Javeda terus menangis di kamar Maham Anga
karena Adham kini beada dipenjara. Maham Anga terus mondar-mandir dan menyuruhnya
untuk berhenti menangis. Namun siapa yang bisa membuat Javeda diam, Javeda
terus saja menangis, “Aku tidak bisa menghentikan air mata ini, ibu. Mereka
telah memenjarakan suamiku. Dan... kau sebagai perdana menteri tidak bisa
melakukan apa-apa. Bahkan kau tak memberitahuku tentang hal ini.”
Maham Anga benar-benar pusing karena suara
tangis Javeda, namun ia berusaha mengendalikan dirinya, “Aku tidak
memberitahumu Javeda karena tidak ingin membuatmu khawatir.”
Javeda menimpali, “Tapi bagaimana aku tidak
khawatir. Aku di istana ini, sedangkan suamiku menghabiskan waktunya dipenjara
bawah tanah. Lebih baik mereka memenjarakan aku bersamanya. Percayalah ibu,
jika terjadi seperti ini saat aku pergi, aku tidak akan pulang ke rumah orang
tuaku.”
Maham Anga mulai kesal dan berteriak, “Kau
sudah selesai? Diam dan berhentilah menangis. Apakah kau akan protes pada Yang
Mulia. Atau kau mau mempengaruhi Yang Mulia agar mengampuninya?
Javeda bangkit dari duduknya. Ia kesal
karena Jalal telah memenjarakan Adham dan tidak mengijinkan saja Adham menikahi
Tasneem.
Maham Anga berjalan ke tempat duduknya dan
berkata dengan halus, “Biarkan saja Adham dipenjara.” Javeda masih protes
karena Maham Anga membiarkan Adham dipenjara.
Maham Anga kembali kesal dan langsung
berdiri. Ia berkata dengan keras dihadapan Javeda yang menunduk, “Karena jika
tidak aku biarkan Adham dipenajra, massa akan meranjamnya hingga tak terbentuk.
Dan kau akan menajdi janda! Kau juga harus memakai baju putih di sepanjang
hidupmu.”
Javeda merasa ucapannya Maham Anga itu
benar. Ia mendekati Maham Anga yang sedang duduk dan menanyakan keadaan Jalal
dipenjara. Maham Anga menjawab dengan kesal, “Ia menikamatinya. Ia sedang
bersenang-senang, tolol! Menurutmu apa yang dilakukan seseorang didalam
penjara?”
Javeda bersimpuh dihadapan Maham dan
berkata dengan lembut, “ia pasti sedang susah, kan?” Maham pun menjawab dengan
lembut, “Ya, dia sangat menderita. Jangan khawatir, secepatnya aku akan mencari
jalan keluar, agar bisa segera membebaskannya dari balik jeruji besi.” Maham
menyentuh kepala Javeda dengan lembut, “Jangan khawatir Javeda. Dan tak usah
menangis.”
Javeda bangkit dengan wajah yang ceria,
“Aku tidak akan menangis Ibu. Kau telah mengingatkanku bahwa aku masih bisa
memakai pakaian yang penuh warna ini.”
Maham Anga bengong dengan mulut terbuka dan
menatap Javeda yang terus berbicara, “Aku telah membeli pakaian yang indah. Dan
tak akan kubiarkan mereka sia-sia. Aku tidak akan menangis lagi sekarang. Apa
kau mau melihat koleksi bajuku?”
Maham Anga menggeleng dengan mulutnya yang
terbuka. Javeda keluar dari kamar Maham Anga dan mengatakan bahwa ia akan membawa
pakaiannya.
Setelah Javeda pergi, Maham Anga berkata
pada dirinya sendiri dengan geram, “Malapetaka apa hingga Javeda bisa memiliki
istri seperti Javeda? Dia memang benar-benar dungu. Bahkan jika Adham Khan
mati, aku yakin dia akan memakai baju norak dan pergi ke perayaan. Ya Tuhan.
