Part 3
~~~~~~
Kamis,
22/03/13
Rashed Jalal : Aadhya Jodha, bagaimana poin evaluasi laporanmu
kemarin? Pasti bagus..
Aadhya Jodha : Belum keluar, mungkin harus menunggu lama. Managerku
sedang pergi. Asistennya bilang dia ada
meeting ke Goa.
Rashed Jalal : Tapi dia tidak memberitahuku soal meeting di Goa
Aadhya Jodha : Kenapa kau harus tahu?
Rashed Jalal : Itu karena dia memintaku meng-upgrade program
komputer yang ada di ruangannya.
Aadhya Jodha : Kalau begitu kau juga harus menunggu sampai dia
kembali.
Aadhya Jodha : Kuberitahu ya, sudah menjadi rahasia umum di divisi
finance kalau managerku itu sering menghadiri meeting gelap..
Rashed Jalal : Maksudmu?
Aadhya Jodha : Dia memang ada meeting di Goa, tapi itu untuk
kepentingan pribadinya. Ada temanku yang pernah memergokinya masuk ke sebuah
kamar di Empress Hotel dengan seorang wanita muda, saat dikonfirmasi dalihnya
menemui klien khusus. Kau tahu kan maksudnya ‘khusus’..
Aadhya Jodha : Aku sudah curiga saat mengurus klaim tagihannya atas
kamar hotel dua malam dan makan malam mewah untuk menjamu klien. Tapi saat aku
cross check ke bagian HRD, pada tanggal itu perusahaan sedang tidak menerima
tamu siapapun...
Rashed Jalal : Dan kau tidak melaporkan hal itu?
Aadhya Jodha : Andai aku punya keberanian, aku pasti sudah
melaporkannya. Tapi orang seperti dia pasti punya pengaruh yang lebih kuat
dibanding aku yang hanya staf biasa. Dan jika aku harus mempertaruhkan
pekerjaanku, lebih baik aku mundur dan pura-pura tidak tahu saja...
Rashed Jalal : Jadi kau lebih sayang pekerjaanmu daripada
kredibiltasmu sebagai akuntan?
Aadhya Jodha : Jika pekerjaanku ini hanya untuk menafkahi diriku
saja, mungkin tidak akan seberat ini. Tapi Ibu dan Nenekku juga bergantung pada
gaji yang kuterima setiap bulannya.
Rashed Jalal : Jadi kita hanya berharap ada orang yang berani
mengungkap kebohongannya itu, iya kan?
Aadhya Jodha : Iya, dan semoga itu cepat terjadi.
~~~~~~~
Semua staf di lantai 3 sedang
konsentrasi bekerja di biliknya masing-masing. Suara dengung alat pendingin
ruangan berpadu dengan rentetan mesin pencetak di ujung ruangan, diselingi
dering telepon di beberapa meja dan dengung suara para staf yang sedang
berdiskusi adalah pemandangan sehari-hari yang sangat dihapal Jodha. Dia sangat
menyukai suasana kerja di kantor ini. Meski ada satu dua hal yang bertentangan
dengan hati nuraninya, seperti korupsi yang dilakukan managernya, tetap tidak
mengurangi rasa cintanya pada pekerjaannya. Untuk mengurangi rasa bersalahnya,
sering dia berpikir dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa kecurangan yang
dilakukan oleh managernya tidak ada hubungannya dengan dirinya, itu adalah
tanggung jawab managernya pada CEO. Dia hanya berharap suatu saat dia memiliki
keberanian untuk menyuarakan kejujuran.
Waktu makan siang baru saja
selesai. Jodha yang baru saja menikmati makan siangnya di kantin kantor,
berjalan kembali menuju bilik kerjanya. Baru saja dia duduk dan hendak
mengaktifkan komputernya, tiba-tiba Sneyka datang menghampirinya dengan
tergopoh-gopoh.
“Jodha, ada yang menghebohkan
di lantai 8...” kata Sneyka pendek.
“Apa?”
“Tuan Jamal Rashed diaudit.
Dan proses auditnya langsung diawasi oleh Chief Finance.” Cerita Sneyka dengan
berapi-api.
