PS: Terima kasih untuk semuanya yang membaca dan setia menunggu cerita ini. Meski lambat, tapi insyaallah tetap saya teruskan sampai end.
Love Protocol
Chapter 5
By Tyas Herawati Wardani
“Sir..”
Alis Raouf sedikit terangkat saat dia menyapa Mossef yang baru saja
pulang. Keheranan tampak jelas di wajahnya, melihat penampilan atasannya yang
jauh dari kata rapi.
Dua jam yang lalu, Mossef pergi dengan penampilan kasual terbaiknya.
Celana denim dengan jas mantel panjang yang menutupi kaus biru berkerah tinggi
di dalamnya. Tapi sekarang dia pulang dalam keadaan tanpa alas kaki, sambil
menenteng sepasang sepatu yang bukan miliknya, rambut berantakan dan wajah
lebam.
Namun anehnya, Mossef tampak santai, bahkan dia terlihat lebih bahagia
dari malam-malam sebelumnya.
Sebagai orang kepercayaannya, yang selama ini selalu mengawalnya
kemanapun, Raouf yakin belum pernah melihatnya seperti itu.
Mossef berjalan melewatinya dengan langkah santai, terus masuk ke dalam
kamar dan menutup pintunya. Raouf hanya menatapnya tanpa berkomentar apapun.
Di dalam kamarnya, Mossef meletakkan sepatu yang dibawanya dengan
hati-hati di atas meja dekat jendela seakan benda itu sangat berharga. Sneaker
berwarna coklat dengan temali kuning milik Katti yang tadi sempat menghantam
wajahnya dan meninggalkan bekas yang kini mulai membiru.
Setelah memastikan taksi yang ditumpangi Katti menurunkan wanita itu
dengan aman di apartemennya tadi, Mossef sengaja kembali ke tempat semula demi
mencari sepatu Katti yang terlempar entah kemana. Hanya mengandalkan cahaya
lampu jalan, serta tak mengindahkan kakinya yang beku karena tak beralas,
Mossef menghabiskan waktu hampir setengah jam hingga akhirnya dia menemukannya
di antara timbunan sampah di depan sebuah restoran.
Dan kini, sepatu itu telah bertengger dengan cantik di atas mejanya. Beberapa
kali Mossef tersenyum sendiri mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu
sambil menelusurkan jemarinya pada sepatu itu. Dan yang paling membuatnya
senang karena Katti mau mengenakan sepatunya. Rasanya bahkan jauh lebih
menyenangkan daripada saat dirinya menerima hadiah ataupun penghargaan.
Mossef melangkah ke depan jendela kaca, menatap kegelapan di depannya.
Tapi malam ini, semuanya terlihat lebih terang dan bersinar. Ada harapan baru
yang menghangatkan hatinya dan dia berharap Tuhan masih memberinya
keberuntungan.
Keesokan paginya, dengan perasaan yang lebih ringan, ditambah tidur
yang sangat nyenyak semalam, Mossef merapikan kaus kashmir hitamnya sambil
bersiul di depan cermin. Bahannya yang halus, menempel erat di tubuhnya,
mencetak otot-otot kekarnya dengan jelas. Massa tubuhnya tidak terlalu besar,
tapi posturnya memancarkan kekuatan yang tak mungkin disangkal.
Mossef lebih memilih penampilan yang terkesan kasual, meski untuk
menghadiri rapat penting sekalipun. Dia merasa tidak nyaman dengan setelan jas
berdasi, karena menurutnya ikatan dasi itu bisa sangat menyesakkan di lehernya.
Kaus polos dipadu dengan sweater atau jaket blazer serta celana denim adalah andalannya.
Pagi ini dia punya rencana, dan sambil tersenyum pada bayangannya di
cermin, dia sudah membayangkan semua rencananya akan berjalan lancar. Tapi
pertama-tama, dia harus mengatur semuanya serapi mungkin hingga Katti tidak
akan curiga.
