Jalal lalu bertanya pada salah satu
pembantu yang lewat, apakah dia semalam yang masih terjaga. Pembantu itu
berkata bukan dia, tapi temannya. Jalal lalu bertanya dimana temannya itu, dan
ingin segera menemuinya. Pembantu yang dimaksud sedang bersih-bersih di ruang
belajar Jalal. Jalal lalu memanggilnya.
Jalal: "Hey kau! Biasakah kemari
sebentar?"
Pembantu: "Baik, Tuan. Apa yang
bisa aku bantu?"
Jalal: "Kalau tidak salah, kau
semalam yang masih terjaga sampai larut'kan ?"
Pembantu: "Benar, Tuan."
Jalal: "Bisakah kau katakan
apakah kau atau orang lain yang melihatku masuk ke rumah?"
Pembantu: "Benar, Tuan. Aku
memang yang melihat Anda masuk ke rumah. Namun, Anda tidak sendirian."
Jalal: "Apa maksudmu?"
Pembantu: "Semalam Anda terlihat
kurang sehat. Dan seorang wanita yang membopong Anda. Dia bahkan menanyakan
arah kamar Anda pada saya. Jadi, kurasa dia membawa Anda kesana."
Jalal: "Wanita itu,, bagaimana
rupanya? Maksudku, apa yang dia kenakan?"
Pembantu: "Dia agak tinggi dan
sangat cantik, Tuan. Matanya begitu menerawang. Dan dia memakai gaun berwarna
merah."
Jalal: ("Hhm.. Wanita cantik dan bergaun
merah? Itu hanya berarti satu hal. Wanita itu adalah Jodha!"
Batinnya) "Baiklah, terima kasih. Kau boleh melanjutkan pekerjaanmu."
Pembantu: "Terima kasih,
Tuan."
si Pembantu pun pergi melanjutkan
pekerjaannya. Jalal bergegas pergi dan menuju meja makan untuk sarapan bersama
Ibunya.
Jalal: "Jadi Jodha,, kau yang
membaringkanku di tempat tidur semalam, ya.. Luar biasa! Aku harap kau langsung
menginap saja semalam. Aku akan memperoleh kesenangan hanya dengan
menyaksikanmu tertidur. Itu akan menjadi hal yang sangat menarik."
Jalal memasuki ruang makan, dimana
Ibunya sudah menunggunya dari tadi. Mereka berdua tersenyum dan Jalal langsung
duduk di salah satu kursi.
Jalal: "Selamat pagi, Ibu."
Ibu: "Selamat pagi, sayang.
Bagaimana acaranya semalam?"
Jalal: "Yah, menyenangkan. Adham
dan aku pergi bersama, lalu kami beetemu Jodha dan beberapa karyawan lainnya
disana."
Ibu: (Tersenyum lebar mendengar nama
Jodha) "Benarkah? Apa kalian semua bersenang-senang?"
Jalal: Iya, kami semua sangat bersenang-senang
disana."
Jalal tak mau bercerita pada Ibunya
kalau Jodha semalam mengantarnya pulang. Jika dia cerita pada Ibunya, maka dia
harus menceritakan seluruh kejadiannya yang bermula dari Adham yang berniat
mencelakai Jodha dengan minuman beralkohol.
Namun Ibunya juga ingin tahu lebih
banyak, jadi dia bertanya pada Jalal.
Ibu: "Sayang, apa yang dia
kenakan semalam? Dan siapa saja yang bersamanya?"
Jalal: "Dia memakai gaun merah.
Dia bersama Salima, sekretarisku dan Ruqaiyya, si resepsionis. Sepertinya Jodha
telah menjadi sahabat bagi mereka. Mereka bahkan sering makan siang
bersama."
Ibu: "Wah, itu bagus sekali.
Jodha dengan mudah membaur dengan orang. Bahkan waktu itu, saat dia datang
kerumah, dia berbincang-bincang dengan Ibu. Dia memberikan aura yang nyaman dan
bersahabat. Dia juga sangat mudah disukai. Tak heran, dia mempunyai banyak
teman.
Jalal tersenyum mendengar Ibunya yang
terus memuji Jodha. Pipinya menampakkan sedikit rona merah. Ibunya yang
melihatnya merona hanya tersenyum saja.
Ibu: "Ada apa, sayang? Siapa yang
kau pikirkan? Jodha?"
Saat Ibunya menyebut Jodha, Jalal yang
dari tadi terus membayangkannya, langsung menyadari ekspresinya dan merasa malu
karena sudah ketahuan.