“A P A!”... mata Jodha
membelalak lebar. Berita ini benar-benar yang paling heboh. Baru tadi pagi dia
membicarakannya dengan teman chatting barunya, Jalal Rashed... ternyata hari
itu datang juga, saat kebohongan mulai terkuak. Dia lanjut bertanya, “Siapa
yang melaporkannya?”
“Tidak ada yang tahu. Kata
staf lantai 8, tiba-tiba saja Chief Finance dan dua asistennya masuk ke ruangan
Tuan Rashed dan membongkar semua dokumen. Asisten Tuan Rashed yang kerepotan karena
atasannya tidak ada, tapi dia sudah dipanggil untuk segera datang.” Sneyka
menjelaskan panjang lebar.
“Eh..... Sneyka, sejak kapan
Golden Road punya Chief Finance?”
“Mungkin sekitar seminggu
yang lalu. Aku sendiri belum pernah bertemu orangnya, tapi kabarnya dia masih
single dan cukup enak dilihat.” Jawab Sneyka dengan mata mulai menerawang,
membayangkan wajah Chief Finance.
“Aku tidak peduli Chief
Finance seperti apa, yang membuatku penasaran siapa staf yang cukup berani
membongkar korupsi manager finance. Tapi siapapun dia, aku salut padanya.” Jodha
tersenyum seakan turut bangga atas keberanian orang lain itu. Andai saja dia
tahu....
Kehebohan lantai 8 sepertinya
menular sampai lantai 3, terlihat dari beberapa staf yang terus membicarakan
tentang audit dadakan itu di sela-sela pekerjaan mereka. Bahkan topik itu terus
bertahan hingga jam pulang kantor.
Jam 7 malam, Jodha masih
berdiri di halte menunggu bus. Entah kenapa hari ini belum ada bus yang lewat
di jalan ini. Beberapa temannya yang lain memutuskan naik taksi daripada terus
menunggu. Hingga akhirnya yang tersisa hanya Jodha, berdiri sendirian, berharap
bus yang dia tunggu segera datang.
Seorang pria mendekat, dia
merangkul pinggang istrinya yang hamil di sampingnya. Sang istri terlihat cukup
kesulitan berjalan, mungkin karena kehamilannya. Keduanya ikut berdiri di
halte, Jodha tidak tahu mereka sedang menunggu bus atau taksi.
Tiba-tiba saja sang wanita
merintih kesakitan dan hampir jatuh terkulai lemas di jalan andai saja sang
pria tidak sigap menahannya. Bersama dengan Jodha yang segera berlari
membantunya, dipapahnya pelan-pelan tubuh wanita itu hingga bisa duduk
bersandar di bangku panjang halte bus itu.
“Apa anda baik-baik saja?”
tanya Jodha khawatir pada wanita itu.
“Istri saya sepertinya akan
melahirkan. Bisakah anda carikan taksi atau bajaj untuk kami bisa ke Rumah
sakit?” yang menjawab suaminya, karena wanita itu sibuk mengatur napasnya yang
tersengal-sengal, mungkin karena kontraksi yang dialaminya.
Jodha mengangguk dan berlari
lagi ke pinggir jalan untuk mencegat taksi atau bajaj. Berulang kali dia
menengok ke kiri dan kanan, tapi tidak satupun kendaraan umum yang lewat jalan
itu, sementara wanita itu sepertinya makin kesakitan. Lalu Jodha berinisiatif
meminta tolong pada siapapun pengendara yang lewat, tapi tetap tidak satupun
yang bersedia meminggirkan kendaraannya.
Menit terus berlalu, wanita
itu merintih semakin keras dan suami disampingnya juga terlihat makin panik
melihat rasa sakit yang dialami istrinya, sedangkan mereka belum juga
mendapatkan tumpangan ke Rumah Sakit. Akhirnya Jodha melakukan satu tindakan
nekat terakhir....demi rasa kemanusiaan.
Cciiitt...
Gesekan antara ban depan
mobil dengan aspal jalan raya menghasilkan suara mendecit keras memecah
ketenangan malam itu. Bagaimana tidak, Jalal harus mengerahkan seluruh
tenaganya saat menginjak pedal rem mobilnya agar tidak sampai menabrak
seseorang yang tiba-tiba saja melompat ke depan mobilnya yang sedang melaju
lumayan kencang di jalan raya yang sudah mulai sepi.