Apa dosa kami hingga harus menanggung semua ini?” *Ini Maham Anga belum sadar
juga ya atas semua dosanya. Kenapa masih bertanya, padahal dosanya sudah
menggunung.. LOL*
Hari sudah berganti senja. Maham Anga
mondar-mandir menunggu kedatangan Resham. Saat Resham datang, ia menanyakan
keberadaan Ramtanu. Maham Anga kesal saat tahu bahwa Ramtanu tidak mau datang,
“Aku tahu dia adalah musisi hebat. Tapi aku adalah Perdana Menteri kerajaan
Mughal. Dia tidak boleh menolak undanganku. Hari ini, aku harus bisa meyakinkan
Ramtanu agar sebisa mungkin menyanyi dipersidangan.”
Resham bertanya apa untungnya bagi mereka
dengan Ramtanu bernyanyi dipersidangan. Maham Anga menjawab, “Apa yang tidak
bisa kulakukan, Ramtanu yang akan melakukannya. Sihir dan musiknya, akan
membuat keajaiban. Jika dia berbakat dibidangnya, maka aku berbakat
dibidangku.” Maham kemudian mengatakan jika Ramtanu keras kepala, ia akan
meyakinkannya.
Maham Anga akhirnya pergi keruangan
Ramtanu. Ia duduk kemudian memberi salam kepada Ramtanu yang sedang berlatih dan
memperkenalkan dirinya. Ramtanu menjawabnya dengan sinis, “Saat ini bagiku kau
tidak lebih dari elemen pengganggu. Kau menggangguku saat aku berlatih.
Silahkan pergi.”
Ramtanu kembali membuka matanya saat Maham
mengatakan bahwa Ramtanu tentu perlu berlatih karena akan tampil dihadapan
Raja. Ramtanu tak sependapat dengannya, “Bagiku musik adalah perayaan. Dan aku
berlatih karena bisa menenangkanku. Aku lakukan demi jiwaku. Aku berlatih bukan
karena akan tampil.”
Raut wajah Maham Anga berubah kesal. Ia
meminta maaf dan meminta Ramtanu menayakikan sebuah lagu secara khusus. Maham
Anga belum menyelesaikan ucapannya karena Ramtanu menyelanya, “Aku tak menerima
permintaan dari siapapun.”
Maham Anga beranjak dan berkata dalam hati,
“Jika dia tidak melakukan apa yang aku katakan, aku akan hancurkan keluarganya.
Dan Maham Anga pun berbalik untuk pergi.
Ramtanu menghentikannya dengan ucapannya,
“Aku tahu apa yang ada didalam fikiranmu saat ini. jika aku tak melakukan apa
yang kau katakan, kau akan menghancurkan keluargaku.” Maham Anga berbalik
karena terkejut. Ramtanu melanjutkan ucapannya, “Itu yang kau fikirkan bukan?
Jika begitu, maka katakan pada Yang Mulia, aku tidak akan menyanyi
dipersidangan sore ini.”
Maham Anga mulai melunak, ia pun
mengutarakan keinginannya. “Aku hanya ingin kau bernyanyi dipersidangan ini.
Aku berharap kau menyanyikan sebuah lagu yang membangkitkan rasa cinta pada
semua orang. Musikmu tak hanya akan dikenang sore ini, namun juga akan
membangkitkan rasa cinta dan ketentraman pada semua orang. Aku sudah mendengar,
bahwa musikmu sangat kuat dan bisa menjadi cahaya. Kau bisa mendatangkan hujan
dengan suaramu. Kau bisa membangkitkan rasa cinta dihati seseorang.”
Ramtanu membenarkannya. Ia pun menanyakan
lagu apa yang diinginkan Maham Anga. Maham Anga menjawab bahwa ia ingin Ramtanu
membawakan lagu cinta untuk Jalal dan Jodha, “Bagaimana aku jelaskan padamu?
Selalu ada jarak dalam hubungan Yang Mulia dan Ratu Jodha. Aku sangat berharap,
keajaiban musikmu bisa menjadi jembatan diantara mereka. Aku berharap mereka
bisa semakin dekat. Dan tentu ini akan membantu kami untuk memperoleh putra
mahkota kerajaan ini. jika kau berhasil, maka seluruh raja kerajaan Mughal akan
sanagt berhutang budi padamu.”
Ramtanu tamoak memikirkan ucapan Maham
Anga. Dan setelah menyelesaikan ucapannya, Maham Anga memberi salam kemudian
keluar dari ruangan Ramtanu.