Di apartemennya, Katti juga sedang bersiap-siap. Hari ini dia memutuskan
untuk menerima sebuah pekerjaan part time sebagai Auto Show Girl dari sebuah
pabrikan mobil terkenal yang sedang mengadakan eksibisi di Oslojford Hall. Bayarannya
lumayan untuk menutupi kebutuhannya sebelum dia mendapatkan pekerjaan baru.
Katti duduk di tepi ranjangnya sambil merapikan stocking di kedua ujung
kakinya. Tak sengaja, pandangannya tertuju pada sepasang sepatu yang dia
letakkan di sudut kamarnya semalam. Sepatu bot pendek pria milik Mossef yang
dia kenakan semalam setelah dia melempar sepatunya sendiri karena mengira
sedang dikuntit seseorang. Bukan hanya sekali ini matanya terarah kesana.
Bahkan sejak semalam, telah berulang kali dia berusaha menahannya, tapi
berkali-kali itu pula matanya kembali memandang ke arah sepatu itu.
__Kenapa aku mau memakainya
semalam?? Dan kenapa aku masih menyimpannya?? Harusnya kubuang saja!__
Katti melangkah cepat, tangannya terulur hendak meraihnya, namun
tiba-tiba dia berhenti, mengurungkan niatnya dan berjalan menjauh...
Dia menarik napas panjang, tak berdaya melawan perasaannya sendiri.
Kini tatapannya beralih ke jendela, memandang langit kelabu yang menyelimuti
kota. Cuaca sudah terasa makin dingin dan sebentar lagi kota ini akan berwarna
putih karena salju. Apartemennya juga sudah tidak mampu menahan cuaca dingin
dari luar karena sistem penghangatnya yang rusak. Mengingatkannya bahwa dia butuh
uang untuk memperbaikinya.
Katti berjalan kembali ke depan cermin, mengoleskan pelembab bibirnya
dan merapikan rambutnya sekali lagi.
Lola sedang menikmati serealnya di konter dapur saat Katti keluar dari
kamarnya.
“Kau mau pergi?”
“Iya. Aku ada pekerjaan di Oslojford Center...”
“Kau yakin akan pergi?”
“Memangnya kenapa?”
“Wajahmu kusut. Kau pasti tidak tidur semalaman. Dan jangan menyangkal.
Lingkaran hitam di bawah matamu tidak bisa kau sembunyikan.”
“Aku akan baik-baik saja. Dan terima kasih....”
“Untuk apa?”
“Karena tidak bertanya apa-apa soal semalam.”
“Tapi aku penasaran...”
Katti tersenyum lemah dan menjawab, “Aku akan menceritakannya kalau aku
sudah siap..”
Katti sungguh-sungguh tulus berterima kasih atas pengertian Lola.
Karena sejujurnya, sampai saat ini dia masih belum siap untuk membuka semuanya.
Bahkan menyebut namanyapun, masih sangat menyakitkan. Mungkin dengan bekerja,
dia bisa melupakan pria itu.
Mossef berjalan keluar dari Grand Hotel dengan perasaan yang lebih
ringan. Rencananya sudah dijalankan, tinggal menunggu jawaban dari Katti. Dia
sudah tidak sabar lagi, jadi dia putuskan untuk mengunjungi Katti di
apartemennya.
Langkahnya lebar-lebar, menaiki dua anak tangga sekaligus, itupun
baginya masih terasa kurang cepat.
Tepat di depan pintu apartemen Katti, Mossef menarik napas panjang,
berusaha menenangkan debar jantungnya. Perasaannya mirip seorang remaja yang
akan menjemput teman kencan pertamanya. Bahkan dia harus menahan diri agar
senyumnya tidak terlalu lebar di depan Katti.
Pintu itu dibuka setelah ketukan yang kedua.
Bukan Katti, tapi temannya yang membukakan pintu dengan wajah masam.
“Bisa aku bicara dengan Katti?” tanya Mossef dengan sopan.