Awalnya Jalal tidak bisa
melihat siapa orang yang sudah bertindak nekat itu karena terhalang silau lampu
mobilnya yang menyorot terang. Yang bisa dilihatnya hanyalah bahwa orang itu
memang sengaja menjadikan tubuhnya sebagai balok penghalang untuk menghentikan
laju mobilnya, terlihat dari posisi tubuhnya yang tegak dengan kedua lengan
terentang ke samping dengan penuh tekad.
Jalal mencoba memicingkan
kedua matanya untuk bisa melihat lebih jelas menembus kaca depan mobilnya, tapi
gagal. Karena itu, dia terpaksa mematikan mesin mobilnya dan memadamkan sorot
lampu depannya. Dalam hati dia menyumpahi siapapun orang yang tidak punya otak
itu yang sudah mengganggu perjalanan pulangnya. Meski orang itu ternyata
perampok ataupun pembunuh bayaran sekalipun, Jalal bertekad akan menghajarnya
habis-habisan.
Dengan geram, Jalal turun
dari mobilnya dan berjalan memutari kap mobilnya. Betapa terkejutnya dia saat
mengetahui yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita...
“KAU...!”
“KAU...!”
Keduanya bicara bersamaan.
Dan sepertinya wanita di depannya ini juga sama terkejutnya seperti dirinya.
“KAU.. kemarin menghalangi
mobilku saat sedang berkencan... dan sekarang kau sengaja ingin menabrakkan tubuhmu
ke mobilku?!!....Kau benar-benar ya... apa kau sudah gila?! Sedikit saja aku
terlambat mengerem....aarrgghh...aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan
padamu.......” cerocos Jalal dengan frustasi, tapi dia masih lanjut membentak,
“....Kalau ingin bunuh diri, harusnya kau cari mobil yang lain...mobilku ini
harganya lebih mahal dari biaya pemakamanmu...!!”
Kali ini Jodha tidak
membalas, dia tahu dia memang salah. Tapi situasinya mendesak.
“Maafkan aku.... Aku
terpaksa.... Mereka butuh bantuanmu...Tolong, beri kami tumpangan sampai Rumah
Sakit terdekat.” kata Jodha sambil menunjuk suami istri itu.
Pria di depannya mengikuti
arah yang ditunjukkan Jodha, tapi dia diam saja. Jodha tidak tahu apa yang
dipikirkannya, tapi dia juga tidak punya waktu untuk menduga-duga. Wanita itu
harus segera dibawa ke Rumah Sakit sebelum terlambat.Berdua dengan suaminya,
Jodha memapah wanita itu masuk ke dalam mobil. Entah bagaimana, pria itu sudah
duduk di belakang kemudi.
Jalanan cukup padat, tapi Jodha
bersyukur bisa sampai di Rumah Sakit tepat waktu. Meski diwarnai sedikit insiden
pecah air ketuban di dalam mobil, tapi wanita itu akhirnya berhasil melahirkan
dengan selamat di Rumah Sakit.
Semuanya sudah beres, pria
itu dan istrinya –Jodha lupa menanyakan nama mereka—juga sudah bisa tenang
bersama kebahagiaan kecil mereka yang baru lahir. Sekarang Jodha juga harus
pulang. Untung dia tadi sempat menelpon Ibunya di rumah, tentang alasannya
pulang terlambat malam ini, setidaknya bisa mengurangi kekhawatiran Ibunya.
Keluar dari lobi Rumah Sakit,
langkah Jodha terhenti. Karena sepuluh langkah di depannya, dia melihat pria
itu, berdiri menyandar pada kap mobil besarnya dengan tangan dilipat di depan
dada. Meski saat ini hampir tengah malam, tapi Jodha bisa menangkap kilau pupil
matanya, tajam melihat ke arahnya dan bibirnya menipis terkatup rapat. ‘Mungkinkah pria itu menunggunya?’
Jodha teringat dia belum
mengucapkan terima kasih atas bantuannya tadi. Antara segan dan takut, Jodha
berjalan pelan menyeberangi jarak antara mereka.
“Terima kasih atas bantuanmu
tadi. Kalau kau tidak menolong mereka, aku tidak tahu....” Jodha bicara dengan
menunduk, tak berani bertatapan mata dengan pria itu.
