Jalal
sedang berdiri berhadapan dengan Tuan Bharmal di ruangan kantornya di dekat
pabrik.
Bharmal –
“Tuan Jalal, saya tidak menyangka anda datang lagi kemari secepat ini. Saya
masih belum menyelesaikan kewajiban terakhir saya pada karyawan. Baru kemarin
kita menandatangani surat pengalihan asetnya, jadi saya belum menyelesaikan
pembayaran pesangon untuk seluruh karyawan.”
Jalal –
“Jangan khawatir, Tuan Bharmal. Saya belum akan menuntut hak saya. Kedatangan
saya kesini untuk membicarakan hal lain.”
Bharmal –
“Silakan, Tuan Jalal.”
Jalal –
“Saya ingin meminta ijin dari anda untuk menikahi putrimu, Jodha.”
Bharmal –
“APA!!”
Jalal –
“Benar, Tuan Bharmal, saya berniat menjadikan Jodha sebagai istri saya.”
Bharmal –
“Apakah anda sudah membicarakan hal ini dengan Jodha?”
Jalal –
“Belum, saya memang sengaja meminta persetujuan anda terlebih dahulu. Setelah
itu saya atau anda yang akan memberitahu Jodha.”
Bharmal –
“Ini mendadak sekali, Tuan Jalal. Setahu saya Jodha belum pernah mengenal anda sebelumnya.
Jadi, bagaimana ceritanya tiba-tiba anda melamar putriku.”
Jalal –
“Benar, kemarin adalah pertama kali saya bertemu putri anda. Mungkin... ini
semua adalah takdir.... Bagaimana? Anda menyetujuinya?”
Bharmal –
“Semuanya tergantung pada Jodha. Dia setuju atau tidak, aku akan mengikuti
apapun keputusannya.”
Jalal –
“Kalau begitu tugas andalah untuk meyakinkannya. Lagipula, jika kita sudah
menjadi satu keluarga, saya bermaksud akan menyerahkan pengelolaan pabrik ini
pada anda kembali. Bukankah anda sangat peduli pada nasib karyawan anda?”
Bharmal –
“Jadi itu timbal baliknya.... Kuperingatkan Tuan Jalal!! Dengan alasan apapun,
aku tidak akan menjual kebahagiaan putriku! Camkan itu baik-baik!!”
Jalal –
“Baiklah.. baik.. Begini saja, sampaikan hal ini pada putrimu. Jika dia
menolaknya, aku tidak akan memperpanjangnya lagi. Tapi besok, ijinkan aku
menemui putrimu.”
Bharmal –
“Baiklah..”
Pembicaraan
merekapun berakhir, menyisakan beribu pertanyaan di benak Bharmal – ‘Bagaimana caraku memberitahu Jodha? Apa yang
harus kukatakan pada keluargaku? Bagaimana reaksi mereka?’—
Mau tidak
mau, Tuan Bharmal tetap harus menceritakan semuanya pada keluarganya. Pada
malam hari usai makan malam, Tuan Bharmal mengumpulkan seluruh anggota keluarga
dan menyampaikan isi pembicaraan dirinya dan Jalal tadi pagi.
Seperti
yang diduga, seluruh keluarga menentang keras rencana Jalal. Ibu Meena merasa
tidak rela menikahkan Jodha dengan Jalal karena reputasi Jalal yang suka
bergonta-ganti teman kencan. Dia sangsi Jalal akan menghentikan kebiasaannya
itu meski sudah menikah, dan menurutnya hal itu pasti akan lebih menyakitkan
bagi Jodha. Sedang kakak Jodha berpendapat bahwa terlalu cepat membicarakan
soal pernikahan, faktanya mereka baru bertemu sekali, meski mungkin Jalal
memang menyukai Jodha, tapi Jodha pasti membutuhkan waktu untuk lebih mengenal
Jalal secara pribadi. Di sisi lain, ayah Jodha hanya diam, tidak berkata
apa-apa. Dia berada dalam dilema, satu sisi adalah kebahagiaan Jodha, sedangkan
sisi lainnya adalah kesempatan untuk mempertahankan usaha yang telah
dirintisnya bertahun-tahun serta untuk menyelamatkan masa depan karyawannya.