“Dia tidak ada.” Jawabnya pendek sambil melipat tangannya di depan
dada.
“Benarkah?!” tanya Mossef tak percaya.
“Terserah kalau kau tidak percaya.” Lola sudah akan menutup pintu tapi
tangan Mossef lebih dulu menahannya.
“Maafkan aku. Dia pergi ke mana?”
“Aku tidak harus memberitahumu.”
“Kumohon ...” pinta Mossef.
Lola diam tidak menjawab,
“Kenapa kau membuntuti kami semalam?!” tanya Lola tiba-tiba dengan mata
menyipit penuh selidik.
“Aku hanya ingin menemui Katti.”
“Kenapa? Dan siapa kau sebenarnya?”
“Aku Mossef.”
“Aku tidak pernah melihatmu sebelum tadi malam. Katakan dengan jujur,
apa yang sebenarnya kau inginkan dari temanku?!”
“Aku hanya ingin bersamanya.”
“Memangnya sejak kapan kau mengenalnya?”
“Sejak sepuluh tahun yang lalu...”
“Berarti kau pria dari masa lalu Katti?”
“Apa dia pernah bercerita tentang aku?”
“Hanya pada bagian dia tidak ingin bertemu lagi denganmu.”
“Aku mengerti. Aku dulu melakukan kesalahan. Tapi aku sudah berubah dan
sekarang aku ingin menebus kesalahanku. Jadi kumohon, tolonglah aku, beritahu
aku dimana dia sekarang?”
Lola diam, berpikir apakah dia harus memberitahunya atau tidak.
Setelah beberapa saat, akhirnya Lola mengalah, “Aku tidak
mempercayaimu. Tapi aku tahu, Katti bisa menghadapi orang sepertimu. Sekarang
dia ada di Oslojford Center.”
“Terima kasih.” Jawab Mossef lega lalu bergegas pergi.
Lola memperhatikan dari belakang saat pria itu berjalan menjauh. Aneh,
pikirnya, dia tampak seperti pria baik-baik, tapi jika Katti tidak ingin
menemuinya lagi, pasti yang dilakukannya dulu sangat buruk.
Oslojford Center adalah sebuah convention hall yang cukup luas di
tengah kota Oslo. Dan tampaknya sedang ada sebuah event besar yang digelar di
sana, terlihat dari banyaknya baliho dan sebuah videotron besar yang sedang
menampilkan sebuah iklan merk mobil terkenal. Tidak sulit menemukan tempat seperti
itu.
Tanpa membuang waktu, Mossef masuk dan langsung berbaur dengan ratusan
pengunjung yang berada di tempat itu. Dia berjalan kesana kemari tanpa arah
yang jelas. Beberapa orang menatapnya tajam karena melihat gerak-geriknya yang
mencurigakan. Hampir saja dia menyerah dan terpikir untuk menunggu saja di
apartemen Katti, saat tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang sedang dicarinya...
Itu Katti.
Dengan penuh kelegaan, dia mendekat ke tempat wanita itu berdiri. Tapi seketika
langkahnya terhenti. Mossef terpaku. Katti terlihat sangat cantik, seksi dan
mengundang....
Mengenakan mantel bulu warna merah dengan aksen putih di ujung
lengannya, mirip seperti mantel yang dikenakan sinterklas, hanya saja ukurannya
sangat minim. Bagian bawahnya hanya menutupi sepertiga kakinya, sisanya terbuka
bagi mata semua pria. Stiletto merahnya makin menegaskan penampilannya yang
terlalu seksi.
Mossef belum pernah melihat Katti berpenampilan secantik itu. Kulitnya
yang mulus seakan mengundang untuk dibelai. Kakinya yang jenjang adalah misteri
yang menantang bagi setiap pria untuk menaklukkannya. Dan Mossef ingin memiliki
semuanya, hanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak rela bila ada pria lain yang
memandangi Katti.