Sejenak pria itu masih diam,
tidak menjawab, membuat Jodha kikuk di depannya. Karena tidak ada respon, kaki
Jodha sudah terangkat untuk melangkah pergi dari tempat itu, saat...
“Apa kau bawa wewangian di
tasmu? Deodoran atau parfum?”
“Haa....?”
Antara kaget karena perkataan
pria itu yang tiba-tiba atau bingung dengan pertanyaannya yang aneh, Jodha
hanya bisa melongo.
Melihat ekpresi kosong di
wajah Jodha, pria itu menjentikkan jarinya di depan wajahnya membuat Jodha
tersentak dan tersadar.
“Eh, apa?... Untuk apa?”
“Berikan saja padaku.”
Perintah pria itu sambil menengadahkan tangan kanannya.
Jodha merogoh isi tasnya dan
menemukan apa yang diminta pria di depannya ini. Diangsurkannya sebuah botol
kecil spray cologne miliknya.
Diambilnya botol itu dari
tangan Jodha, lalu dia membuka pintu mobilnya. Dibukanya tutup botolnya dan
dituangkan seluruh isinya ke atas kursi mobil yang tadi diduduki oleh wanita
hamil itu.
“Hey...tunggu...kenapa kau habiskan
isinya? Ini kan mahal?” Jodha berhasil merebut kembali botol itu tapi isinya
sudah habis. Wajahnya langsung cemberut mengingat jumlah uang yang telah dikeluarkannya
demi membeli cologne mahal bermerk dari Swedia itu.
“Mobilku jadi bau karena air
ketuban wanita itu. Karena kau yang memasukkan dia maka kau yang bertanggung
jawab.” Jawab pria itu enteng.
Jodha masih meratapi
cologne-nya yang dikuras habis saat pria itu membuka pintu depan mobilnya.
“Masuk.”
“Hey...mau apa...” matanya
bolak-balik melihat ke arah mobil dan pria itu yang masih memegangi pintunya,
bingung dan takut secara bersamaan.
“Masuk, aku antar pulang.”
Perintahnya dengan nada lebih lembut
Jodha tersentak pelan saat
merasakan telapak hangat pria itu memegang sikunya dan sedikit mendorongnya
segera masuk ke dalam mobil. Belum sempat Jodha menolak atau mengiyakan,
tubuhnya seolah bergerak sendiri, masuk dan duduk manis di dalam mobil. Entahlah,
beberapa kali Jodha bertatapan dengan pria ini, setiap kali itu pula otaknya
seakan berputar melambat.
Saat mulai fokus, pria itu
sudah duduk di belakang kemudi, bersiap menyalakan mobilnya.
“Hey, tunggu...sungguh,kau
tidak perlu repot...aku bisa pulang sendiri...terima kasih atas bantuanmu
tadi.” Jodha membuka pintu disisinya dan bersiap turun.
“Baik, cari saja taksi atau
bus malam ini. Tidak masalah.”
Jodha berpikir sejenak,
sepertinya dia baru sadar kalau ini sudah tengah malam. Ditutupnya kembali
pintu di sisi tempat duduknya.... Membiarkan pria ini –yang anehnya Jodha
percaya kalau dia tidak akan berniat buruk pada dirinya—mengantarkannya pulang
menjadi pilihan yang lebih baik daripada harus berdiri sendirian menunggu taksi.
Dengan sedikit malu, Jodha
berkata. “Tolong antarkan aku pulang. Rumahku di Ram Rao Family Apartment.”
Pria itu meliriknya sekilas,
lalu menyalakan mesin mobilnya.
Jodha sedang merapikan tas di
pangkuannya saat sudut matanya menangkap gerakan dari sisi kanan. Kemudia Jodha
mengangkat matanya dan melihat pria itu bergerak pelan mendekatkan wajahnya ke
arah dirinya. Jodha membelalak ketakutan. ‘Tidak..tidak..jangan-jangan
pria ini..Ya Tuhan, tolong lindungi aku..’ Dia maracau dalam hati....
Wajah pria itu makin dekat...Jodha menutup
mata....kepalanya tertunduk tidak berani membayangkan hal buruk yang akan
terjadi...Punggungnya menempel makin dalam di jok kulit mobil itu...Tubuhnya
tidak bisa lagi bergeser menjauh....Jodha sudah mengkerut ketakutan...Napas
pria itu mengenai wajahnya...Jarak bibir mereka hanya tersisa kurang dari 10
cm....Bahkan panas tubuh pria itu sudah menjalar menembus kemejanya....