Jodha,
yang menjadi tokoh utama perdebatan mereka, hanya terduduk diam. Otaknya hanya
mampu mengulang kata-kata yang sama –‘Jalal
ingin menikah denganmu, Jodha’—Bahkan perdebatan yang terjadi di depannya
terdengar seperti dengungan saja. Hingga semua anggota keluarganya sudah
tertidur, Jodha masih terjaga. Di dalam kamarnya, Jodha duduk di atas kasur
memeluk lututnya. Di dalam pikirannya, berbagai pertanyaan, pertimbangan dan
penyangkalan saling tumpang tindih seakan ingin berebut keluar –‘Benarkah itu semua? Apa Jalal
sungguh-sungguh? Sepertinya Jalal bukan orang yang bisa bercanda. Kebenciannya
padaku terlihat jelas, jadi kenapa dia malah melamarku? Tapi jika aku menerima
lamarannya, paling tidak aku meringankan dua beban keluargaku sekaligus... tapi
jika aku menolaknya.. pabrik ayah...’—
Keesokan
paginya, pembicaraan di dalam rumah Jodha masih seputar topik yang sama. Jodha
pun memberanikan diri untuk bersuara..
Jodha –
“Ayah, ibu, kakak, aku sudah memutuskan untuk menerima lamaran Tuan Jalal.”
Ibu Meena
– “Tidak mungkin Jodha, kau belum memikirkannya masak-masak, Nak.”
Bharmal –
“Benar, Jodha. Jika yang kau khawatirkan aku dan kakakmu, jangan pikirkan itu.
Jangan menghukum dirimu sendiri. Kami masih bisa melakukan bisnis yang lain.
Kami akan mulai lagi dari awal. Pikirkanlah kebahagiaanmu sendiri. Pernikahan
harus didasari saling cinta atau paling tidak saling mengenal dan menghargai.
Tapi lihatlah dirimu, mengenalnya saja tidak, apalagi mencintainya.”
Jodha –
“Itulah yang kuinginkan, ayah. Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya,
berarti aku tidak akan merasa bersalah padanya jika suatu saat dia tahu masa
laluku. Aku sadar, meski kalian tidak mengakuinya, tapi apa yang terjadi padaku
enam tahun lalu sudah menjadi beban berat dalam kehidupan kalian. Aku berterima
kasih karena ayah dan ibu sudah mendukungku selama ini, sekarang giliranku
untuk berbakti pada kalian. Sejak mimpi buruk itu, aku sudah tidak berani lagi
bermimpi tentang sebuah pernikahan. Kini, jika aku menikah, beban kalian akan
terangkat.”
Ibu Meena
– “Tidak, Jodha. Kau tidak pernah menjadi beban bagi kami. Kau adalah
kebanggaan kami. Kau kekuatan dan inspirasi kami. Kau sudah menunjukkan hal-hal
besar yang bisa dilakukan seorang gadis. Kau sudah bangkit dengan kekuatanmu
sendiri, jadi kau layak untuk bahagia. Pasti banyak pria di luar sana yang
ingin menikah denganmu.”
Jodha –
“Pikirkanlah Ibu, tidak ada yang akan rugi jika aku mengambil keputusan ini.
Pabrik akan kembali ke tangan ayah dan kakak. Dan bukankah impian kalian juga bisa
melihatku menikah?! Aku akan berbakti pada suamiku, aku akan membuat kalian bangga.
Dan kupastikan, aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak akan membiarkan
orang lain merendahkanku.”
Ibu Meena
– “Ohh..Jodha, anakku...”
Ibu Meena
menangis sambil memeluk Jodha. Jodha pun menangis. Bahkan ayahnya pun
menitikkan air mata. Tangisan ini adalah campuran perasaan bahagia dan tidak
berdaya. Ini adalah keputusan terbesar dalam hidup Jodha. Namun Jodha berjanji
dalam hati, dia akan menghadapi apapun yang akan terjadi dalam kehidupan
pernikahannya dengan kepala tegak, dia tidak akan menangis lagi. Hal terburuk
dalam hidupnya sudah berhasil dilewatinya, jadi tidak mungkin dia akan terjatuh
lagi.