Jalal kini sudah berada di Diwan e Khass.
Semua orang berdiri dan memberi salam. Setelah membalas salam mereka, Jalal pun
duduk di singgah sananya.
Tirai dibuka. Semua orang terkejut melihat
Ramtanu yang tenggelam dengan lamunanya. Jodha yang melihatnya khawatir jika
Jalal tersinggung karenanya.
Tak berapa lama, Ramtanu membuka matanya
dan memberi salam pada Jalal, “Aku tidak tahu kau sudah disini. Aku biasanya
tak menyadari apapun saat aku sedang memikirkan musik.”
Jalal menimpali, “Aku tak masalah. Aku
menghargai orang yang memandang pekerjaannya lebih penting dari dunia ini.”
“Bagiku musik adalah Tuhan.”
“Luar biasa, Subhanallah.”
“Kau perlu menunggu untuk beberapa saat.
Aku perlu menyetel alat musikku.”
“Orang biasanya menungguku. Aku tak
menunggu orang lain.”
“Tapi siapa yang bilang padamu, bahwa
seniman itu mirip orang lain.”
“Aku sangat bersemangat untuk mendengarkan
musikmu.”
Ramtanu mulai menyetel alat musiknya dan
mencoba suaranya. Tiba-tiba ia batuk dan mengatakan bahwa suaranya tak mau
menyanyi...
Jalal menyela, “Itu karena kau fikir aku
tak pantas mendenagrkan musikmu.”
Ramtanu menjawabnya dengan santai, “Aku sih
tidak. Tapi mungkin saja suaraku berpendapat begitu. Mungkin itu sebabnya aku
tak bisa memaksa diriku untuk bernyanyi.”
Dengan cepat Jalal mengambil pisaunya.
Suasanya menajdi tegang. Namun Ramtanu masih melayaninya dengan santai, “Tak
ada gunanya kau membunuhku. Kau tetap saja tak akan bisa mendenagrkan musikku,
dan akhirnya kau akan kehilangan seniman handal.”
“Aku selalu mendapatkan apa yang aku
inginkan.” Jalal langsung melemparkan pisaunya. Ramtanu berteriak. Namun pisau
itu membuatnya mati. Pisau yang dilemparkan Jalal mendarat di antara lengan dan
badannya. Semua orang terkejut, Jodha dan Hamida langsung berdiri. Maham dan
Resham hanya melongo (bahasa indonesianya apa ya? Hihihi)
Jalal berkata, “Aku sudah buktikan. Aku
telah mengembalikan suaramu.” Jalal menunjuk Ramtanu, “Aku yakin kau tak
keberatan bernyanyi dihadapanku.”
Ramtanu yang sedari tadi tersenyum
menjawab, “Kau mengesankanku. Kau bisa menjawabku dengan baik.”
Ramtanu memulai musiknya dan para Ratu
kembali duduk.
Semuanya menikmati dan tenggelam dalam lagu
yang dibawakan oleh Ramtanu. Jalal menikmati lagu yang dibawakan Ramtanu kemudian melirik ke arah Jodha. Maham Anga yang
melihatnya juga ikut tersenyum karena rencananya telah berhasil.
Pelayan memberikan minuman untuk Jalal.
Jalal menerimanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Jodha. Jodha juga
meliriknya dan mereka sama-sama tersenyum.
Kini Jodha berada di pemandian. [Pas scene
ini, backsound nya sama dengan backsound sinopsis ini] Ia berbaring dan
rambutnya terurai kedalam air. Menyadari kedatangan Jalal, Jodha merasa malu
dan mengalihkan pandangannya.
Jalal duduk disampingnya. Ia membelai wajah
Jodha dengan bulu merak. Jodha menutup matanya, dan Jalal terus membelainya hingga
ke tubuhnya.
Jalal menggenggam tangannya kemudian
menariknya hingga Jodha terbangun. Rambutnya yang panjang mengenai tubuh Jalal.
Jalal menyibakkan rambut Jodha. Jodha menunduk dan perlahan-lahan menatap Jalal.
Mereka berdua berpandangan dan tersenyum.
Jalal mempererat genggamannya.