Dan itulah yang dilakukan beberapa pria yang sedang mengerubungi wanita
itu. Mossef bisa mengenali nafsu di mata mereka. Dan dia tidak akan membiarkan
Katti menjadi objek nafsu mereka.
Mossef tidak tahan lagi. Setengah berlari, pria itu menerobos kerumunan
di depannya diikuti tatapan marah beberapa orang yang tubuhnya terdorong.
Katti yang tidak melihat kedatangannya, tiba-tiba merasakan seseorang
menarik tangannya dengan sangat kuat hingga tubuhnya berputar dan menabrak dada
kokoh milik seseorang.
Refleks Katti menepis tangannya dengan kasar. Lalu pandangannya
terangkat dan bertatapan dengan sepasang mata berwarna hitam yang sangat sangat
dikenalnya.
Begitu menyadari siapa yang ada di depannya, amarahnya tersulut dibawah
lapisan wajah dinginnya.
“Apa lagi yang kau lakukan sekarang?!”
“Kau tidak boleh bekerja seperti ini, apalagi berpakaian seperti...
itu...” jawabnya sambil menggerak-gerakkan tangan berusaha menunjukkan
maksudnya.
“Memangnya siapa kau berhak mengatur apa yang kulakukan?!”
“Terserah bagaimana anggapanmu, tapi jangan bekerja seperti ini lagi!”
“Memangnya kenapa?!” tantangnya.
“Kau lihat cara pria-pria itu memandangimu?! Mereka ingin menelanmu
bulat-bulat!”
“Aku tidak keberatan.. “
“APA??!” Mossef pikir dia salah dengar.
“Aku suka berpakaian seperti ini. Aku juga suka mereka memandangiku.
Aku memang ingin mereka terpesona padaku. Hanya karena satu orang pria tidak
bernafsu pada tubuhku, bukan berarti semua pria juga begitu. Aku hanyalah
wanita murahan biasa, yang suka diperhatikan dan dirayu, yang senang bila ada
pria yang memuji meski itu hanya bualan. Aku berdiri disini sambil menanti
seorang pria yang akan membawaku pulang nanti dan kami akan bercinta
semalaman..”
“Katti, apa yang kau katakan...?!”
“Sudah kukatakan dari awal, aku bukan Katti yang kau cari.”
Mereka saling pandang dalam diam, seperti dua orang musuh yang berhadapan
dan saling menilai kekuatan lawannya.
“Nona, apa pria ini mengganggumu?!” tanya seorang petugas keamanan yang
ternyata sudah berdiri di dekat mereka dengan suaranya yang terkesan galak.
Katti melirik ke arah Mossef yang memberi isyarat dengan menggelengkan
kepala agar gadis itu tidak mengusirnya.
“Iya. Tolong bawa dia pergi dari sini.” jawab Katti dingin.
Tanpa membuang waktu, dua orang petugas keamanan langsung menggelandang
Mossef dan menariknya pergi dari hadapan Katti.
“Lepaskan aku!” teriak Mossef sambil memberontak berusaha melepaskan
diri, tapi sepertinya kekuatannya tidak ada artinya dibandingkan dua orang
petugas yang berbadan gempal itu.
“Katti, jangan lakukan itu! Kita harus bicara....” teriak Mossef pada
Katti yang sudah membalikkan tubuhnya.
Katti mendengarnya, tapi dia tidak memedulikannya. Bahkan dia masih
mendengar Mossef meneriakkan namanya diantara dengung suara para pengunjung
yang memenuhi hall itu.
Tubuh Mossef jatuh tersungkur setelah dua orang petugas keamanan itu
mendorongnya pergi tepat di depan pintu keluar gedung. Sambil berusaha
menegakkan tubuhnya kembali, dia menepuk-nepuk lututnya untuk membersihkan debu
di celananya.
