan setelah melihat siapa yang
datang, Bharmal kelihatan begitu gembira sekali.
“Tuan
Bharmal, bagaimana keadaanmu? Apa kau sudah mulai membaik?” tanya Hamida pada
Bharmal.
“Tentu
saja Hamida. Owh iya, maaf kalau rumahku tidak layak untuk di kunjungi oleh
orang kaya sepertimu.” Bharmal tersenyum pada Hamida.
Lalu
pandangannya melihat ke arah Jodha yang terlihat baru saja menangis. Bharmal
menyuruh Jodha mendekat padanya dan meminta Jodha untuk menceritakan apa telah
terjadi padanya.
“Jodha,
ada apa nak? Apa kamu baru saja menangis? Apa yang kamu tangisi saat ini. Kamu
lihat, keadaan ayah sudah mulai membaik saat ini.”
Jodha
kembali menangis dan memeluk ayahnya. Bharmal hanya mengusap rambut Jodha
dengan sangat lembut. Bharmal benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada
Jodha.
“Ayah,
bagi seorang anak ayahnya adalah dewanya. Mereka yakin dengan apapun yang
dikatakan ayahnya adalah benar. Bukankah ayah pernah mengatakan seperti itu
dulu padaku? Dan aku yakin apapun yang menjadi keputusan seorang ayah, itu
adalah keputusan yang baik bagi sang anak.“
Bharmal
mendongakkan wajah Jodha yang bersimbah air mata. Hatinya merasakan sesuatu
yang buruk telah terjadi pada Jodha.
“Benar
Jodha, ayah pernah mengatakan seperti padamu. Tapi kamu kenapa? Katakan pada
ayah.” tanya Bharmal dengan perasaan sedih bercampur penasaran.
“Kata nyonya
Hamida, aku dan Jalal telah di jodoh kan sejak kami kecil. Lalu apakah
perjodohan itu masih berlaku sampai saat ini padaku? Ayah... Apa aku akan tetap
menikah dengan Jalal. Kata ibu, kalian telah menyepakati hal itu dan membuat
perjanjian. Aku tau ayah tidak akan pernah mau melanggar janji ayah pada dewa,
tapi ayah apa yang akan terjadi padaku ketika aku akan menikah dengannya nanti?”
“Jodha
maafkan ayah, tapi semua itu memang benar adanya. Bahkan ayah sendiri tidak
bisa melakukan apapun padamu. Ayah telah membuat janji itu. Ayah tidak bisa
melanggarnya “
“Lalu apa
keputusan ayah sekarang? Apa ayah akan tetap menikahkanku dengan Jalal? Tapi
aku mohon ayah pikirkan lagi dengan hal itu. Aku membencinya ayah, bagaimana
bisa rumah tangga kami akan hidup bahagia? Aku sendiri bahkan tidak ingin
melihat wajah penghancurnya itu.”
“Jodha
kamu harus tau nak, ketika seorang lelaki menikah dia akan bertanggung jawab
pada keluarganya. Dia akan meninggalkan semua perilaku buruknya dulu. Dia akan
belajar untuk menjaga istrinya dgn baik.”
“Tapi ayah
aku tidak mencintainya dan dia juga tdk mencintaiku. Dia juga telah membuat
ayah menjadi sakit seperti ini, lalu apa ayah akan merestui pernikahanku dgnnya.
Bagaimana kalau Jalal hanya ingin membalaskan dendamnya padaku saja. Tapi aku
percaya dalam setiap keputusanmu. Aku tdk akan membantahnya lagi! Tolong
sekarang katakan padaku, apa keputusan ayah saat ini?” Jodha menundukkan kepalanya
tak mampu mendengar jika ayahnya nanti akan menyetujui pernikahan itu.
“Jodha,
ayah memutuskan, agar kamu segera menikah dgn Jalal. Aku yakin dia akan menjadi
suami yang baik bagi mu. Dia akan selalu menjaga dan menyayangi mu. Jadilah
istri yg selalu mematuhi perintah suami. Apa pun perselisihan yg terjadi dlm
rumah tangga kalian nanti, itu adalah tantangan bagi kalian berdua.” Jodha
tertunduk sedih dan menghapus air matanya.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~