“Kau kurang rapat menutup
pintunya.”
BLAM...
Tangannya sempat menyenggol
lengan Jodha saat meraih handle pintu dan menutupnya dengan keras...
Pada saat merasakan mobil
mulai bergerak, barulah Jodha menghembuskan napas yang sedari tadi
ditahannya...’Uff..kukira tadi...dia akan
menciumku...’rutuknya dalam hati, ‘sadarlah
Jodha...kau pikir pria sekelas dia sudi mengumbar ciumannya untuk wanita
sepertimu?!’
Selama perjalanan, Jodha
tidak berani lagi menoleh ke arah kanan, dia hanya beberapa kali melirik,
terutama saat pria itu menanyakan arah jalan ke rumahnya. Rupanya pria ini
tidak begitu hapal jalanan Mumbay.
Sesampainya di Ram Rao Family
Apartment, pria itu memarkir mobilnya tepat di depan lobi. Begitu mesin
dimatikan, setelah mengucapkan terima kasih dengan singkat, Jodha langsung buru-buru membuka pintu seakan
dia ingin melompat keluar, rasanya terlalu sesak berada di dalam mobil, efek
dari pikirannya yang salah mengartikan sikap pria itu tadi. Dan Jodha merasa
canggung sekali.
Awalnya Jodha mengira pria
itu langsung pergi begitu dirinya turun, tapi suara pintu mobil yang membuka
dan menutup, menepis dugaannya. Dia turun dan mengikuti langkahnya masuk ke
gedung apartemen.
“Hey...kau mau apa?”
“Bukan kebiasaanku menurunkan
seorang wanita dan langsung pergi.” Jawabnya sambil memandang ke atas, “Lantai
berapa?”
“Eh...lantai lima.” Jawab
Jodha gugup, sekali lagi salah menduga sikapnya.
Pria itu memberi isyarat pada
Jodha untuk memimpin jalan. Anehnya Jodha menurut. Dia mendului pria itu
berjalan di depan.
Di dalam gedung, suasananya
senyap. Tidak terdengar apapun kecuali bunyi sepatu mereka menggema di atas
lantai keramik. Untung saja, setidaknya suara itu bisa menutupi suara jantung
Jodha yang masih berdegup kencang sejak insiden salah kira di dalam mobil tadi.
Mereka berjalan dalam diam.
Jodha pun bingung tidak tahu harus bicara apa. Selama ini, dia belum pernah
diantar seorang pria hingga ke depan pintu apartemennya, kecuali Varun. Bahkan
Varun pun kadang hanya mengantarkannya sampai di lobi. Itulah yang membuat
Jodha makin canggung di dekat pria ini.
Setelah dipikir-pikir, ada
sisi yang saling bertolak belakang pada kepribadian pria yang berjalan di
belakangnya itu. Suatu ketika, pria ini hanya menggodanya, di lain kesempatan
pria ini marah-marah dan bersikap tidak masuk akal. Dan yang terakhir dia
bersikap sangat bermartabat sebagai seorang pria.
Sibuk dengan pikirannya, tak
terasa dia sudah sampai di depan pintu apartemennya. Beruntung kakinya bisa
bergerak sendiri tanpa dikomando otaknya yang entah tersesat dimana.
“Ini apartemenku.” Katanya
memberitahu lalu mengetuk pintunya.
Setelah beberapa saat, Ibunya
membukakan pintu. Karena mengira Jodha pulang sendirian, betapa terkejutnya
saat dilihatnya seorang pria berdiri di belakang putrinya.
“Nyonya...saya mengantarkan
putri anda pulang. Maaf karena dia pulang terlambat....Selamat malam.” Pria itu
mengangguk hormat lalu melangkah pergi dari tempat itu.
Jodha dan Ibunya tertegun
pada sikap sopan yang ditunjukkannya, bahkan mereka tidak sadar kalau pria itu
sudah pergi.
“Jodha, siapa pria itu...?”
tanya Ibunya begitu mereka sudah di dalam.
“Eh..? Aku lupa bertanya....”
********