__‘Aku harus melakukan sesuatu.
Aku tidak peduli jika dia makin membenciku, yang penting Katti tidak bekerja
seperti itu lagi.....Apa-apaan yang dia
katakan? Mana ada pria yang tidak tergiur melihat tubuhnya..??’__
Tiba-tiba tubuh Mossef terhenyak dan membeku. Kilasan masa lalu seakan
menyambar dan menghantam dirinya dengan sangat keras.
Kata-kata itu....
Kata-kata yang sama...
Kata-kata yang pernah dia lontarkan dulu...
Pada Katti...
Dan sekarang kata-kata itu dilemparkan kembali tepat di wajahnya....
Ya....Mossef ingat semuanya sekarang.
Kala itu, dia dan Katti berdebat untuk yang kesekian kalinya.
“Mossef, kau tidak bisa melakukan
ini padaku....!” ujar Katti dengan nada tinggi sambil berjalan cepat di
belakangnya.
Pagi itu, sebenarnya Mossef ingin
menghindar, karena itulah dia bergegas masuk ke dalam ruangan kerjanya, tapi
rupanya Katti lebih dulu memergokinya. Bahkan Mossef curiga, Katti sudah
menunggunya dari tadi.
“Maafkan aku. Tapi aku tidak akan
berpura-pura lagi.” Balas Mossef begitu masuk ke dalam ruangannya. Dia
berpura-pura menyibukkan diri dengan memeriksa berkas-berkas yang tergeletak di
atas meja kerjanya.
“Pura-pura? Kau anggap hubungan
kita itu pura-pura?!”
“Hubungan kita tidak sedalam
itu....”
“Kita sudah merencanakan
pernikahan!”
“Itu keinginan ibuku. Bukan
keinginanku.”
“Tapi kau menyetujuinya.”
“Aku memang tidak menolaknya.
Tapi saat itu kupikir aku tidak akan jatuh cinta.”
“Tidak bisakah kau jatuh cinta
padaku saja?! Kita berdua cocok kan?! Atau jangan-jangan kau hanya pura-pura
baik padaku selama ini....” tukas Katti makin terdengar putus asa.
“Kita berdua memang cocok, tapi hanya
sebagai teman dan kita akan terus berteman baik. Apalagi kita bekerja dengan
sangat baik sebagai tim. Dan aku tidak pernah berpura-pura baik padamu, aku
menyayangimu seperti saudaraku sendiri.” Balas Mossef sungguh-sungguh.
“Kalau begitu aku yakin kau pasti
juga bisa mencintaiku...”
“Kau tidak tahu bagaimana jatuh
cinta itu. Kita tidak bisa mengatur kapan dan bagaimana kita jatuh cinta....”
“Tidak, aku yakin aku bisa
mengusahakannya. Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan. Bahkan aku bisa
merubah diriku menjadi seperti Nona Tilki...”
“Katti, semua itu tidak akan
sama. Aku minta maaf kalau aku sudah membuatmu kecewa. Kau boleh marah dan membenciku.
Tapi aku lebih memilih jujur dengan perasaanku..”
Mossef mulai ikut-ikutan frustasi
menghadapi sikap Katti yang terus mendesaknya. Dia mulai berjalan mondar-mandir
di dalam ruangan itu. Sesekali dia berdiri di depan jendela dan menghirup udara
segar dari luar untuk membantunya tetap tenang dan terkontrol.
Dari balik punggungnya, dia
mendengar isak tertahan dari Katti, Mossef hanya menoleh sedikit. Batinnya mulai
bergulat antara rasa bersalah dan iba, tapi tidak, kali ini dia harus tegas.
Itu juga demi kebaikan dirinya dan Katti.
“Katakan padaku, Mossef....
kenapa harus dia?? .....Kenapa bukan aku saja? ....Apa kelebihannya yang tidak
aku miliki?” desak Katti mengiba.