Jalal: "Tidak,, tidak, Ibu. Aku
tadi hanya sedang mengamatimu. Bagaimana mungkin aku memikirkannya?"
Ibu: "Berbohonglah sebanyak yang kau mau,
sayangku. Tapi aku adalah Ibumu. Kau tidak bisa berbohong padaku. Ibu telah
melihat bagaimana mata dan wajahmu begitu berbinar-binar saat menyebut nama Jodha." Batinnya sambil tersenyum
"Oh ya, bagaimana keadaan Adham
sekarang? Ibu sudah lama sekali tidak melihatnya. Hubungilah dia
sesekali."
Jalal sedikit kesal mendengar nama
Adham. Dia lalu mengernyitkan dahinya.
Ibu: "Ada apa, sayang? Kenapa
wajahmu jadi begitu?"
Jalal: "Tidak apa-apa, Ibu. Hanya
teringat pekerjaan dikantor saja. Dimana makanannya? Aku lapar sekali
nih."
Ibu: "Lihatlah, makanannya sudah
datang."
Pembantu pun membawa nampan berisi
beragam jenis hidangan sandwhich. Jalal menghabiskan makanannya dan pergi
menuju ruang belajarnya. Jalal masuk dengan wajah yang tegang. Dia sangat
mengenal Adham. Rencananya sudah gagal semalam, tapi Jalal yakin kalau dia tak
akan berhenti mencoba.
Jalal: "Aku harus mengetahui apa
yang akan direncanakannya nanti. Dengan begitu, aku bisa mencegahnya. Aku harus
bisa membuatnya percaya padaku, tanpa harus mengetahui niatku yang sebenarnya.
Jika tidak, dia takkan mau memberitahuku rencananya."
Jalal sangat gelisah dan cemas. Dia
tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia memutuskan untuk menelpon Adham saat itu
juga.
Adham sejak semalam menginap
dirumahnya Benazir. Dia yang sedang tertidur, lalu mendengar ponselnya berbunyi.
Dia melihat nama Jalal yang tertera dilayar, dan langsung menuju kekamar mandi
untuk menjawabnya.
Adham: "Halo, selamat pagi,
Jalal."
Jalal: "Selamat pagi, Adham. Apa
tadi kau sedang tertidur?"
Adham: "Iya, betul. Lalu aku
mendengar ponselku berbunyi. Kenapa kau menelpon?"
(Jalal harus bertindak dengan perlahan
agar Adham tak curiga.)
Jalal: "Oh ya, bagaimana keadaan
Ibumu?"
Adham: "Dia baik-baik saja.
Kenapa kau bertanya?"
Jalal: "Bukankah kau sendiri yang
bilang kalau Ibumu sedang sakit, makanya semalam kau pulang?"
Lidah Adham langsung keluh. Dia sudah
sangat sibuk dengan Benazir dan urusannya tentang Jodha, hingga membuatnya lupa
tentang hal lainnya.
Adham: (Dengan gugup) "Oh iya,,
aku memang bilang begitu. Kau tahu, aku terlalu tegang hingga aku lupa
perkataanku sendiri."
Jalal: "Baiklah, lupakan saja.
Apa kau bebas siang ini?"
Adham: "Kenapa kau
bertanya?"
Jalal: "Ibuku mau kau datang
untuk makan siang bersama."
Sejenak Adham teringat dengan janjinya
pada Benazir untuk mengajaknya makan siang.
Adham: "Umm.. Maaf, tapi aku tak
bisa datang hari ini. Aku sudah punya janji. Tapi aku bisa datng besok jika
Bibi tak keberatan."
Jalal: "Iya, besok juga bisa.
Ngomong-ngomong, apa semalam kau menikmati acaranya?"
Adham: "Oh ya! Tentu saja.
Tempatnya sangat keren. Tapi Jodha sudah pasti yang menjadi pusat
perhatiannya."
Jalal tak terima mendengar nama manis
Jodha yang keluar dari mulutnya yang kotor. Dia agak sedikit kesal, namun bisa
dia kendalikan.
Jalal: "Baiklah. Kenapa kau
begitu tertarik padanya? Dia hanyalah wanita biasa. Kau bisa menemukan wanita
yang lebih baik darinya."
Adham: "Biasa? Ya, mungkin. Tapi
dia itu sangat seksi! Ada sesuatu yang terjadi padaku saat pertama melihatnya.
Dia sangat luarbiasa. Aku tak pernah bertemu wanita sepertia dirinya. Dia
adalah kombinasi sempurna antara cantik dan cerdas."