Perlahan-lahan Jodha kembali berbaring. Jalal tersenyum kemudian mendekati
Jodha. Kini ia wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah Jodha. Ia hendak
menciumnya dan Jodha menutup matanya.
Akan tetapi, semua itu hanyalah khayalan
Jalal. Karena sekarang Jalal dan Jodha masih berada di Diwan. Jalal masih terus
minum dan menikmati memandang Jodha.
Jalal dan Jodha berada di tempat lain.
Jodha mengangkat gelasnya, sementara Jodha menuangkan minuman untuknya. Setelah
itu, Jodha menghampiri Jalal dan menyandarkan kepalanya diatas bahunya.
Namun itu bukanlah apa yang sebenarnya
terjadi. Mereka masih berada di Diwan. Jalal tersenyum menatap Jodha. Ia
melangkahkan kakinya ke depan Jodha. Ia mengulurkan tangannya dan Jodha langsung
menyambutnya. Mereka berdua berputar perlahan dengan diiringi lagu Ramtanu.
Mereka menghentikan langkah mereka. Jalal
berjalan kebelakang Jodha. Jodha berbalik dan tersenyum menatap Jalal. Dan itu
juga masih dalam khayalan Jalal.
Malam semakin larut. Jodha menyalakan
lilin-lilin kecil dikamarnya. Jalal datang dan memeluknya dari belakang. Jodha
begitu terkejut dan gugup karena Jalal begitu dekat dengannya. Kedua tangan
jalal mengunci tubuh Jodha dan berbisik, “Katakan. Katakan bahwa kau tidak
mencintaiku. Katakan bahwa kau tidak punya padaku.”
Jodha melepaskan pelukan Jalal dan
berpaling. Ia berbicara setengah berbisik, “Tidak. Aku tidak mencintaimu. Tidak
sama sekali.”
Jalal mendekatinya. Ia menyentuh pundak
Jodha kemudian menyusuri tangan Jodha dan menggenggam tangannya. Jodha terkejut
dengan perlakuan Jalal, “Apa yang kau lakukan.”
Jalal berbisik di telinga Jodha sambil
terus menggenggam tangannya, “Aku Jalal. Aku selalu mendapatkan apa yang aku
mau Ratu Jodha. Aku selalu menang.”
Jalal memasukkan jari-jarinya disela-sela
jari tangan Jodha dan menggenggamnya, “Jika kau tak mencintaiku.” Ia mencium
tangan Jodha, “Jika kau tak punya rasa padaku.” Kemudian ia membelai wajah Jodha
dengan telunjuknya, “Jika kau masih menganggapku bukan kekasihmu. Maka pergilah
dari sini.”
Tangan kanan Jalal kini menyentuh tangan
kanan Jodha. “Menajuhlah dariku.” Saat itu juga Jodha melepaskan pelukan Jalal,
namun mereka masih berpengan tangan. Jodha merasa bersalah, ia menggenggam
tangan Jalal dengan kedua tangannya, “Tidak Yang Mulia. Aku tak mengatakannya.”
Jalal langsung menarik Jodha, hingga kini
Jodha berada dibelakangnya. Tangan Jodha seakan memeluk tubuh Jalal. Jalal
mencium tangan kiri Jodha yang berada diatas pundaknya. Jodha tersipu namun ia
tampak menikmati kedekatan itu.
Jalal kembali berbisik, “Aku telah berjanji
padamu Ratu Jodha. Aku sudah berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa izinmu.”
Jalal kembali memasukkan jarinya kesela-sela jari Jodha, Menurutku kau sudah
mengijinkanku malam ini. karena kau memanggilku ke kamarmu.”
Jodha mengelak dan melepaskan dirinya. “Aku
tak memanggilku ke kamarku.”
Jalal tak melepaskannya begitu saja dan
kembali memeluknya dari belakang. “Jika begitu...” Jalal menyentuh pundak
Jodha, “Katakan saja padaku dan aku akan pergi.” Telapak tanggannya kembali
menyusuri lengan dan tangan Jodha, “Haruskah aku pergi.” Jodha menggenggam jari
Jalal.” Mereka bedua tersenyum. Kemudian Jalal mematikan lilin yang ada didekatnya dengan tangannya.
Semuanya gelap. Jalal dan Jodha kembali
berada di Diwan. Dan ternyata itu juga hanyalah khayalan Jalal yang semakin
mabuk.