Jodha
meminta ayahnya menghubungi Tuan Jalal. Dalam pembicaraan singkat itu, Tuan
Bharmal menyampaikan keinginan Jodha untuk menemui Jalal di Delhi. Jodha merasa
lebih tenang jika dia yang mendatangi Jalal, sebab jika Jalal yang menemuinya,
dia khawatir tidak bisa mengendalikan perasaan karena ada ibu dan ayahnya di
dekatnya.
Sejak
kemarin, Jalal sudah tidak sabar menunggu kesempatan ini. Dia sudah bersiap-siap
hendak pergi menemui Jodha di Uttar Pardesh, tapi ternyata Tuan Bharmal
mengabarkan bahwa Jodha yang akan pergi ke Delhi.
Sesampainya
Jodha di kantor Jalal, dengan semua ketenangan yang dimilikinya, Jodha memasuki
ruangan Jalal.
Jalal –
“Selamat datang di tempatku, Nona Jodha.”
Jodha –
“Tuan Jalal, aku tidak ingin berbasa-bagsi lagi. Tolong katakan apa alasanmu
sesungguhnya menikahiku.... Dan jangan katakan karena cinta, aku tidak akan
percaya sama sekali.”
Jalal –
“Haha... (Jalal terkekeh). Kau lugas sekali, ternyata aku tidak bisa membodohimu.
Tapi tidak perlu terburu-buru, kita punya waktu sehari penuh untuk
membicarakannya.”
Jodha –
“Jadi tolong katakan Tuan Jalal, aku menunggu penjelasanmu.”
Jalal
mempersilakan Jodha duduk, yang hanya dibalas dengan tatapan dingin, meski
akhirnya mereka duduk berhadapan pada masing-masing sisi meja kerja Jalal.
Jalal bisa melihat dibalik sikap angkuh dan dingin yang ditampilkan Jodha,
sebenarnya gadis itu sedang gusar dan ketakutan. Sejak awal Jalal yakin dialah yang
akan memegang kendali, tapi kali ini dia masih ingin mempermainkan perasaan
gadis di depannya ini. Caranya adalah dengan mengulur-ulur waktu, alih-alih
langsung menjawab pertanyaan Jodha.
Jalal –
“Bisa kutebak kalau kau menyetujui rencana pernikahan ini, karena hal pertama
yang kau tanyakan adalah alasanku menikahimu.”
Jodha –
“Jangan terlau senang dulu Tuan Jalal. Persetujuanku tergantung pada jawaban
yang akan kau berikan.”
Jalal – “Well,
kalau begitu kita tidak perlu lagi berbohong... Alasanku ingin menikahimu
karena aku membutuhkanmu sebagai seorang istri. Bukan istri yang sebenarnya,
tapi hanya status sebagi seorang istri. Aku ingin ada wanita yang berdiri di
sampingku dan bisa kukenalkan sebagai istriku pada kolegaku.”
Jodha –
“Lalu kenapa aku? Kau kan punya banyak teman wanita?”
Jalal – “Ada
beberapa alasan, apa kau cukup bersabar mendengarkan penjelasanku satu per
satu?”
Jodha
hanya menjawabnya dengan mengangkat kedua alisnya, seakan dia menjawab –‘Katakan, aku akan mendengarkan’—
Jalal –
“Pertama karena kau pernah mempertanyakan hatiku.. Menurutku sekarang aku
bertindak dengan hati.... Kau menuntut aku berempati pada nasib karyawan
ayahmu, maka aku akan menyerahkan pengelolaan pabrik ke tangan ayahmu kembali,
dengan begitu pekerjaan mereka bisa dipertahankan. Uang yang sudah kukeluarkan
untuk membeli pabrik, akan kuanggap sebagai hadiah, dan ayahmu bisa
memanfaatkannya untuk biaya operasional. Keluargamu juga tidak akan mengalami
kesulitan finansial lagi. Itu semuanya akan terwujud jika kita menikah... Pertukaran
yang adil, bukan?!”
Jodha – “Apa
ada alasan yang lainnya?”