“Bukan itu masalahnya. Apa yang
kurasakan, itulah yang berbeda. Bersamanya, aku selalu merasa bergairah, aku
merasa lebih hidup. Aku ingin selalu memandanginya, menyentuhnya dan
mencintainya.” Jawab Mossef sambil tersenyum dan menerawang seakan mengingat
kembali kemesraannya bersama wanita itu.
Katti tidak menjawab dan Mossef
juga sibuk dengan khayalannya sendiri.
Beberapa saat, tidak ada suara di
dalam ruangan itu. Mossef merasa curiga, dia berbalik dari posisinya yang
berdiri menghadap jedikit endela dan terhenyak dengan apa yang terlihat di
depannya.
Katti berdiri di tengah ruangan,
dengan tubuh bagian atas terbuka, dalam arti yang sebenarnya, tanpa busana dan sehelai
benang pun yang menutupinya.
Mossef menengok ke bawah dan
melihat baju dan bra Katti telah teronggok di bawah kakinya.
Belum pulih dari keterkujatannya,
Katti sudah berjalan mendekat dengan langkah pelan. Tangannya terulur melingkari
belakang leher Mossef.
“Apa kau terangsang sekarang?”
Pertanyaan itu menyadarkan Mossef
dari keterpakuannya.
“Apa yang kau lakukan, Katti?!”
bentaknya dengan setengah berteriak sambil membebaskan dirinya dari rengkuhan
tangan wanita itu dan melangkah mundur untuk menjauh.
Katti tidak menyerah, dia kembali
menempelkan tubuhnya pada Mossef.
Dan kali ini pria itu benar-benar
marah....
Didorongnya tubuh Katti dengan
keras hingga wanita itu jatuh terduduk di lantai.
“Kau menjijikkan!! Sudah
kukatakan aku tidak memiliki perasaan yang sama denganmu! Meski kau telanjang bulat, aku tidak akan bernafsu
melihatnya...!! Hentikan sikada pripmu yang memalukan ini saat aku masih
menghargaimu sebagai teman....!”
Lalu Mossef berjalan pergi
meninggalkannya sendirian.
Kini pria itu berdiri sendirian di bawah rintik-rintik salju yang mulai
turun di kota Oslo. Sambil mengusap wajahnya yang tampak sedih dan lelah, dia
mengumpat dan mengutuki mulutnya sendiri
yang telah mengeluarkan kata-kata menyakitkan pada Katti.
Dia masih ingat pandangan sedih dan terluka di wajah Katti saat dia menolaknya
dan kemudian meninggalkannya.
__‘Apa masih ada pria yang lebih
brengsek dari aku di dunia ini?’__ teriak Mossef dalam hati.
Sudah agak larut saat Katti berjalan pulang dengan langkah gontai
sepanjang blok menuju apartemennya. Namun saat dia berbelok, dia sedikit
terkejut karena dilihatnya pria yang sudah mengacaukan harinya itu, sedang
duduk di atas tangga masuk menuju gedung tempat tinggalnya.
Sepertinya pria itu belum menyadari kehadirannya. Wajahnya masih tertunduk
di atas bahunya yang merosot lelah.
Katti mencoba tidak menghiraukannya. Terserah pria itu akan melakukan apa.
Lalu tiba-tiba pria itu mendongak, seakan merasakan kehadiran seseorang
meski tanpa suara.
“Katti...” panggilnya lemah.
“Tolong.... kau sudah membuatku dipecat hari ini, apa kau juga ingin
aku diusir dari apartemenku?!”
“Aku... tidak menyesal kau dipecat karena aku memang tidak rela kau
bekerja seperti itu. Kau wanita yang sangat kuhormati.”
Katti mendengus pelan dan hendak pergi, tapi tangan Mossef menahannya
sambil berkata, “Yang kusesalkan adalah semua kata-kata burukku yang telah
menyakitimu begitu dalam dan telah melekat di ingatanmu. Andai aku bisa
menjilat dan menelannya lagi, pasti akan kulakukan.... maafkan aku...”
Mossef melepaskan tangannya dan kali ini membiarkan Katti pergi.
************