Semua masih berada di Diwan. Jalal berdiri
dan Maham langsung menghampirinya. Semua juga ikut berdiri. Maham mencoba mencegah
Jalal yang mau pergi, “Kau mau kemana? Ramtanu belum selesai bernyanyi.” Jalal
yang sedang mabuk mengatakan bahwa ia ingin pergi. Semua kembali duduk setelah
kepergian Jalal. Maham Anga menatap kepergian Jalal.
Jalal berjalan dengan sempoyongan. Ia
benar-benar sudah sangat mabuk. Semua perabotan yang ada disekitarnya hampir
terjatuh dan bahkan sudah ada yang terjatuh karena untuk pegangan Jalal.
Maham Anga menghadang Jalal yang akan
beristirahat ke kamarnya. Ia melihat Jalal yang tampak gembira dan menanyakan
alasannya. Jalal menjawab dengan tersenyum, “Aku sangat gembira, karena surat
Ratu Jodha.”
Maham Anga menyentuh pipinya dengan kedua
telapak tangannya sambil tersenyum, “Ya Allah! Aku tak percaya ini Jalal.
Selamat. Aku ikut gembira, Yang Mulia dilanda perasaan seperti ini. Tampaknya
hatimu sudah mencair.”
Jalal terus tersenyum dan mengucapkan salam
untuk pergi. Namun Maham menghentikannya dengan memegang lengannya. “Jalal,
Ratu Jodha adalah Ratu yang pertama, yang kau luangkan banyak waktu untuk
memahaminya dan mengerti dia. Ratu Jodha sudah mengungkapkan rasa cintanya
padamu. Kini giliranmu untuk mengungkapkan perasaanmu padanya.”
Ekspresi Jalal seperti orang bodoh
mendengar ucapan Maham Anga. Maham Anga melanjutkan ucapannya, “Ratu Jodha
telah mengundangmu ke kamarnya. Kau harus menemuinya. Bolehkah aku bocorkan
sedikit rahasia padamu? Saat kau pergi menemui Ratu Jodha, mungkin saja dia
akan jinak-jinak merpati. Dia mungkin tidak akan mudah untuk ditaklukkan.
Mungkin saja dia akan menolak, kau mendekatinya. Jangan salah menanggapi semua
itu dan beranggapan bahwa dia tidak mencintaimu. Menurutku, kau harus pergi ke
kamar Ratu Jodha. Cintamu sedang menunggumu.”
Jalal mengangguk dan terus tersenyum. Ia
mengucapkan salam kemudian melangkah pergi. Setelah Jalal benar-benar pergi,
tatapan licik Maham Anga kembali muncul.
Komentar:
Episode ini berhasil membuatku
senyam-senyum sendiri. Di awal episode, saya sudah dibuat hampir tertawa karena
kekonyolan Javeda. Dan ekspresi Maham Anga yang hanya bengong menyaksikan
tingkah menantu kesayangannya tersebut. *Menantu kesayangan bukan ya? Secara,
menantu Maham Anga kan hanya satu. LOL*
Di tengah-tengah, saat menontonnya pertama
kali, saya benar-benar tertipu. Saya fikir itu Jodha dan Jalal memang sudah
menajdi suami istri sepenuhnya, tapi ternyata......
Di akhir pun masih juga dibuat tersenyum
oleh Shahenshah. Ya ampun, ekspresi wajahnya itu... Lucu banget deh kalau lihat
dia seperti orang bodoh begitu. Hihihi
Dan.. baru kali ini saya biat sinopsis
dengan hampir semua dialognya saya tulis.. Cukup melelahkan juga. Jadi tolong,
pengertiannya dan untuk saling menghargai. Jangan sampai ada yang Auto CoPas
karya orang lain tanpa izin dari mereka. Kita hidup hanya sekali, kan lebih
baik kalau damai daripada berperang. Okay...
PS:
Maaf ya jika cara penyampaiannya berbeda dari biasanya. Mungkin bahasanya
sedikit kacau dan sulit dimengerti. Saya memang menawarkan diri untuk menulis
sinopsis episode ini, sementara Hime akan melanjutkan sinopsis episode
selanjutnya.