Jalal –
“Percaya atau tidak, saat aku memikirkan tentang pernikahan, wajahmulah yang
pertama muncul dalam pikiranku... Jujur saja, bagiku pernikahan tidaklah
seperti yang terlihat di film-film, faktanya pernikahan itu adalah sebuah
kontrak kerjasama antara dua pihak yang saling memberi keuntungan... Tidak ada
lagu-lagu cinta, tarian, puisi ataupun janji suci sehidup semati.”
Jodha –
“Tunggu dulu.. apa kaitannya wajahku yang muncul dan pernikahan menurut versimu
itu?”
Jalal –
“Sama-sama tidak melibatkan perasaan.”
Jodha
meremas tangannya sampai kuku-kukunya menusuk telapaknya. Dia mengerahkan
seluruh kendali dirinya agar amarahnya tidak meledak setelah mendengar
kata-kata Jalal yang terakhir.
Jodha –
“Kau tidak mengenalku, beraninya kau berbicara tentang perasaanku!”
Jalal –
“Aku memang tidak mengenalmu, tapi aku tahu wanita seperti apa dirimu. Kau
merayu pria-pria kaya, berharap mereka akan melimpahimu dengan kemewahan,
setelah kau puas, kau mencampakkan mereka. Bukankah tindakan seperti itu tidak
pernah melibatkan perasaan? Sekarang aku memberimu kesempatan mudah tanpa harus
merayuku, kau akan hidup nyaman asalkan kau menurut padaku.”
Jodha – “Lagi-lagi
kau mengatakan omong kosong itu. Katakan!! Siapa pria yang kau maksud.”
Jalal –
“Wah.. wah.. wah... apa sebegitu banyaknya pria yang kau rayu sampai kau lupa
nama mereka satu per satu... Shahabuddin.. dia adalah tunangan adikku sebelum
bertemu denganmu.”
Jodha –
“Kak Shahabuddin.. dokter di Delhi International Hospital?”
Jalal –
“Apa kau mengenal Shahabuddin yang lain? Asal kau tahu, dia telah berkencan
dengan adikku selama dua tahun, bahkan mereka sudah bertunangan!. Setelah
bertemu denganmu, dia memutuskan hubungan dengan adikku. Bisa kau bayangkan
bagaimana sakit hatinya adikku?! Apakah kau pernah memikirkan itu saat merayunya?”
Jodha –
“Ya Tuhan.. aku tidak tahu kalau Kak Shahab punya tunangan. Maksudku... hubunganku
dengannya tidak seperti yang kau pikirkan.”
Jodha
mulai goyah pertahanan dirinya. Ingatannya berputar kembali ke waktu satu tahun
yang lalu. Saat Shahabuddin berterima kasih padanya:
Shahabuddin – “Jodha, terima kasih. Aku bersyukur karena
mengenalmu. Engkau telah memberikan pandangan baru untukku. Aku sadar kalau apa
yang selama ini kukerjakan belum memberikan ketenangan pada batinku. Aku merasa
malu menikmati semua kemewahan ini. Jadi, aku sudah putuskan untuk meninggalkan
semua kenyamanan ini dan mengikuti kata hatiku.”
Jodha – “Aku pasti mendukungmu, Kak Shahab. Kita akan sama-sama
berjuang.”
Jodha sama
sekali tidak mempertimbangkan jika Shahabuddin memiliki seorang kekasih.
Seandainya dia tahu, dia pasti akan menghalangi niatnya. Namun semua sudah
terjadi, waktu tidak bisa diputar kembali. Yang harus dihadapi adalah saat ini.
Jalal –
“Apa kau menyesal?”
Jodha –
“Maafkan aku soal Kak Shahab, dan tolong sampaikan permintaan maafku pada
adikmu. Aku tidak sengaja sudah menyakiti hatinya. Apakah dia masih bersedih?”
Jalal –
“Jangan pura-pura peduli!!.”
Jodha – “Sekarang
aku tahu.. inilah alasan sebenarnya kau ingin menikahiku, kan?! Kau ingin
membalas dendam padaku atas penderitaan adikmu.. Apa kau berniat menyiksa
hidupku??”
Jalal –
“Apa bisa disebut balas dendam jika yang kulakukan justru memberikan apa yang
selalu kau inginkan. Kau akan menikmati kemewahan, kenyamanan dan nama besar
sebagai istri Jalaluddin Akbar.”