Jalal: "Saat aku menghajarmu, akan ada banyak
hal yang akan terjadi padamu! Berani sekali kau bicara begitu tentang Jodha
padaku!" Batinnya.
"Baiklah, tapi dia bahkan tidak menatapmu semalam. Jadi, apa yang akan kau
lakukan mengenai hal itu?"
Adham: "Memangnya kenapa kalau
dia tak menatapku, aku akan tetap bisa menidurinya, aku yakin. Semalam, aku
telah mencampur vodka ke dalam minumannya. Tapi setelah dia minum, tidak
terjadi apapun padanya. Aku jadi heran sekali."
Amarah Jalal hampir mencapai
puncaknya. Kata 'menidurinya' telah membuatnya marah. Dia ingin sekali
menghajar Jalal seketika.
Jalal: ("Beraninya kau berkata seperti itu!
Adham, aku ingin sekali menghajarmu habis-habisan karena berbicara begitu
tentang Jodha! Dia adalah milikku, dan hanya milkku! Sekarang telah terungkap
sendiri. Kau telah mengakui bahwa kau yang telah mencampur vodka ke dalam
minumannya, Dasar pecundang menyedihkan!" Batinnya.)
"Adham, apa maksudmu? Kau sungguh
melakukannya? Tahukkah kau kalau dia bisa saja membuat surat keluhan pada
polisi untuk melawanmu karena hal ini?"
Adham: "Tenanglah, Jalal. Bahkan
jika dia jadi mabuk dan berhasil kutiduri, dia takkan bisa melakukan apa-apa.
Karena aku akan katakn padanya kalau dia sendiri yang menginginkanku. Dan dia
akan berpikir kalai itu semua terjadi karena ketidaksadarannya."
Jalal coba menenangkan dirinya. Dia
sudah hilang kendali akan emosinya untuk melanjutkan percakapannya. Dia merasa
merinding, menngingat banyaknya wanita yang telah Adham lecehkan dan
direndahkan. Namun, dia harus tetap bersikukuh untuk melanjutkan percakapannya
demi Jodha.
Jalal: "Seriuslah, Adham. Apakah
kau tak pernah memikirkan hal lain selain sex? Aku cukup lama ini mengenal
Jodha. Dia bukanlah tipe wanita seperti itu. Dia sangat jauh dari yang kau
bayangkan. Dia adalah wanita yang bermartabat dan menghormati dirinya sendiri.
Jadi hargailah keinginan dan perasaannya."
Jalal menekankan nada suaranya. Adham
agak sedikit terkejut dengan perkataan Jalal.
Adham: "Woah!! Tenanglah. Aku
tidak tau kalau kau bisa begitu serius tentang sesuatu. Jangan bilang kalau kau
menyukainya."
Jalal: "Tidak,, itu hanyalah
tugasku memastikan karyawanku aman dan selamat."
Adham: "Aman dan selamat? Yang
benar saja. Perkataanmu tadi terdengar seperti seorang kekasih yang posesif.
Seakan-akan dia adalah milikmu dan tak ada seorang pun berhak meliriknya. Dan
kau bilang kalau kau tidak menyukainya? Lalu, kenapa bersikap protektif begitu?
Setidaknya, biarakan aku menikmati dirinya. Kau lanjutkan saja hubunganmu
dengan Benazir."
Jalal merasa telah hilang kendali
setiap detiknya. Dia akhirnya memutuskan untuk menutup teleponnya, sebelum dia
sepenuhnya kehilan kendali. Dia terduduk dikursi, memikirkan tentang semua
perkataan Adham tadi, khusunya di bagian terakhir.
Jalal: "Apa yang terjadi padaku?
Pikiranku tak pernah sekacau ini. Aku memang tidak menyukainya. Lalu kenapa aku
besikap terlalu posesif semalam? Dia bukanlah milik pribadiku. Adham berhak
meliriknya dan berbicara padanya. Lalu kenpa aku begitu kesal dan marah. Aku
tahu kalau nada dan caranya berbicara pada wanita terdengar payah dan tidak
menghormati. Dia bahkan pernah melakukan hal ini sebelumnya dan itu tak pernah
menggangguku. Tapi apa yang terjadi semalam? Kenapa aku merasa tidak terima
mengetahui Adham yg ingin meniduri Jodha? Dan meminum vodka itu? Sungguh,,
kenapa aku narus meminumnya? Aku bukanlah pengawalnya dan dia bukanlah tanggung
jawabku. Padahal vodka adalah minuman yang paling kubenci. Lalu kenapa aku
tetap meminumnya? Ya Allah.. Aku tak pernah sebingung ini. Tolong jernihkanlah
pikiranku."