Jodha –
“Tapi hidupku akan seperti di penjara.”
Jalal –
“Tidak sampai seperti itu. Asal kau mematuhi tiga poin penting yang telah
kutetapkan dalam kehidupan pernikahan kita nanti.”
Jodha –
“Apa perlu kutandatangani juga sekarang?”
Jodha
menjawab dengan sarkastik, tapi justru Jalal membenarkannya...
Jalal –
“Sedang dipersiapkan pengacaraku. Aku hanya berjaga-jaga agar jangan sampai kau
melewati batas.”
Jodha
mendengus sebal, dia berpkir ternyata Jalal memang berniat menjadikan
pernikahan ini semata hubungan bisnis. Bahkan dia menyusunnya seperti sebuah
kontrak kerja yang dilegalkan oleh pengacara.
Jalal –
“Poin pertama, aku yang mengendalikan semuanya. Kau tidak boleh mencampuri
semua urusanku, baik itu urusan pekerjaan maupun urusan pribadiku. Kau tidak
boleh berkomentar ataupun bertanya setiap hal yang kulakukan. Kita adalah dua
individu yang tidak saling berhubungan, kecuali saat aku menyuruhmu untuk
tampil sebagai istriku.”
Jodha –
“Lalu bagaimana denganku, apa kau akan mengendalikan semua yang kulakukan?”
Jalal –
“Kau boleh melakukan apa saja selama tidak menimbulkan skandal yang bisa
mempengaruhi kredibilitasku di antara para kolegaku. Yang kedua, penyatuan ini
sama sekali tidak melibatkan perasaan. Tidak ada hubungan intim. Selama
pernikahan, aku tidak akan menyentuhmu. Kau juga jangan merayu, merengek
ataupun meminta perhatianku.”
Jodha –
“Aku juga tidak berharap ada hubungan intim antara kita... Dan berjanjilah, kau
akan berusaha untuk tidak akan pernah jatuh cinta padaku. Kau akan kecewa
nantinya.”
Jalal
–“Ha.. ha.. ha.. ternyata kau lebih sombong dariku. Tenang saja, aku tidak akan
sudi jatuh cinta padamu. Lagipula aku sudah kecewa padamu saat adikku
memberitahu siapa dirimu. Hatimu tidak secantik wajahmu.”
Jodha –
“Baguslah, jangan sampai kau sakit hati karena aku.”
Jalal –
“Aku lebih pintar dari pria-pria bodoh yang takluk padamu... Yang ketiga dan
paling penting, jika suatu ketika aku berubah pikiran atau aku sudah tidak
membutuhkanmu, aku akan menceraikanmu, aku akan memberimu tunjangan, tapi jangan
pernah sekali-kali kau menuntut pembagian harta. Kau dilarang untuk mempersulit
setiap keputusanku. Kau mengerti?!”
Jodha –
“Aku mengerti semua yang kau inginkan. Lalu apa yang harus kukaktakan pada
orang tuaku tentang alasan sebenarnya pernikahan ini?”
Jalal – “Kau
harus bisa meyakinkan mereka, itupun jika kau memikirkan nasib orang tuamu. Kau
tentu tidak ingin ayahmu bekerja keras lagi di usianya sekarang, kan?!”
Jodha –
“Kau sendiri, apa yang akan kaukatakan pada orang tuamu?”
Jalal –
“Aku sudah tidak punya orang tua.”
Jodha –
“Oh, maaf, aku tidak tahu soal itu.”
Jodha
merasa menyesal atas pertanyaan terakhirnya. Dia memang tidak tahu apa-apa
tentang latar belakang calon suaminya ini. Tapi entah kenapa, Jodha merasa iba
ketika Jalal menjawab bahwa dia sudah tidak memiliki orang tua. Dia
membayangkan hidup Jalal pasti kesepian, karena meski terkesan dingin, tapi ada
nada sedih dalam suaranya saat menyebut kata orang tua.
Jalal –
“Persiapkan pestanya dalam waktu satu minggu!! Setelah menikah, kau akan
tinggal di apartemenku di Delhi..”
Jodha – “Aku
tidak mau pesta..!!”
***********************